Share

2

Setiap orang memiliki ratu dalam hidup, seorang perempuan yang akan selalu diprioritaskannya, termasuk Max.

Dari luar, Max tampaknya merupakan seorang pria tak acuh dan dingin yang tak banyak mengekspresikan segala perasaannya, tetapi ia memiliki seorang perempuan yang sangat disayanginya, perempuan yang akan selalu diperjuangkan kebahagiaannya. Max menyayanginya lebih dari dirinya sendiri.

Belum ada sepuluh menit Max duduk bersama kedua rekan sekaligus sahabatnya, bahkan kopi yang dipesannya pun masih penuh, ketika ponselnya menjerit-jerit memanggil. Terjeda semua obrolan santainya bersama Ray dan Dimas, Max mengeluarkan sebuah benda pipih persegi dari balik saku celananya.

“Nyonya menelepon,” katanya sembari meletakkan telunjuknya di depan bibir, memberi isyarat diam. Tanpa beranjak, ia menggeser tombol jawab di depan kedua temannya. “Ya, Ma?”

“Ahmad sayang, kamu di mana, Nak?” Suara lembut menyapanya dari seberang. Max memutar bola mata mendengar panggilan kesayangan sang Mama. Max dan Ahmad, sungguh jauhnya kelewatan.

“Lagi nongkrong bareng Ray dan Dimas, Ma. Ada apa?”

“Nongkrong, ya, berarti bukan urusan mendesak, kan? Boleh Mama minta tolong, Sayang?”

“Apa pun, Ma.”

“Kamu bisa pulang, Nak? Sebentar lagi Mama akan kedatangan sahabat baik Mama.”

Kali ini, entah sahabat yang mana lagi, tetapi Max sudah dapat menebak, ibunya pasti kembali berusaha untuk menjodohkannya dengan anak sang sahabat. Hal seperti ini bukan sesekali terjadi, Max sudah sangat hafal.

Seharusnya Max menolak dengan tegas, ia memiliki segudang alasan untuk melakukannya, alih-alih menganggukkan kepala meski sadar ibunya tidak dapat melihat.

Perempuan itu adalah ratu dalam hidupnya, Max tidak pernah bisa menolak permintaannya, tentunya selain perjodohan konyol yang selalu diaturnya. Berjanji untuk segera pulang, ia memutuskan panggilan teleponnya, lantas meneguk habis espresso yang dipesannya.

“Buru-buru amat?” tanya Dimas.

“Nyonya Ratu memintaku pulang.”

“Perjodohan lagi?” tebak Rayhan setengah mengejek. “Untung, aku tidak punya ratu dalam hidup, jadi tidak perlu sepertimu, Max.”

“Setiap orang memiliki ratu dalam hidup, Ray. Kamu bukan tidak punya, tapi belum. Max punya ibu sebagai ratu, kurasa ratumu nanti seorang perempuan yang akan kamu kejar mati-matian."

“Itu hanya akan terjadi dalam mimpi,” sanggah Rayhan.

“Kamu akan segera merasakannya, ketika jatuh cinta dan dibuat seperti budak.”

“Aku lebih memilih menghabiskan sisa waktuku untuk mencintai diri sendiri. Perempuan itu menyusahkan, mereka asyik sekedar untuk bersenang-senang, kalau dijadikan ratu akan sangat merepotkan, aku tidak akan pernah siap menjadi Max, menuruti semua keinginan ratunya.”

“Tiba waktunya kamu jatuh cinta, dengan senang hati aku akan menertawakanmu,” ujar Dimas, gemas. “Mau bertaruh kamu tidak akan pernah jatuh cinta?”

Rayhan mendengus keras. “Mengapa tidak? Aku sangat yakin dengan ucapanku.”

“Minta sahamnya 20 persen kalau sampai Ray jatuh cinta, Dim,” ucap Max tak acuh, ia menyambar jaketnya dan segera beranjak, meninggalkan kedua temannya.

Max suka pulang ke rumah, ia menyukai sambutan hangat ibunya. Tiada yang lebih menggembirakan selain pulang ke rumah usai penat dengan pekerjaan kantor, Max menyukai wangi kue buatannya yang selalu dihidangkan bersama teh panas. Rumahnya merupakan surga baginya sejak kedatangan ibunya.

Alysa Humairah  bukan seorang perempuan sembarangan, ia seorang perempuan yang lahir dan besar di lingkungan pesantren, orang tuanya adalah seorang kyai ternama yang sangat disegani. Max menentang habis-habisan pertama kali ayahnya meminta ijin untuk menikah kembali dengan perempuan itu, terlebih ibunya 15 tahun lebih muda dari sang ayah.

Namun, rasa tidak sukanya terhadap ibu tirinya lenyap tak tersisa. Perempuan itu benar-benar sosok yang luar biasa, tak heran ayahnya begitu mencintainya.

Dulu, ayahnya mirip dengan Rayhan, bajingan tidak bertanggung jawab yang gemar mempermainkan perempuan, tidak suka terikat komitmen, dan hobi bersenang-senang. Pernikahannya dengan ibu kandung Max merupakan sebuah kesalahan, keduanya memutuskan bercerai ketika Max berusia dua bulan.

Meski sangat tidak bertanggung jawab terhadap para perempuan yang dikencaninya, tetapi ayahnya sangat menyayanginya. Max menjadi prioritasnya, terlebih setelah bercerai, ia merawat dan mengasuh Max dengan sangat baik. Sikap buruknya masih saja berlanjut, sebelum kemudian kenal dengan Alysa Humairah.

Mungkin, ibunya adalah karma untuk sang ayah. Max menyaksikan sendiri, betapa beratnya sang ayah berjuang untuk mendapakan Alysa Humariah. Bajingan yang dikejar-kejar, mendadak jatuh bangun mengejar. Apa lagi hubungan mereka tidak disetujui oleh kedua orang tua Alysa.

Latar belakang mereka sangat berbeda, ibarat langit dan bumi. Ayahnya seorang bajingan, sedangkan ibunya dari keluarga relijius yang sangat memegang teguh kaidah agama. Perbedaan itu tentunya tidak mudah untuk diterima. Namun, kegigihan ayahnya berhasil meluluhkan sang pujaan hati.

Ayahnya benar-benar berubah sejak mengenal Alysa, segala kebiasaan burunya ditinggalkan, ia tobat dan menjadi pria baik-baik yang sangat mencintai istrinya. Hidupnya jauh lebih bahagia, tentu saja Max juga turut bahagia. Ia mendapatkan kasih sayang yang tidak pernah dimilikinya sejak kecil, rumah yang dulu selalu sepi dan dingin, kini berubah menjadi hangat penuh kasih sayang yang selalu dirindukan Max.

“Syukurlah, Ahmad, kamu segera pulang, Nak.” Sang ibu menyambutnya di teras rumah begitu mobil Max terparkir di halamannya yang luas. “Mama sudah cemas, khawatir kamu terlambat.”

Max mencium tangan ibunya, lantas bergegas masuk. Ia melihat ayahnya sedang santai, menatap layar tablet di tangannya ditemani secangkir teh.

“Mengapa aku mencium sesuatu yang tidak beres, ya?” katanya pada sang ayah sembari memincingkan mata. Pria yang rambutnya sudah dipenuhi uban itu, tertawa keras, melihat sang putra menatapnya curiga.

“Kamu mencurigai papamu, Max?”

“Jadi, untuk apa Mama menyuruhku buru-buru pulang?”

“Keluarga Ayu akan datang, Ahmad. Mama ingin mengenalkannya padamu,” jawab ibunya. “Mandilah, Mama akan siapkan makanan untukmu.”

“Kita akan bicara nanti, Pa, yang jelas aku akan membuat perhitungan dengan Papa,” dengusnya kesal. Ayahnya tertawa keras, pria itu pasti sudah memberitahukan persoalan perjodohan yang diaturnya.

Ayahnya sangat paham, Max tidak akan kuasa menolak permintaan ibunya, menjadikan istrinya itu sebagai alat untuk membujuk Max menerima perjodohan konyol itu.

“Jangan mengancam papamu, Max,” tegur ibunya. “Ah, itu dia, sepertinya Om Himawan dan keluarganya sudah datang!” lanjutnya berseru gembira, mendengar suara klakson mobil dari luar.

Memutar bola mata, Max segera kabur masuk ke kamarnya. Kali ini ia tidak dapat menghindar. Ayahnya telah bekerja sama dengan ibunya.

Bersambung …

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status