Dua orang yang tidak memiliki kejelasan status akan tinggal bersama di satu apartemen. Terdengar konyol, tetapi itu yang terjadi pada Erlangga dan Olivia. Kedua insan itu sedang berdebat masalah kamar.
“Pokoknya aku mau kamar ini. Kamu harus pindah kamar!” titah Olivia.
“Ini apartemen aku. Kenapa jadi kamu yang ngatur-ngatur? Kamu pindah aja ke kamar sebelah!” Erlangga kembali mendorong Olivia dari kamarnya.
Setelah lolos dari kejaran anak buah Firman, mereka berdua langsung ke apartemen. Warna langit yang sudah jingga yang membuat Erlangga untuk memilih pulang.
“Kenapa kamu nggak mau ngalah sama cewek, sih?” protes Olivia.
“Bukannya malam ini kamu jadi pembantu aku? Mending kamu buatin aku minum aja sekarang dari pada rebutan kamar.” Erlangga menutup pintu kamar dan menguncinya.
“Kenapa kuncinya kamu simpen?” tanya Olivia yang semakin sewot.
“Jaga-jaga kalau kamu mau ambil kuncinya terus nyelonong masuk. Udah, sekarang kamu buatin aku minum!” seru Erlangga.
Perempuan itu berdecak. Dia tidak mau menjadi pembantu Erlangga. Namun, dia sudah berjanji tadi. “Kenapa, sih, kamu nggak buat minum sendiri aja? Dasar pemalas!”
Mata Erlangga melirik. Dia sungguh senang membuat Olivia merajuk. Dia langsung tergelak. “Inget, malam ini sampe besok kamu akan jadi pembantu aku! Kalau kamu nggak mau nurut, bisa aja aku usir dari sini.”
“Ya udah, usir aja aku dari sini!” sahut Olivia lantang.
“Silakan. Pintu keluar di sana. Kamu bisa keluar sendiri, kan?” tantang Erlangga.
Perempuan itu terdiam. Dia tidak mungkin langsung pergi begitu saja.
“Kenapa diem? Nggak ada tempat lain?” tanya Erlangga.
Benar, Olivia tidak berkutik di hadapan Erlangga. Bisa dibilang, Erlangga bisa menebak kelemahan Olivia.
“Sekarang mending kamu nurut sama perintah aku!” Erlangga mengalihkan pandangan ke layar laptop.
Akhirnya, Olivia beranjak ke dapur dengan wajah yang ditekuk. Wajar saja, dia selama ini dilayani oleh para pembantu di rumah. Sekarang justru dia yang melayani Erlangga, pria yang baru dia kenal tiga hari lalu.
“Jangan lama-lama!” Erlangga berteriak.
Olivia kembali mendengkus. Bibirnya mencibir dengan mata yang mendelik. Sekali lagi dia harus mengatakan kalau dia menutuk Erlangga. “Dasar cowok resek! Apa yang harus aku buat?” tanya Olivia pada diri sendiri.
Lemari pendingin hanya tersedia beberapa botol whisky. Di bagian bawah ada beberapa minuman kaleng bersoda. Pilihannya jatuh ke minuman bersoda.
“Iya sebentar!” pekik Olivia dari dapur.
Olivia berjalan menghampiri Erlangga dengan dua kaleng di tangan. Dia lempar kaleng itu dan ke atas lipatan kaki Erlangga. Hampir saja kaleng itu mengenai masa depannya.
“Kenapa kamu bawa ini?” tanya Erlangga.
“Nggak ada minuman yang cocok diminum selain itu. Lagian kamu banyak minta banget, sih.” Olivia mengabaikan tatapan Erlangga dan memilih untuk menenggak minuman kaleng.
“Ajy suruh kamu untuk buatin minuman, Olivia! Kenapa kamu malah ambil minuman kaleng?” tanya Erlangga tak senang.
Perempuan itu menyudahi aksinya. “Kebanyakan minta banget, sih! Udah sekarang minum aja!”
Pria Itu langsung meletakkan kalengnya atas meja dan berdiri. Dia melangkah mendekati Olivia yang berdiri di dekat dinding.
“Apa lagi? Kamu mau apa lagi?” tantang Olivia.
Erlangga menggenggam lengan kanan Olivia, lalu dia mengambil kaleng di tangannya. “Kamu udah buat aku kesel, Liv!” kata Erlangga dengan nada yang direndahkan.
Tatapan mata Erlangga membuat Olivia terdiam. Pria di depannya memang sedang marah. Dia tidak lagi bercanda seperti tadi. Seharusnya Olivia sadar, inilah sikap asli Erlangga.
“Terus aku harus apa, Er? Aku nggak tau mau buat apa tadi,” ungkapnya.
Pria itu membuat Olivia terpojok di tembok. Dia menarik lengan kiri Olivia dan menyatukan kedua tangan di atas kepalanya.
“Lepasin, Er! Kamu mau apa?” tanya Olivia ketakutan.
Erlangga memajukan wajahnya lebih dekat dengan wajah Olivia. Hidungnya sudah semakin dekat dengan pipi kiri Olivia. Napasnya terdengar jelas.
“Saat ini aku bisa lakuin apa aja. Kamu mau apa emangnya?” bisik Erlangga.
Olivia menggeleng kaku. Lagi-lagi dia dibuat ketakutan dengan pria di depannya.
“Kamu kenapa diem aja? Lihat aku!” bisik Erlangga.
Olivia tidak menggerakkan kepalanya sedikit pun. Dia bahkan enggan menatap mata legam Erlangga di depannya.
“Lihat aku dibilang!” Erlangga membuat Olivia menatap dirinya. Tatapan tajam Erlangga sangat menusuk. “Apa yang aku bilang sebelumnya?”
“Ya-yang mana, Er?” tanya Olivia gelagapan. Perempuan itu ketakutan. Kalau bisa, dia sudah lari dari sana secepat mungkin.
“Hal yang sering saya tekankan sama kamu,” jawab Erlangga.
Olivia berusaha keras menelan salivanya. Dia sungguh ketakutan dibuat Erlangga. Tangannya dikekang, wajah yang berdekatan. Pada posisi ini, Erlangga dapat melakukan apa saja sekarang.
“A-aku ... ha-harus nurut sa-sama kamu, Er,” sahut Olivia terbata-bata.
Erlangga tersenyum puas. “Lantas apa yang kamu lakukan sekarang?”
“Er aku minta maaf.”
“Apa maafmu masih berarti sekarang?”
Bulir keringat di wajah Olivia semakin terlihat nyata. Dia bingung, tidak tahu harus berbuat apa. Yang dia pikirkan hanya meminta maaf, tetapi Erlangga menolaknya.
“Aku harus apa?” tanya Olivia dengan pokamusnya.
Tangan Erlangga menjulur memegang kedua pipi Olivia. Dia cengkeram pipi tersebut sehingga pemiliknya kesakitan. “Saya penasaran sama rasanya bibir yang banyak bicara ini.”
Olivia hampir menangis. Dia tidak bisa memberontak. “Er maafin aku.”
“Apa? Kamu bilang mau merasakan bibirku juga?” tanya Erlangga dengan nada meledek.
Perempuan itu berusaha menggeleng. Namun, kekangan tangan Erlangga di wajah begitu menahannya. “Please, maafin aku, Er.”
Tangan yang tadi mencengkeram sudah dilepas. Kini Erlangga mengusap benda merah muda kenyal di wajah Olivia dengan ibu jarinya. Wajahnya semakin mendekat.
“Mau mencobanya?”
Percuma Olivia menolak, dia pasti akan menuruti kemauan Erlangga juga pada akhirnya. Dia pun terdiam, enggan untuk menjawab.
Diamnya Olivia berarti dia setuju. Satu kecupan lembut Erlangga daratkan. Dalam hatinya dia bersorak.
“Hari ini aku maafkan kamu. Kalau suatu saat nanti kamu melanggar, aku akan kasih hukuman. Apa kamu sudah tidak sabar dengan hukuman itu, ya?” Erlangga menampilkan senyum miringnya.
“Tolong maafin aku, Er. Lepasin tangan aku ...,” pinta Olivia.
Erlangga langsung melepas tangan Olivia yang ditahan. Perempuan itu langsung berlari ke dapur tanpa peduli dengan Erlangga.
“aku masih bisa menahan untuk kali ini, Liv.” Erlangga tersenyum.
Sementara di dapur, Olivia sedang berusaha memperbaiki kesalahannya. Dia sudah meletakkan gelas besar di atas meja. Tangannya memotong buah mangga.
“Kamu sedang apa Olivia?” teriak Erlangga dari depan. Olivia tidak menjawab, dia terburu-buru melakukan aksi membuat jusnya.
Setelah semua bahan dihancurkan oleh blender, Olivia menuangnya ke dalam gelas. Dia mengantarkan jus itu untuk Erlangga. Belum sampai dia ke ruang tadi, Erlangga sudah berdiri bersandar di pintu dapur dengan tangan yang dilipat.
“Itu untuk aku?” tanya Erlangga.
Olivia menyodorkan gelas berisi jus mangga. “Ini minumannya.”
Tentu saja Erlangga menerima. Dia minum sedikit demi sedikit jus buatan Olivia.
“Hei!” kata Erlangga.
Yang dipanggil justru menunduk. Dia sepertinya ketakutan menatap Erlangga.
“Angkat wajah kamu sebelum aku yang mengangkatnya!” titah Erlangga.
Wajah Olivia terangkat dengan kaku. “Ke-kenapa?”
“Ini enak. Kamu tambahin apa di dalamnya?”
Jantung Olivia seolah mencelus mendengarnya. Dia pikir Erlangga akan protes.
“Kamu nggak tambahin racun untuk membunuh aku, kan?” tanya Erlangga.
Jawaban itu harus Olivia tanam di otak. Mungkin suatu saat nanti, Olivia akan melakukannya.
“Malam ini kamu temenin aku pergi!”
Di hadapannya, ada seorang pria yang sedang tidak sadarkan diri. Tangan kanannya diinfus sedangkan punggungnya diperban. Luka tusuk yang pria itu dapatkan tidak terlalu dalam, tetapi berhasil menghabiskan banyak darahnya.Erlangga terus bertahan untuk sadar dan menemani Olivia di perjalanan. Hingga akhirnya dia tidak kuat menahan kesadarannya sampai akhirnya dia tidak sadarkan diri. Justru itu yang membuat Olivia semakin ketakutan.Sekarang, Olivia sudah merasa lebih tenang. Pria yang dia khawatirkan masih belum sadar. Sejak tiga jam lalu, Erlangga masih memejamkan matanya seolah tidak ada yang menunggunya untuk bangun."Ada yang perlu kita bicarakan." Ruhn mem
“Semakin menyenangkan saja pertunjukan drama kali ini. Jadi kamu tidak akan menikah dengan Erlangga setelah ini, Liv? Kasihan sekali dirimu. Kamu sudah hamil, tetapi pria yang menghamili tidak mau bertanggung jawab,” ucap Jakob sambil tersenyum lebar. Dia melirik ke arah Firman dan berkata, “Apa yang akan Anda lakukan pada Erlangga, Pak Tua?”Firman sudah tidak mau berkata apa-apa. Dia sudah muak dengan Jakob dan hal yang sedang dia rasakan. Namun, dia tidak bisa lepas begitu saja. Dia tidak bisa melepaskan dirinya dan juga tidak bisa berbuat apa-apa. Firman merasa sangat tidak berguna sekarang.“Anda benar-benar pria paling berengsek yang pernah saya temui, Erlangga. Saya tidak sangka kalau Anda berani merusak putri saya dan ingin pergi begitu saja. Ternyata memang benar ucapan saya tadi kalau Anda adalah mafia yang licik,” jawab Firman.“Ya, dia memang licik, Pak Tua. Dia bahkan lebih licik dari pada saya. Beruntung se
“Dia adalah Renoza yang sebenarnya. Dia adalah pria yang sengaja saya jadikan kambing hitam setidaknya sampai saya tiba di rumah Anda, Pak Tua.” Jakob tertawa cekikikan.Kalau tahu yang sebenarnya, tidak mungkin Firman akan menahan Erlangga tadi. Dia mungkin akan menuruti semua perintah Erlangga demi keselamatan dirinya dan keluarga. Sayangnya, Jakob begitu memengaruhi pikiran Firman hingga dia terperdaya.“Sepertinya Anda juga tidak tahu apa yang membuat putri Anda datang ke Paris, ya? Tidak masalah, saya akan menjelaskannya pada Anda juga,” kata Jakob.Firman terus menatap wajah Jakob yang dekat padanya. Yang ditatap tidak berhentinya tertawa jahat. “Dia datang untuk meminta pertanggungjawaban dari calon suaminya, Pak Tua.”“Cukup, Jakob! Semua itu hak saya untuk mengatakannya pada keluarga! Bukan hak Anda sebagai orang asing yang jahat dan licik!” pekik Olivia dengan suara yang tinggi.Tria mulai m
Kehadiran Jakob dan para pengikutnya ke dalam rumah Firman Mahardika membuat semua keadaan berubah. Firman, pria tua yang seharusnya menjadi tuan di rumah itu karena seharusnya dilindungi, sekarang justru menjadi tahanan Jakob. Tidak hanya Firman Mahardika yang dia tahan, istri dan anaknya juga ikut ditahan secara paksa.Erlangga sudah tidak terkejut dengan semua yang terjadi saat ini padanya dan juga pada keluarga Mahardika. Dia sudah memperkirakannya sejak tadi ditahan oleh Firman. Pria yang sedang menikmati pertunjukan drama di depannya itu sudah tahu kalau ada orang yang menuduh dirinya dan menjebaknya sekarang.Sudah terbukti yang ada di dalam benaknya. Pasti ada anggota mafia Ryuzen yang menghasut Firman. “Jangan salahkan saya yang nggak memberikan peringatan. Saya terus bertanya, tetapi Anda memilih untuk ingin membunuh saya.”“Diam kamu! Siapa kamu sebenarnya?” Firman yang sudah kehabisan kesabaran terus menarik uratnya ketika ber
Seluruh manusia yang berada di dalam ruangan itu terkejut. Seorang Erlangga dengan tenang menghadapi Firman. Dia tanpa rasa takutnya membalas ucapan Firman Mahardika saat banyak penjaganya sedang berada di ruangan yang sama pula. Erlangga dengan sangat berani dia menyunggingkan senyum miringnya.Olivia bahkan sampai menutup mulut. Dia yang sangat terkejut. “Apa maksudnya semua ini, Yah?”Firman menoleh ke belakang dan menatap putri semata wayangnya. Tatapan mata Olivia yang semakin sendu membuat pria tua itu tidak tega. Awalnya Firman ingin marah pada anaknya lantaran ceroboh dengan pria yang bisa mencelakainya. Namun, Firman urungka karena tidak tega.“Dia ini seorang mafia yang sangat licik, Liv. Dia adalah seorang yang bisa membunuh bahkan hanya dengan tangan kosong. Dia bisa saja membunuh semua orang yang ada di sini hanya untuk kemenangannya seorang. Orang yang sudah kamu dekati selama ini hanya menginginkan harta Ayah, bukan ketulusan men
"Kita nggak perlu ke rumah aku, Er. Aku hanya harus telepon Ayah aja. Nanti dia yang akan nyuruh anak buahnya untuk berhenti ganggu kita. Nanti kita akan ke rumah aku kalau keadaannya sudah aman semuanya. Baru kita rencanain bagaimanacame outkalau kita akan menikah karena tragedi ini," jelas Olivia yang mulai murung. Erlangga tidak habis pikir dengan jalan pikir Olivia. Perempuan itu menyangka kalau semua yang terjadi adalah ulah anak buah ayahnya. Pria itu mendengkus dan menggelengkan kepalanya dengan kasar. "Apa yang kamu maksud anak buah ayah kamu? Apa kamu nggak sadar kalau itu semua bukan anak buah ayah kamu? Mereka semua ingin nyelakain kamu. bagaimana bisa mereka jadi anak buah ayah kamu?" Olivia tersenyum meremehkan dan membuka layar ponselnya. Dia menunjukkan isi pesan singkat yang sudah diterima dari ayahnya kepada Erlangga. Ayah: Kamu harus jaga diri! Kalau tidak aman, segera kembali ke ru
Mobil berhenti di parkiran apartemen Erlangga. Olivia yang senang karena akhirnya dapat bertemu dengan Erlangga pun tidak kuasa menahan senyumnya. Dia terus saja tersenyum sepanjang perjalanan. Mereka pun berjalan menuju unit apartemen milik Erlangga. Tangan mereka bertaut seolah tidak mau melepas satu sama lain. Siapa yang berani memisahian mereka berdua? Erlangga akan maju menghadapinya. Dia sudah siap dengan keahlian bela dirinya untuk menghajar orang yang mengganggu hidupnya.
Setelah perdebatan alot dengan ayahnya, Olivia akhirnya memutuskan panggilan itu. Dia tidak mau berbicara dengan ayahnya untuk beberapa saat ini. Dia masih sulit untuk percaya kalau ayahnya sendiri yang merencakan penyerangan itu.“Aku nggak nyangka kalau Ayah setega ini. Orang yang Oliv sayang bisa terluka gara-gara kekejaman Ayah. Apa Ayah nggak seneng lihat Oliv bahagia? Apa bahagia di mata Ayah?” gerutu Olivia di ruang tunggu.Dia sejak tadi sudah murung. Erlangga sudah terluka dan itu akibat ulah ayahnya. Sampai sekarang Olivia masih bingung dengan motif yang ayahnya berikan. Bagaimana bisa dia memerintahkan orang untuk melakukan penyerangan terhadap dirinya bahkan sampai ke Paris?“Apa yang sebenarnya Ayah lakukan? Mengapa Ayah begitu terlihat tidak menyukai Erlangga?”Hampir satu jam Erlangga di dalam ruangan sana tanpa ada kabar dari perawat atau dokter. Olivia takut kalau Erlangga kehabisan darah. Dia melihat sendiri kalau
Seketika tubuh Erlangga membeku ketika letupan pistol itu memekakkan telinga mereka berdua. Olivia yang duduk di depannya juga membelakkan matanya. Pria itu melirik ke arah lengan kanannya yang sudah mengeluarkan darah dari sana.Olivia yang tidak tega ingin sekali melindungi Erlangga. Perempuan itu pun menarik tubuh Erlangga agar ikut bersembunyi di balik tembok bersamanya. Bagian lengan yang tadi mengeluarkan darah sudah ditahan oleh telapak tangan Erlangga. Namun, tetap saja masih mengeluarkan darah.“Kreeet!” Olivia merobek pakaiannya untuk digunakan membebat tangan Erlangga. Dia ikat luka itu dengan niat agar darahnya berhenti mengalir. Setelah selesai, Olivia mengeratkan pegangan tangannya dengan Erlangga.“Aku nggak kenapa-kenapa. Ayo kita pergi dari sini,” kata Erlangga.Saat itu juga Olivia menggelengkan kepalanya dengan wajah yang penuh keyakinan. Dia berniat melindungi Erlangga dengan cara yang dia pikirkan sendiri.