Share

Bayi

last update Last Updated: 2023-08-29 19:37:19

Semilir angin berembus bersama daun kersen yang berguguran. Bintang di langit seakan ikut tertawa melihatku membayar minuman seharga tiga ribu rupiah. Di dunia ini mana ada yang gratis, Gita! WC umum saja bayar.

Aku segera mengambil uang dari saku gamis. Kebetulan sebelum pergi aku membawa selembar uang kertas warna hijau. Aku menyerahkannya kepada penjual minuman itu.

“Ini kembaliannya. Lain kali jangan tanggung-tanggung kalau mau mukul cowok,” ucapnya sambil memberikan uang kembalian.

Eh, bagaimana dia bisa tahu?

“Mas ngintip, ya?”

“Idih, kagak ada kerjaan. Semua orang di taman juga pada lihat kamu mukulin tuh cowok.”

Aku melihat sekeliling, memang benar banyak sekali orang di taman ini. Malam minggu adalah malam yang panjang, sangat cocok untuk muda-mudi yang sedang dimabuk cinta. Ya Allah, malu banget aku. Pasti banyak yang menggunjingku.

“Sini botolnya. Sekarang jadi milikku karena udah bayar.”

Lelaki di depanku menyerahkan botol air mineral itu sambil tersenyum kemudian kembali ke tempatnya.

Aku kembali ke tempat di mana aku memukul Erick dengan sandal jepit. Berharap masih ada sandalku yang bisa kupakai. Kakiku bisa lecet kalau begini. Kulihat kakiku yang mungil, jarinya pendek dan telapaknya sedikit lebar.

Setelah ini kupastikan aku tidak bertemu lagi dengannya. Kuharap dia kapok. Masa depannya terancam jika bertemu denganku.

Aku sudah sampai di bangku bekas Erick duduk bersama selingkuhannya. Masih hangat, mungkin mereka baru saja pergi. Aku melihat sekeliling taman. Sebaiknya aku duduk dulu agar tidak menjadi pusat perhatian. Mungkin mereka belum pernah melihat wanita cantik sepertiku.

Cantik? Tentu saja. Setiap wanita memiliki kecantikan masing-masing. Tidak ada yang bisa menolak pesonaku, tetapi aku tidak begitu tertarik dengan lelaki, mereka hanya akan menyakitiku. Cukup Mas Aril yang menjadi pelipur laraku. Ah iya, sebentar lagi dia siaran. Sayang aku enggak bawa heatset, tetapi terkadang dia libur di malam minggu seperti ini.

Suara Mas Aril membuatku jatuh cinta, semoga kelak bisa bertemu dengannya. Sebelum aku bertemu dengan Erick sebenarnya sudah ada nama Mas Aril di hatiku. Namun, aku sadar jika itu semua hanya mimpi. Mana mungkin penyiar top 1 mau bertemu denganku? Biarkan mereka menertawakanku setelah putus dengan Erick. Setidaknya aku masih memiliki Mas Aril meskipun hanya bisa mendengar suaranya.

Aku mengecek ponsel berulang kali. Baru setengah delapan. Biasanya pengajian akan selesai jam delapan. Kulihat jam di ponsel, seakan waktu berjalan lambat.

“Oke, Gita! Hapus sisa air mata, kuatkan hati. Mantapkan dengan sepenuh jiwa jika kamu kuat tanpa Erick.” Aku menyemangati diri sendiri. Siapa lagi kalau bukan aku? Readers?

“Duh!”

Aku dikagetkan dengan datangnya seorang bayi kecil, kutaksir usianya 3 tahun. Dia datang membawa sebuah sandal jepit warna kuning. Dia memukul pahaku dengan sandal. Apa dia mau membalaskan dendamnya Erick? Ah, tidak mungkin!

Mataku berbinar melihatnya. Dia berlari dari arah utara, tetapi tidak ada siapa pun yang mengikutinya di belakang. Dia pasti dikirimkan Allah untuk menolongku.

“Sini sandalnya, Dek! Itu punya kakak.” Aku mengulurkan tangan dan berjongkok menyejajarnya.

“No!” Balita itu menggeleng. Dia menyembunyikan sandalku di belakang punggungnya.

Benar-benar bayi zaman now, bicaranya menggunakan bahasa Inggris. Apa aku harus menggunakan bahasa yang sama supaya dia paham?

Aku berpikir sejenak. Nilai bahasa Inggrisku hanya enam. “Hi, brother! May i ask my sandal?”

Dia tidak menjawab dan malah tertawa. Apa jangan-jangan perkataanku salah?

Bayi laki-laki yang gembul itu sangat menggemaskan, matanya berbinar menatapku kemudian melihat bangku yang kududuki tadi. Dia berjongkok mencari sesuatu di bawah bangku. Dan ternyata sandal jepit yang satunya ada di sana.

Aku segera mengambilnya dan memakai sebelah sandalku. Sedangkan yang satu masih di tangan bayi tersebut. Namun, bayi itu kemudian menangis gulung-gulung di tanah.

“OMG, aku tidak apa-apain bayi ini. Kenapa dia menangis? Mampus aku kalau dikira mau nyulik anak orang.”

Aku segera mengangkat bayi tersebut ke dalam dekapan. Tetapi dia meronta-ronta dan tangisnya semakin kencang. Aku akan mengambil sandalku mumpung dia sedang menangis, tetapi dia menolak memberikannya kepadaku. Dia memeluk erat sandalku seolah tak mau kehilangan.

“Ini sandal Kakak, Sayang. Diam dong! Nanti kakak digebukin orang satu kampung kalau kamu nangis begini. Bisa-bisa dikira mau nyolong bayi.”

Tangisannya semakin kencang. Aku membawanya duduk dan menyanyikannya sebuah lagu balonku ada lima. Namun, dia masih saja menangis. Apa dia tidak suka lagu anak-anak? Baiklah, ganti lagu bahasa Inggris.

“Twinkle, twinkle, little star,

How I wonder what you are!”

Bug! Dia memukul mulutku dengan sandal. Aku memejamkan mata. Ternyata sakit, karma ini! Secepat itukah datangnya karma? Lewat anak kecil pula. Air mataku menetes merasakan perihnya ditabok sandal. Senjata makan tuan.

Tidak lama kemudian datang seorang perempuan muda membawa balon berbentuk binatang. Dia merebut bayi kecil ini dari pangkuanku.

“Ya ampun, Sayang. Ternyata kamu di sini. Maaf, ya, Mbak. Pasti merepotkan sekali.” Wanita muda tersebut sepertinya adalah Ibunya.

“Anda Ibunya?” tanyaku penasaran. Dia masih sangat muda untuk memiliki anak seusia 3 tahun.

“Iya, ini anak saya. Tadi minta dibelikan balon. Pas saya bayar tiba-tiba udah ngilang. Sekali lagi makasih sudah jagain anak saya.” Aku menganggukkan kepala sambil tersenyum.

Namun, bayi dalam dekapan ibunya itu belum berhenti menangis. Dia masih memegang sebelah sandalku, meronta-ronta minta diturunkan.

“Ada apa lagi, Sayang? Adakah yang tertinggal?” Wanita itu menurunkan bayinya.

Bayi itu diam dan berlari mendekatiku, berjongkok kemudian meminta pasangan sandal jepit. Astaga! Aku dirampok anak kecil. Baiklah aku mengalah. Kulepaskan sandal dan memberikannya. Fix, aku pulang jadi gelandangan. Setelah berhasil, dia bersembunyi di belakang ibunya.

“Sayang, itu punya kakak cantik.” Wanita berjilbab ungu itu membujuk anaknya untuk mengembalikan sandalku.

“Punyatqu, Ma!” Dia memeluk kedua sandalku seolah itu benda kesayangan.

“Udah mama belikan balon, loh. Balonnya buat kakak cantik aja, ya?”

“Ndaa boleh! Punyatu.”

Dasar licik. Kecil-kecil pintar ternyata.

“Baiklah, Mama pergi ke rumah kakek sama Papa. Kamu di sini aja sama kakak cantik.”

Wanita itu melepaskan sandalnya untukku. “Kamu pakai sandal saya saja. Fabian kalau sudah seperti itu tidak bisa dibujuk.”

Namun, saat aku hendak memakai sandal Ibunya, bayi itu memukul kakiku dengan sandalku. Dia tidak rela aku memakai sandal Ibunya. Astaga, darahku mulai naik.

Sesaat kemudian sebuah mobil berwarna ungu datang. Kaca mobilnya diturunkan dan keluarlah sosok lelaki tampan seperti opa-opa Korea. Dia berjalan mendekat, setelah kuperhatikan sepertinya dia ayah dari bayi ini. Wajahnya sangat mirip.

“Lama sekali, Ma! Bian nggak mau pulang?”

Positif, mereka adalah suami istri. Namun bayi itu malah mendekatiku dan meminta kugendong. Kedua orang tua di depanku saling pandang melihat anaknya berada dalam dekapanku. Tangannya memelukku erat dengan masih membawa sandal.

Drama apalagi ini?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terpikat Pesona Mas Penyiar Radio   MERINDUKAN DILAN - 20 END

    “Enggak! Aku pun serius ingin menikah denganmu.” Tiba-tiba saja kalimat tersebut terlontar dari mulutku. Namun, jujur saja perasaanku memang tulus untuknya. Aku bersungguh-sungguh ingin menikah dengannya.“Kamu dengar sendiri, bukan? Aku melakukan ini agar kalian berdua bisa berbahagia.” “Aku nggak yakin bisa membuat Faiha bahagia.” Dilan tertunduk lemas. Sebagai lelaki, dia terlihat tak berdaya di atas ranjang kecil itu. Aku memberanikan diri menggenggam tangan Dilan. “Aku yakin kamu bisa sembuh. Aku akan merawatmu dengan sepenuh hati. Untuk itulah, kamu juga harus memiliki keyakinan yang sama. Kamu pasti akan sembuh.”“Aku cinta sama kamu itu benar. Tapi untuk menikahimu, kurasa itu nggak benar, Fai. Kamu nggak akan bisa bahagia denganku.” Kalimat Dilan terdengar putus asa.Tak terasa mataku penuh oleh benda cair yang siap meluncur jatuh ke pipi. “Aku seyakin itu sama kamu, tapi kamu sendiri malah seperti melarikan diri dari

  • Terpikat Pesona Mas Penyiar Radio   MERINDUKAN DILAN - 19

    Aku mengangguk kemudian berjalan mendekat menyalami orang tua Dilan. Begitu juga dengan Kak Ilham. Dari mana mereka mengetahui namaku? Padahal aku tidak pernah bertemu sebelumnya. “Faiha ini adik kamu, Ham? Kalian sangat mirip.”“Iya, Om. Maaf baru sempat mengajaknya ke sini. Dia masih kuliah.”Jadi, selama ini Kak Ilham sengaja menunggu liburan semester baru mengajakku bertemu Dilan? Terlalu banyak pertanyaan yang ingin aku tanyakan kepada Kak Ilham. Bisa-bisanya dia menyembunyikan semua ini dariku. “Pantas saja Dilan tergila-gila padanya. Dilan masih tidur. Biasanya jam empat sore baru bangun.”Wajahku rasanya panas mendengar ucapan ibunya Dilan. Padahal ruangan ini ber-AC. Aku pun tidak sabar ingin segera bertemu dengan orang yang lama kurindu. “Om dan Tante pamit dulu. Kalian bisa 'kan jagain Dilan untuk kami? Kebetulan Om tadi langsung ke sini setelah pulang dari kantor.”“Tenang aja, Om! Sera

  • Terpikat Pesona Mas Penyiar Radio   MERINDUKAN DILAN - 18

    Mulai saat itu aku tidak lagi tergantung pada mereka. Aku meminta Ayah membelikan sepeda listrik. Harganya cukup terjangkau. Dengan begitu, aku tidak lagi bergantung dengan orang lain. Saat itu juga aku mulai membatasi diri lagi dan lebih pendiam sekarang. Fokus untuk kuliah demi masa depan. Hingga akhirnya liburan semester itu datang. Setelah setengah tahun berlalu, hidupku terasa hampa. Tidak ada manis-manisnya. Pagi hari kuliah, sore bantu ayah, malam pergi dengan teman sholawatan. Terkadang aku juga menyendiri di rumah. Hidupku terlalu monoton begitu setiap harinya. Beberapa kali teman Kak Ilham mencoba PDKT denganku, tetapi mereka akhirnya mundur karena aku hanya diam. Hatiku sudah beku. Rasanya susah sekali menerima orang baru. Meski sudah lama, ternyata aku tidak bisa melupakannya. Sekarang, di makam Ibu, aku membacakan doa untuknya hingga menangis tergugu. “Ayo pulang!” ajak kak Ilham.“Sebentar lagi.”

  • Terpikat Pesona Mas Penyiar Radio   MERINDUKAN DILAN - 17

    Pagi harinya aku berangkat kuliah seperti biasa diantar Kak Ilham. Hari ini dia bimbingan katanya. Entah dia mendapat Ilham dari mana sehingga mendadak mau bimbingan. Beberapa teman, ada yang mengagumi Kak Ilham. Mereka tahu jika kakakku adalah penyiar radio. (Baca novel karya Shofie Widianto, judulnya Terpikat Pesona Mas Penyiar Radio).Terkadang mereka memberikan kue, cokelat, dan lain sebagainya untuk kakakku. Padahal aku sudah mengatakan jika lelaki itu sudah memiliki kekasih, tetapi tidak satu pun yang percaya. Aku juga sering melihat beberapa teman kelasnya yang selalu nempel, padahal sudah jelas Kak Ilham menjauhi mereka.Aku sampai heran mengapa banyak yang menyukai Kak Ilham? Dia itu kere. Duitnya pas-pasan. Wajah doang yang lumayan. Padahal wanita tidak akan kenyang hanya dengan memandang wajah laki-laki. Mungkin inilah yang disebut cinta buta. Tidak bisa melihat logika. Cinta telah membutakan segalanya.“Nanti kamu pulang

  • Terpikat Pesona Mas Penyiar Radio   MERINDUKAN DILAN - 16

    “Kamu tidak apa-apa, Fai?”“Sakit Kak.”“Kakak tahu.”“Aku pikir tidak memiliki rasa itu, Kak. Aku tidak tahu rasa itu tumbuh kapan. Hingga akhirnya aku sadar setelah dia bersama yang lain. Rasanya sakit.”Kurasakan tangan Kak Ilham mengelus kepalaku beberapa kali. Dia pasti sedih melihatku seperti ini. Apalagi semua ini gara-gara temannya. “Kamu harus kuat. Oke. Masih banyak teman Kakak yang mau denganmu. Ada Adam, Malik, banyak pokoknya. Kamu tinggal pilih.”Mendengar banyolan Kak Ilham aku memukul dadanya. “Jahat!” Aku tersenyum dalam tangis. “Udah sana, cuci muka! Kita salat dulu. Berdoa sama Allah. Kamu nggak boleh nangis hanya gara-gara laki-laki. Maafin Kakak, ya. Kakak pikir kamu tidak akan mudah menyukainya ternyata kakak salah.”Azan maghrib berkumandang. Aku dan kak Ilham salat berjamaah. Kali ini cukup banyak yang datang. Selain warga sekitar, semua panitia sudah berkumpul sem

  • Terpikat Pesona Mas Penyiar Radio   MERINDUKAN DILAN - 15

    “Aku tidak bawa HP. Aku tidak ingin ada yang mengganggu kencan kita. Sengaja aku meninggalkannya di mobil.” Kencan? Kupikir dia hanya bercanda dengan kencan ini. Ternyata baginya ini sungguhan. Aku pun mulai mencoba menikmati kebersamaan kami. Tidak salah jika aku membahagiakan diri ini sebentar saja. “Ya sudah, pakai ponselku saja.”Setelah sekali jepretan, aku menunjukkann foto padanya. “Gimana hasilnya?” tanya Dilan. “Bagus.”“Boleh foto berdua?” tanya Dilan. “Selfie saja.”Aku ingin menolak, tetapi mulut berkata iya. Akhirnya aku yang memegang ponsel di depan sedangkan Dilan di belakang. Dia mengacungkan kedua jarinya hingga membentuk huruf V sedangkan aku mengacungkan dua jari membentuk love. “Saranghaeyo!”Ternyata hasilnya sangat memuaskan. Kami memang seperti pasangan yang sedang kencan. Melihat hasil foto yang bagus, aku mengulanginya lagi dan lagi. Bahkan kami memi

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status