Share

Part 5

Setelah hampir tiga jam berada di dalam mobil, akhirnya mereka sampai juga di depan unit apartemen milik Erlangga. Kesadaran Olivia mulai menipis yang mulai menipis tidak mampu membuat perempuan itu sepenuhnya sadar dengan keadaan. Matanya yang berusaha tegar walau kelopaknya sudah tidak kuasa untuk terbuka membuat wajah Olivia berkali-kali terantuk kepala Erlangga.

Erlangga membawa Olivia di punggungnya. Pria itu sudah menunggu Olivia bangun dari tadi, tetapi lima belas menit berada di parkiran membuatnya sadar kalau Olivia sudah benar-benar terlelap. 

Erlangga menempelkan sebuah kartu pada mesin di depan pintu. Warna hijau yang memindai kartu berhenti, pintu besi itu terbuka. Erlangga memasuki apartemennya dengan langkah perlahan. Dia takut membangunkan perempuan yang berada di punggungnya. 

“Ini apartemen kamu?” gumam Olivia. Artikulasi suaranya mulai tidak jelas karena berbicara dengan keadaan setengah sadar. Pria yang ditanya tidak menjawab. Lagi pula, memangnya Olivia dapat menyadari jawabannya?

Erlangga terus memasuki apartemennya yang gelap. Buru-buru pria itu menyalakan sakelar hingga cahaya menerangi ruangan.

“Kamu punya apartemen sebagus ini?” Olivia masih saja bergumam, padahal matanya sudah mulai terpejam. “Kalau tau bagus seperti ini, aku nggak akan nolak.”

Erlangga menampilkan seringai di wajahnya. Pria itu berjalan ke arah kamar satu-satunya di apartemen ini. Lalu, dia merebahkan Olivia di atas kasur. Pria itu terus memandang tubuh Olivia yang berada di depannya. Wajah Olivia yang mungil membuat Erlangga sangat tidak sabar untuk menyentuhnya. 

Olivia sadar kalau dia sudah berbaring. Matanya terbuka sedikit, perempuan itu melihat Erlangga yang berdiri tepat di depannya. “Jangan tidur di samping aku!” Perempuan itu melempar bantal, guling, dan selimut yang ada di sekitarnya. Olivia mengusir Erlangga untuk pergi dari kamar.

Lantas, Erlangga harus tidur di mana? Apartemen ini hanya memiliki satu kamar. Erlangga tidak mengindahkan perintah Olivia. Dia naik ke atas kasur dan memposisikan tubuhnya di atas Olivia. Kedua tangan ia pakai untuk menyangga tubuhnya. Wajahnya mendekat ke telinga Olivia. "Hei, Putri tidur! Aku izin tidur di samping kamu."

Kepala Olivia menggeliat, dia merasakan geli ketika suara berat Erlangga terdengar.

Gemas, Erlangga menggigit bibir bawahnya. “Tunggu saatnya tiba!”

Setelah itu, Erlangga merebahkan tubuhnya di samping Olivia. Pria itu memiringkan tubuhnya dan menatap wajah Olivia dari samping. Tangan kekarnya terulur menyentuh wajah perempuan di sampingnya. Lengkungan bibir yang terukir di wajah menambah kesan tampan.  Tanpa sadar Olivia bergerak dan menyampirkan lengannya di tubuh Erlangga. “Tidurlah yang nyenyak! Aku akan jagain kamu di sini.” Erlangga mengecup kening Olivia dengan lembut.

***

Mata Olivia mulai terbuka perlahan, menyesuaikan sinar mentari yang berusaha menerobos penglihatannya. Tidak lama kemudian, dia baru tersadar, dia tidak berada di kamarnya. Olivia sedang tertidur di dada seorang pria yang bernama Erlangga. Olivia terlonjak dan sontak bangun dari tidurnya. 

Olivia menutup mulutnya, berusaha menahan pekikan akibat terkejut. Erlangga tidur tanpa kaus yang menutupi badannya. 

Perlahan-lahan tangannya terulur. Olivia menggoyangkan tubuh Erlangga, berharap pria itu segera bangun. Namun, Erlangga tetap memejamkan matanya.

“Susah banget bangunnya, sih!” kata Olivia.

"Kenapa?"

Olivia terkejut saat tangannya dipegang oleh Erlangga. Pria itu langsung menarik Olivia ke atas tubuhnya. Kedua bola mata Olivia membulat sempurnya.

“Er, kamu mau apa?” Olivia berusaha melepaskan genggaman tangan Erlangga.

Erlangga tersenyum dalam kondisi mata yang masih memejam. Tubuh Erlangga telanjang dada membuat Olivia semakin tidak nyaman.

“Bisa lepasin aku?” kata Olivia yang berusaha melepaskan tangannya dari jeratan Erlangga.

Pria itu membuka kelopak mata, lalu mengedipkan sebelah matanya. “Where is my morning kiss?”

Olivia sontak memukul perut Erlangga dengan tenaganya yang baru mulai muncul di pagi hari. Pria itu mengaduh kesakitan dan membuat Olivia terlepas.

“Rasain!” Peremuan itu berjalan memasuki toilet. Umpatan tidak senang terlontar dari mulut Olivia.

Erlangga tertawa melihat perempuannya ketakutan. Perempuannya? Mungkin bisa dibilang seperti itu, Olivia juga sudah berjanji untuk mengikuti semua perintahnya.

Getaran ponsel di nakas menyadarkan Erlangga. Segera dia angkat telepon yang tidak bernomor.

"Di mana kamu?" Orang yang menelepon Erlangga adalah seorang pria, dia adalah Idris.

"Kenapa?" sahut Erlangga. Pria itu berjalan keluar dari kamar. Dia terlihat seperti menyembunyikan pembicaraannya dari Olivia.

“Kenapa? Di mana Olivia? Dia menghilang, Idiot!" balas Idris.

Erlangga mendecih keras, dia menjatuhkan tubuhnya di atas sofa. “Jangan khawatir! Dia bersamaku sekarang.”

"Aku tidak peduli dengan rencanamu. Lindungi dia!" Pria itu memutuskan hubungan telepon sepihak.

Erlangga meletakkan benda pipihnya di atas meja. Matanya beralih menatap pintu kamar, kemudian dia tersenyum. Di dalam sana ada perempuan yang seharusnya dia jaga, bukan dia perlakukan layaknya budak. Namun, dia senang memperlakukan Olivia begitu. Ada apa dengan dirinya?

Setelah itu, dia masuk ke dalam kamar kembali. Ternyata Olivia sudah selesai mandi, dia sedang mengganti pakaian. Sontak saja perempuan itu teriak.

“Dasar mesum!” Olivia melempar Erlangga dengan barang yang ada di sekitarnya.

Pria itu menghindar, sesekali menangkis. “Berhenti! Aku mau masuk ke kamar mandi, jangan dilempar lagi!”

Yang benar saja, Olivia mengganti pakaian tanpa mengunci pintu kamar. Lagi pula, memangnya perempuan itu membawa pakaian ganti? Dia tidak pulang ke rumah kemarin, apa yang harus dia pakai sekarang?

Perempuan itu mengacak-acak lemari Erlangga. Semuanya berisi pakaian pria, tidak ada untuk perempuan. Akhirnya, dia menggunakan kembali pakaian yang telah kotor.

“Dasar pria mesum! Bisa-bisanya aku kenal dia. Kalau tau dia bermuka dua, mungkin aku nggak akan mau kenal bahkan nantang dia!” Perempuan itu berbicara sendiri di hadapan cermin. Tangannya menata surai lembut rambutnya. “Aduh, terus aku harus gimana ini?”

Erlangga keluar dari toilet. Tubuhnya hanya berbalut handuk sebatas pinggang sampai lutut. Rambutnya masih basah, air menetes ke badannya yang terukir sempurna. Tetesan air itu semakin menambah kesan jantan di tubuh Erlangga.

Pria itu mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil yang dia pegang. Ketika dia menatap Olivia, saat itu juga Erlangga mendengkus dengan seringai yang tercetak di wajahnga. “Belum pernah liat perut pria yang kotak-kotak?”

Olvia salah tingkah karena merasa dirinya kepergok. Dia kembali mengalihkan pandangannya ke cermin. Namun, tampilan tubuh Erlangga juga masih terlihat dari cermin. Bagaimana dia mau mengalihkan pandangan?

“Yakin cukup segitu aja ngeliatnya? Nggak mau liat yang lebih bagus?” goda Erlangga yang berjalan ke arah lemari di samping meja rias. Pria itu membelakangi Olivia. Otot punggung Erlangga yang terlihat menggoa membuat Olivia menelan air liurnya sendiri. 

Walaupun olivia mengalihkan pandangannya, tetap saja Olivia mencuri-curi pandang ke arah pria di sampingnya. Perempuan itu seolah takjub dan tidak mau melewati pemandangan indah di dekatnya.

Erlangga memiliki ide licik untuk menjahili Olivia. Dia menutup pintu lemari dan menghadap Olivia. Tubuh yang masih terpampang nyata kembali Olivia lihat, sialnya perempuan itu sedang menengok ke arah Erlangga. Olivia langsung kembali menatap cermin. “Sial, kenapa dia balik badan, sih?” gumam Olivia.

“Pura-pura nggak mau liat, padahal pengin banget. Yakin nggak mau liat lagi?” kata Erlangga.

“Siapa yang liat? Aku nggak sengaja liat,” jawab Olivia, gaya berbicaranya tergugup. 

“Oke.” Erlangga mulai memakai pakaiannya. Dia tidak memedulikan Olivia yang mencuri pandang ke arahnya. Menurut Erlangga, Olivia itu polos, tetapi rasa ingin tahunya tinggi.

“Kenapa di apartemen cowok ada meja rias? Lengkap juga dengan beberapa perlengkapan untuk rias,” kata Olivia.

Kini perempuan itu sudah tidak malu untuk menatap Erlangga. Pria di hadapannya sudah memakai kemeja, tetapi masih menggunakan handuk.

“Aku juga punya pakaian perempuan di bawah meja rias. Pakai aja!" titah Erlangga.

Olivia langsung memeriksa bagian bawah mrja rias. Ternyata benar, ada beberapa setelan pakaian perempuan. Dia tidak sadar, padahal sudah berada di dekatnya sejak lama. “Ini punya siapa?”

“Itu semua masih baru, masih ada labelnya,” sahut Erlangga. Pria itu berbalik dengan tangan yang memegang ujung handuk. “Kamu yakin mau lihat perkakasku di sini?”

“Maksud kamu?” kata Olivia. Perempuan itu berdiri, dan beringsut mundur karena takut melihat seringai Erlangga. Dia tidak tahu apa yang akan Erlangga lakukan, tetapi instingnya menyuruhnya untuk pergi.

“Aku mau buka handuk di sini. Mau keluar atau mau lihat?” kata Erlangga dengan satu sudut bibir yang terangkat.

Perempuan itu membawa semua pakaian baru ke dalam toilet. Dia berlari dengan wajah memerah. Tingkahnya yang menggemaskan membuat Erlangga tertawa.

***

Area fakultas hukum pagi ini digegerkan dengan sebuah rumor yang sangat fenomenal. Tentu saja mereka membicarakan kedua orang yang baru saja tiba, Erlangga dan Olivia.

Mereka yang melihat berpikir bahwa kedua orang itu sudah berhubungan. Ada yang tidak senang lantaran tidak terima pria pujaannya direbut oleh perempuan sombong, ada juga yang senang lantaran perempuan sombong akhirnya mampu ditaklukan.

Tentu saja mereka berpikir seperti itu, karena Erlangga yang menggandeng Olivia sepanjang jalan. Senyuman yang tidak luntur dari wajah Erlangga tertebar ke seluruh mahasiswa yang dia lewati, seolah mengekspresikan bahwa dia senang karena sekarang Olivia sudah menjadi miliknya.

Olivia tidak peduli dengan tatapan mahasiswa yang lain. Dia bersikap seperti biasa, perempuan angkuh yang enggan menatap mahasiswa lain dengan senyum. Matanya menatap lurus ke depan dengan wajah yang sedikit dia angkat.

"Kamu kelas di mana?" kata Erlangga.

Mereka sudah naik ke lantai dua, tetapi masih belum memiliki tujuan. Olivia menoleh menatap pria di sampingnya dan berkata, "Lantai empat, ruang 408. Kamu mau anter aku ke sana?"

Erlangga tersenyum lebar. "Tentu, aku mau nganterin calon pacar ke sana. Takutnya nanti ada cowok yang berani macem-macem sama calon kesayanganku."

Perempuan itu kembali menatap jalanan di depannya. Dia berusaha mengatur napasnya yang mulai kesulitan mendapat oksigen. Jelas saja Olivia gugup, hal yang Erlangga katakan sangatlah berpengaruh pada dirinya.

Sadar, Olivia! Pria ini sangat licik, jangan terpengaruh sama kata-katanya, pikir Olivia dalam hati.

Sesampainya di ruang kelas, Erlangga mengantar Olivia sampai ke tempat dia duduk. Terdengar bisikan mahasiswa yang membicarakan mereka.

Olivia sontak semakin tidak senang. Mulutnya mengerucut dengan mata yang mulai menyipit. Erlangga sadar kalau Olivia tidak suka dibicarakan. Wajahnya terangkat dan memandang seluruh mahasiswa di sana.

Pria itu menegakkan tubuh lalu menggebrak meja dengan sangat keras. Seisi kelas langsung terdiam dan memfokuskan pandangan ke arah Erlangga.

"Saya kasih tau satu hal, Olivia milik saya sekarang. Siapa pun yang berani nyakitin dia, akan berurusan langsung dengan saya! Siapa pun yang berani ngomongin keburukan dia di belakang, siap-siap hidupnya nggak akan tenang."

Semua mahasiswa di ruangan kelas langsung menundukkan wajah. Erlangga tersenyum puas karena tidak ada yang berani membantah ucapannya. 

"Nanti makan siang bareng. Aku jemput di kelas ini lagi. Kalau aku belum dateng, jangan pergi dulu! Paham?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status