Share

Chapter 2

Sepulangnya dari kantor Chris, Wendy langsung mengurung diri di ruang kerjanya yang sangat dipenuhi oleh kertas-kertas dan benang-benang merah yang ditempel di dindingnya. Kertas-kertas itu merupakan berkas-berkas mengenai target-targetnya dan benang merah berfungsi sebagai penghubung antara target dengan hal-hal lainnya. Selain itu di ruang kerjanya terdapat beberapa senjata seperti pistol, katana, pisau, dan lain sebagainya yang tersimpan rapi dalam lemari kaca, sungguh ruangan yang sangat menggambarkan sekali seorang eksekutor.

Wendy duduk di kursi kebesarannya sembari membuka lembar demi lembar berkas informasi tentang targetnya kali ini, Reynold Clifford.

Wendy sangat sulit sekali untuk fokus mempelajari berkas informasi targetnya, karena matanya selalu teralihkan pada potret targetnya yang sangat menawan itu. Merasa terganggu dengan foto itu, ia lalu berdiri dan menghampiri tembok yang masih memiliki ruang kosong dan menempelkan foto targetnya itu di sana.

"Bagaimana cara untuk menangani pemuda ini?" gumamnya sembari mengusap foto yang baru saja ia tempel.

Ia memandanginya sejenak, kemudian kembali ke tempat duduknya untuk mempelajari lebih jauh mengenai targetnya.

***

Sudah hampir 5 jam Wendy mempelajari informasi itu dan memikirkan langkah-langkah yang akan dia lakukan untuk mendekati pemuda yang menurutnya seperti orang yang keras kepala.

"Hm, sangat sulit sekali! Jika hanya membayangkan saja, Aku tidak bisa memikirkan apa-apa," gumamnya.

"Sepertinya Aku harus melihatnya secara langsung," sambungnya sembari membuka kembali berkas tentang profil singkat pemuda itu untuk menemukan alamat rumahnya dan kemudian menuliskannya di pencarian alamat di aplikasi maps di ponselnya untuk menemukan lokasi tepatnya.

Tanpa banyak berpikir lagi, Wendy langsung bergegas menuju ke ruangan pakaiannya untuk mengambil baju dan perlengkapan menyamarnya, karena ia hendak melihat sosok Reynold Clifford secara langsung.

Tentu saja untuk mempelajari targetnya ini ia harus sangat hati-hati karena seperti yang Chris katakan, dia orang yang sangat tajam, sedikit saja kesalahan, maka semuanya akan kacau, dan bahkan malah akan membuat Wendy terjebak olehnya.

Beberapa saat kemudian Wendy sudah siap dengan perlengkapan menyamarnya, dengan tambahan kacamata hitam yang dipakainya membuat penampilannya sekarang sudah benar-benar menutupi penampilan aslinya.

"Aku memang tidak terlalu pandai menyamar, tapi menurutku ini sudah cukup," gumamnya sembari memperhatikan bayangan dirinya di cermin.

Setelah itu ia langsung menaiki motor besarnya dan pergi menuju alamat yang sudah ia cari melalui aplikasi maps tadi untuk melihat targetnya secara langsung.

***

Sementara itu di kediaman Michael Clifford.

Detektif swasta jenius itu tengah duduk menonton siaran berita di televisi dengan ditemani secangkir kopi di tangannya.

"Berita ini lagi. Berita ini terus ditayangkan sejak tadi pagi, bosan sekali Aku melihatnya," komentar pria paruh baya itu.

Berita yang tengah ia lihat sekarang tidak lain dan tidak bukan adalah berita mengenai ditemukannya mayat seorang pria tanpa identitas di taman kota yang sebenarnya dia sangat tahu siapa pria itu.

"Hah~ sepertinya mereka sengaja melakukan itu untuk menakut-nakutiku," gumamnya lagi sembari tersenyum sinis di depan televisi.

"Hehehe, mereka salah besar jika mereka berpikir Aku akan terganggu dengan kasus murahan ini," sambungnya sembari cengengesan.

Mendengar cengengesan di malam yang sunyi ini, seorang pemuda masuk ke ruang keluarga, di mana sumber suara itu berasal.

"Berbicara sendiri lagi huh?" ucap pemuda dingin yang tampak sudah tidak heran dengan tingkah pria paruh baya itu.

"Apa yang kau tahu, Reynold Clifford, putraku?" ucapnya yang malah bertanya balik tanpa menoleh pada putranya itu.

"Maksudmu tentang hal besar yang tidak pernah ingin Kau ceritakan itu?" tanya pemuda yang bernama Reynold itu.

Michael hanya diam, tersenyum sambil memandangi televisi di depannya.

Reynold dengan wajah datarnya kemudian memperhatikan berita di televisi itu untuk mengetahui apa yang sebenarnya ayahnya tertawakan.

"Sepertinya mayat tanpa identitas itu ada hubungannya dengan alasan Kau cengengesan sendiri seperti orang gila," simpulnya setelah ia memperhatikan siaran berita yang sedang ayahnya tonton itu.

"Lalu?" tanya ayahnya seakan tengah memancing anaknya untuk menebak apa yang ia pikirkan.

"Hal itu lucu karena tidak ada hubungannya denganmu?" tanya Reynold memastikan.

"Hehehe, betul, betul sekali! Mayat itu tidak ada hubungannya denganku, Rey, dia pantas mendapatkannya," jawabnya dengan senyum lebar yang tidak luntur dari wajahnya seperti seorang anak kecil yang sedang bersemangat akan sesuatu.

Meski sebenarnya Reynold masih tidak puas dengan jawaban ayahnya itu, ia pun tidak memperpanjangnya karena ia sudah tahu bahwa dia tidak akan mengatakan apa-apa lagi mengenai apa pun yang sedang ia pikirkan. "Sudahlah, makan malam sudah siap, makan dulu sana!" seru Reynold sembari berjalan menuju ke meja makan.

"Hahaha, baiklah, mari Kita makan malam, ngomong-ngomong masak apa Kau kali ini, hm?" ucap Michael pada anaknya.

"Nasi goreng," jawab Reynold dengan singkat.

Michael Clifford hanya tinggal berdua dengan putranya Reynold Clifford di rumah sederhana dua lantai ini, istrinya meninggal setelah berhasil melahirkan Reynold 20 tahun yang lalu. Ia adalah seorang ayah yang sangat sibuk sehingga semua pekerjaan rumah dikerjakan oleh Reynold dan karena hal itulah ia menjadi anak yang serba bisa.

"Bagaimana hari ini, Rey?" tanya Michael pada anaknya di tengah makan malam mereka.

"Biasa saja," jawab Reynold atas pertanyaan yang selalu ditanyakan ayahnya saat makan malam itu.

"Oh baiklah, berarti Kau baik-baik saja," ucap Michael.

Mereka selalu seperti ini setiap makan malam, Michael bertanya dan Reynold menjawab, sangat langka sekali terjadi sebaliknya.

"Rey, tolong Kau kirimkan surat ini ke kantor pos sekarang!" seru Michael setelah mereka selesai makan malam.

"Iya, setelah Aku selesai membereskan ini semua," jawab Reynold dengan malas.

"Sekarang saja! Semua ini biar Aku yang membereskannya," ucap Michael.

"Hm, baiklah," timpal pemuda itu sembari memandangi sebuah amplop yang berada di tangan Michael.

"Terima kasih, ini dia suratnya," ucap Michel sembari menyodorkan sebuah amplop putih yang berisi surat untuk seseorang.

Reynold mengambil surat itu dan tanpa banyak bertanya langsung bergegas menuju kantor pos dengan berjalan kaki.

Selama perjalanan menuju kantor pos, Reynold terus memandangi surat yang ada di tangannya, ia merasa sangat penasaran dengan isi surat itu, ia sangat ingin tahu apa yang ditulis ayahnya untuk si penerima surat ini.

"James Lincoln," gumam Reynold, membaca nama penerima surat itu. “Surat ini dikirim ke ibu kota. Well, sepertinya ini ada hubungannya dengan kasus yang sedang ayah kerjakan," sambungnya.

Ia pun melanjutkan langkahnya untuk mengirimkan surat itu ke kantor pos dengan pikiran yang penuh akan tanda tanya mengenai kasus seperti apa yang sebenarnya tengah ditangani ayahnya.

***

Kembali pada Wendy.

Ia sekarang sudah sampai di sebuah minimarket yang berada dekat dengan rumah Michael Clifford. Ia sengaja mengunjungi tempat itu untuk membeli sebotol kopi merek kesukaannya sekaligus memarkirkan motornya di sana sebelum berjalan menuju rumah Michael Clifford.

Sembari berjalan kaki menuju tempat tujuannya, Ia meminum kopi yang baru saja dibelinya sedikit demi sedikit untuk menikmati rasanya.

"Berjalan di bawah rembulan sembari meminum kopi enak ini sangat menenangkan sekali," gumamnya.

Namun, ketenangan itu hilang seketika saat tiba-tiba seseorang menabraknya dari belakang dengan keras.

DUG!

Wendy pun terjatuh dan minumannya pun tumpah sangat banyak dari botolnya.

"Ko...kopi enakku!" gumam Wendy meratapi kopinya yang kini sudah bersatu dengan aspal.

"Ah, maafkan Aku," ucap orang yang menabraknya tadi dengan nada datar.

Tanpa mendengar permintaan maafnya, dengan kesal Wendy merogoh sakunya untuk mengambil pisau lipatnya, dan saat menoleh pada si penabrak itu, ia langsung mengurungkan niatnya dan malah terpaku melihat sosok yang menabraknya itu.

"Reynold Clifford!" ucapnya dalam hati setelah mengetahui bahwa target incarannya sudah berdiri tepat di hadapannya.

Wendy terdiam dengan mulut yang menganga, dan matanya terus memandangi pemuda tampan itu, hingga membuat Reynold menjadi semakin merasa tidak enak pada orang yang ditabraknya.

"Em, maafkan Aku, sini biar kubantu Kau berdiri" ucapnya sembari menyodorkan tangannya pada wanita berkacamata hitam itu.

Tanpa berkata apa-apa Wendy menerima uluran tangannya dan menariknya sehingga ia bisa berdiri.

"Kau tidak apa-apa?" tanya Reynold memastikan.

"Tidak, Aku tidak apa-apa, hanya saja-" Wendy menjeda perkataannya, lalu memandangi botol kopinya yang hampir kosong tergeletak di atas aspal.

"Oh, baiklah, Kau tunggu di sini!" seru Reynold yang mengerti maksud Wendy.

Wendy hanya mengangguk sebagai jawaban dari perkataan Reynold.

Reynold hanya mengangguk kecil, kemudian berbalik dan berjalan menuju minimarket tempat Wendy membeli kopi itu tadi.

"KAU HARUS MEMBELI PERSIS SEPERTI YANG KUBELI YA!" teriak Wendy setelah pemuda itu berjalan cukup jauh di depannya.

"YA!" jawab Reynold yang mendengar teriakan Wendy.

Setelah Reynold menghilang dari pandangannya, Wendy langsung mengeluarkan catatan kecilnya untuk menuliskan sesuatu di sana.

Seperti inilah yang ditulisnya dalam buku catatan kecilnya itu

Hal-hal yang kuketahui dari Reynold :

1. Tampan

2. Bertanggung jawab

3.

Ia lalu memandangi tulisan yang baru saja ia buat itu. "Aku butuh tahu lebih banyak!" gumamnya.

***

Beberapa saat kemudian Reynold kembali dari minimarket dengan menenteng kresek berisi kopi yang sama dengan yang tadi Wendy beli dan beberapa makanan lainnya. Ia menghampiri Wendy yang benar-benar menunggunya kembali.

"Aku ganti dengan yang baru dan ditambah dengan beberapa makanan ringan lainnya sebagai bentuk ganti rugi karena telah membuatmu terjatuh," ucapnya sembari memberikan semua belanjaannya pada Wendy.

Tanpa berusaha menolaknya, Wendy mengambil semuanya dan berkata, "Terima kasih! Kau sudah kumaafkan, kalau begitu Aku pergi."

Wendy kemudian berjalan kembali ke arahnya semula, yaitu menuju ke rumah Michael Clifford. Selama perjalanan itu, ia bisa merasakan Reynold berjalan mengikutinya di belakang. Karena merasa tidak enak, ia kemudian berhenti dan berbalik ke belakang untuk mengetahui maksud pemuda itu mengikutinya.

"Em, maaf, apakah kau masih ada perlu padaku?" tanya Wendy.

"Tidak," jawab Reynold dengan datar.

"Terus mengapa Kau mengikutiku?" tanya Wendy lebih jauh karena semakin penasaran dengan maksud pemuda itu mengikutinya.

"Aku tidak mengikutimu, Aku hanya ingin pulang dan jalannya memang lewat sini," jawabnya dengan datar.

"Ah! WENDY !!! BODOH SEKALI KAU! KENAPA KAU BISA LUPA KALAU ORANG INI SATU RUMAH DENGAN MICHAEL CLIFFORD, TENTU SAJA DIA LEWAT SINI JUGA!" teriak Wendy dalam hati setelah menyadari hal penting itu.

"Oh, begitu," jawab Wendy dengan tenang menyembunyikan perasaan malunya karena sudah berpikir yang tidak-tidak mengenai pemuda itu.

"Ya sudah, Kau jalan di depan saja, Aku merasa tidak enak berjalan di depan orang lain," sambung Wendy.

"Baiklah," jawab Reynold dengan datar.

Mereka pun akhirnya mulai berjalan lagi dengan Reynold yang berjalan agak jauh di depan Wendy. Namun, baru saja mereka berjalan beberapa langkah, Reynold berhenti dan menoleh pada gadis yang berjalan di belakangnya.

"Kau tahu? Sepertinya lebih baik Kita berjalan bersebelahan saja, berjalan di depan saat tahu ada orang yang berjalan di belakang juga membuatku merasa tidak enak," ucap Reynold.

"Um, ba ... baiklah," jawab Wendy dengan gugup karena mengira bahwa mungkin Reynold menyadari sesuatu sehingga berpikir untuk berjalan bersebelahan dengannya.

Pada akhirnya mereka berjalan berdampingan. Selama perjalanan itu mereka berdua terdiam, tidak ada yang memulai percakapan terlebih dahulu.

"Dia memang pendiam ternyata," pikir Wendy. "Jika aku ingin mendapat sesuatu darinya Aku harus mengajaknya berbicara," sambungnya.

"Em, apakah rumahmu masih jauh?" tanya Wendy untuk sekedar berbasa-basi dengan pemuda pendiam ini.

"Tidak terlalu jauh," jawab Reynold dengan sangat singkat dan tidak jelas.

Setelah itu mereka pun terdiam lagi.

"Wow, sulit juga, dia tidak seperti Chris yang obrolannya selalu mengalir panjang seperti sungai A****n yang sangat panjang itu," pikir Wendy.

Namun Wendy masih tidak menyerah, ia berusaha kembali untuk mengajaknya berbicara lagi. "Kau tadi seperti terburu-buru sehingga menabrakku dengan keras tadi, tapi kenapa sekarang Kau malah terlihat santai?" tanya Wendy berusaha mencari topik pembicaraan lagi.

"Aku dari tadi tidak sedang terburu-buru, Kau saja yang terlalu kecil sehingga Aku tidak melihatmu saat tengah berjalan tadi," timpal Reynold dengan dingin sehingga terdengar bahwa ia sangat terganggu dengan pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan Wendy.

"Hah? Alasan macam apa itu?" protes Wendy yang tidak habis pikir dengan jawaban yang keluar dari mulut Reynold.

"Lihatlah dirimu sendiri, lalu coba Kau bandingkan dengan badanku," jawabnya Reynold dengan logis.

Wendy pun termakan dengan perkataannya dan mencoba membandingkan badannya dengan Reynold. "Ah, dia benar," gumam Wendy.

Mereka terdiam lagi.

"Ya ampun, sampai kapan situasi ini akan berakhir!" pikir Wendy yang mulai kesal dengan atmosfer di antara mereka. "Hm, lebih baik Aku diam juga, mengikuti bagaimana ini akan berlangsung," sambungnya sembari melirik pada pemuda dingin yang berjalan di sampingnya itu.

"Apa?" tanya Reynold yang menyadari Wendy dari tadi memperhatikannya.

"Tidak, bukannya wajar jika Aku waspada pada orang asing?" jawab Wendy.

"Hoo, Kau takut Aku akan melakukan hal jahat padamu ya?" tanya Reynold memastikan.

"Tentu saja, Aku kan cuman seorang gadis KECIL yang lemah, pantas saja kalau Aku takut pada seorang pemuda asing BESAR yang berjalan di sampingku," jawab Wendy dengan santai dengan penekanan di beberapa kata dalam perkataannya.

Reynold kemudian berhenti dan menoleh pada Wendy, melihat hal itu sontak saja Wendy juga ikut menghentikan langkahnya dan menoleh padanya. Reynold kemudian membungkuk dan mendekatkan wajahnya pada Wendy agar ia bisa melihat wajah Wendy dengan jelas.

"O ... oi, apa yang Kau lakukan hah?" ucap Wendy gugup.

"Kau tidak terlihat seperti orang yang tengah ketakutan," ucap Reynold yang kemudian berdiri tegak kembali dan melanjutkan perjalanannya.

"Di ... dia hanya ingin melihat ekspresi wajahku, benar-benar waspada sekali orang ini," pikir Wendy yang juga ikut kembali berjalan bersamanya.

Beberapa saat kemudian, mereka hampir sampai di depan rumah Reynold, yang mana itu artinya sebentar lagi mereka harus berpisah. Tanpa diduga tiba-tiba Reynold bertanya, "Kau mau pergi ke mana sebenarnya?"

"Eh? Kukira dia tidak akan bertanya mengenai itu," pikir Wendy yang cukup terkejut dengan pertanyaan yang tiba-tiba itu.

"Um, sebenarnya Aku hanya ingin berjalan-jalan saja mencari udara segar, dan tujuan akhirku adalah lapangan yang ada di sana, berputar-putar di sana, lalu kemudian pulang," jawab Wendy yang sebenarnya tidak tahu harus menjawab apa.

"Hm, baiklah," ucap Reynold yang malah terus berjalan lurus melewati rumahnya.

"Eh? Bukannya ini rumahmu?" tanya Wendy heran.

"Dari mana Kau tahu kalau ini rumahku? Aku tidak ingat pernah mengatakan kalau ini adalah rumahku," jawab pemuda itu yang mulai merasa curiga pada wanita yang berjalan di sampingnya.

"Aku tadi melihat kakimu hampir saja masuk ke pekarangan rumah itu, jadi kukira tadi itu rumahmu" jawab Wendy dengan tenang.

"Hm, boleh juga gadis ini," pikir Reynold setelah ia mendengar jawaban Wendy.

Mereka pun akhirnya melanjutkan perjalanan mereka, tanpa banyak bertanya lagi.

"Reynold Clifford, apa tujuanmu mengikutiku?" pikir Wendy yang benar-benar penasaran dengan tingkah pemuda rupawan yang misterius itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status