Share

Part 9

Dua orang yang tidak memiliki kejelasan status akan tinggal bersama di satu apartemen. Terdengar konyol, tetapi itu yang terjadi pada Erlangga dan Olivia. Kedua insan itu sedang berdebat masalah kamar.

“Pokoknya aku mau kamar ini. Kamu harus pindah kamar!” titah Olivia.

“Ini apartemen aku. Kenapa jadi kamu yang ngatur-ngatur? Kamu pindah aja ke kamar sebelah!” Erlangga kembali mendorong Olivia dari kamarnya.

Setelah lolos dari kejaran anak buah Firman, mereka berdua langsung ke apartemen. Warna langit yang sudah jingga yang membuat Erlangga untuk memilih pulang.

“Kenapa kamu nggak mau ngalah sama cewek, sih?” protes Olivia.

“Bukannya malam ini kamu jadi pembantu aku? Mending kamu buatin aku minum aja sekarang dari pada rebutan kamar.” Erlangga menutup pintu kamar dan menguncinya.

“Kenapa kuncinya kamu simpen?” tanya Olivia yang semakin sewot.

“Jaga-jaga kalau kamu mau ambil kuncinya terus nyelonong masuk. Udah, sekarang kamu buatin aku minum!” seru Erlangga.

Perempuan itu berdecak. Dia tidak mau menjadi pembantu Erlangga. Namun, dia sudah berjanji tadi. “Kenapa, sih, kamu nggak buat minum sendiri aja? Dasar pemalas!”

Mata Erlangga melirik. Dia sungguh senang membuat Olivia merajuk. Dia langsung tergelak. “Inget, malam ini sampe besok kamu akan jadi pembantu aku! Kalau kamu nggak mau nurut, bisa aja aku usir dari sini.”

“Ya udah, usir aja aku dari sini!” sahut Olivia lantang.

“Silakan. Pintu keluar di sana. Kamu bisa keluar sendiri, kan?” tantang Erlangga.

Perempuan itu terdiam. Dia tidak mungkin langsung pergi begitu saja.

“Kenapa diem? Nggak ada tempat lain?” tanya Erlangga.

Benar, Olivia tidak berkutik di hadapan Erlangga. Bisa dibilang, Erlangga bisa menebak kelemahan Olivia.

“Sekarang mending kamu nurut sama perintah aku!” Erlangga mengalihkan pandangan ke layar laptop.

Akhirnya, Olivia beranjak ke dapur dengan wajah yang ditekuk. Wajar saja, dia selama ini dilayani oleh para pembantu di rumah. Sekarang justru dia yang melayani Erlangga, pria yang baru dia kenal tiga hari lalu.

“Jangan lama-lama!” Erlangga berteriak.

Olivia kembali mendengkus. Bibirnya mencibir dengan mata yang mendelik. Sekali lagi dia harus mengatakan kalau dia menutuk Erlangga. “Dasar cowok resek! Apa yang harus aku buat?” tanya Olivia pada diri sendiri.

Lemari pendingin hanya tersedia beberapa botol whisky. Di bagian bawah ada beberapa minuman kaleng bersoda. Pilihannya jatuh ke minuman bersoda.

“Iya sebentar!” pekik Olivia dari dapur.

Olivia berjalan menghampiri Erlangga dengan dua kaleng di tangan. Dia lempar kaleng itu dan ke atas lipatan kaki Erlangga. Hampir saja kaleng itu mengenai masa depannya.

“Kenapa kamu bawa ini?” tanya Erlangga.

“Nggak ada minuman yang cocok diminum selain itu. Lagian kamu banyak minta banget, sih.” Olivia mengabaikan tatapan Erlangga dan memilih untuk menenggak minuman kaleng.

“Ajy suruh kamu untuk buatin minuman, Olivia! Kenapa kamu malah ambil minuman kaleng?” tanya Erlangga tak senang.

Perempuan itu menyudahi aksinya. “Kebanyakan minta banget, sih! Udah sekarang minum aja!”

Pria Itu langsung meletakkan kalengnya atas meja dan berdiri. Dia melangkah mendekati Olivia yang berdiri di dekat dinding.

“Apa lagi? Kamu mau apa lagi?” tantang Olivia.

Erlangga menggenggam lengan kanan Olivia, lalu dia mengambil kaleng di tangannya. “Kamu udah buat aku kesel, Liv!” kata Erlangga dengan nada yang direndahkan.

Tatapan mata Erlangga membuat Olivia terdiam. Pria di depannya memang sedang marah. Dia tidak lagi bercanda seperti tadi. Seharusnya Olivia sadar, inilah sikap asli Erlangga.

“Terus aku harus apa, Er? Aku nggak tau mau buat apa tadi,” ungkapnya.

Pria itu membuat Olivia terpojok di tembok. Dia menarik lengan kiri Olivia dan menyatukan kedua tangan di atas kepalanya.

“Lepasin, Er! Kamu mau apa?” tanya Olivia ketakutan.

Erlangga memajukan wajahnya lebih dekat dengan wajah Olivia. Hidungnya sudah semakin dekat dengan pipi kiri Olivia. Napasnya terdengar jelas.

“Saat ini aku bisa lakuin apa aja. Kamu mau apa emangnya?” bisik Erlangga.

Olivia menggeleng kaku. Lagi-lagi dia dibuat ketakutan dengan pria di depannya.

“Kamu kenapa diem aja? Lihat aku!” bisik Erlangga.

Olivia tidak menggerakkan kepalanya sedikit pun. Dia bahkan enggan menatap mata legam Erlangga di depannya.

“Lihat aku dibilang!” Erlangga membuat Olivia menatap dirinya. Tatapan tajam Erlangga sangat menusuk. “Apa yang aku bilang sebelumnya?”

“Ya-yang mana, Er?” tanya Olivia gelagapan. Perempuan itu ketakutan. Kalau bisa, dia sudah lari dari sana secepat mungkin.

“Hal yang sering saya tekankan sama kamu,” jawab Erlangga.

Olivia berusaha keras menelan salivanya. Dia sungguh ketakutan dibuat Erlangga. Tangannya dikekang, wajah yang berdekatan. Pada posisi ini, Erlangga dapat melakukan apa saja sekarang.

“A-aku ... ha-harus nurut sa-sama kamu, Er,” sahut Olivia terbata-bata.

Erlangga tersenyum puas. “Lantas apa yang kamu lakukan sekarang?”

“Er aku minta maaf.”

“Apa maafmu masih berarti sekarang?”

Bulir keringat di wajah Olivia semakin terlihat nyata. Dia bingung, tidak tahu harus berbuat apa. Yang dia pikirkan hanya meminta maaf, tetapi Erlangga menolaknya.

“Aku harus apa?” tanya Olivia dengan pokamusnya.

Tangan Erlangga menjulur memegang kedua pipi Olivia. Dia cengkeram pipi tersebut sehingga pemiliknya kesakitan. “Saya penasaran sama rasanya bibir yang banyak bicara ini.”

Olivia hampir menangis. Dia tidak bisa memberontak. “Er maafin aku.”

“Apa? Kamu bilang mau merasakan bibirku juga?” tanya Erlangga dengan nada meledek.

Perempuan itu berusaha menggeleng. Namun, kekangan tangan Erlangga di wajah begitu menahannya. “Please, maafin aku, Er.”

Tangan yang tadi mencengkeram sudah dilepas. Kini Erlangga mengusap benda merah muda kenyal di wajah Olivia dengan ibu jarinya. Wajahnya semakin mendekat.

“Mau mencobanya?”

Percuma Olivia menolak, dia pasti akan menuruti kemauan Erlangga juga pada akhirnya. Dia pun terdiam, enggan untuk menjawab.

Diamnya Olivia berarti dia setuju. Satu kecupan lembut Erlangga daratkan. Dalam hatinya dia bersorak.

“Hari ini aku maafkan kamu. Kalau suatu saat nanti kamu melanggar, aku akan kasih hukuman. Apa kamu sudah tidak sabar dengan hukuman itu, ya?” Erlangga menampilkan senyum miringnya.

“Tolong maafin aku, Er. Lepasin tangan aku ...,” pinta Olivia.

Erlangga langsung melepas tangan Olivia yang ditahan. Perempuan itu langsung berlari ke dapur tanpa peduli dengan Erlangga.

“aku masih bisa menahan untuk kali ini, Liv.” Erlangga tersenyum.

Sementara di dapur, Olivia sedang berusaha memperbaiki kesalahannya. Dia sudah meletakkan gelas besar di atas meja. Tangannya memotong buah mangga.

“Kamu sedang apa Olivia?” teriak Erlangga dari depan. Olivia tidak menjawab, dia terburu-buru melakukan aksi membuat jusnya.

Setelah semua bahan dihancurkan oleh blender, Olivia menuangnya ke dalam gelas. Dia mengantarkan jus itu untuk Erlangga. Belum sampai dia ke ruang tadi, Erlangga sudah berdiri bersandar di pintu dapur dengan tangan yang dilipat.

“Itu untuk aku?” tanya Erlangga.

Olivia menyodorkan gelas berisi jus mangga. “Ini minumannya.”

Tentu saja Erlangga menerima. Dia minum sedikit demi sedikit jus buatan Olivia.

“Hei!” kata Erlangga.

Yang dipanggil justru menunduk. Dia sepertinya ketakutan menatap Erlangga.

“Angkat wajah kamu sebelum aku yang mengangkatnya!” titah Erlangga.

Wajah Olivia terangkat dengan kaku. “Ke-kenapa?”

“Ini enak. Kamu tambahin apa di dalamnya?”

Jantung Olivia seolah mencelus mendengarnya. Dia pikir Erlangga akan protes.

“Kamu nggak tambahin racun untuk membunuh aku, kan?” tanya Erlangga.

Jawaban itu harus Olivia tanam di otak. Mungkin suatu saat nanti, Olivia akan melakukannya.

“Malam ini kamu temenin aku pergi!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status