Share

Terpikat Sang Bodyguard
Terpikat Sang Bodyguard
Penulis: Puspa Markhip

1

Masayu Anastasia Himawan, 27 tahun. Cantik dan single, membutuhkan pengawasan agar tidak menjalin hubungan dengan pria mana pun,” decak Rayhan, membaca sebuah berkas yang diambilnya dari meja bos sekaligus teman baiknya.

“Bapaknya gak waras kali, ya, masa anak gadisnya yang cantik dan single tidak boleh menjalin hubungan dengan pria mana pun?” kelakar Dimas. “Di mana-mana, orang tua ingin anak gadisnya lekas mendapat jodoh, ini malah mau dikekepin sendiri gak boleh dekat dengan pria.”

“Dia sudah dijodohkan,” ungkap Maximillian sinis, mengomentari keheranan dua rekannya. Sibuk, ia mengambil alih berkas dari tangan Rayhan, lantas menyatukannya bersama berkas-berkas lain milik Masayu Anastasia Himawan.

“Ya, elah, hari gini masih ada saja acara perjodohan! Jaman Siti Nurbaya dan Datuk Maringgih sudah lama berlalu.”

Benar, jaman Siti Nurbaya telah lama berlalu. Namun, ayahnya masih saja bersikeras melanjutkan perjodohan yang telah diaturnya 20 tahun yang lalu.

Ditatapanya berkas-berkas di tangannya, mencoba mengingat seperti apa sosok Masayu Anastasia yang katanya pernah begitu dekat dengannya. Selain seorang gadis kecil berkepang dua yang sangat manja dan menyebalkan, Max tidak ingat apa pun, dan ia akan dijodohkan dengan gadis seperti itu?

Ayahnya memang tidak memaksa, tetapi justru Om Himawan ini yang begitu berharap mereka melanjutkan perjodohan dengan putrinya. 

Om Himawan menaruh harapan besar pada Max, terlebih setelah tahu perusahaan penyedia jasa keamanan yang didatanginya adalah milik Max, ia justru meminta kepada Max secara khusus untuk mengawal putrinya, padalah Max adalah bosnya.

“Dia sangat cantik, Max,” kata sang ayah, mendukung sepenuhnya keinginan Om Himawan untuk menjodohkannya. “Kamu akan menyesal kalau sampai menolaknya.”

“Aku tidak peduli dia cantik atau tidak, Pa. Sudah bukan jamannya main jodoh-jodohan. Jaman sudah berubah!”

“Temui dia dulu, setelah itu baru kamu boleh bilang tidak.” 

“Sudahlah, Pa, aku akan melayani Om Himawan dengan profesional, tapi yang jelas bukan aku yang akan mengawal putrinya.”

“Justru Papa ingin kamu yang menjadi pengawalnya, Max. Ayu sangat istimewa, dia bukan sekedar klien, tetapi juga calon istrimu.”

“Pa,” keluhnya. “Lupakan rencana perjodohan konyol itu.”

“Dia teman masa kecilmu, Max.”

“Mana mungkin! Usianya delapan tahun lebih muda dariku,” sanggahnya.

Sang ayah tidak menyerah, ia mengambil sebuah album foto lawas dan menyerahkannya pada Max. “Bukalah, di sana ada foto-fotomu dengan Ayu.”

Ya, foto gadis kecil bergigi ompong yang bergelayut manja di tangannya. Rambut hitamnya dikepang dua. Ia hanyalah seorang anak kecil yang kebetulan dekat dengannya, bukan teman masa kecil!

“Percayalah sama Papa, Max, Ayu sudah banyak berubah. Papa pernah bertemu dengannya, dia sangat cantik. Papa rasa, tidak ada salahnya mencoba. Jika kalian memang merasa tidak cocok satu sama lain, Papa tidak akan memaksa.”

Kedua temannya menertawakan, Max mendengus keras. Sudah menduga bahwa ia akan segera dijadikan bahan olok-olok oleh Rayhan dan Dimas, mana kala mengakui perjodohan konyol yang diatur kedua orang tua mereka.

“Kasih lihat fotonya, pengen tahu seperti apa si Ayu ini, Max. Kurasa ayahmu ada benarnya, sebaiknya mencoba dulu, jika cocok, mengapa tidak?” cetus Dimas.

“Bokap nyokap minta cucu, Max, kasihanilah mereka. Kamu beneran kudu nikah, melepas masa lajang dan membangun keluarga bahagia bersama Ayu kecil yang bergigi ompong.” Rayhan ngakak keras, sangat puas mengolok sahabatnya.

Max mendengus masam, “Aku tidak akan menikah dan tidak ada keinginan untuk menikah!”

“Jadi, Bianca sekedar mainan, Max?” sergah Dimas.

“Yaelah, Dim, semua orang juga tidak ingin punya istri seperti Bianca. Dia asyik dijadikan teman kencan, tapi tidak untuk dijadikan istri.” Rayhan berdecak keras. “Seberengsek-berengseknya pria, pasti ingin beristrikan perempuan baik. Lagi pula, bos besar pasti tidak akan merestui hubungan Max dengan Bianca.”

Menghembuskan napas, Max menghempaskan punggungnya pada sandaran kursi putarnya, lantas memutar-mutar kecil.

Hampir enam bulan ia menjalin hubungan dengan Bianca, benar yang dikatakan Rayhan, ia sama sekali tidak ada niatan serius untuk menjadikannya pendamping hidup. Hingga sekarang, Max sama sekali tidak punya keinginan menikah, terlebih dengan Bianca.

Max cukup beruntung, ayahnya tidak pernah memaksanya untuk menikah. Menganggap Max sudah cukup dewasa dan bisa membuat keputusan yan terbaik untuk dirinya. Namun, berbeda dengan ibunya.

Ibunya adalah sosok yang sangat relijius, ia akan mengomel setiap kali Max ketahuan menjalin hubungan dengan perempuan tanpa bermaksud membawanya ke jenjang serius. Jangan ditanya, sudah berapa kali ia menyodorkan perempuan untuk dinikahi putranya, tetapi Max memilih kabur. Ia tidak akan bersedia terikat komitmen.

“Berikan saja Bianca padaku, kamu urus Ayu kecilmu yang ompong itu,” lanjut Rayhan.

“Sudah 20 tahun berlalu, Ray, aku tidak yakin si Ayu masih saja ompong. Dia pasti telah menjelma menjadi perempuan cantik. Kurasa, sebaiknya kamu segera menemuinya, Max, minimal melihatnya untuk meyakinkanmu.”

“Apa yang perlu diyakinkan? Aku sama sekali tidak berniat menerima perjodohan konyol ini,” dengusnya. Ia menyerahkan amplop coklat besar berisi berkas-berkas Masayu Anastasia, kepada Dimas. “Kamu saja yang urus. Kirim seseorang untuk menjadi pengawalnya.”

“Ayahmu ingin kamu yang menjadi pengawalnya.”

“Aku bos, itu bukan tugasku,” balasnya tak acuh.

“Tidak,” tolak Dimas sembari menggeleng. “Aku tidak akan melangkahi perintah ayahmu. Lakukan sendiri, Max, kuharap dia sudah tidak ompong lagi,” lanjutnya sembari terkekeh.

Max menghela napas kasar,  kedua temannya memilih pergi sembari menertawakannya. Si gadis ompong itu, Max tidak punya pilihan lain selain menemui dan menerima menjadi pengawal pribadinya.

Bersambung …

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status