Share

Chapter 4

Beberapa hari kemudian.

Hari ini adalah hari pertama Wendy masuk ke kampus yang sama dengan Reynold. Ia berdandan sangat natural seperti mahasiswi normal pada umumnya dengan tubuhnya yang tidak terlalu tinggi dan wajahnya yang tidak boros membuat sosoknya bisa berbaur dengan mahasiswi-mahasiswi lainnya. 

Selain itu, ia juga berangkat ke sekolah menggunakan kendaraan umum, menggendong tas yang berisi buku-buku mata kuliah hari ini, tersenyum ramah pada pak satpam  yang berjaga di pos satpam universitas, pokonya ia benar-benar sudah seperti mahasiswi ramah normal yang datang ke kampus untuk menuntut ilmu.

Beberapa hari sebelum memulai misinya di kampus ini, Wendy mendapatkan beberapa rincian mengenai identitas yang akan ia gunakan dalam misi ini dari Chris. Ia akan menggunakan identitas Bella Valentine untuk menutupi identitas alinya. Chris benar-benar menuliskan semua rinciannya dengan sangat detail, termasuk dengan kepribadian, dandanan, serta gaya berpakaian yang harus Wendy gunakan saat menjadi seorang Bella Valentine. Pria itu sangat detail, ia bahkan mengirimkan banyak sekali pakaian yang harus Wendy pakai saat ia menyamar sebagai Bella sehingga dengan begitu sosok Bella bisa sesuai dengan apa yang dipikirkannya.

Meski memang tampak berpenampilan normal, tetapi sebenarnya Wendy menyelipkan senjatanya di balik pakaian yang dikenakannya untuk berjaga jika sesuatu yang tidak diinginkan terjadi.

Setelah melewati gerbang kampus, pertama-tama ia mencari papan petunjuk yang akan mengarahkannya pada gedung fakultas ilmu sosial dan ilmu politik, tempat di mana program studi kriminologi tempatnya belajar berada.

“Hm, Aku hanya harus mengambil arah kiri, bukan?” gumam Wendy sembari memandangi papan petunjuk di hadapannya yang mengarah ke sebelah kirinya.

Wendy pun mengikuti petunjuk itu dan akhirnya ia sampai di depan sebuah tugu nama fakultas yang ia cari. Tanpa diduga ternyata arah dari papan petunjuk itu bukanlah mengarah pada sebuah gedung, melainkan sebuah area fakultas itu, yang di atasnya terdapat beberapa gedung yang begitu sangat megah dan luas.

Ia hanya menghela napas karena mengetahui bahwa dengan begitu ia harus mencari tempat belajar jurusannya di area yang begitu luas ini. “Kalau begini Aku harus bertanya ke sana-ke mari untuk menemukan ruangan E405,” gumamnya dengan perasaan malas karena dengan begitu ia harus berinteraksi dengan manusia-manusia di sekitarnya.

Ia lalu memeriksa jam tangannya dan tampaklah waktu sudah menunjukkan pukul 8.55 yang mana itu artinya 5 menit lagi perkuliahan akan segera dimulai.

“Ck, sial! Sepertinya Aku akan terlambat!” rutuknya sembari celingukan mencari orang yang memungkinkan untuk dia tanyai sembari berjalan ke arah sebuah gedung yang tampak paling besar di antara yang lainnya.

Tak sengaja, sembari berjalan menuju ke sebuah gedung yang berada di hadapannya itu, ia melihat seorang pria berjalan dengan santainya melewatinya menuju ke dalam gedung itu. Mengetahui hal itu, dengan sigap Wendy langsung menghentikannya untuk sekedar menanyakan kebingungannya saat ini.

“Um, anu … maaf, Tuan!” Wendy sedikit menaikkan intonasi suaranya untuk menarik perhatian pria itu sembari berjalan semakin mempercepat langkahnya.

Sontak pria itu menghentikan langkahnya dan menoleh pada sumber suara yang terdengar seperti memanggilnya.

“Hm?” Pria itu memasang wajah heran sembari celingukan ke kanan dan kirinya seolah ia sedang mencari sesuatu.

“Em, Tuan?” Wendy yang melihat reaksi itu tampak heran karena bukannya menengok ke arahnya, pandangan pria jangkung itu malah lurus melewatinya.

“Ah! Itu dia!” ucap pria itu yang setelah mendengar suara Wendy langsung menundukkan pandangannya sehingga ia bisa melihat sosok mungil seorang wanita yang berdiri tepat di hadapannya.

Melihat gestur itu sebenarnya membuat Wendy sedikit kesal. Namun karena sedang menyamar menjadi seorang mahasiswi yang ramah dan menyenangkan, ia harus menjaga sikap, sehingga hal yang bisa dilakukan hanyalah memaksakan diri untuk tetap tersenyum pada pria itu.

 “Well, ada apa gadis kecil?” tanya pria itu sembari tersenyum dengan sangat ramah pada Wendy.

 “Tahan Wendy, tahan!” ucap Wendy di dalam hatinya, berusaha untuk tetap sabar setelah mendengar panggilan yang paling tidak ia sukai untuk dirinya itu.

 Wendy membalas senyum ramah itu dengan terpaksa, tapi tetap tampak natural pada pria itu. “Tuan, Saya hanya ingin bertanya tempat, apakah Anda tahu di mana gedung E?” tanya Wendy.

Pria itu tersenyum lebar, lalu membalikkan tubuhnya sehingga menghadap pada gedung yang Wendy hendak menuju tadi. “Kau sudah menuju ke arah yang benar, itu dia gedungnya!” ucapnya sembari menunjuk gedung di hadapannya.

“Oh, baiklah, terima kasih, Tuan! Saya benar-benar sangat terbantu, maklum Saya mahasiswi baru jadi betul-betul tidak tahu lingkungan fakultas yang begitu luas ini,” ucap Wendy dengan sedikit berbasa-basi agar terkesan seperti mahasiswi ramah yang menyenangkan.

“Hoo, mahasiswi baru ya … Semester 1?” Pria itu bergumam, tampak sedang mengira-ngira sembari mempelajari sosok Wendy dengan pandangan yang begitu tajam.

“Saya - “ Saat Wendy hendak menyangkal tebakannya, pria itu berkata kembali sehingga Wendy perkataan Wendy terpotong.

“Oh, tidak, tidak, lebih tepatnya mahasiswi baru semester 5!” ucap pria itu dengan mantap.

Wendy tertegun mendengar tebakan akhir yang sangat meyakinkan itu. Ia terkejut karena bagaimana bisa pria itu menebak dengan sangat tepat mengenai hal yang sebenarnya jarang terjadi, yaitu menjadi seorang mahasiswi baru di semester 5, semester pertengahan yang hanya tinggal separuh perjalanan lagi sebagai seorang mahasiswa.

“Well, ruangan mana yang Kau tuju?” tanya pria itu yang berhasil membuyarkan ketertegunan Wendy.

“Um, ruangan E405,” jawab Wendy.

“Baiklah, tujuan Kita sama, jadi ayo kita ke ruangan itu bersama-sama saja!” seru pria itu dengan sangat bersemangat.

Wendy tersenyum lebar mendengar ajakan itu. Hal itu karena dengan begitu ia tidak harus berkeliaran seorang diri di dalam gedung besar itu seperti anak hilang. “Terima kasih, Tuan,” kata Wendy sembari mengangguk dengan sangat semangat.

Ia dan pria ramah itu pun melanjutkan langkah mereka ke dalam gedung itu untuk menuju ke ruangan yang mereka tuju. Sepanjang perjalanan itu mereka berbincang panjang lebar, atau lebih tepatnya pria itu yang lebih banyak berbicara sedangkan Wendy kebanyakan diam mendengarkan ocehan yang seperti tiada ujungnya itu. Sekali lagi, meski begitu ia tetap berusaha untuk terlihat sangat antusias mendengarkannya agar citranya sebagai mahasiswi ramah itu terjaga.

“O … Orang ini sebelas dua belas dengan Chris dalam hal kecerewetannya!” batin Wendy yang tak menyangka bahwa saat ini berhadapan dengan orang cerewet macam Chris, atasannya yang begitu sanat menyebalkan itu.

Mereka pun kini berada di dalam lift. Seperti orang kebanyakan, setelah masuk ke dalam ruangan sempit dan pengap itu, keduanya terdiam dengan pandangan mereka lurus ke depan memandang pintu lift yang tertutup rapat.

Wendy yang berdiri di samping agak belakang pria itu sesekali mencuri pandang padanya. Selama itu ia baru terpikir mengenai ada urusan apa pria itu ke ruangan yang sama dengannya itu. Melihat penampilan pria di hadapannya yang tampak rapi dan masih muda dengan pembawaannya yang santai itu membuat Wendy sekilas terpikir bahwa dia adalah mahasiswa yang akan mengikuti perkuliahan yang sama dengannya. Namun, ia masih ragu karena ada hal mengganjal dari pria itu yang membuatnya masih belum yakin bahwa dia adalah seorang mahasiswa juga. Oleh karena itu, meski memang terdengar aneh, itulah mengapa sedari tadi ia memanggil pria itu dengan sebutan ‘Tuan,’ karena menurutnya hal itu terdengar netral sehingga tidak membuat lawan bicaranya tersinggung.

TING!

Setelah pintu lift terbuka, mereka langsung keluar dan berjalan menelusuri koridor sejenak hingga akhirnya mereka sampai di depan pintu ruangan E405, ruangan yang mereka tuju.

Pria jangkung itu berdiri tepat di depan pintu, lalu menoleh pada Wendy dengan sangat antusias. “Siapa namamu?” tanya pria itu tiba-tiba.

“Nama Saya Bella Valentine, Tuan,” jawab Bella sembari memasang senyum terbaiknya pada pria itu.

“Nama yang bagus …” Pria itu menyodorkan tangannya, mengajak wanita itu berjabat tangan. “Perkenalkan, namaku Martin Gourname!” ucapnya.

“Ma … Martin Gourname!” Sontak setelah mendengar nama yang sangat tidak asing itu membuat Wendy terkejut. Hal itu membuatnya sejenak termangu, hingga akhirnya ia bisa mengendalikan dirinya dan menerima jabat tangan itu.

“Ja … Jangan dia …” pikir Wendy yang menebak siapakah sebenarnya pria itu.

KRIET!

Martin mendorong pintu ruangan di hadapannya dengan sedikit tenaga, sehingga tampaklah bagian dalam ruangan itu.

Pria itu melangkahkan kakinya ke dalam ruangan dengan begitu santainya. “Selamat datang di kelas Saya!” ucapnya sembari menoleh pada Wendy yang tampak memasang tampang bodoh di daun pintu memandangi Martin yang tampak ceria di dalam ruangan itu.

“DI … DIA DOSEN PEMBIMBING AKADEMIKKU!” teriak Wendy dalam hati setelah apa yang dipikirkannya itu terbukti.

Tentu ia tahu nama itu karena sebelumnya Chris pernah menyinggung nama orang itu padanya. Ia berkata bahwa dosen pembimbing akademik Wendy hanyalah seorang bujangan lapuk di umurnya yang sudah menginjak 34 tahun, tapi Chris tidak memberikan foto pria itu karena dia bilang pria itu benar-benar tidak penting sehingga tak perlu susah-susah untuk mengingat sosoknya.

“Dia tampak jauh lebih muda dari usianya, kukira pria yang dimaksud Chris itu akan tampak seperti bapak-bapak dengan perut buncit, berkumis, berambut klimis, dan galak,” pikir Wendy, memuji bagaimana dosennya itu bisa tampak seperti sebaya dengannya.

Wendy mengintip ke dalam kelas dan tampaklah semua mahasiswa yang sudah berada di dalam sana menengok pada dirinya karena rasa penasaran yang begitu sangat melihat dosennya tampak sangat heboh saat memasuki ruangan.

Martin yang masih belum beranjak dari depan kelas memerintahkan gadis yang tampak malu-malu itu untuk masuk ke dalam agar perkuliahan bisa segera dimulai. “Masuklah, tak usah malu!” serunya.

Wendy yang sengaja memasang tampang malu-malu itu pun masuk ke dalam ruangan  dan dengan segera duduk di kursi kosong yang berada di barisan paling depan, yang memang selalu dikosongkan karena mahasiswa-mahasiswa itu takut untuk duduk terlalu dekat dengan dosen yang satu ini. Lebih tepatnya mereka takut ditanya mengenai hal-hal yang berkenaan dengan materi perkuliahan.

Menyadari hal itu, Wendy pun celingukan memperhatikan sekitarnya. “Kenapa sepanjang barisan paling depan ini kosong semua?” pikir Wendy yang merasa heran dengan hal aneh itu.

“Pak, Anda terlambat lebih dari 10 menit, bukannya seharusnya Anda tidak boleh masuk, dan kelas ditiadakan?” ucap seorang mahasiswi yang duduk di barisan kedua dari depan dengan begitu berani.

Martin tertawa mendengar protes itu sembari memerhatikan jam di tangannya. “Wah, betul, ternyata saya terlambat,” komentarnya setelah ia memastikannya.

PROK

PROK

PROK

Tiba-tiba pria itu bertepuk tangan sembari memasang senyum ramah khasnya.

“Bagus sekali Viona Jackline, keberanian Anda patut diapresiasi …” komentar dosen itu. “Well, jika Anda tidak berkata, mungkin di antara teman-temanmu ini tak ada yang berani memprotes,”

“Kalian semua sudah 2 tahun menjadi anak bimbingan akademik Saya, tapi hanya Anda yang tidak sungkan padaku, bagus, bagus, Saya sangat suka seperti itu,” sambungnya.

Ia kemudian berjalan mondar-mandir di depan kelas sembari memandangi semua mahasiswanya. “Well, mengenai hal itu, memang peraturan itu sudah Saya tetapkan semenjak pertama kali Kita semua bertemu di semester 1 di mata kuliah Pengantar Kriminologi, kemudian di semester 3 di mata kuliah Psikologi Kriminologi, ‘Kalian boleh mengusir Saya jika Saya terlambat masuk lebih dari 10 menit, dan Saya pun juga tidak segan-segan mengusir mahasiswa dari kelas jika dia terlambat lebih dari 10 menit juga.’ Saya selalu mengingatkan Kalian tiap pertemuan awal semester seperti sekarang, tapi hari ini Saya terlambat sebelum Saya memproklamirkan kembali peraturan itu pada Kalian, jadi Saya anggap keterlambatan kali ini belum dihitung, hehehe,” tutur pria itu dengan berbagai elakkan agar terhindar dari aturan yang ia buat sendiri sebelumnya.

Ia lalu berdiri di hadapan Wendy yang duduk memperhatikan dirinya. “Jika Saya datang lebih cepat hari ini, mungkin teman baru kalian ini belum sampai ke ruangan ini sampai sekarang,” ucapnya sembari memandang pada Wendy.

“Jurusan Kita memberlakukan sistem paketan yang sistemnya hampir sama dengan sistem sekolah pada umumnya yaitu pembagian kelas, kalian masuk dan lulus bersama-sama dengan teman-teman sekelas Kalian, jadi Saya yakin Kalian pasti menyadari ada wajah baru di sini sekarang. Mungkin Kalian berpikir pindah sekolah hanya ada pada jenjang pendidikan SD, SMP, SMA saja, tapi ketahuilah Kalian juga bisa pindah universitas dengan jurusan yang sama asalkan memenuhi persyaratan-persyaratan yang diajukan pihak universitas, dan gadis ini contohnya,” Dosen itu menjawab pertanyaan yang tampak dari raut wajah mahasiswa-mahasiswanya yang tampak bingung dengan keberadaan mahasiswi baru di kelasnya.

“Nama gadis ini Bella Valentine, baik-baiklah Kalian pada rekan baru Kalian ini!” pungkasnya yang menjadi akhir dari pemaparan mengenai hal yang diherankan semua orang di dalam ruangan itu.

PROK

Martin menepuk tangannya dengan cukup keras, lalu menggosok-gosokkan kedua tangannya.

“Pertama, nama Saya adalah Martin Gourname, Dosen Pembimbing Akademik Kalian, dan di semester ini Saya mengampu mata kuliah Organisasi Kejahatan Serius …” Mengingat terdapat mahasiswi baru di kelasnya, Martin memperkenalkan diri terlebih dahulu sebelum akhirnya ia menjelaskan mengenai Rancangan Pembelajaran Semester (RPS) mata kuliah yang diampunya.

Ia menjelaskan dengan sangat detail, hingga akhirnya sampailah ia pada bagian aturan yang ia singgung-singgung sebelumnya.

“Baiklah dengan begitu, saat ini Saya nyatakan aturan terlambat itu berlaku mulai dari detik ini!” Martin pun memproklamirkan hal yang sebelumnya dipermasalahkan seorang mahasiswi yang bernama Viona itu.

“Sekarang Saya akan mengabsen, angkat tangan dan keluarkan suara ketika Saya memanggil nama kalian!” seru pria itu sembari membuka sebuah map yang berisi lembar absensi di tangannya.

Dosen yang tampak santai itu pun mulai mengabsen mahasiswa-mahasiswinya satu persatu dan memastikan kehadiran mereka dengan memperhatikan satu persatu orang yang mengacungkan tangan dan mengeluarkan suara ketika namanya dipanggil.

Hingga pada saat ia menyebutkan nama Reynold, ia pun tersenyum sangat lebar. “Reynold Clifford! Reynold Clifford!” Ia memanggil-manggil nama itu berulang-ulang karena tak ada satu orang pun yang mengacungkan tangannya.

Mengetahui hal itu, Wendy langsung memperhatikan sekitarnya, mencari targetnya yang sedari tadi tidak menyahut ketika dosen itu memanggilnya. “Ti … Tidak ada! Ke mana dia?” pikir Wendy yang sedikit kecewa karena di hari pertama misinya ia malah tidak bertemu dengan targetnya.

“Well, sepertinya semester ini pun dia akan banyak melewatkan kuliah Sa-“

KRIET!

Perkataan pria itu terjeda saat seseorang membuka pintu kelas.

Sontak semua orang menoleh ke arah pintu, dan tampaklah seorang pemuda tampan rupawan bertampang datar itu berdiri di daun pintu sembari memandang pada dosennya yang tengah berdiri di depan kelas sembari memasang senyum padanya.

“Re … Reynold Clifford!” Mendadak Wendy merasa lega karena akhirnya targetnya itu muncul juga.

“Oh, panjang umur sekali. Rey, Saya sedang mengabsen, Kau tahu kan apa itu artinya?” ucap Martin dengan pembawaan yang begitu santai pada pemuda dingin itu.

Reynold terdiam sejenak sebelum berkata. “Saya terlambat sehingga tidak boleh mengikuti perkuliahan,” tegasnya.

Martin mengangguk kecil, lalu berkata, “Baiklah jika Anda mengerti, kalau begitu silakan mundur, lalu tutup kembali pintunya.”

Reynold tidak memprotes, ia hanya mengangguk lalu perlahan menutup pintu yang sempat ia buka itu.

“Rey, masuk kembali ke ruangan ini setelah perkuliahan berakhir!” seru Martin sebelum pintu benar-benar tertutup.

Martin kembali mengalihkan pandangannya pada seluruh mahasiswanya, kemudian bertanya. “Kalian setelah ini ada kuliah jam berapa?”

“Jam 1 siang pak!” jawab salah satu mahasiswanya.

“Baiklah, kalau begitu …” Martin lalu menoleh pada Wendy, lalu berkata, “Bella, jangan dulu pergi setelah jam perkuliahan ini!”

“Baik, Pak,” jawab Wendy dengan tegas. Sejujurnya ia tidak terlalu penasaran dengan panggilan itu karena ia mengira bahwa semua yang mungkin akan dibicarakan nanti adalah mengenai kepindahannya.

"Aku lebih penasaran dengan alasan pria aneh ini memanggil Reynold untuk menghadap padanya nanti," pikir Wendy yang merasa tidak sabar untuk mengetahui apa yang akan terjadi selanjutnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status