Share

bab 7 : Bayi?

last update Last Updated: 2025-06-21 01:58:05

Langit mendung menggantung di atas kampus sore itu. Pepohonan bergoyang pelan dihembus angin, seolah ikut merasakan kegelisahan seorang gadis yang duduk sendirian di sudut taman kampus, memegangi perutnya yang mual.

Diajeng tampak pucat. Wajahnya lelah, matanya berkaca-kaca, dan napasnya pendek-pendek. Beberapa kali ia menunduk, berharap rasa mual yang menyiksa itu segera berlalu. Tapi tidak.

Tubuhnya seperti menolak semua makanan. Kecuali sesuatu yang asam.

“Asinan…” bisiknya lirih, hampir seperti doa.

Di balik pohon kamboja, seseorang memperhatikannya diam-diam. Tubuh jangkungnya bersandar pada batang pohon, tangan kanan mengepal, tangan kiri menggenggam plastik kecil berisi asinan mangga yang ia beli dari pedagang kaki lima di luar kampus. Ia melihat Diajeng menggigit bibirnya—mungkin menahan tangis, atau menahan mual.

Banyu Samudra menghela napas panjang. Ia tahu Diajeng sedang tersiksa dan itu semua salahnya. Dengan pelan, ia berjalan mendekat, meletakkan kantong plastik itu di bangku taman, lalu pergi sebelum Diajeng sempat menoleh.

Beberapa menit kemudian, Diajeng membuka matanya. Melihat plastik itu. Tangannya gemetar saat meraih isinya. Begitu tahu itu asinan mangga, mata Diajeng langsung berkaca-kaca.

“Siapa… yang tahu aku butuh ini?” gumamnya. Ia menoleh kanan-kiri, tapi tak ada siapa-siapa.

Tanpa banyak pikir, ia mulai makan perlahan. Air matanya jatuh, entah karena lega, atau karena rasa bersalah yang makin membuncah.

Beberapa hari kemudian, Diajeng pingsan di lorong kampus.

Suara teriakan teman-temannya membuat dosen dan mahasiswa lain berlarian. Salah satu panitia memanggil ambulans kampus, dan tak lama kemudian, Diajeng sudah berada di ruang perawatan klinik universitas.

Dan Banyu? Ia berdiri di balik dinding kaca buram. Jantungnya seperti diremas. Ia mendengar suara suster panik. Mendengar suara tangis Diajeng yang lirih. Dan tak bisa melakukan apa pun.

“Tekanannya drop,” ujar suster. “Dia stres berat. Anaknya harus dijaga baik-baik.”

Anaknya. Kalimat itu seperti cambuk yang menghantam dada Banyu. Dia ingin masuk. Ingin menggenggam tangan Diajeng yang sendirian di dalam sana. Ingin berkata bahwa semuanya akan baik-baik saja. Tapi dia tahu, keberadaannya hanya akan membuat luka itu makin dalam.

Banyu memilih diam. Berdiri di situ sampai suara Diajeng mereda, sampai lampu ruangan dipadamkan dan Diajeng tertidur.

Banyu menempelkan dahinya di dinding kaca, menahan air mata yang menggenang.

"Maaf, Diajeng... Aku tahu aku pengecut. Tapi diam-diam, aku tetap di sini." Suara Banyu sangat lirih hingga tidak mungkin Diajeng mendengarnya.

Keesokan harinya, Diajeng duduk di depan meja kafe kampus, memandangi cangkir teh hangat yang tak disentuh. Pandangannya kosong, seperti tubuhnya hadir tapi jiwanya mengembara jauh. Sesekali tangannya meremas perut bagian bawah yang terasa nyeri. Ia mencoba tersenyum saat teman-temannya lewat, tapi senyuman itu terasa dipaksakan, layu.

Dari kejauhan, Alexander memperhatikannya. Ada yang berubah.

Diajeng yang dulu selalu bercerita tentang hal kecil sekalipun, kini diam. Diajeng yang selalu menunggu pesannya, sekarang sering tidak membalas. Bahkan tatapan matanya bukan lagi milik seorang gadis yang jatuh cinta. Bukan tatapan untuknya.

Alexander menghampiri.

“Hai,” sapanya lembut sambil menarik kursi di hadapan Diajeng. “Kamu kenapa belakangan ini sering sakit? Kamu bahkan nggak cerita kalau kemarin sempat masuk klinik.”

Diajeng tersentak. Matanya membulat, gugup. “Siapa bilang? Aku baik-baik saja, kok.”

“Diajeng.” Nada suara Alex mengeras, lembut tapi menekan. “Kamu nggak pernah bisa bohong sama aku. Kamu sembunyiin sesuatu, ya?”

Diajeng menunduk. “Aku cuma capek.”

“Capek atau... ada yang kamu tutupi?”

Jantung Diajeng mencelos.

Alexander menyipitkan mata. “Aku tahu kamu lagi nggak baik. Tapi kenapa aku nggak ada dalam bagian itu, ha? Kenapa kamu jauhin aku?”

Air mata mulai menggenang di pelupuk mata Diajeng. Bukan karena Alexander marah, tapi karena hatinya sudah terlalu lelah.

“Aku cuma... butuh waktu.”

“Waktu?” Alexander tersenyum miring. “Waktu untuk menjauh dariku? Atau waktu untuk menyembunyikan sesuatu?”

Diajeng menggigit bibir. Ia ingin berteriak, ingin bilang semuanya. Tentang malam itu. Tentang perutnya yang mulai terasa berbeda. Tentang sesuatu yang ada dalam rahimnya sekarang. Tapi, ia takut. Takut melihat Alexander hancur. Takut kalau semuanya benar-benar berakhir.

“Aku minta maaf,” hanya itu yang bisa ia ucapkan.

Alexander menatapnya dalam diam. Ia bukan bodoh. Ada sesuatu yang sangat besar yang sedang Diajeng sembunyikan. Dan ia akan cari tahu. Entah bagaimana caranya

Pagi itu kampus terasa berbeda. Langit mendung, tapi bukan itu yang membuat suasana berat. Melainkan tatapan Alexander yang terus mengikuti gerak-gerik Diajeng dari jauh. Ia berdiri di lorong gedung D fakultas psikologi, tangan dimasukkan ke saku jaket, wajahnya datar. Tapi, matanya menyimpan badai.

“Aku mau kamu cari tahu semuanya tentang Diajeng. Termasuk siapa yang diam-diam perhatian sama dia akhir-akhir ini,” ucap Alexander datar, saat bertemu dengan Erika di parkiran kampus siang itu.

Erika menggigit bibir, gugup. “Alex, kamu nggak percaya sama Diajeng?”

“Bukan soal percaya atau nggak. Tapi hatiku bilang dia udah bukan milikku sepenuhnya.”

Erika terdiam. Matanya bergerak ke arah gedung kampus, di mana dia tahu Diajeng sedang mengikuti seminar siang itu. Dia tahu sebagian dari yang Alexander curigai adalah benar.

Tapi kalau Alex tahu kenyataannya, semuanya bisa berantakan. Termasuk rencananya sendiri.

"Aku bakal cari tahu," jawab Erika akhirnya, pura-pura tenang. "Tapi kamu janji ya, jangan menyakiti dia."

Alexander menatapnya lama. “Aku cuma mau tahu, siapa yang diam-diam ada di sekitarnya, saat aku nggak bisa.”

---

Hari berganti. Kampus semakin penuh aktivitas. Di suatu siang yang terik, toilet perempuan di gedung utama fakultas hampir sepi siang itu. Jam kuliah baru saja selesai, dan sebagian besar mahasiswa lebih memilih nongkrong di kafe kampus atau perpustakaan.

Diajeng keluar dari kelas dengan wajah pucat pasi. Dia berlari kecil memasuki toilet dengan tergesa-gesa. Langkahnya gontai, tangan kirinya memegangi perut, tangan kanannya menopang dinding. Setibanya di depan wastafel, tubuhnya langsung membungkuk dan—

Huaakkkk…

Muntah asam yang menyiksa keluar dari tenggorokannya. Tubuhnya gemetar. Napasnya terputus-putus. Air mata mengalir tak tertahan, bukan hanya karena mual, tapi juga karena rasa takut dan kesendirian yang tak mampu ia bagi pada siapa pun.

“Kenapa… begini… terus?” gumamnya sambil terisak.

“Diajeng!” suara panik datang dari arah pintu.

Suara itu… suara yang membuat jantung Diajeng makin kacau. Banyu Samudra.

Pria itu berdiri di ambang pintu, dengan napas memburu dan wajah panik. Ia menatap Diajeng yang lututnya sudah hampir roboh di lantai marmer toilet, lalu segera melangkah cepat menghampiri, meski dia tahu ini toilet perempuan dan bisa menimbulkan masalah kalau ketahuan.

Tapi saat itu, dia tidak peduli. Banyu dengan cepat meraih sapu tangan dari sakunya dan menyalakan keran untuk membasuh wajah Diajeng.

"Astaga… kamu muntah lagi?” Suaranya penuh kepanikan. Ia segera membuka botol air mineral yang ia bawa, dan mengangkat wajah Diajeng dengan lembut. “Minum dulu, pelan-pelan. Aku bilang juga apa, kamu terlalu maksa hari ini,” ucapnya pelan, setengah kesal, setengah penuh kekhawatiran.

Diajeng menepis tangannya, tapi lemah.

“Jangan di sini! Nanti ada orang.”

Diajeng mencoba menolak, tapi tubuhnya terlalu lemah. Air mata menetes dari sudut matanya saat ia menyeruput sedikit air.

“Kenapa kamu ke sini?” ucapnya pelan, hampir tak terdengar.

“Karena aku tahu kamu maksa kuliah hari ini padahal kamu belum pulih. Kamu bahkan belum makan," jawab Banyu. Dia menyeka wajah Diajeng dengan lembut. “Kamu tahu nggak rasanya lihat kamu kayak gini dari jauh? Rasanya—”

Banyu menggigit bibir, menahan gejolak yang hampir meledak.

“—rasanya kayak dihukum setiap hari.”

Diajeng menutup mata. “Aku nggak butuh kasihanmu, Banyu.”

“Aku tahu. Kamu butuh rasa aman. Dan itu… yang nggak bisa kamu dapetin dariku.” Suaranya menurun, seperti luka yang tak kunjung sembuh. “Tapi aku tetap di sini. Aku nggak akan ninggalin kamu, Diajeng.”

Seketika, bahu Diajeng bergetar.

“Aku takut… Banyu,” gumamnya lirih. “Aku nggak tahu harus bagaimana. Aku belum siap. Semua ini terlalu cepat.”

Banyu menatapnya lama, lalu perlahan berlutut di hadapan Diajeng. Ia memegang tangannya, hangat dan tegas.

“Kamu nggak sendiri. Ada aku. Meskipun kamu benci aku, meskipun aku adalah penyebab semuanya. Aku tetap di sini.”

Detik itu, waktu seolah berhenti. Di tengah ruang toilet yang sepi dan sunyi, hanya ada mereka berdua. Dua jiwa yang saling menyakiti, tapi juga terhubung oleh satu kehidupan kecil yang sedang tumbuh dalam rahim.

Banyu mendesah, lalu dengan hati-hati menopangnya. “Kalau kamu nggak peduli sama dirimu, pikirin bayi itu. Dia butuh ibunya kuat, Diajeng.”

Diajeng menangis. “Aku takut, Banyu…”

“Ssst… aku di sini. Jangan takut."

Tanpa mereka sadari, dari balik koridor kaca, seseorang menyaksikan semuanya.

Alexander.

Tubuh laki-laki itu membeku. Mata tajamnya menyaksikan bagaimana laki-laki yang ia benci itu menyentuh Diajeng, memanggilnya dengan lembut dan bicara soal bayi.

Bayi?

Alexander mengepalkan tangan. Matanya menyala penuh amarah dan kecurigaan. "Banyu. Kau ambil segalanya dariku? Bahkan aku tidak pernah menyentuh Diajeng."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Tersesat Dalam Pelukan Musuh   bab 15. sisi gelap Alex

    Di parkiran belakang kampus, Alex menendang tong sampah hingga terbalik. Suaranya menggaung, menarik perhatian dua orang teman lamanya — Roy dan Bram — yang dikenal sebagai mahasiswa urakan. “Wih, Alex. Gila bener lo hari ini,” goda Roy sambil menyeringai. “Kenapa, cewek lo direbut orang ya?” tambah Bram sambil tertawa kecil. Alex menatap mereka tajam, matanya merah seperti bara. “Jangan bercanda! Ini serius. Gue nggak akan diam lihat si bajingan itu ngerebut Diajeng!” Roy dan Bram saling pandang. “Ya kalau lo mau, kita bisa bantu bikin dia kapok. Bilang aja…” kata Roy, mulai mencium aroma masalah yang menguntungkan mereka. Alex terdiam sejenak. Logikanya berperang dengan amarah yang membutakan. “Apa aku akan sejauh ini…? Tapi… Banyu yang mulai. Dia yang ngancurin semua. Gue cuma mau balas.” batin Alex mulai beetanya pada dirinya sendiri. Alex mengangguk pelan, nadanya dingin. “Gue mau Banyu ngerasain sakit yang gue rasain sekarang. Kalian bantuin gue.” Dan kedua tem

  • Tersesat Dalam Pelukan Musuh   bab 14 : Suasana panas di kampus

    “Aku mau…” Diajeng menarik napas berat, “Bagaimana kalau pernikahan ini hanya kontrak? Sampai anak ini lahir dan cukup kuat untuk menghadapi dunia. Setelah itu, kalau salah satu di antara kita mau berpisah, kita bisa melakukannya tanpa banyak drama.” Udara di dapur seakan ikut hening. Banyu menatap Diajeng lama, sorot matanya lembut sekaligus serius. Ia bisa mendengar getir dalam nada suara Diajeng, dan memahami betapa sulitnya gadis itu mengatakan hal ini. Banyu meletakkan sendoknya dan menjawab tenang, “Diajeng, aku menikahimu bukan untuk mempermainkanmu. Aku mau bertanggung jawab dan aku mau berusaha membuatmu bahagia, meski saat ini perasaanmu belum ada untukku.” Banyu berhenti sejenak, lalu melanjutkan, “Jadi aku tidak mau membuat kontrak seperti itu. Aku ingin kita berusaha semampu kita, dan kalaupun nanti… setelah semua perjuangan ini ternyata kamu tetap merasa tidak bahagia bersamaku, kamu boleh menggugat cerai. Aku nggak akan menahanmu.” Suaranya sedikit bergetar di ujun

  • Tersesat Dalam Pelukan Musuh   bab 13 : Pernikahan kontrak?

    Pagi menjelang, sinar matahari hangat menembus gorden tipis. Diajeng terbangun dalam keadaan hangat dan tenang. Ia setengah sadar dan baru kemudian ingat bahwa dirinya tertidur di kamar Banyu. Diajeng bergegas membuka mata, ia mendapati Banyu sudah berbaring miring menghadapnya, wajahnya tenang dalam tidur. Jantung Diajeng berdegup lebih cepat. Ia memperhatikan wajah Banyu, garis rahangnya, dan bulu mata panjangnya. Satu perasaan baru mengalir di dadanya — bukan cinta, bukan pula sekadar rasa nyaman. Mungkin lebih tepatnya… kepercayaan. Bahwa di saat-saat berat ini, Banyu benar-benar ada untuknya. Perasaan hangat itu membuat Diajeng tersenyum tipis. Ia berusaha bangkit pelan agar tidak membangunkan Banyu. Namun, begitu tubuhnya bergerak, Banyu membuka mata, lalu tersenyum lembut begitu melihat Diajeng. “Selamat pagi,” sapanya hangat. “Tidurnya nyenyak?” Diajeng mengangguk, wajahnya sedikit bersemu. “Iya. Terima kasih, Banyu,” katanya pelan. Banyu hanya tersenyum dan

  • Tersesat Dalam Pelukan Musuh   bab 12 : bobo bareng

    Erika baru saja sampai di apartemen kecilnya ketika ponselnya bergetar. Ia melirik layar dan melihat pesan dari Diajeng. > “Maaf, Erika. Aku harus jujur, aku sudah menikah dengan Banyu hari ini. Semua begitu cepat dan mendadak. Terima kasih sudah mau menampungku selama ini. Semoga kau bisa mengerti.” Mata Erika langsung menyipit begitu membaca pesan itu. “Menikah? Dengan Banyu?!” gumamnya tajam. Ia membaca pesan itu sekali lagi, dan dalam sekejap senyum sinis merekah di bibirnya. Perasaannya bercampur — bukan rasa sedih atau kehilangan, melainkan amarah dan kejengkelan. Semua rencana yang sudah dia susun untuk membuat Diajeng menjauh dari Banyu dan bahkan menggugurkan bayi itu terancam berantakan. “Jadi kau lebih memilih dia, Diajeng…” Erika mendesis, matanya berkilat licik. Ia menggenggam erat ponselnya hingga buku jarinya memutih. “Aku sudah susah-susah membuatmu lemah dan mau mendengarkanku. Kau bahkan mau menggugurkan anakmu demi Alex. Dan sekarang kau malah menikah

  • Tersesat Dalam Pelukan Musuh   bab 11 : janji suci dan rasa yang dikhianati

    Hari itu, di sebuah ruangan kecil di rumah Diajeng, suasana begitu hening dan khidmat.Tanpa tamu, tanpa sorakan, hanya kedua keluarga mereka dan penghulu.Banyu duduk dengan hati berdebar, mengenakan jas hitam sederhana namun rapi.Sementara itu, Diajeng melangkah keluar mengenakan kebaya pengantin warna putih gading, rambutnya disanggul elegan dan wajahnya dihiasi riasan lembut.Seketika mata Banyu terpaku padanya — napasnya tertahan. Ia nyaris tidak mengenali Diajeng, begitu anggun dan bercahaya seperti bidadari.“Kamu cantik sekali,” bisik Banyu begitu Diajeng duduk di sampingnya, membuat pipi Diajeng merona malu.“Makasih,” sahut Diajeng lirih, menundukkan kepala, jantungnya berdebar.Acara akad berlangsung dalam suasana sakral dan hangat. Ijab dan qabul terucap jelas dan tegas, membuat mata ibu Banyu dan ibu Diajeng berkaca-kaca.Ayah Diajeng tampak menghembuskan napas lega — ia tahu sejak awal bahwa Alex bukanlah pilihan terbaik untuk putrinya. Setelah tahu siapa Banyu dan kelu

  • Tersesat Dalam Pelukan Musuh   bab 10. Rasa Tanggung Jawab atau Cinta?

    Diajeng terbaring lemas di atas ranjangnya, menatap langit-langit kamar. Rasa mual dan pusing semakin sering menghampiri, membuat tubuhnya begitu lelah. Tapi bukan hanya fisik — hatinya lebih letih lagi.Bayangan wajah Erika dan Alexander berputar di benaknya.“Kamu harus gugurkan kandungan itu, Diajeng.”“Kalau kau mau aku tetap di sisimu, lenyapkan bayi itu.”Setiap kata mereka seperti pisau tajam yang menggores hatinya. Ia begitu ingin bertahan, ingin melindungi janin di dalam perutnya, meski harus menghadapi dunia sendirian. Tetapi di sisi lain, ia merasa begitu takut dan sendirian.Akhirnya, Diajeng memutuskan untuk pulang ke rumah orang tuanya. Ia akan jujur — bahwa dirinya hamil — tetapi tak akan pernah mengatakan siapa ayah anaknya. Ia akan pergi ke luar negeri untuk melahirkan dan membesarkan anaknya di sana, jauh dari segala kenangan pahit dan orang-orang yang melukainya.Namun di sisi lain kota, Banyu berdiri di hadapan ayahnya, Cakra Wisesa, wajahnya tegang dan kedua tanga

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status