Langit kota baru saja berganti warna ketika Naira—yang baru tiba dari perjalanan pulang—menerima panggilan dari Davin. Suaranya terdengar tegang, tak seperti biasanya. > “Naira, kamu di mana sekarang? Jangan panik, tapi… kamu harus pulang ke rumah. Sekarang.” Jantung Naira langsung berdegup kencang. > “Ada apa, Davin?” tanyanya cepat. > “Ini soal Rayhan… ada orang yang mengikuti dia sejak kemarin. Adrian baru tahu tadi pagi. CCTV rumah tetangga sempat merekam seseorang yang mondar-mandir dekat sekolahnya. Wajahnya tidak dikenali.” Naira langsung berlari mencari taksi tanpa pikir panjang. Koper dan semua oleh-oleh yang baru ia beli tertinggal di pinggir jalan. Hatinya terasa seperti diremas dari dalam. Rayhan. Anaknya. --- Di rumah, Adrian sedang memutar ulang rekaman CCTV sambil menggertakkan rahangnya. Tangannya mengepal di sisi meja. Di layar, tampak seorang pria bertudung hitam berdiri lama di dekat gerbang sekolah Rayhan. Ia tidak melakukan apa-apa—tapi kehadirannya
Udara pagi di stasiun kecil itu terasa berbeda. Bukan karena anginnya lebih dingin, tapi karena Naira akhirnya benar-benar pergi. Bukan untuk melarikan diri—melainkan untuk memberi ruang bagi hatinya sendiri yang mulai sesak oleh harapan, keraguan, dan luka yang belum tuntas. Ia memilih kota yang jauh dari hiruk pikuk—tempat dulu ia pernah magang saat masih kuliah. Tempat di mana hidup terasa lebih sederhana, dan ia pernah merasa paling bebas jadi dirinya sendiri. Sesampainya di sana, Naira langsung menuju rumah kecil yang pernah menjadi tempat tinggal sementaranya. Di ujung jalan, ia disambut senyuman ramah seorang wanita paruh baya yang tak asing. “Bu Harni…” Naira memeluk perempuan itu dengan hangat. “Ya Allah, Naira... kamu tambah dewasa ya. Terakhir ke sini waktu masih gadis kecil yang suka lupa makan!” candanya. Naira tertawa kecil. “Sekarang suka lupa istirahat, Bu.” Mereka mengobrol sebentar, lalu Naira menginap di kamar lamanya—yang ternyata masih disimpan rapi ol
Sudah tiga hari berlalu sejak pertemuan Naira dengan Lamia di kafe kecil itu. Dan sejak hari itu pula, pikirannya dipenuhi kalimat-kalimat ambigu yang terus berputar. Lamia memang tak lagi terlihat seperti ancaman, tapi tetap saja—masa lalu tak pernah benar-benar pergi. Naira ingin percaya. Ia sudah melihat perubahan Adrian dengan matanya sendiri. Tapi kepercayaan, sekali retak, sulit menyatu kembali tanpa bekas. Pagi itu, Naira sedang membersihkan ruang kerja kecil di rumahnya. Rak buku dirapikan, dokumen-dokumen disortir ulang. Di antara tumpukan buku, ia menemukan tablet tua milik Adrian—perangkat yang dulu sering digunakan saat mereka masih tinggal bersama sebagai pasangan kontrak. Tablet itu terkunci. Tapi entah bagaimana, saat disentuh, layar menyala dan langsung masuk ke layar utama. Tidak ada kata sandi. Mungkin karena Adrian sudah tak menggunakannya lagi, atau mungkin... karena ia tak merasa perlu menyembunyikan apa pun. Dengan jari yang ragu, Naira membuka galeri dan
Langit mendung menggantung di atas taman yang hampir sepi. Pepohonan bergoyang pelan diterpa angin, dedaunan jatuh satu per satu, menambah suasana sunyi yang menyusup hingga ke dada. Di salah satu bangku kayu taman itu, Adrian duduk menunggu, mengenakan jaket gelap dan celana jeans yang mulai basah karena embun malam. Ia menatap jam tangannya. Sudah hampir satu jam sejak ia duduk di sana, namun Naira belum juga muncul. Lalu terdengar langkah. Pelan tapi pasti. Adrian mendongak dan melihat sosok yang begitu dikenalnya. Naira berdiri di depan bangku taman, mengenakan kerudung tipis dan jaket krem. Wajahnya tenang, tapi tatapannya tajam—seolah menyimpan banyak pertanyaan yang tak ingin diulang dua kali. “Aku baca suratmu,” ucapnya langsung. Adrian berdiri, gugup tapi mencoba tenang. “Terima kasih… karena sudah datang.” “Aku datang bukan karena aku sudah memaafkan, Adrian. Tapi karena aku ingin dengar langsung, tanpa gangguan, tanpa perantara. Aku ingin tahu: apa benar kamu me
Langit sore itu berwarna jingga pucat, seperti hati Naira yang sedang belajar tenang. Setelah semuanya—kontrak, luka, dan pengakuan jujur—ia dan Adrian sepakat memulai dari awal. Tak ada lagi perjanjian, hanya cinta yang mereka pilih bangun bersama. Namun, sekuat apapun seseorang ingin melupakan masa lalu, seringkali masa lalu itu sendiri tak pernah benar-benar pergi. Sore itu, mereka berjalan berdampingan di taman kota. Adrian menggenggam tangan Naira dengan tenang, sesekali melirik wajah perempuan yang kini tak lagi rapuh, tapi tetap memancarkan kelembutan yang menyentuh. “Aku masih belum percaya,” gumam Adrian, “kamu mau memberiku kesempatan kedua.” Naira tersenyum samar. “Kamu tidak sedang kuberi kesempatan, Adrian. Kita sedang memulainya bersama.” Namun kebahagiaan yang baru saja bersemi itu goyah, saat suara perempuan terdengar dari belakang mereka—tajam, familiar, dan menyelusupkan hawa dingin di udara hangat sore itu. “Adrian?” Mereka berdua menoleh. Seorang wa
Taman itu masih sama. Rumput yang pernah diinjak oleh langkah marah, kursi kayu yang menjadi saksi pertengkaran hebat mereka, dan angin sore yang kini bertiup lembut, seakan menghapus jejak luka lama. Naira berdiri beberapa langkah di depan, mengenakan gaun sederhana berwarna putih gading. Tangannya menggenggam undangan dari Adrian—undangan tanpa agenda bisnis, tanpa tekanan keluarga, tanpa kewajiban kontrak. Ia menoleh saat suara langkah pelan mendekat. Adrian datang dengan kemeja abu-abu dan celana panjang santai. Tak ada dasi, tak ada aura dingin seorang CEO. Hanya lelaki dengan tatapan penuh penyesalan dan harapan baru. "Aku sempat berpikir kau tidak akan datang," ucap Adrian pelan. Naira tersenyum tipis. "Aku juga sempat berpikir tak akan pernah menginjakkan kaki di taman ini lagi." Keduanya tertawa kecil. Suara mereka menyatu dengan desiran angin dan kicau burung yang kembali ke sarangnya. Adrian menarik napas panjang. "Di tempat ini… kita pernah berkata hal-hal yang