Share

Part 4

Olivia tetap membungkam mulutnya sepanjang perjalanan. Perempuan itu masih terbayang wajah Erlangga yang tepat di depannya. Jangankan tatapan tajamnya, deru napas Erlangga pun masih dia ingat.

Setelah menempuh perjalanan yang lumayan lama, mereka tiba di depan bengkel Olivia pikir mereka akan datang ke kafe atau restoran. Ternyata hanya ke sebuah bengkel yang kumuh. Perempuan itu mendengkus dan memutar bola matanya.

Erlangga menatap sekilas wajah Olivia lalu melepas sabuknya. Wajah yang tadi sangar sudah memancarkan senyuman. "Ayo turun!" titah Erlangga.

Perempuan yang sudah mengganti kardigannya dengan jaket tebal berwarna hitam tidak bergerak. Dia memainkan ponsel dan mengabaikan perintah Erlangga.

"Olivia!" Kata Erlangga dengan nada rendah.

"Aku nggak mau ke dalam sana! Itu tempat kumuh. Kamu kenapa bawa aku ke tempat ini, sih? Seharusnya aku udah di rumah," bantahnya sambil menatap Erlangga dengan nyalang.

Raut wajah penuh senyum Erlangga menghilang. Pria gagah itu melepaskan sabuk pengamannya, lalu keluar dan mengitari mobil. Pintu yang dibanting ketika ditutup menyadarkan Olivia kalau Erlangga sedang marah.

"Keluar!" Erlangga membuka pintu di samping Olivia. Tatapannya semakin tajam, dia tidak sudah dibantah.

Olivia menggelengkan kepalanya. Perempuan itu memegang erat kursi agar tidak ditarik paksa oleh Erlangga. "Nggak mau! Jangan paksa aku ke tempat itu, Lang!"

Pria itu menampilkan senyum yang licik di wajah. Tangannya bergerak menyentuh wajah mulus Olivia kemudian mencengkeramnya. Dia buat wajah mereka saling bertatap. "Apa kesepakatan kita tadi? Apa kamu udah lupa dengan omongan aku tadi?" tanya Erlangga. Pria itu menatapnya dengan tajam, menyorotkan kemarahan yang dia rasakan.

Tangan Olivia sontak bergemetar. Dia ingin berontak, tetapi Erlangga begitu kuat menahan. Akhirnya, perempuan itu hanya mengeluarkan tatapan melas. "Le-lepasin aku, Er ...." 

Erlangga tidak mungkin dengan mudah melepaskan Olivia. Bagi Erlangga, menghukum orang adalah kesenangannya. Orang yang telah membuatnya marah harus dia hukum. Lihat saja seringai di wajahnya, tidak luntur bahkan semakin terlihat.

Erlangga mendekatkan wajah, mulutnya sekarang sudah tepat berada di samping telinga Olivia. Dia ingin berbisik, tetapi Olivia terus menggerakkan kepalanya. Pria itu mencengkeram wajah Olivia semakin erat sehingga dia mulai berhenti bergerak. "Jawab dulu! Apa yang udah kita bicarain tadi?"

Olivia ingin menjawab, tetapi mulutnya tidak bisa dibuka. Kedua tangan Erlangga membuat tulang rahangnya tidak bisa bergerak. "Iya ... aku nggak boleh ngelawan," sahutnya dengan mulut yang tidak bergerak.

Akhirnya, pria itu melepaskan cengkeramannya. Dia juga melepaskan sabuk pengaman yang Olivia pakai. Tatapan mereka beradu, pria itu tersenyum miring. "Itu balasannya kalau kamu ngebantah omongan aku. Cepet turun!" titahnya.

Olivia langsung mengikuti perintah Erlangga. Dia turun dan berdiri dengan wajah tertunduk. Pria itu tersenyum, merasa senang karena sudah membuat Olivia ketakutan. Dia merangkul Olivia dan mengusap rambutnya dengan penuh kelembutan.

"Good girl. Aku lebih suka sama perempuan penurut. Jadi kamu harus nurut sama aku!" Erlangga berbisik di telinga Olivia yang membuatnya merinding. Suara berat khas Erlangga membuat Olivia lupa kalau dia tidak suka disuruh-suruh.

"Ayo jalan! Aku nggak mau lama-lama di sini," kata Olivia yang nadanya semakin mengecil.

Mereka berjalan memasuki bengkel kecil nan kumuh itu. Olivia berjalan sambil mengangkat celananya tinggi-tinggi. Gimik muka jijik dari wajahnya tidak mampu dia sembunyikan.

Erlangga membawa Olivia ke dalam bengkel. Awalnya dia bingung, mengapa Erlangga membawanya sampai dalam? Apa yang akan dia lakukan sebenarnya? Namun, pertanyaan Olivia terjawab setelah Erlangga membuka pintu kayu yang lapuk dengan cat pilok di depannya. Bukan bengkel biasa, ternyata Erlangga membawanya ke sebuah tempat yang sudah Olivia ingin datangi sejak lama. Ruangan yang dipenuhi dengan bau alkohol yang menyeruak, asap rokok yang sesekali menghampiri, dan musik keras yang berdentuman.

Bibir Olivia tidak bisa menahan untuk tersenyum. Hatinya yang sempat ciut lantaran perlakuan Erlangga tadi mulai kembali normal. Dia menoleh menatap Erlangga yang juga sudah tersenyum menatapnya. "Kamu emang gila! Kalau tau kamu mau bawa aku ke sini, nggak akan aku nolak."

Kedua alis Erlangga terangkat. Dia pun tertawa kecil menanggapi ucapan Olivia. Erlangga tahu kalau Olivia ingin datang ke tempat ini. Perempuan itu menginginkannya sejak lama, dan Erlangga telah mengamatinya juga. Wajahnya mendekat ke telinga Olivia. "Kamu suka tempat ini nggak?"

Perempuan itu mengangguk mantap. Dia mendekatkan mulutnya ke telinga Erlangga. Kakinya sedikit berjinjit agar bisa meraihnya. "Jelas suka banget." 

Tanpa buang waktu lagi, Erlangga mengangkat tubuh Olivia ke tengah ruangan. Mereka berdua langsung berdansa mengikuti dentuman musik DJ yang menggema. Olivia terlihat sangat menikmati suasana. Tangannya ikut bergerak sambil tubuhnya meliuk-liuk. Matanya yang terpejam membuat Erlangga yakin kalau Olivia menikmati suasana.

Pria itu berjalan mengambil dua botol yang diberikan barista padanya. Satunya dia berikan untuk Olivia. "Minum aja. Kamu pasti suka!"

Perempuan itu menenggak langsung minumannya. Namun, setelah itu mulutnya merasakan hal aneh. Dia menatap Erlangga yang sedang minum juga. "Ini apaan, Er?" tanya Olivia.

Erlangga kembali mendekatkan wajahnya. "Udah kamu minum aja. Itu enak, kok," jawabnya.

Olivia kembali meminumnya, kali ini rasanya sudah mulai diterima oleh Olivia. Dia menikmatinya bahkan sampai setengah habis.

***

Erlangga menarik tubuh Olivia menepi. Pria itu duduk di bangku dekat bar lalu menarik tubuh Olivia agar duduk di pangkuannya. Wajah mereka berhadapan, kesadaran Olivia mulai menghilang.

"Kenapa nggak joget lagi?" tanya Olivia yang sudah terpejam matanya.

Arloji di tangan Erlangga sudah menunjuk angka dua belas. Sudah waktunya mereka pulang. Olivia juga sudah semakin tidak sadar. Namun, Erlangga takut kalau Ryuzen masih di luar  untuk mengintai mereka.

"Mau joget yang lain?" tanya Erlangga. Pria itu berniat mengajak Olivia ke tempat yang lebih aman. Alih-alih mengajak Olivia untuk seru-seru, Erlangga hanya ingin melindungi perempuan di depannya.

"Apa aja boleh asalkan aku seneng, Er." Kepala Olivia jatuh di dada Erlangga. Dia memeluk tubuh Erlangga dengan erat.

Pria itu senang sekali menggoda Olivia. Bibir Erlangga tersenyum lebar. Kemudian dia mendekatkannya ke telinga Olivia. "Yakin mau sekarang?"

Tidak ada jawaban dari Olivia, Erlangga memutuskan untuk membawa perempuan itu pulang. Pria itu mengangkat tubuh Olivia dan membuat kedua paha perempuan itu melingkar di pinggangnya. Erlangga berjalan meninggalkan diskotik dengan senyum yang merekah.

Pria itu menjatuhkan tubuh Olivia di kursi samping pengemudi. Setelah memasang sabuk pengaman, wajah Erlangga mendekat ke pipi Olivia. Dia mengecupnya sengan lembut. "Sekarang cukup segitu. Lain kali kita akan berbuat yang lebih."

Dia berusaha menahan hasratnya untuk tidak menyentuh Olivia sejak tadi. Dalam hati, dia terus berteriak kalau dia tidak kuat menahan nafsunya. Namun, belum saatnya dia melakukan itu. Olivia adalah tuannya, orang yang seharusnya dia lindungi.

Sepanjang perjalanan pulang ke rumah kediaman Mahardika, perempuan itu tertidur dengan nyenyak. Guncangan, klaksok, bising di luar mobil pun tidak mampu membuatnya sadar. Erlangga sempat heran, perempuan ini baru meneguk satu botol minuman, tetapi sudah sangat mabuk.

Erlangga menghentikan mobil di depan gerbang putih. Dia menoleh dan menatap perempuan di sampingnya dengan tersenyum. Cantik, perempuan itu cantik di mata Erlangga, dia ingin sekali lagi mengecup pipi Olivia. Namun, dia tidak mau terlarut dalam nafsunya. Akhirnya, Erlangga hanya bisa mengusap rambut Olivia dengan telapak tangan. "Mau sampai kapan kamu tidur di sini? Udah sampai depan rumah."

Perempuan itu tidak juga bangun dari tidurnya. Sepertinya dia sangat kelelahan. Tangan Erlangga beralih memainkan hidungnya. Dia mainkan benda itu agar Olivia bangun. Setelah kelopak mata Olivia bergerak, Erlangga langsung mendekatkan wajah mereka berdua. "Puas tidurnya?" tanya Erlangga saat mata Olivia terbuka sempurna.

Olivia terkejut melihat wajah Erlangga yang terlalu dekat dengannya. Perempuan itu tidak lagi memundurkan kepala. Erlangga sedang tidak marah, dia sedang tersenyum, Olivia jadi tidak perlu takut. "Di mana ini?"

Erlangga melirik ke gerbang yang berada di samping Olivia. Perempuan itu mengikuti arah pandang Erlangga. "Di depan istana kamu," jawab Erlangga.

Olivia kembali menoleh dan menatap penuh selidik pada pria di depannya. Dia heran, ada yang tidak beres dengan Erlangga. Kedua alis Olivia bertaut, mengisyaratkan kalau perempuan itu sedang berpikir. "Kenapa kamu bisa tahu rumah aku? Kamu nggak ngikutin aku, kan? Jangan macem-macem, Erlangga! Aku bisa suruh ayah aku untuk sewa orang sebagai pelindung."

Pria itu tergelak. Dia ingin sekali berkata kalau dia adalah pria yang disewa oleh ayahnya sebagai pelindung. Namun, Erlangga tidak bisa melakukan itu. Pria itu akhirnya mulai berbicara dengan tenang. "Aku nggak perlu ngikutin untuk tahu di mana rumah kamu, Liv."

Olivia kembali mendengar suara Erlangga yang rendah. Dia semakin tidak kuat menahan dirinya yang tertarik dengan tatapan dan suara Erlangga. Sikap pria itu juga mampu membuatnya tertarik. Belum ada pria yang berhasil menguasainya, baru Erlangga seorang.

"Bagaimana malam ini? Apa yang kamu rasain?" tanya Erlangga.

Perempuan itu tersenyum puas. Dia melepaskan sabuk pengaman agar bisa lebih leluasa bergerak. "Tadi itu lumayan menyenangkan, tapi aku belum terlalu nikmatin."

Jawaban Olivia membuat Erlangga mendengkus. Dia tidak sangka kalau jawaban itu yang keluar dari mulut Olivia. "Kamu memang perempuan sombong seperti kata orang. Besok aku ajak ke tempat yang lebih seru. Mau ikut nggak?"

Olivia tidak perlu menahan malu untuk tersenyum di hadapan Erlangga. Perempuan itu mengangguk mantap. Dia ingin mengikuti ke mana pun Erlangga pergi. "Ke mana pun kamu pergi, aku mau ikut."

Kedua sudut bibir Erlangga terangkat. Rencana pria itu berhasil untuk membuat Olivia jatuh ke dalam hidupnya. Dia menjauhkan wajahnya, lalu bersandar di kursi. "Kamu boleh ikut aku ke mana pun, tapi dengan satu syarat."

Olivia melunturkan senyumannya. Dia memukul lengan Erlangga karena kesal. "Kenapa harus pakai syarat? tadi kamu malah maksa aku untuk ikut."

"Yang tadi itu semacam percobaan. Kalau kamu ketagihan, kamu harus melakukan syarat yang aku kasih. Gimana?" Pria itu mengangkat sebelah alisnya.

Licik, sungguh licik. Dia membuat perempuan itu kesenangan, lalu menawarkan kesenangan yang lain dengan syarat lain. Perempuan itu mendengkus kesal. "Aku harus ikut tanpa syarat. Apa pun yang kamu katakan sebagai syarat, aku nggak mau ikutin hal itu." 

Pria tampan itu tidak kehabisan akal. Dia masih bisa tersenyum saat Olivia menegaskan untuk tidak melakukan persyaratan. Wajahnya menoleh, menampilkan raut muka yang penuh dengan senyum miring. "Terserah, saya nggak peduli apa yang kamu katakan. Kalau kamu mau ikut, lakukan syarat yang saya kasih," sahut Erlangga.

Sesuai dugaannya, Olivia terpaksa menurut. Perempuan itu menghela napas kasar dan memukul lengan Erlangga sekali lagi. "Apa syaratnya?" 

Dia masuk lagi ke dalam perangkap yang Erlangga buat. Olivia tidak tahu kalau semua ini adalah rencana Erlangga. Dia tidak akan bisa keluar karena tidak akan ada jalan kembali, kecuali menuruti semua perintah Erlangga.

"Kamu harus melakukan apa pun perintah aku mulai dari sekarang," ucapnya dengan nada serius.

Kerutan di dahi Olivia menandakan kalau dia sedang tidak paham. Olivia sudah menuruti apa yang Erlangga perintahkan. Perempuan itu tidak mengerti maksud Erlangga, tetapi dia punya firasat buruk tentang itu.

Keheningan di dalan kabin membuat deru napas kedua insan itu terdengar. Erlangga menyadari, kalau perempuan di sampingnya sedang menentukan pilihannya. Pria itu mendesak Olivia dengan menghitung mundur. "Lima, empat, tiga, dua ...."

"Oke! Aku mau lakuin semuanya." Olivia berteriak kencang, menyela ucapan Erlangga.

Pria itu tersenyum puas. Setelah itu dia tertawa kecil. Namun, dia tidak mau melupakan hukuman. Pria itu tersenyum miring menatap Olivia. Yang ditatap justru ketakutan. "Oke, kita sepakat. Apa yang terjadi jika kamu bantah ucapan aku?"

Tanpa pikir panjang, Olivia menjawabnya dengan mantap. "Apa pun, aku nggak akan ngebantah semua perintah kamu. Mungkin hanya bantah kecil, terus nurut," jawabnya. 

Erlangga berhasil membuat Olivia masuk ke dalam perangkapnya lebih dalam. Pria itu menertawakan Olivia di dalam hati. Sabuk pengaman yang dia lepas kembali dia kencangkan. "Malam ini kamu tidur di apartemen aku!"

"Apa?!" pekik Olivia. Dia ingin membantah, tetapi baru saja berjanji untuk tidak membantah. Lengan Olivia langsung gemetar disertai keluarnya keringat di sekitar dahi. apa yang dia takutkan akan terjadi. "Aku nggak biasa tidur di tempat orang lain, Er."

Jawaban Olivia tidak mampu meluluhkan hati Erlangga. Pria itu kembali menyalakan mesin mobil dan mengunci semua pintunya. Matanya melirik dengan tajam dan kedua jemarinya memegang erat setir mobil. "Kalau begitu kamu harus mulai terbiasa untuk tidur di tempat saya. Suka atau tidak, kamu harus terus berada di sebelah aku! Paham?"

Kali ini Olivia melihat tatapan kemarahan dari netra hitam legam pria di dekatnya. Erlangga juga mengucap dengan penuh penekanan. Olivia ketakutan, tangannya mengepal untuk mengurangi rasa gemetar di tubuh. "Aku harus izin dulu, Er."

"Cukup mengabari lewat telepon. Kamu nggak boleh keluar dari mobil atau kamu mau dapat hukuman dari saya?" kata Erlangga.

Lidah Olivia begitu kelu untuk menjawab perkataan Erlangga. Kalau saja dia tidak ketakutan, mungkin dia akan menolak. Sayangnya, aura Erlangga yang sedang serius lebih mendominasi. Lagi pula dia sudah berjanji untuk menurut juga.

"Paham apa yang aku bilang?!" Erlangga menarik tengkuk kepala Olivia agar menghadapnya. "Apa harus aku kasih pelajaran supaya kamu tahu siapa aku sebenarnya?"

Perempuan itu menggelengkan kepalanya. Napasnya terburu-buru, dan terus mengalihkan pandangan dari pria di depannya. "Aku ... aku paham, Er."

"Good girl."

Sebuah tawaran menarik yang Olivia ajukan tampaknya tidak akan semulus yang dia bayangkan. Perempuan itu terjerembab ke dalam lubang yang lawannya berikan. Sialnya, Erlangga yang dia kenal kemarin berbeda dengan Erlangga yang sekarang.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status