Setelah mengantarkan Olivia ke dalam kelas, Erlangga tidak langsung pergi ke kelasnya. Pria itu justru keluar dari kampus menuju sebuah gedung mewah di daerah Jakarta Pusat. Dengan penampilannya yang hanya menggunakan kaus putih polos dan kemeja flanel serta celana levis, membuat orang yang melihatnya merasa aneh.
“Siapa pria itu? Apakah dia tidak tahu kalau gedung ini hanya didatangi oleh pria berdasi?”
Mungkin itu yang dipikirkan oleh mereka. Erlangga sadar kalau dirinya ditatap aneh oleh orang di sekitar, tetapi dia tidak mempedulikannya. Pria itu justru terus melangkah menuju lantai 18 dan memasuki salah satu ruangan.
Sebuah kejutan untuknya, dia hanya bertemu Idris dan Yoseph. Pria itu mendecih setelah menutup pintu. "Kamu menyuruhku untuk buru-buru, tetapi sekarang baru kalian berdua di sini. Ke mana uang lainnya?"
Lampu ruangan seketika meredup, bergantikan cahaya biru remang-remang. Jendela tak bergorden pun langsung tertutup oleh tralis besi tak bercelah.
“Lupakan tentang itu! Ada hal yang ingin aku tanyakan, mana Olivia?"
tanya Idris yang menatap dengan nyalang. Melotot dan tangan yang mengepal. “Jangan permainkan Alpha!”Erlangga memiringkan kepalanya, salah satu sudut bibirnya terangkat. "Di tempat yang aman."
“Jangan main-main, Er! Di mana dia?” Yoseph berjalan menghampiri Erlangga. Tangan pria itu sudah siap untuk menghantam wajah Erlangga.
Dengan sigap Erlangga menangkap kepalan tangan Yoseph hingga gagal menyentuh wajahnya. “Santai aja! Jangan terlalu emosi! Aku yang terbaik di antara kita semua, jangan meremehkanku!"
Yoseph menarik tangannya dengan kasar. “Lalu di mana dia? Alpha sudah memperingatiku, Mahardika sudah marah. kenapa kamu tidak memberitahu keberadaan Olivia?"
“Cepat katakan di mana dia, Er? Jika Ryuzen berhasil menangkapnya, kamu akan mati hari ini," kata Idris sambil melempar ponselnya ke Erlangga.
Sebuah pesan singkat dengan nomor yang tidak diketahui terpampang nyata di depan mata. Erlangga tahu kalau pesan itu dari Alfonso, pemimpin mereka. Pria itu bergidik ngeri membaca kata demi kata di sana.
Pria itu langsung menekan tombol telepon, lalu mendekatkan benda pipih itu ke telinganya. Idris dan Yoseph menatapnya dengan jengkel, tangan mengepal, dan napas yang berderu.
“Santai, jangan khawatir tentang Olivia." Erlangga memberikan tatapan nyalang.
Ruangan itu mulai sepi, tidak ada suara yang terdengar. Masing-masing dari mereka berusaha menenangkan diri. Orang yang sedang dihubuni adalah Alfonso, pemimpin Renoza. Bahkan pendamping setianya saja takut, bagaimana dengan mereka bertiga yang masih menjadi anak buahnya?
"Saya harap Anda punya kabar baik," kata Alfonso.
Panggilan sudah diterima, Erlangga menegang di tempatnya. Pria itu memejamkan mata sambil menarik napas panjang. "Dia bersama saya, di apartemen saya. Dia tinggal bersama saya mulai sekarang."
Terdengar tawa renyah Alfonso dari telepon, membuat dahi Erlangga berkeringat. “Biarkan dia memutuskan akan tinggal dengan siapa. Jangan sampai Mahardika marah karena ulah Anda!"
“Apa dia tahu tentangku?"
Erlangga tidak mau ada yang mengetahui identitasnya di Indonesia. Dia lebih senang dikenal sebagai mahasiswa dari pada sebagai mafia kelas kakap. Namun, Alfonso belum menjawab pertanyaannya. Beberapa detik Erlangga menunggu, dia mulai ketakutan kalau Alfonso memberitahu identitasnya.
“Tidak.”
Panggilan ditutup sepihak, Erlangga langsung menghela napas lega. Dia melempar ponsel itu kembali ke rekannya. "Permasalahan selesai, tidak ada yang perlu dikhaaatirkan."
Idris mendengkus kasar mendengar perkataan Erlangga. "Jika aku tidak meneleponmu, kamu tidak akan berbicara pada Alpha. Kemudian dia akan menghukumku. Dasar pengecut!"
Erlangga berjalan menuju bangku di sebelah Idris, kemudian duduk di sana. Senyuman sebelah bibirnya tidak pernah luntur. Dia menolehkan kepala menghadap Idris. "Itu sudah tanggung jawabmu sebagai ketua."
Ruangan kembali seperti semula. Cahaya biru remang-remang menghilang, tergantikan dengan cahaya matahari yang masuk melalui kaca jendela. Sekarang, baru terlihat beberapa hidangan yang menggugah selera. Erlangga langsung menyantapnya tanpa ragu.
***
Perempuan itu mulai bosan menunggu sendirian di kursi depan kelasnya. Beberapa hal telah dia lakukan, mendengarkan musik, membaca novel daring, dan sudah dua kali dia pergi ke toilet. Namun, Erlangga tetap belum datang juga.
“Dasar cowok resek! Katanya mau ngajak makan siang, tapi udah jam satu lewat belum dateng,” gerutunya.
Siapa yang suka menunggu? Tidak ada yang menyukai hal itu, termasuk Olivia. Perempuan itu biasanya akan pergi dan melupakan orang yang dia tunggu. Namun, kali ini berbeda. Karena orang yang dia tunggu adalah Erlangga.
Perempuan itu terlonjak kaget ketika seorang pria datang dan langsung bersandar di bahunya. Napas pria itu teburu-buru, peluh keringat pun masih mengalir di wajah sampai ke leher. Olivia menyingkirkan Erlangga dari sampingnya.
“Sebentar doang nggak boleh? aku lagi kecapekan, nih.” Wajah Erlangga memelas, dia pun menyandarkan kepala di bahu Olivia.
“Kamu telat satu jam lebih,” kata Olivia.
Perempuan itu sedang marah, terdengar dari suaranya yang rendah dan tajam. Erlangga mengintip wajah perempuan di sampingnya, kemudian dia tersenyum. “Mau makan apa hari ini?”
Tidak ada jawaban dari Olivia. Dia sudah kehilangan nafsu untuk makan. Erlangga mulai sadar dengan tingkah Olivia, tetapi pria itu justru semakin melebarkan senyumnya.
Bukannya menghibur, Erlangga justru mencubit kedua pipi Olivia hingga memerah. Setelah dilepaskan, area yang sempat dia sentuh tadi berubah menjadi merah. Erlangga langsung tertawa melihatnya, membuat Olivia semakin kesal dengan tingkah Erlangga.
“Nggak lucu! Udah telat, bukannya minta maaf, malah jahil.”
“Aku minta maaf, Tuan Putri.” Erlangga membungkukkan badannya.
“Permintaan maaf Anda tidak diterima!"
"Kalau begitu apa yang harus saya lakukan agar dimaafkan? Mentraktirmu?"
Olivia langsung tersenyum. Perempuan itu merasa tersinggung. "Aku masih punya uang untuk bayar makanan sendiri!"
"Oke, kita berangkat sekarang."
Mereka pun pergi dari tempat itu. Erlangga seperti orang yang tidak ingin kehilangan Olivia, lengan perempuan itu dia genggam erat sambil berjalan. Membuat Olivia merasakan hal yang aneh dalam dirinya.
Bukan yang pertama kali mereka bergandengan tangan, tetapi Olivia tetap merasakan getaran hebat di dalam jantungnya. Perempuan itu berjalan sambil menatap wajah Erlangga dari samping. Ukiran wajahnya yang sempurna, hidungnya yang sangat mancung, dan kedua bola mata hitam legam yang begitu tajam jika menatap, serta bibir berwarna merah muda yang menambah kesan tampan.
Tidak ada yang kurang dalam tubuhnya, tetapi perlakuannya membuatku merinding. Apa lagi ketika dia menatapku dengan tajam.
Sampailah kedua orang itu di kantin, tempat semua mahasiswa mengisi ulang energinya dengan makanan. Semilir angin yang berhembus membawa serta wangi makanan yang menggiurkan.
Erlangga membawa Olivia untuk duduk di depan warung soto, tempat mereka bertemu pertama kali. Mata Olivia yang tidak henti menatap Erlangga membuat mahasiswi yang berada di kantin merasa cemburu, mereka tidak bisa seperti Olivia yang puas memandang Erlangga dari jarak dekat.
"Kamu tunggu di sini! Aku yang pesen makanannya. Paham?" kata Erlangga.
Olivia menunjukkan kepatuhannya, dia menganggukkan kepala. Erlangga mengusap puncak kepala perempuan itu dengan lembut dan senyum yang terpancar di wajahnya. Pekikkan keras mulai terdengar dari mahasiswi yang lain, tetapi mereka berdua abaikan.
Perempuan itu langsung menghirup oksigen dengan rakus setelah Erlangga pergi. Olivia menahan napas ketika rambutnya diusap, dia belum pernah diperlakukan selembut itu. Dia hanya pria jahat yang menyamar di kampus. Jangan tertipu sama semua sikapnya.
"Lagi mikirin aku, ya?" tegur Erlangga.
Olivia terlonjak kaget saat punggungnya disentuh Erlangga. Pria itu memilih untuk duduk di sebelah kanan Olivia.
"Aku yang mikirin kamu? Aku cuma kepikiran sama hal lain."
"Apa yang kamu pikirin? Pasti mikirin nanti malem mau ngapain sama aku, kan?"
Perempuan itu mendelik. "Jangan macem-macem, ya!"
"Nanti juga kita akan melakukan itu, Liv!"
"Mungkin itu akan terjadi di mimpi kamu yang liar."
Erlangga mengangkat kedua alisnya seraya tersenyum. Pria itu langsung tidak menjawab perkataan Olivia. Namun, tangannya beralih menyentuh lengan sebelah kiri Olivia, lalu menarik tubuh Olivia agar menempel dengannya.
"Jangan jauh-jauh dari aku," bisik Erlangga tepat di telinga Olivia.
Ungkapan yang pantas saat ini adalah dunia hanya milik mereka berdua, yang lain harus membayar sewa. Tidak ada yang mereka pedulikan, termasuk dosen yang ikut gemas dengan tingkah kedua insan itu.
Erlangga sungguh membuat Olivia lupa akan dirinya yang dulu. Perempuan itu tidak akan pernah mau berdekatan dengan orang lain di kampus ini selain dosen. Namun, kali ini dia mengizinkan Erlangga memperlakukannya dengan bebas.
Sebenarnya apa yang kamu pikirkan? Mengapa kamu begitu manis saat di sekolah, tetapi menyeramkan saat di luar?
"Ini beneran cuma pesen satu, Er?" tanya si Penjual nasi goreng.
Erlangga mengambil piring yang dibawa. "Bener, Bu. Aku cuma pesen satu."
Lalu, dia berikan piring berisikan nasi goreng untuk Olivia. Perempuan itu bertanya-tanya pastinya, tetapi Erlangga sudah menjawabnya sebelum pertanyaan diajukan.
"Aku masih kenyang."
"Kalau begitu makan berdua aja. Porsi makan aku nggak sebanyak ini," sahut Olivia.
Erlangga menarik kedua sudut bibirnya. Dia mengambil alih sendok yang Olivia pegang, lalu memberikan suapan pertama untuk Olivia.
"Minta sendok lagi aja, Er!"
Pria itu langsung melunturkan senyumannya. "Buka mulut kamu!"
Olivia langsung menerima suapan pertama dari Erlangga. Dia enggan membantah perintah Erlangga lagi, sebab dia takut melihat Erlangga yang sedang marah.
Beberapa suapan telah masuk ke mulut Olivia. Erlangga sepertinya senang memperlakukan Olivia dengan manja. Apa dia mulai tertarik dengan Olivia?
Pandangan pria itu beralih ke pria yang menggunakan jaket hitam polos di dekat warung minuman. Pria itu menggunakan masker hitam dan topi hitam. Hal yang menarik perhatian Erlangga adalah logo harimau di lengan jaketnya.
Pria itu menoleh, dan memicingkan matanya ke Olivia. Erlangga langsung mendekap erat perempuan di sampingnya.
"Lang, kenapa dipeluk?" kata Olivia.
Erlangga menatap pria itu berjalan. Sesaat dia ragu untuk meninggalkan Olivia, tetapi dia harus mengejarnya. "Oliv, habisin makanan kamu. Jangan pergi kemana-mana selain di kantin! Paham apa yang aku katakan?"
"Tapi, aku mau kelas nanti jam dua, Er."
"Sebelum jam dua aku usahain udah ada di kantin lagi. Kamu harus diam di sini! Paham?"
Olivia menatap pria di depannya dengan heran. Apa yang Erlangga ingin lakukan? Mengapa dia begitu serius sekarang?
"Paham, Er.”
“Ke mana Erlangga, sih? Nyusahin aja jadi orang!” Sudah hampir jam dua siang, tetapi batang hidung Erlangga belum tampak juga. Olivia sudah geram dengan pria itu. Dia ingin sekali menjambak rambut Erlangga kalau bertemu nanti. Akhirnya, perempuan itu memutuskan untuk pergi dari kantin. “Kelamaan nungguin dia. Nanti malah nggak ikut kelas.” Dalam hati dia mengutuk pria bernama Erlangga, seandainya dia dateng, akan aku hantam wajahnya dengan tas. Padahal, sepertinya nyali Olivia belum cukup untuk melakukan itu. Ditatap dari jarak dekat saja sudah gerogi, apalagi melakukan hal yang tidak-tidak. “Eheeem!” Olivia menoleh ke sumber suara di belakangnya. Ternyata Erlangga, dia sedang mengikuti Olivia dari belakang. “Apa yang aku bilang tadi saat di kantin?” tanya Erlangga dengan tatapan mata yang menajam. Olivia menjawab setelah memutar bola matanya. “Terus aku harus nungguin kamu sampai kapan? Dua menit lagi udah masuk kelas
“Hari ini kita ke rumah kamu, ya.” Pernyataan dari Erlangga membuat Olivia mengembuskan napasnya dengan kasar. Perempuan itu tersadar, kepergiannya semalam pasti akan membuat ayahnya marah. “Bisa kita main ke mana dulu gitu? Aku juga kayaknya mau nginep di apartemen kamu lagi, Lang!” kat Olivia. Sontak pria di sampingnya langsung tertawa. Apa maksudnya Olivia ingin menginap di apartemennya lagi? Erlangga berpikir kalau Olivia ingin tidur di apartemennya, berarti Olivia sudah mau menerima Erlangga. “Kenapa? Kamu udah nggak sabar untuk tinggal sama aku, ya? Jangan-jangan kamu juga udah nggak sabar untuk tidur sekamar sama aku, Liv,” kata Erlangga yang sedang menyetir. “Anda ini terlalu percya diri banget, ya?” tanya Olivia sedikit jengkel. Erlangga terus tertawa kecil mendengarnya. “Emang itu kenyataannya, kan? Bukan percaya diri, tapi emang itu kenyataan yang terjadi.” “Kalau bisa, aku mending nggak ketemu lagi sama kamu, Er.” O
Dua orang yang tidak memiliki kejelasan status akan tinggal bersama di satu apartemen. Terdengar konyol, tetapi itu yang terjadi pada Erlangga dan Olivia. Kedua insan itu sedang berdebat masalah kamar. “Pokoknya aku mau kamar ini. Kamu harus pindah kamar!” titah Olivia. “Ini apartemen aku. Kenapa jadi kamu yang ngatur-ngatur? Kamu pindah aja ke kamar sebelah!” Erlangga kembali mendorong Olivia dari kamarnya. Setelah lolos dari kejaran anak buah Firman, mereka berdua langsung ke apartemen. Warna langit yang sudah jingga yang membuat Erlangga untuk memilih pulang. “Kenapa kamu nggak mau ngalah sama cewek, sih?” protes Olivia. “Bukannya malam ini kamu jadi pembantu aku? Mending kamu buatin aku minum aja sekarang dari pada rebutan kamar.” Erlangga menutup pintu kamar dan menguncinya. “Kenapa kuncinya kamu simpen?” tanya Olivia yang semakin sewot. “Jaga-jaga kalau kamu mau ambil kuncinya terus nyelonong masuk. Udah, sekarang kamu bu
“Kenapa diem aja?” tanya Erlangga. Mereka berdua sudah tiba di depan sebuah gedung tinggi daerah Kasablanka. Erlangga sengaja mengajak Olivia ke pertemuan kelompoknya. “Kamu masih marah sama aku?” Erlangga kembali bertanya. Dia melepas kaitan sabuk pengaman dan menghadap Olivia. “Nggak ada yang harus dimarahi. Ngapain kita ke sini?” Olivia akhirnya membuka suara, setelah perjalanan yang cukup memakan waktu dia terdiam. “Saya mau ketemu temen-temen aku. Kamu nggak apa-apa ikut aku, kan?” tanya Erlangga. Embusan kasar napas Olivia mengartikan dia tidak senang. Perempuan itu seolah kehilangan mood untuk tersenyum setelah perbuatan yang Erlangga lakukan. “Hei! Kenapa nggak mau natap aku, sih?” Erlangga membuat wajah Olivia menatapnya. “Kamu masih marah masalah tadi?” “Kamu pikir a kumasih marah atau nggak? Kalau kamu punya pikiran, seharusnya kamu tahu,” sahut Olivia. Erlangga sadar kesalahannya. Dia tidak seharusn
“Ayo, Liv! Kita pergi dari sini!” Erlangga telah keluar dari ruangan tempat mereka berkumpul. Wajahnya yang ditekuk menyadarkan Yoseph bahwa pria itu sedang dalam keadaan tidak senang. “Apa yang terjadi di dalam sana? Kalian tidak saling bunuh, kan?” tanya Yoseph yang disambut dengan pekikan kejut Olivia. Jelas saja, perempuan itu terkejut karena Yoseph mengatakan kata bunuh dengan santai. Seolah bunuh adalah hal yang mudah dilakukan. Padahal, bagi Olivia kata itu bagaikan kata yang menyeramkan. “Nggak ada yang perlu dikhawatirkan. Semuanya aman terkendali,” kata Erlangga dengan tenang. Dia menoleh ke arah Olivia dan tersenyum. “Kita pergi sekarang!” Erlangga langsung menggandeng tangan Olivia untuk segera pergi dari sana. Dia tidak mau lagi membawa Olivia ke dalam lingkungan Renoza. Dia mau Olivia tetap aman. “Kalian ngapain aja di dalam sana?” tanya Olivia di tengah perjalanan. Erlangga terus menatap lurus jalanan di depan ta
“Er, aku nggak mau tidur di kamar sebelah. Aku lebih suka pemandangan di kamar ini,” kata Olivia. Mereka masih saja bertengkar meributkan masalah kamar. Yang satu tidak mau pindah lantaran memang ini kamarnya, yang satu lagi tidak mau pindah lantaran suka dengan pemandangan di jendela. “Aku tidur di sini. Kalau kamu mau tidur di sini nggak masalah, kita bisa berbagi kasur. Emangnya kamu yakin kita hanya tidur kalau berduaan?” goda Erlangga. “Dasar cowok mesum! Kamu ini mikirnya ngeres aja, sih. Mending saya tidur di sofa dari pada harus tidur sama kamu!” bantah Olivia dengan suara yang meninggi. Yang diajak berbicara justru tertawa terbahak-bahak. Dia memang tidak pernah main-main dengan ucapannya. Hanya saja Olivia tidak mengetahui itu. “Kenapa kamu tidak mau? Bukannya kamu sudah jadi istriku secara tidak langsung? Aku sudah bilang, kalau kamu tidur di sini, itu artinya kamu menjadi istriku secara tidak langsung.” “Teori dari mana yan
Sejak kejadian tadi pagi, Olivia tidak menjawab setiap pertanyaan maupun teguran Erlangga. Dia merasa Erlangga tidak sopan karena sudah mencuri first kiss-nya. Olivia terus menjaga first kiss-nya hanya untuk pacar atau suaminya nanti. Namun, Erlangga dengan mudah mengambilnya begitu saja. “Kamu sudah rapi aja, mau ke mana?” tanya Erlangga yang sedang berdiri di depan pintu kamarnya. Olivia mengabaikan pertanyaan yang Erlangga berikan. Dia terus memantaskan dirinya untuk pergi ke kampus. Entah apa yang sedang aku rasakan. Aku merasa marah karena first kiss-ku yang diambil oleh Er, tetapi di sisi lain aku merasakan tadi adalah hal yang luar biasa. Merasa pertanyaannya diabaikan, Erlangga langsung masuk ke kamar Olivia dan membanting pintu dari dalam. BLAM! Bantingan pintu membuat Olivia terkejut bukan main sehingga dia sampai terdiam di depan cermin besar. Dia menatap pantulan Erlangga yang sedang m
“Orang-orang pada ngeliatin kita, Er. Ada apa, sih?” tanya Olivia saat sampai di area fakultas hukum. Erlangga yang tidak peduli terus saja merangkul Olivia dari samping sambil berjalan menyusuri lorong gedung. Sementara Olivia mulai risih karena menjadi pusat perhatian. Dia memang sudah terbiasa menjadi pusat perhatian, tetapi belum pernah dia menjadi pusat perhatian bersama Erlangga. “Aku ada kelas jam sepuluh, Er. Kita mau ke mana dulu sekarang?” tanya Olivia. Erlangga membawa perempuan itu ke arah gazebo belakang gedung fakultas. Tempat pria itu berkumpul bersama dua temannya, Lana dan Varo. “Ikut aku aja! Nanti kalau udah mendekati jam sepuluh, baru kamu ke kelas.” Olivia tidak menyahuti ucapan itu. Dia masih bertanya-tanya, ada apa dengan pria di sampingnya? Tadi bisa bersikap jahat bahkan sampai membuatnya ketakutan di dalam kamar. Sekarang Erlangga justru bersikap lembut dan manis. “Kirain hari ini mau bolos lagi, Er!” seru Varo yang s