Share

Bayi

Semilir angin berembus bersama daun kersen yang berguguran. Bintang di langit seakan ikut tertawa melihatku membayar minuman seharga tiga ribu rupiah. Di dunia ini mana ada yang gratis, Gita! WC umum saja bayar.

Aku segera mengambil uang dari saku gamis. Kebetulan sebelum pergi aku membawa selembar uang kertas warna hijau. Aku menyerahkannya kepada penjual minuman itu.

“Ini kembaliannya. Lain kali jangan tanggung-tanggung kalau mau mukul cowok,” ucapnya sambil memberikan uang kembalian.

Eh, bagaimana dia bisa tahu?

“Mas ngintip, ya?”

“Idih, kagak ada kerjaan. Semua orang di taman juga pada lihat kamu mukulin tuh cowok.”

Aku melihat sekeliling, memang benar banyak sekali orang di taman ini. Malam minggu adalah malam yang panjang, sangat cocok untuk muda-mudi yang sedang dimabuk cinta. Ya Allah, malu banget aku. Pasti banyak yang menggunjingku.

“Sini botolnya. Sekarang jadi milikku karena udah bayar.”

Lelaki di depanku menyerahkan botol air mineral itu sambil tersenyum kemudian kembali ke tempatnya.

Aku kembali ke tempat di mana aku memukul Erick dengan sandal jepit. Berharap masih ada sandalku yang bisa kupakai. Kakiku bisa lecet kalau begini. Kulihat kakiku yang mungil, jarinya pendek dan telapaknya sedikit lebar.

Setelah ini kupastikan aku tidak bertemu lagi dengannya. Kuharap dia kapok. Masa depannya terancam jika bertemu denganku.

Aku sudah sampai di bangku bekas Erick duduk bersama selingkuhannya. Masih hangat, mungkin mereka baru saja pergi. Aku melihat sekeliling taman. Sebaiknya aku duduk dulu agar tidak menjadi pusat perhatian. Mungkin mereka belum pernah melihat wanita cantik sepertiku.

Cantik? Tentu saja. Setiap wanita memiliki kecantikan masing-masing. Tidak ada yang bisa menolak pesonaku, tetapi aku tidak begitu tertarik dengan lelaki, mereka hanya akan menyakitiku. Cukup Mas Aril yang menjadi pelipur laraku. Ah iya, sebentar lagi dia siaran. Sayang aku enggak bawa heatset, tetapi terkadang dia libur di malam minggu seperti ini.

Suara Mas Aril membuatku jatuh cinta, semoga kelak bisa bertemu dengannya. Sebelum aku bertemu dengan Erick sebenarnya sudah ada nama Mas Aril di hatiku. Namun, aku sadar jika itu semua hanya mimpi. Mana mungkin penyiar top 1 mau bertemu denganku? Biarkan mereka menertawakanku setelah putus dengan Erick. Setidaknya aku masih memiliki Mas Aril meskipun hanya bisa mendengar suaranya.

Aku mengecek ponsel berulang kali. Baru setengah delapan. Biasanya pengajian akan selesai jam delapan. Kulihat jam di ponsel, seakan waktu berjalan lambat.

“Oke, Gita! Hapus sisa air mata, kuatkan hati. Mantapkan dengan sepenuh jiwa jika kamu kuat tanpa Erick.” Aku menyemangati diri sendiri. Siapa lagi kalau bukan aku? Readers?

“Duh!”

Aku dikagetkan dengan datangnya seorang bayi kecil, kutaksir usianya 3 tahun. Dia datang membawa sebuah sandal jepit warna kuning. Dia memukul pahaku dengan sandal. Apa dia mau membalaskan dendamnya Erick? Ah, tidak mungkin!

Mataku berbinar melihatnya. Dia berlari dari arah utara, tetapi tidak ada siapa pun yang mengikutinya di belakang. Dia pasti dikirimkan Allah untuk menolongku.

“Sini sandalnya, Dek! Itu punya kakak.” Aku mengulurkan tangan dan berjongkok menyejajarnya.

“No!” Balita itu menggeleng. Dia menyembunyikan sandalku di belakang punggungnya.

Benar-benar bayi zaman now, bicaranya menggunakan bahasa Inggris. Apa aku harus menggunakan bahasa yang sama supaya dia paham?

Aku berpikir sejenak. Nilai bahasa Inggrisku hanya enam. “Hi, brother! May i ask my sandal?”

Dia tidak menjawab dan malah tertawa. Apa jangan-jangan perkataanku salah?

Bayi laki-laki yang gembul itu sangat menggemaskan, matanya berbinar menatapku kemudian melihat bangku yang kududuki tadi. Dia berjongkok mencari sesuatu di bawah bangku. Dan ternyata sandal jepit yang satunya ada di sana.

Aku segera mengambilnya dan memakai sebelah sandalku. Sedangkan yang satu masih di tangan bayi tersebut. Namun, bayi itu kemudian menangis gulung-gulung di tanah.

“OMG, aku tidak apa-apain bayi ini. Kenapa dia menangis? Mampus aku kalau dikira mau nyulik anak orang.”

Aku segera mengangkat bayi tersebut ke dalam dekapan. Tetapi dia meronta-ronta dan tangisnya semakin kencang. Aku akan mengambil sandalku mumpung dia sedang menangis, tetapi dia menolak memberikannya kepadaku. Dia memeluk erat sandalku seolah tak mau kehilangan.

“Ini sandal Kakak, Sayang. Diam dong! Nanti kakak digebukin orang satu kampung kalau kamu nangis begini. Bisa-bisa dikira mau nyolong bayi.”

Tangisannya semakin kencang. Aku membawanya duduk dan menyanyikannya sebuah lagu balonku ada lima. Namun, dia masih saja menangis. Apa dia tidak suka lagu anak-anak? Baiklah, ganti lagu bahasa Inggris.

“Twinkle, twinkle, little star,

How I wonder what you are!”

Bug! Dia memukul mulutku dengan sandal. Aku memejamkan mata. Ternyata sakit, karma ini! Secepat itukah datangnya karma? Lewat anak kecil pula. Air mataku menetes merasakan perihnya ditabok sandal. Senjata makan tuan.

Tidak lama kemudian datang seorang perempuan muda membawa balon berbentuk binatang. Dia merebut bayi kecil ini dari pangkuanku.

“Ya ampun, Sayang. Ternyata kamu di sini. Maaf, ya, Mbak. Pasti merepotkan sekali.” Wanita muda tersebut sepertinya adalah Ibunya.

“Anda Ibunya?” tanyaku penasaran. Dia masih sangat muda untuk memiliki anak seusia 3 tahun.

“Iya, ini anak saya. Tadi minta dibelikan balon. Pas saya bayar tiba-tiba udah ngilang. Sekali lagi makasih sudah jagain anak saya.” Aku menganggukkan kepala sambil tersenyum.

Namun, bayi dalam dekapan ibunya itu belum berhenti menangis. Dia masih memegang sebelah sandalku, meronta-ronta minta diturunkan.

“Ada apa lagi, Sayang? Adakah yang tertinggal?” Wanita itu menurunkan bayinya.

Bayi itu diam dan berlari mendekatiku, berjongkok kemudian meminta pasangan sandal jepit. Astaga! Aku dirampok anak kecil. Baiklah aku mengalah. Kulepaskan sandal dan memberikannya. Fix, aku pulang jadi gelandangan. Setelah berhasil, dia bersembunyi di belakang ibunya.

“Sayang, itu punya kakak cantik.” Wanita berjilbab ungu itu membujuk anaknya untuk mengembalikan sandalku.

“Punyatqu, Ma!” Dia memeluk kedua sandalku seolah itu benda kesayangan.

“Udah mama belikan balon, loh. Balonnya buat kakak cantik aja, ya?”

“Ndaa boleh! Punyatu.”

Dasar licik. Kecil-kecil pintar ternyata.

“Baiklah, Mama pergi ke rumah kakek sama Papa. Kamu di sini aja sama kakak cantik.”

Wanita itu melepaskan sandalnya untukku. “Kamu pakai sandal saya saja. Fabian kalau sudah seperti itu tidak bisa dibujuk.”

Namun, saat aku hendak memakai sandal Ibunya, bayi itu memukul kakiku dengan sandalku. Dia tidak rela aku memakai sandal Ibunya. Astaga, darahku mulai naik.

Sesaat kemudian sebuah mobil berwarna ungu datang. Kaca mobilnya diturunkan dan keluarlah sosok lelaki tampan seperti opa-opa Korea. Dia berjalan mendekat, setelah kuperhatikan sepertinya dia ayah dari bayi ini. Wajahnya sangat mirip.

“Lama sekali, Ma! Bian nggak mau pulang?”

Positif, mereka adalah suami istri. Namun bayi itu malah mendekatiku dan meminta kugendong. Kedua orang tua di depanku saling pandang melihat anaknya berada dalam dekapanku. Tangannya memelukku erat dengan masih membawa sandal.

Drama apalagi ini?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status