Share

Part 8

“Hari ini kita ke rumah kamu, ya.”

Pernyataan dari Erlangga membuat Olivia mengembuskan napasnya dengan kasar. Perempuan itu tersadar, kepergiannya semalam pasti akan membuat ayahnya marah.

“Bisa kita main ke mana dulu gitu? Aku juga kayaknya mau nginep di apartemen kamu lagi, Lang!” kat Olivia.

Sontak pria di sampingnya langsung tertawa. Apa maksudnya Olivia ingin menginap di apartemennya lagi? Erlangga berpikir kalau Olivia ingin tidur di apartemennya, berarti Olivia sudah mau menerima Erlangga.

“Kenapa? Kamu udah nggak sabar untuk tinggal sama aku, ya? Jangan-jangan kamu juga udah nggak sabar untuk tidur sekamar sama aku, Liv,” kata Erlangga yang sedang menyetir.

“Anda ini terlalu percya diri banget, ya?” tanya Olivia sedikit jengkel.

Erlangga terus tertawa kecil mendengarnya. “Emang itu kenyataannya, kan? Bukan percaya diri, tapi emang itu kenyataan yang terjadi.”

“Kalau bisa, aku mending nggak ketemu lagi sama kamu, Er.” Olivia mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Dia tidak sadar kalau pernyataannya membuat Erlangga tersenyum manis. Pria itu mengartikan kalau Olivia tidak akan mungkin suka padanya.

“Kalau begitu kenapa kamu mau tidur lagi di apartemen aku? Kenapa kamu nggak cari apartemen baru untuk tidur di sana? Bahkan kamu bisa pulang dan tidur di rumah yang bagaikan istana itu,” jawab Erlangga.

Olivia tidak mampu menjawab pertanyaan itu. Dia tadi hanya asal bicara. Namun, dia juga tidak mau tidur di tempat lain. “Kamu udah nggak mau nampung aku?”

Erlangga menoleh dan membalas tatapan sinis Olivia dengan senyuman. “Kalau kamu mau jadi pembantu aku selama semalaman, sih, aku mau aja.”

Tangan Olivia seketika mengepal di atas kepala Erlangga, mengepal keras seolah ingin memukulnya. Namun, hanya ekspresi kesal yang dia keluarkan tanpa menyentuh seujung rambut pun. “Kamu itu orang apa penindas, sih? Kenapa seneng banget nindas aku?”

“Mau atau enggak?” tanya Erlangga memastikan.

Dengan berat hati, Olivia harus setuju. Dia tidak mau tinggal di tempat lain juga tidak mau tidur di rumah. “Kalau ada Erlangga, pasti Ayah baik banget. Kalau nggak ada Ayah, pasti aku diomelin,” batin Olivia menggerutu.

“Terserah!” Olivia membalikkan badan ke samping.

Pria di sampingnya mendengkus. Dia heran dengan jawaban para perempuan, mengapa terlalu sulit menentukan sebuah pilihan?

“Kamu seharusnya bisa nentuin pilihan sendiri, Liv!” kata Erlangga.

Olivia tersadar dengan ucapan Erlangga dan juga jalanan yang dia lewati. Matanya sukses terbelalak. “Kenapa ke rumah aku? Bukannya aku udah bilang ke apartemen kamu aja, Lang?”

Tentu saja Erlangga tidak bisa melakukan hal itu. Dia masih mengingat perkataan Alfonso. Erlangga tidak mau membuat dirinya dan kelompoknya berada dalam masalah.

“Er! Mending kita puter balik!” kata Olivia.

“Terlambat. Kamu seharusnya menentukan pilihan tadi, Liv,” sahut Erlangga.

Mobil sedan hitam itu memasuki pekarangan rumah Mahardika. Beberapa penjaga berbadan bongsor menyambut mereka dengan tatapan yang tidak senang. Sesaat kemudian, mobil sudah berhenti tepat di depan anak tangga menuju pintu utama.

Erlangga menoleh menatap Olivia setelah mesin mobil terhenti. “Kamu kenapa bete?”

Olivia tidak menyahut. Tindakan Erlangga membuat dirinya benar-benar kehilangan kesenangan. Tadi Olivia sudah senang. Dia juga berpikir akan main lagi malam ini. Sayangnya, dia harus diam di rumah.

“Kamu marah sama aku?” Erlangga melepas pengait sabuk pengamannya. Dia bergerak mendekat dan membuat wajah Olivia menatapnya. “Jangan ngambek begitu, dong.”

Olivia tidak melawan dengan amarah. Dia melepaskan tangan Erlangga dan kembali membuang tatapan matanya. Pria itu menarik kembali wajah Olivia hingga tatapan mereka beradu dalam jarak dekat. “Kamu harus izin sama Bokap! Saya nggak mau jadi cowok yang nyulik anak orang. Paham maksud saya?”

“Aku nggak mau ketemu sama mereka, Er.”

“Kamu harus izin sama mereka,” sahut Erlangga.

“Aku nggak mau, Er.”

“Jangan bantah perintah saya kali ini, Liv! Sebelum hukuman dari aku makin berat!” Erlangga mulai bersuara dengan nada rendah.

Ancaman yang Erlangga berikan membuat Olivia ketakutan. Dia tidak mau mencari gara-gara dengan pria itu. “Oke, kita ketemu mereka.”

Mereka berdua keluar dari mobil. Berjalan ke arah ruang keluarga. Sudah ada Firman dan Tria di sana. Olivia langsung memberikan sinyal kedatangannya. “Oliv pulang.”

Firman menolehkan kepala dan langsung berdiri. “Ke mana saja kamu semalam, Olivia?”

“Aku tidur di rumah temen,” kata Olivia.

Erlangga merangkul bahu Olivia dan tersenyum tipis. “Maaf, Om, Tante. Olivia semalem tidur di apartemen saya karena ada projek yang harus kami kerjakan berdua. Jadi, semalam kita berdua pulang agak malem banget. Tenang aja, kita nggak ngapa-ngapain, kok. Saya punya dua kamar di sana.”

“Siapa kamu? Berani-beraninya ngajak anak saya kabur,” cecar Firman. Di sampingnya, Tria terus mengelus punggung sang Suami untuk meredam emosinya.

“Saya Erlangga, Om. Temannya Olivia.” Erlangga mendekat dan menjabat tangan Firman dan Tria. Namun, Firman langsung menampar tangan itu seolah tidak mau berjabatan.

“Ayah apa-apaan, sih?” Olivia berteriak.

“Pasti dia yang mengajarkanmu untuk kabur dari rumah, kan?” tanya Firman.

Walaupun itu benar, Olivia tetap tidak akan mau mengatakan yang sebenarnya. Dia tidak mau kalau Erlangga harus kena pukul oleh orang suruhan ayahnya. “Ini kemauan Oliv sendiri. Oliv yang mau tidur di sana karena lebih nyaman! Oliv punya teman di sana! Mulai hari ini juga, Oliv mau tidur di sana.”

“Ayah nggak akan kasih kamu izin!”

“Oliv juga nggak butuh izin dari Ayah! Oliv minta maaf, tapi Oliv minta kali ini aja, izinin Oliv milih sendiri. Oliv ingin tinggal di apartemen sama Erlangga. Kenapa nggak diizinin, sih?” tanya Olivia keheranan.

“Kami nggak bisa kasih izin karena kalian aja belum suami-istri, Liv. Mana mungkin kami izinin.” Tria menyahut.

Olivia tidak menyahuti pertanyaan Tria. Dia langsung menarik lengan Erlangga dan berjalan menjauhi tempat itu. Erlangga yang tidak peduli dengan permintaan orangtuanya Oliv merasa senang. Dia memang ingin membuat Olivia tinggal di apartemennya.

Setelah tidak terlihat oleh Firman dan Tria, Erlangga menampilkan senyuman miringnya. Dasar licik! Dia memang sengaja membuat perdebatan antara orang tua dan anak hanya demi alasan untuk Alfonso.

“Jadi, sekarang kamu secara tidak resmi jadi istri aku?” tanya Erlangga sedikit berbisik.

Olivia membulatkan mata mendengarnya. Dia tidak tahu maksud perkataan Erlangga, tetapi dia merasakan kengerian ketika mendengarnya.

“Sudah siap menjadi istri aku, Liv?”

Setelah sampai di mobil, Olivia tidak mampu bergerak. Dia benar-benar terpaku dengan omongan Erlangga. Dia ingin berbalik, tetapi Erlangga sudah membukakan pintu untuk Olivia.

“Jangan lupa panggil aku sayang, ya!” kata Erlangga ketika Olivia masuk ke mobil.

Erlangga langsung buru-buru menjalankan mobil setelah duduk di belakang setir. Dia tahu kalau dampak buruk akibat membantah omongan Firman akan terjadi sebentar lagi. Tidak untuk Olivia, tetapi kemungkinan untuknya.

Pria itu mengintip dari spion yang mengarah ke belakang mobil. Beberapa mobil mengejarnya. Olivia tersadar, tetapi dia juga bingung. “Kenapa mereka ngikutin, sih?”

“Kamu mau mereka berhenti?” tanya Erlangga dengan alis yang terangkat.

“Jelas aja. Ngapain pake diikutin segala.”

Jawaban Olivia membangkitkan gelora bertempur Erlangga. Dia memacu mobil dengan kecepatan tinggi dan seketika berbelok ke lintasan mobil yang berlawanan arah. Olivia sangat terkejut. Dia bahkan memegang erat pegangan di dekat pintu. Matanya membulat seolah ingin keluar dari tempatnya.

“Kenapa, Liv? Kamu takut?” tanya Erlangga.

Jelas saja! Olivia tidak pernah selaju itu. “Kamu jangan pernah ajak aku ke alam barzah secepat tadi, Er!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status