Setiap orang memiliki ratu dalam hidup, seorang perempuan yang akan selalu diprioritaskannya, termasuk Max.
Dari luar, Max tampaknya merupakan seorang pria tak acuh dan dingin yang tak banyak mengekspresikan segala perasaannya, tetapi ia memiliki seorang perempuan yang sangat disayanginya, perempuan yang akan selalu diperjuangkan kebahagiaannya. Max menyayanginya lebih dari dirinya sendiri. Belum ada sepuluh menit Max duduk bersama kedua rekan sekaligus sahabatnya, bahkan kopi yang dipesannya pun masih penuh, ketika ponselnya menjerit-jerit memanggil. Terjeda semua obrolan santainya bersama Ray dan Dimas, Max mengeluarkan sebuah benda pipih persegi dari balik saku celananya. “Nyonya menelepon,” katanya sembari meletakkan telunjuknya di depan bibir, memberi isyarat diam. Tanpa beranjak, ia menggeser tombol jawab di depan kedua temannya. “Ya, Ma?” “Ahmad sayang, kamu di mana, Nak?” Suara lembut menyapanya dari seberang. Max memutar bola mata mendengar panggilan kesayangan sang Mama. Max dan Ahmad, sungguh jauhnya kelewatan. “Lagi nongkrong bareng Ray dan Dimas, Ma. Ada apa?” “Nongkrong, ya, berarti bukan urusan mendesak, kan? Boleh Mama minta tolong, Sayang?” “Apa pun, Ma.” “Kamu bisa pulang, Nak? Sebentar lagi Mama akan kedatangan sahabat baik Mama.” Kali ini, entah sahabat yang mana lagi, tetapi Max sudah dapat menebak, ibunya pasti kembali berusaha untuk menjodohkannya dengan anak sang sahabat. Hal seperti ini bukan sesekali terjadi, Max sudah sangat hafal. Seharusnya Max menolak dengan tegas, ia memiliki segudang alasan untuk melakukannya, alih-alih menganggukkan kepala meski sadar ibunya tidak dapat melihat. Perempuan itu adalah ratu dalam hidupnya, Max tidak pernah bisa menolak permintaannya, tentunya selain perjodohan konyol yang selalu diaturnya. Berjanji untuk segera pulang, ia memutuskan panggilan teleponnya, lantas meneguk habis espresso yang dipesannya. “Buru-buru amat?” tanya Dimas. “Nyonya Ratu memintaku pulang.” “Perjodohan lagi?” tebak Rayhan setengah mengejek. “Untung, aku tidak punya ratu dalam hidup, jadi tidak perlu sepertimu, Max.” “Setiap orang memiliki ratu dalam hidup, Ray. Kamu bukan tidak punya, tapi belum. Max punya ibu sebagai ratu, kurasa ratumu nanti seorang perempuan yang akan kamu kejar mati-matian."“Itu hanya akan terjadi dalam mimpi,” sanggah Rayhan.“Kamu akan segera merasakannya, ketika jatuh cinta dan dibuat seperti budak.” “Aku lebih memilih menghabiskan sisa waktuku untuk mencintai diri sendiri. Perempuan itu menyusahkan, mereka asyik sekedar untuk bersenang-senang, kalau dijadikan ratu akan sangat merepotkan, aku tidak akan pernah siap menjadi Max, menuruti semua keinginan ratunya.” “Tiba waktunya kamu jatuh cinta, dengan senang hati aku akan menertawakanmu,” ujar Dimas, gemas. “Mau bertaruh kamu tidak akan pernah jatuh cinta?” Rayhan mendengus keras. “Mengapa tidak? Aku sangat yakin dengan ucapanku.” “Minta sahamnya 20 persen kalau sampai Ray jatuh cinta, Dim,” ucap Max tak acuh, ia menyambar jaketnya dan segera beranjak, meninggalkan kedua temannya. Max suka pulang ke rumah, ia menyukai sambutan hangat ibunya. Tiada yang lebih menggembirakan selain pulang ke rumah usai penat dengan pekerjaan kantor, Max menyukai wangi kue buatannya yang selalu dihidangkan bersama teh panas. Rumahnya merupakan surga baginya sejak kedatangan ibunya. Alysa Humairah bukan seorang perempuan sembarangan, ia seorang perempuan yang lahir dan besar di lingkungan pesantren, orang tuanya adalah seorang kyai ternama yang sangat disegani. Max menentang habis-habisan pertama kali ayahnya meminta ijin untuk menikah kembali dengan perempuan itu, terlebih ibunya 15 tahun lebih muda dari sang ayah. Namun, rasa tidak sukanya terhadap ibu tirinya lenyap tak tersisa. Perempuan itu benar-benar sosok yang luar biasa, tak heran ayahnya begitu mencintainya. Dulu, ayahnya mirip dengan Rayhan, bajingan tidak bertanggung jawab yang gemar mempermainkan perempuan, tidak suka terikat komitmen, dan hobi bersenang-senang. Pernikahannya dengan ibu kandung Max merupakan sebuah kesalahan, keduanya memutuskan bercerai ketika Max berusia dua bulan. Meski sangat tidak bertanggung jawab terhadap para perempuan yang dikencaninya, tetapi ayahnya sangat menyayanginya. Max menjadi prioritasnya, terlebih setelah bercerai, ia merawat dan mengasuh Max dengan sangat baik. Sikap buruknya masih saja berlanjut, sebelum kemudian kenal dengan Alysa Humairah. Mungkin, ibunya adalah karma untuk sang ayah. Max menyaksikan sendiri, betapa beratnya sang ayah berjuang untuk mendapakan Alysa Humariah. Bajingan yang dikejar-kejar, mendadak jatuh bangun mengejar. Apa lagi hubungan mereka tidak disetujui oleh kedua orang tua Alysa. Latar belakang mereka sangat berbeda, ibarat langit dan bumi. Ayahnya seorang bajingan, sedangkan ibunya dari keluarga relijius yang sangat memegang teguh kaidah agama. Perbedaan itu tentunya tidak mudah untuk diterima. Namun, kegigihan ayahnya berhasil meluluhkan sang pujaan hati. Ayahnya benar-benar berubah sejak mengenal Alysa, segala kebiasaan burunya ditinggalkan, ia tobat dan menjadi pria baik-baik yang sangat mencintai istrinya. Hidupnya jauh lebih bahagia, tentu saja Max juga turut bahagia. Ia mendapatkan kasih sayang yang tidak pernah dimilikinya sejak kecil, rumah yang dulu selalu sepi dan dingin, kini berubah menjadi hangat penuh kasih sayang yang selalu dirindukan Max. “Syukurlah, Ahmad, kamu segera pulang, Nak.” Sang ibu menyambutnya di teras rumah begitu mobil Max terparkir di halamannya yang luas. “Mama sudah cemas, khawatir kamu terlambat.” Max mencium tangan ibunya, lantas bergegas masuk. Ia melihat ayahnya sedang santai, menatap layar tablet di tangannya ditemani secangkir teh. “Mengapa aku mencium sesuatu yang tidak beres, ya?” katanya pada sang ayah sembari memincingkan mata. Pria yang rambutnya sudah dipenuhi uban itu, tertawa keras, melihat sang putra menatapnya curiga. “Kamu mencurigai papamu, Max?” “Jadi, untuk apa Mama menyuruhku buru-buru pulang?” “Keluarga Ayu akan datang, Ahmad. Mama ingin mengenalkannya padamu,” jawab ibunya. “Mandilah, Mama akan siapkan makanan untukmu.” “Kita akan bicara nanti, Pa, yang jelas aku akan membuat perhitungan dengan Papa,” dengusnya kesal. Ayahnya tertawa keras, pria itu pasti sudah memberitahukan persoalan perjodohan yang diaturnya. Ayahnya sangat paham, Max tidak akan kuasa menolak permintaan ibunya, menjadikan istrinya itu sebagai alat untuk membujuk Max menerima perjodohan konyol itu. “Jangan mengancam papamu, Max,” tegur ibunya. “Ah, itu dia, sepertinya Om Himawan dan keluarganya sudah datang!” lanjutnya berseru gembira, mendengar suara klakson mobil dari luar. Memutar bola mata, Max segera kabur masuk ke kamarnya. Kali ini ia tidak dapat menghindar. Ayahnya telah bekerja sama dengan ibunya.Bersambung …“Adiknya Ahmad nyantri di Batang, di tempat mbahnya. Mbak Milka tidak berkenan membawa Ayu ke sana saja? Banyak anak-anak bermasalah yang dibawa ke sana, mereka dididik dengan tegas untuk menjadi pribadi yang lebih baik."Max mendengar percakapan ibunya bersama keluarga Himawan di ruang tamu. Sejujurnya ia malas harus menemui mereka, apa lagi kalau membahas urusan perjodohan, tetapi tidak punya pilihan lain.Usai mandi dan berganti pakaian santai, Max mendatangi mereka dan ikut bergabung di ruang tamu, mendengarkan keluhan keluarga Himawan mengenai tingkah putrinya yang sudah keterlaluan. Mereka hanya datang berdua, Masayu yang sedang menjadi bahan pembahasan tidak ikut serta.“Ayu bukan perempuan relijius seperti Nahla, Lys. Dia pemberontak dan suka kebebasan, terlebih dia bukan anak-anak lagi, aku tidak yakin dia bisa dipaksa untuk tinggal di pesantren,” keluh Milka.“Aku juga belum berpikir ke sana,” timpal suaminya.“Saat ini, aku hanya perlu mengawasinya setiap tingkahnya. Aku ben
Bukan sebab ayahnya yang kaya raya, bukan pula nama ibunya yang dikenal di kalangan sosialita, Masayu mengawali bisnisnya di bidang fashion murni atas kerja kerasnya sendiri.Bukan lulusan sekolah tata busana, kemampuannya dalam hal merancang busana tentunya diragukan banyak orang, termasuk orang tuanya sendiri. Mereka tidak setuju Masayu menjadi seorang desainer, terutama ayahnya.Masayu dipersiapkan sejak dini untuk menjadi penerus perusahaan sementara hingga adiknya dewasa, tetapi ia lebih memilih mengejar impiannya sendiri, mengawalinya dari nol di mana ia tidak mendapatkan dukungan dari siapa pun.Ia sering menawarkan jasanya kepada teman-teman ibunya di kalangan sosialita, memperlihatkan desain rancangannya, tetapi sering pula penolakan yang didapatnya. Mereka meragukan rancangan Masayu.Tidak menyerah, ia terus berkarya, menciptakan desain-desain yang kreatif.Nasib baiknya datang ketika ia memberikan ha
Berbalik 180 derajat sikapnya mana kala menyambut Max keluar dari ruang kerja Budi Himawan.Tangisnya yang sesenggukan musnah tak tersisa, air matanya palsunya entah pergi ke mana. Ia melipat kedua tangan ke dada sembari memasang sikap angkuh yang sangat menjengkelkan, bibirnya mengulas senyuman ejekan, merasa telah berhasil membuat Max dalam masalah besar.“Bagaimana? Apakah Papa sudah berkenan memecatmu setelah menyakiti putri kesayangannya?” ujarnya dengan mimik penuh kemenangan.Max mendengus keras, sudah menduga, ratu drama ini sedang berusaha menyingkirkannya dengan cara yang sangat kekanakan.“Kamu sungguh kekanakan,” dengus Max, tajam matanya menatap Masayu, seolah siap menghunus jantung perempuan itu dan membuatnya sekarat.Masayu tampak sangat menyebalkan, Max menahan diri untuk tidak mencekiknya hingga kehabisan napas.“Persetan, aku tidak peduli, yang terpenting aku bisa menyngkirkanmu.” Masay
“Mencintai suami orang? Busyet! Macam sudah tak ada pria lajang yang menarik saja,” decak Rayhan sembari tertawa ngakak. “Jangan-jangan karena dia ompong, jadi gak laku sampai-sampai suami orang pun diembatnya?”“Dia sudah tidak ompong,” balas Max, ia mengeluarkan sebatang rokok dari bungkusnya, lantas menyulutnya. “Dan cantik sekali.”Rayhan urung menyesap kopinya, ia menoleh, saling berpandangan dengan Dimas. “Kamu dengar itu, Dim?”“Dia sangat cantik,” gumam Dimas, keningnya berkerut dalam. “Baru kali ini aku mendengar Max memuji kecantikan seorang perempuan, tentunya selain ibunya.”“Aku tidak memuji,” bantah Max, “Hanya mengatakan yang sebenarnya.”“Bianca juga cantik, tapi kamu tidak pernah mengatakannya. Satu-satunya perempuan yang kamu sebut cantik hanyalah ibumu, dan sepertinya sekarang bertambah satu lagi.”Terdiam, Max menyesap rokoknya nikmat, lantas menghembuskan asapnya ke udara, membe
Tawa Ivander menyembur keras, puas sekali ia menertawakan kekesalan adik sepupunya.Jengkel, Masayu mendelik tajam sembari melemparinya bantal sofa, merasa percuma menceritakan kedongkolannya pada Ivander.Pria itu sedang berbahagia, sebentar lagi akan menikah dengan perempuan yang dicintainya. Dunianya di sekitarnya terasa berwarna, mana mungkin dapat melihat keruh wajah Masayu.“Dia bajingan bukan? Pokoknya kamu harus membantuku menyingkirkan dia. Bayangan, Van, bayangkan! Dia bilang ke Papa aku mabuk dan menggodanya, Ya Tuhan! Bedebah itu bilang, tidak tertarik padaku meski aku sangat cantik dan menggoda, dia tidak mau meladeni sebab memegang teguh ajaran ibunya untuk menghormati perempuan. Cih, sok alim! Aku harus cari kebobrokannya, aku yakin dia tidak sealim itu!”“Max memang tidak suci, tapi bukan pria bajingan seperti yang kamu tuduhkan.” Tawa Ivander memelan, ia sampai batuk-batuk menertawakan adik sepupunya. “Mungkin memang kamu yang tidak menarik di matanya.”“Sialan kamu,
Butik selalu sepi ketika pagi hari, untuk itu, Masayu sengaja datang terlambat, toh tidak ada sesuatu yang mendesak.Sebenarnya Masayu tidak perlu datang ke butik setiap hari, kecuali untuk bertemu dengan klien secara khusus, sudah ada asisten dan karyawan butik yang dapat menghandel segalanya.Namun, terbiasa berjuang dan bekerja keras sejak awal, ia tidak bisa membiarkan semua urusan ditangani orang lain.Masayu lebih senang mengerjakan banyak hal sendiri, termasuk menemui para tamu yang datang ke butik. Ia sering turun tangan langsung untuk melayani para tamu, ketika karyawannya sedang istirahat.Pukul 10 pagi, ia baru tiba di butik setelah mengerjai Max habis-habisan. Wajahnya berseri-seri, sarat akan kepuasan. Mungkin ibunya akan mengomelinya setelah menyadari perbuatannya, tetapi Masayu tidak peduli, yang terpenting ia berhasil membuat Max kesal setengah mati.Bunyi gemericik air shower terdengar dari kamar mandi. Masayu cekikikan puas. Max sedang mandi di kamar mandi butiknya s
Kehidupan di kalangan orang-orang beruang, tidak selamanya seindah dalam novel-novel yang dibaca Masayu semaja remaja.Suami tampan dan setia, uang yang mengalir bak air bah, hidup bahagia dan penuh kasih sayang. Sangat sempurna untuk sebuah dongeng, tetapi tidak dalam kehidupan realita.Nyatanya, selain para selebriti yang memang membutuhkan sebagai penunjang penampilan, orang-orang yang datang ke butik Masayu banyak juga dari kalangan para sosialita yang kesepian, salah satunya Tante MirnaSudah dua tahun Tante Mirna menjadi pelanggan tetap, boleh dibilang ia merupakan pelanggan sejak Masayu masih berjuang, belum mendirikan butik seperti sekarang. Tante Mirna cukup dekat dengannya dan sering mengeluhkan hidupnya yang dirasa sangat tidak adil.Suaminya kaya raya, tetapi tidak setia. Setahun terakhir, Tante Mirna terlibat perang dingin dengan suaminya, mereka hidup seatap tetapi bak orang asing yang tidak saling mengenal.Tante Mirna sangat kecewa dengan suaminya setelah perselingkuha
“Max minta ijin, besok tidak akan mengawalmu, katanya akan menemani ibunya mengunjungi adiknya di pesantren,” kata Himawan.Bak madu, Masayu mengula senyuman. Ia mengangkat kepala dari sketsa gambar yang sedang dikerjakannya. “Baguslah, ijin selamanya juga tidak apa-apa.”“Kakmu kedengarannya sangat senang, Yu,” balas Himawan masam. “Katanya mau memperbaiki sikapmu padanya?”“Aku tidak suka Max, Pa, dia sangat menyabalkan.”“Yang kamu sebut menyebalkan itu adalah calon suamimu, Yu.”“Papa sedang mengajakku bercanda? Tumben sekali, biasanya Papa selalu serius. Mama aja dibikin cepat tua punya suami gak pernah bisa diajak guyon.”Himawan bergerak, menjitak kepala putrinya gemas. “Siapa yang bercanda? Papa sama Om Lucas sudah sepakat akan menjodohkan kalian.”Mengaduh, Masayu meletakkan pensil di tangannya, lantas menatap sang ayah dengan sorot ngeri. “Itu gak bener, kan?”“Tanya saja sama Max, kalau kamu tidak percaya.”Ayahnya sudah pasti mengira Masayu akan menjerit histeris,