Tersandung Cinta Tuan Muda Naira Putri tak pernah menyangka hidupnya akan berubah drastis hanya karena satu kesalahan kecil—menumpahkan kopi ke jas seorang pria asing yang dingin dan arogan. Pria itu adalah Adrian Alexander, pewaris konglomerat terkenal, yang sejak awal sudah menilai Naira sebagai gadis ceroboh dan tak tahu diri. Namun, takdir mempermainkan mereka. Dalam keadaan putus asa akibat tekanan keluarga, Adrian justru mengajukan tawaran yang tak bisa Naira tolak: pernikahan kontrak dengan syarat yang mengikat. Bagi Naira, ini adalah kesempatan untuk keluar dari masalah finansialnya. Bagi Adrian, ini hanyalah permainan untuk menenangkan keluarganya yang terus mendesaknya menikah. Seiring berjalannya waktu, batasan di antara mereka mulai kabur. Tatapan dingin Adrian perlahan berubah menjadi sesuatu yang lebih dalam, lebih berbahaya. Tapi di balik pernikahan ini, tersembunyi rahasia besar yang bisa menghancurkan segalanya. Ketika hati mulai terlibat dan masa lalu kembali menghantui, mampukah mereka bertahan? Atau perasaan yang tumbuh ini justru akan menjadi kehancuran bagi keduanya?
Lihat lebih banyakKehidupan Naira Putri selalu berjalan dalam batas normal. Pagi dimulai dengan alarm yang berdering keras, membangunkannya dari tidur yang selalu terasa kurang. Sebagai seorang gadis sederhana yang bekerja di sebuah kafe kecil di pusat kota, rutinitasnya tidak pernah berubah. Ia bukan siapa-siapa. Tidak ada yang mengenalnya, dan tidak ada yang peduli pada kehadirannya.
Namun, hari ini berbeda. Pagi itu, udara masih dingin meski matahari mulai menampakkan sinarnya. Naira sudah berdiri di belakang konter, mengenakan seragam kafe berwarna cokelat dengan celemek hitam yang sudah mulai pudar warnanya. Tangannya sibuk meracik pesanan, sementara pikirannya melayang ke hal lain—tagihan kos yang belum terbayar dan pekerjaan tambahan yang harus ia cari untuk menutupi semua itu. “Naira, pesanan meja lima sudah siap?” suara Sinta, sahabat sekaligus rekan kerjanya, menyadarkannya dari lamunannya. “Sebentar, hampir selesai,” jawab Naira sambil menuangkan espresso ke dalam cangkir porselen putih. Tangannya cekatan menambahkan susu hangat hingga menghasilkan latte art berbentuk hati yang sempurna. Dengan langkah cepat, Naira membawa nampan berisi pesanan ke meja lima, tanpa menyadari bahwa di meja itu duduk seseorang yang akan mengubah hidupnya selamanya. Seorang pria dengan jas hitam mahal duduk di sana. Posturnya tegap, aura dinginnya terasa bahkan sebelum Naira benar-benar mendekat. Rambut hitamnya tertata sempurna, matanya tajam menatap layar ponsel, dan ekspresi wajahnya penuh ketidakpedulian terhadap dunia sekitarnya. Naira menelan ludah. Ia sudah terbiasa melayani berbagai macam pelanggan—mulai dari yang ramah hingga yang paling menyebalkan. Tapi pria ini berbeda. Entah kenapa, hawa di sekitarnya terasa begitu menekan. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu menyunggingkan senyum profesionalnya. “Selamat pagi, ini pesanan Anda, Tuan.” Tanpa menjawab, pria itu hanya sedikit mengangkat kepalanya, sekilas menatap Naira sebelum kembali fokus pada ponselnya. Baiklah, angkuh sekali, batin Naira. Ia baru saja hendak meletakkan cangkir di meja, ketika tiba-tiba seseorang dari belakang menabraknya. BRUKK! Cangkir porselen itu melayang dari tangannya dan dalam hitungan detik, isinya tumpah tepat ke jas mahal pria itu. Naira membeku. Seluruh kafe terdiam. Beberapa pelanggan menoleh ke arah mereka, terkejut dengan kejadian itu. Naira menatap jas pria itu yang sekarang basah dengan noda kopi kecokelatan. Ia mendongak, hanya untuk menemukan tatapan tajam yang begitu dingin. Pria itu bangkit dari kursinya, merapikan jasnya yang terkena noda dengan gerakan pelan namun penuh tekanan. “Apakah ini cara kafe ini melayani pelanggan?” suaranya rendah, tapi nada mengancamnya begitu terasa. Naira membuka mulutnya, tapi kata-kata seakan tertahan di tenggorokannya. “A-aku… aku benar-benar minta maaf, Tuan. Aku tidak sengaja,” ucapnya terbata. Sinta yang berdiri tak jauh dari sana buru-buru mendekat. “Naira, cepat ambil serbet!” Naira mengangguk panik dan dengan cepat meraih serbet dari konter, lalu mencoba membersihkan noda kopi itu. Namun, ketika tangannya hampir menyentuh jas pria tersebut, sebuah tangan besar menepisnya dengan kasar. “Jangan sentuh,” katanya dingin. Naira terperanjat. Ia mendongak dan kembali bertemu dengan mata gelap yang menatapnya tanpa belas kasihan. “Maaf, aku hanya ingin—” “Kau pikir permintaan maaf bisa menyelesaikan semuanya?” pria itu menyela, nada suaranya lebih tajam dari sebelumnya. Naira menggigit bibirnya, merasa bersalah sekaligus ketakutan. “Aku… aku bisa mengganti jasmu jika kau mau,” katanya, meski dalam hati ia tahu itu mustahil. Jas yang dipakai pria itu jelas bukan barang murah. Pria itu menyeringai kecil, tapi itu bukan senyuman ramah. “Oh? Kau bisa menggantinya?” Naira mengangguk cepat, meski jantungnya berdebar kencang. “Baik,” pria itu berkata, lalu mengambil ponselnya. Jari-jarinya lincah mengetik sesuatu sebelum kemudian menatap Naira lagi. “Aku baru saja menghubungi asistanku. Harga jas ini sekitar dua puluh juta rupiah. Kau bisa menggantinya, bukan?” Naira merasa seluruh darahnya menghilang dari tubuhnya. “D-dua puluh juta?” ia tergagap. Pria itu menatapnya dengan tatapan puas melihat keterkejutannya. “Apa? Kau tidak bisa menggantinya?” Naira terdiam. Tentu saja ia tidak bisa. Bahkan untuk membayar uang kos saja ia kesulitan, apalagi mengganti jas yang harganya setara dengan penghasilannya selama berbulan-bulan. Melihat wajah panik gadis di depannya, pria itu menghela napas seolah kesal. “Kalau begitu, kau harus bertanggung jawab dengan cara lain.” Jantung Naira berdegup lebih kencang. “C-cara lain?” Pria itu menyeringai kecil. “Mulai sekarang, kau bekerja untukku sampai hutangmu lunas.” Naira tertegun. “Maksudmu…?” Pria itu memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya, menatapnya dengan penuh superioritas. “Mulai besok, kau adalah asisten pribadiku. Aku tidak peduli bagaimana caranya, tapi kau akan melunasi jas ini dengan bekerja untukku.” Naira menatapnya dengan mata terbelalak. Ia ingin menolak. Ia ingin mengatakan tidak. Tapi bagaimana bisa? Ia tidak punya uang, tidak punya pilihan, dan yang lebih buruk lagi, pria ini tampaknya tidak akan menerima penolakan. Tanpa sadar, ia baru saja menyeret dirinya ke dalam masalah yang lebih besar dari sekadar menumpahkan kopi. Dan itu adalah awal dari segalanya. Naira masih tertegun di tempatnya, berusaha mencerna setiap kata yang baru saja keluar dari mulut pria itu. Asisten pribadinya? Bekerja untuk pria asing yang bahkan namanya pun tidak ia ketahui? Pikiran itu membuat tengkuknya meremang. Namun, apa yang bisa ia lakukan? Dengan keadaannya saat ini, mencari pekerjaan baru dalam waktu singkat adalah hal mustahil. Satu-satunya pilihan yang tersisa adalah menerima tawaran pria itu—meskipun ia tidak yakin apakah itu benar-benar tawaran atau ancaman terselubung. Sinta yang masih berdiri di sebelahnya menyikut lengannya pelan. “Naira, kau baik-baik saja?” bisiknya, terlihat sama terkejutnya. Naira mengangguk pelan, meski dalam hatinya ia tahu ia jauh dari kata baik-baik saja. Pria itu, yang masih belum menyebutkan namanya, mengangkat alisnya. “Jadi?” Naira menelan ludahnya. “Apa aku punya pilihan lain?” Pria itu menyeringai tipis. “Tidak.” Jawabannya begitu tegas dan penuh kepastian, membuat Naira merasa seolah dirinya baru saja menandatangani kontrak dengan iblis. Namun, sebelum ia bisa berkata lebih jauh, suara lain memotong percakapan mereka. “Revan, ada masalah?” Naira menoleh ke arah sumber suara dan menemukan seorang pria lain yang tidak kalah berkarisma dari pria pertama. Berbeda dengan pria berjas hitam di hadapannya yang memiliki aura dingin dan menekan, pria ini terlihat lebih santai dengan senyum ramah di wajahnya. Revan? Jadi itu nama pria ini? “Tidak ada masalah, Rico,” jawab Revan singkat. “Hanya seseorang yang harus membayar hutangnya.” Rico menatap Naira sejenak, lalu kembali menoleh ke Revan dengan ekspresi tertarik. “Dan kau memilih menjadikannya asisten pribadimu?” Revan mengangkat bahu. “Dia harus bertanggung jawab atas kesalahannya.” Rico terkekeh pelan. “Kau selalu punya cara unik dalam menyelesaikan masalah, Revan.” Naira merasa seperti boneka yang tengah diperbincangkan tanpa bisa memberikan pendapatnya sendiri. Tapi, apa yang bisa ia katakan? Ia benar-benar berada dalam posisi yang sulit. “Baiklah.” Rico akhirnya menatap Naira. “Kalau kau bekerja dengan Revan, pastikan kau siap. Dia bukan bos yang mudah.” Naira menelan ludahnya. Apa yang baru saja Rico katakan semakin membuatnya gugup. Sebelum percakapan itu berlanjut, suara bel pintu kafe berbunyi, menandakan ada pelanggan lain yang masuk. Sinta buru-buru menarik Naira menjauh dan berbisik, “Naira, kau yakin dengan ini?” Naira menghembuskan napas panjang. “Aku tidak punya pilihan lain, Sin.” Sinta menggigit bibirnya. “Tapi kau bahkan tidak tahu dia siapa! Bagaimana kalau dia penjahat?” Naira mengangguk kecil. Itu juga yang ada di pikirannya. Namun, sebelum ia bisa memberikan jawaban, ponselnya bergetar di saku celemeknya. Dengan cepat, ia mengeluarkannya dan melihat sebuah pesan masuk. "Datang ke kantor besok pagi pukul 08.00. Jangan terlambat. - Revan Alexander" Matanya membesar. Revan Alexander? Nama itu terdengar familiar, tapi ia tidak bisa langsung mengingat dari mana. Melihat ekspresi bingung Naira, Sinta ikut melongok ke layar ponselnya. Seketika, mata sahabatnya itu membulat. “Revan Alexander?! Maksudmu Revan Alexander, CEO R.A Group?!” Jantung Naira seketika mencelos. R.A Group—salah satu perusahaan terbesar di negeri ini, dikenal sebagai raksasa bisnis yang bergerak di berbagai bidang, mulai dari properti hingga teknologi. Dan Revan Alexander adalah sosok pemimpin muda yang disebut-sebut sebagai pria jenius, kejam, dan nyaris tak tersentuh oleh skandal. Naira menatap pesan itu sekali lagi, lalu mengalihkan pandangannya ke pria di meja lima yang masih berdiri dengan tatapan tenangnya. Revan Alexander. CEO muda yang dingin dan tak berperasaan. Dan kini, ia harus bekerja untuknya. --- Keesokan Harinya Naira berdiri di depan gedung pencakar langit yang menjulang tinggi di pusat kota. R.A Group. Tempat di mana ia akan bekerja mulai hari ini. Ia menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri, sebelum melangkah masuk ke dalam lobi megah yang lantainya berkilauan seperti cermin. Seorang resepsionis dengan senyum profesional menyambutnya. “Selamat pagi, ada yang bisa saya bantu?” Naira menggenggam tali tasnya erat-erat. “Saya… saya datang untuk menemui Tuan Revan Alexander.” Resepsionis itu menatapnya dari atas ke bawah, jelas menilai penampilannya yang sederhana. Namun, ia tidak berkata apa-apa selain mengangguk dan menghubungi seseorang melalui telepon di mejanya. Tak lama kemudian, seorang pria bertubuh tegap datang menghampiri. “Ikut saya.” Naira menelan ludah dan mengikuti pria itu menuju lift. Sepanjang perjalanan, jantungnya berdebar kencang. Begitu lift tiba di lantai teratas, pintu terbuka, memperlihatkan sebuah ruangan luas dengan pemandangan kota yang menakjubkan. Dan di balik meja kerja besar di tengah ruangan, Revan duduk dengan ekspresi dinginnya yang biasa. Tanpa mengangkat kepalanya, ia berkata, “Kau terlambat.” Naira terkejut. Ia langsung melihat jam tangannya—pukul 07.58. “T-tapi masih dua menit sebelum pukul 08.00!” Revan akhirnya menatapnya, matanya penuh ketidakpedulian. “Di duniaku, lima menit sebelum waktu yang ditentukan sudah dianggap terlambat.” Naira mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Baru beberapa detik ia berada di sini, tapi ia sudah bisa merasakan bahwa bekerja dengan pria ini tidak akan mudah. Tanpa memberi kesempatan lebih lama, Revan berdiri dan berjalan mendekatinya. “Mulai hari ini, kau adalah asistennya pribadiku. Dan ada satu aturan utama yang harus kau patuhi…” Naira menahan napas. “Apa itu?” Revan menatapnya tajam. “Jangan pernah menolak perintahku.”Langit sore itu berwarna jingga pucat, seperti hati Naira yang sedang belajar tenang. Setelah semuanya—kontrak, luka, dan pengakuan jujur—ia dan Adrian sepakat memulai dari awal. Tak ada lagi perjanjian, hanya cinta yang mereka pilih bangun bersama. Namun, sekuat apapun seseorang ingin melupakan masa lalu, seringkali masa lalu itu sendiri tak pernah benar-benar pergi. Sore itu, mereka berjalan berdampingan di taman kota. Adrian menggenggam tangan Naira dengan tenang, sesekali melirik wajah perempuan yang kini tak lagi rapuh, tapi tetap memancarkan kelembutan yang menyentuh. “Aku masih belum percaya,” gumam Adrian, “kamu mau memberiku kesempatan kedua.” Naira tersenyum samar. “Kamu tidak sedang kuberi kesempatan, Adrian. Kita sedang memulainya bersama.” Namun kebahagiaan yang baru saja bersemi itu goyah, saat suara perempuan terdengar dari belakang mereka—tajam, familiar, dan menyelusupkan hawa dingin di udara hangat sore itu. “Adrian?” Mereka berdua menoleh. Seorang wa
Taman itu masih sama. Rumput yang pernah diinjak oleh langkah marah, kursi kayu yang menjadi saksi pertengkaran hebat mereka, dan angin sore yang kini bertiup lembut, seakan menghapus jejak luka lama. Naira berdiri beberapa langkah di depan, mengenakan gaun sederhana berwarna putih gading. Tangannya menggenggam undangan dari Adrian—undangan tanpa agenda bisnis, tanpa tekanan keluarga, tanpa kewajiban kontrak. Ia menoleh saat suara langkah pelan mendekat. Adrian datang dengan kemeja abu-abu dan celana panjang santai. Tak ada dasi, tak ada aura dingin seorang CEO. Hanya lelaki dengan tatapan penuh penyesalan dan harapan baru. "Aku sempat berpikir kau tidak akan datang," ucap Adrian pelan. Naira tersenyum tipis. "Aku juga sempat berpikir tak akan pernah menginjakkan kaki di taman ini lagi." Keduanya tertawa kecil. Suara mereka menyatu dengan desiran angin dan kicau burung yang kembali ke sarangnya. Adrian menarik napas panjang. "Di tempat ini… kita pernah berkata hal-hal yang
Hujan sore itu turun ringan, mengiringi langkah Naira yang ragu saat menatap amplop undangan berwarna biru lembut di genggamannya. Nama pengirimnya jelas tertulis di pojok kanan atas: Adrian Alexander. Hatinya berdegup lebih cepat dari biasanya. Setelah malam emosional di mana Adrian memintanya memilih dengan bebas, Naira mencoba menjauh untuk menata pikirannya. Namun undangan ini—mengajaknya ke panti asuhan tempat mereka pertama kali bertemu—seolah menjadi jembatan halus yang ditawarkan Adrian tanpa memaksa. Dengan balutan dress sederhana dan scarf putih, Naira melangkah ke halaman panti asuhan yang kini lebih tertata dan cerah. Senyum anak-anak menyambutnya, membuat hatinya hangat. Tapi pandangannya langsung tertuju pada sosok pria yang berdiri di depan panggung kecil, mengenakan kemeja putih yang digulung di bagian lengan, tampak bersahaja namun tetap karismatik. Adrian. Saat mata mereka bertemu, waktu seakan berhenti. Adrian tersenyum tipis, lalu melangkah maju. “Terima ka
Hujan gerimis turun perlahan di halaman belakang rumah, mengiringi suasana hati Naira yang tak menentu. Di tangannya tergenggam secarik kertas—salinan kontrak pernikahan mereka, yang kini tinggal menghitung hari sebelum resmi berakhir. Ia duduk sendiri di kursi rotan tua yang biasa mereka gunakan untuk menikmati sore bersama. Tapi sore ini berbeda. Tidak ada Adrian. Tidak ada percakapan. Hanya diam, dan pikiran yang terus menuntut jawaban. "Aku seharusnya lega..." gumamnya pelan. "Tapi kenapa terasa justru lebih menyakitkan sekarang?" Di dalam rumah, Adrian berdiri di balik jendela, memperhatikan Naira dalam diam. Ia tahu waktunya hampir habis, dan kali ini ia tidak berniat memohon atau memaksa. Semua sudah ia serahkan kepada keputusan Naira. Beberapa hari terakhir, ia memilih menjauh secara perlahan. Bukan karena menyerah, tapi karena ingin memberikan Naira ruang—ruang untuk benar-benar mendengar suara hatinya sendiri. --- Naira membuka kembali jurnal kecil yang berisi su
Senja baru saja turun ketika Naira membuka pintu balkon rumahnya. Udara sore menyapa lembut, membawa aroma tanah basah dan ketenangan yang langka. Di sana, berdiri Adrian, membelakangi pintu, menatap langit yang perlahan berwarna jingga. “Boleh aku ikut duduk?” tanya Naira pelan, tak ingin mengusik keheningan yang tampak begitu tenang. Adrian menoleh. Matanya sedikit sembab, namun penuh dengan keteguhan. Ia mengangguk dan mempersilakan. Mereka duduk berdampingan di kursi kayu yang sedikit usang, tapi nyaman. Beberapa menit berlalu tanpa suara. Hanya suara dedaunan yang bergoyang dan desah napas keduanya yang terdengar. “Aku nggak tahu harus mulai dari mana,” ujar Adrian akhirnya, suaranya berat. “Terlalu banyak hal yang kutahan selama ini. Tapi… aku tahu, kalau aku terus diam, aku akan kehilanganmu lagi.” Naira tak menjawab. Ia hanya menunduk, menunggu. Adrian menarik napas dalam, lalu mulai bicara. “Awalnya, semua ini rencana. Aku ingin membuktikan sesuatu pada ibuku… d
Udara di rumah itu terasa lebih hening dari biasanya. Setelah Adrian memutuskan untuk mundur dari semua posisinya di perusahaan dan memilih menjadi relawan dalam seminar Naira, suasana rumah mereka berubah. Tidak ada lagi dentingan gelas dari pertemuan bisnis di ruang makan, atau tumpukan dokumen di ruang kerja. Yang tersisa hanya ketenangan... dan pertanyaan yang menggantung. Naira berdiri di depan pintu ruang kerja Adrian, memandang gagang pintu yang tertutup. Sudah lama ia tidak memasuki ruangan itu. Tempat di mana Adrian menyimpan banyak rahasia, tempat yang dulunya menjadi medan perang dingin di antara mereka. Tapi hari ini, ada sesuatu yang menggerakkannya untuk masuk. Tangannya bergetar saat membuka pintu. Udara dingin dari AC yang menyala otomatis langsung menyambutnya. Ia melangkah masuk perlahan, menatap rak-rak buku, meja kerja, dan lemari arsip yang rapi. Di antara semua itu, ada satu laci yang tertutup rapat, laci yang selalu dikunci Adrian—dan kini, kuncinya tergantu
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen