Langit mendung menggantung di atas kampus sore itu. Pepohonan bergoyang pelan dihembus angin, seolah ikut merasakan kegelisahan seorang gadis yang duduk sendirian di sudut taman kampus, memegangi perutnya yang mual.
Diajeng tampak pucat. Wajahnya lelah, matanya berkaca-kaca, dan napasnya pendek-pendek. Beberapa kali ia menunduk, berharap rasa mual yang menyiksa itu segera berlalu. Tapi tidak. Tubuhnya seperti menolak semua makanan. Kecuali sesuatu yang asam. “Asinan…” bisiknya lirih, hampir seperti doa. Di balik pohon kamboja, seseorang memperhatikannya diam-diam. Tubuh jangkungnya bersandar pada batang pohon, tangan kanan mengepal, tangan kiri menggenggam plastik kecil berisi asinan mangga yang ia beli dari pedagang kaki lima di luar kampus. Ia melihat Diajeng menggigit bibirnya—mungkin menahan tangis, atau menahan mual. Banyu Samudra menghela napas panjang. Ia tahu Diajeng sedang tersiksa dan itu semua salahnya. Dengan pelan, ia berjalan mendekat, meletakkan kantong plastik itu di bangku taman, lalu pergi sebelum Diajeng sempat menoleh. Beberapa menit kemudian, Diajeng membuka matanya. Melihat plastik itu. Tangannya gemetar saat meraih isinya. Begitu tahu itu asinan mangga, mata Diajeng langsung berkaca-kaca. “Siapa… yang tahu aku butuh ini?” gumamnya. Ia menoleh kanan-kiri, tapi tak ada siapa-siapa. Tanpa banyak pikir, ia mulai makan perlahan. Air matanya jatuh, entah karena lega, atau karena rasa bersalah yang makin membuncah. Beberapa hari kemudian, Diajeng pingsan di lorong kampus. Suara teriakan teman-temannya membuat dosen dan mahasiswa lain berlarian. Salah satu panitia memanggil ambulans kampus, dan tak lama kemudian, Diajeng sudah berada di ruang perawatan klinik universitas. Dan Banyu? Ia berdiri di balik dinding kaca buram. Jantungnya seperti diremas. Ia mendengar suara suster panik. Mendengar suara tangis Diajeng yang lirih. Dan tak bisa melakukan apa pun. “Tekanannya drop,” ujar suster. “Dia stres berat. Anaknya harus dijaga baik-baik.” Anaknya. Kalimat itu seperti cambuk yang menghantam dada Banyu. Dia ingin masuk. Ingin menggenggam tangan Diajeng yang sendirian di dalam sana. Ingin berkata bahwa semuanya akan baik-baik saja. Tapi dia tahu, keberadaannya hanya akan membuat luka itu makin dalam. Banyu memilih diam. Berdiri di situ sampai suara Diajeng mereda, sampai lampu ruangan dipadamkan dan Diajeng tertidur. Banyu menempelkan dahinya di dinding kaca, menahan air mata yang menggenang. "Maaf, Diajeng... Aku tahu aku pengecut. Tapi diam-diam, aku tetap di sini." Suara Banyu sangat lirih hingga tidak mungkin Diajeng mendengarnya. Keesokan harinya, Diajeng duduk di depan meja kafe kampus, memandangi cangkir teh hangat yang tak disentuh. Pandangannya kosong, seperti tubuhnya hadir tapi jiwanya mengembara jauh. Sesekali tangannya meremas perut bagian bawah yang terasa nyeri. Ia mencoba tersenyum saat teman-temannya lewat, tapi senyuman itu terasa dipaksakan, layu. Dari kejauhan, Alexander memperhatikannya. Ada yang berubah. Diajeng yang dulu selalu bercerita tentang hal kecil sekalipun, kini diam. Diajeng yang selalu menunggu pesannya, sekarang sering tidak membalas. Bahkan tatapan matanya bukan lagi milik seorang gadis yang jatuh cinta. Bukan tatapan untuknya. Alexander menghampiri. “Hai,” sapanya lembut sambil menarik kursi di hadapan Diajeng. “Kamu kenapa belakangan ini sering sakit? Kamu bahkan nggak cerita kalau kemarin sempat masuk klinik.” Diajeng tersentak. Matanya membulat, gugup. “Siapa bilang? Aku baik-baik saja, kok.” “Diajeng.” Nada suara Alex mengeras, lembut tapi menekan. “Kamu nggak pernah bisa bohong sama aku. Kamu sembunyiin sesuatu, ya?” Diajeng menunduk. “Aku cuma capek.” “Capek atau... ada yang kamu tutupi?” Jantung Diajeng mencelos. Alexander menyipitkan mata. “Aku tahu kamu lagi nggak baik. Tapi kenapa aku nggak ada dalam bagian itu, ha? Kenapa kamu jauhin aku?” Air mata mulai menggenang di pelupuk mata Diajeng. Bukan karena Alexander marah, tapi karena hatinya sudah terlalu lelah. “Aku cuma... butuh waktu.” “Waktu?” Alexander tersenyum miring. “Waktu untuk menjauh dariku? Atau waktu untuk menyembunyikan sesuatu?” Diajeng menggigit bibir. Ia ingin berteriak, ingin bilang semuanya. Tentang malam itu. Tentang perutnya yang mulai terasa berbeda. Tentang sesuatu yang ada dalam rahimnya sekarang. Tapi, ia takut. Takut melihat Alexander hancur. Takut kalau semuanya benar-benar berakhir. “Aku minta maaf,” hanya itu yang bisa ia ucapkan. Alexander menatapnya dalam diam. Ia bukan bodoh. Ada sesuatu yang sangat besar yang sedang Diajeng sembunyikan. Dan ia akan cari tahu. Entah bagaimana caranya Pagi itu kampus terasa berbeda. Langit mendung, tapi bukan itu yang membuat suasana berat. Melainkan tatapan Alexander yang terus mengikuti gerak-gerik Diajeng dari jauh. Ia berdiri di lorong gedung D fakultas psikologi, tangan dimasukkan ke saku jaket, wajahnya datar. Tapi, matanya menyimpan badai. “Aku mau kamu cari tahu semuanya tentang Diajeng. Termasuk siapa yang diam-diam perhatian sama dia akhir-akhir ini,” ucap Alexander datar, saat bertemu dengan Erika di parkiran kampus siang itu. Erika menggigit bibir, gugup. “Alex, kamu nggak percaya sama Diajeng?” “Bukan soal percaya atau nggak. Tapi hatiku bilang dia udah bukan milikku sepenuhnya.” Erika terdiam. Matanya bergerak ke arah gedung kampus, di mana dia tahu Diajeng sedang mengikuti seminar siang itu. Dia tahu sebagian dari yang Alexander curigai adalah benar. Tapi kalau Alex tahu kenyataannya, semuanya bisa berantakan. Termasuk rencananya sendiri. "Aku bakal cari tahu," jawab Erika akhirnya, pura-pura tenang. "Tapi kamu janji ya, jangan menyakiti dia." Alexander menatapnya lama. “Aku cuma mau tahu, siapa yang diam-diam ada di sekitarnya, saat aku nggak bisa.” --- Hari berganti. Kampus semakin penuh aktivitas. Di suatu siang yang terik, toilet perempuan di gedung utama fakultas hampir sepi siang itu. Jam kuliah baru saja selesai, dan sebagian besar mahasiswa lebih memilih nongkrong di kafe kampus atau perpustakaan. Diajeng keluar dari kelas dengan wajah pucat pasi. Dia berlari kecil memasuki toilet dengan tergesa-gesa. Langkahnya gontai, tangan kirinya memegangi perut, tangan kanannya menopang dinding. Setibanya di depan wastafel, tubuhnya langsung membungkuk dan— Huaakkkk… Muntah asam yang menyiksa keluar dari tenggorokannya. Tubuhnya gemetar. Napasnya terputus-putus. Air mata mengalir tak tertahan, bukan hanya karena mual, tapi juga karena rasa takut dan kesendirian yang tak mampu ia bagi pada siapa pun. “Kenapa… begini… terus?” gumamnya sambil terisak. “Diajeng!” suara panik datang dari arah pintu. Suara itu… suara yang membuat jantung Diajeng makin kacau. Banyu Samudra. Pria itu berdiri di ambang pintu, dengan napas memburu dan wajah panik. Ia menatap Diajeng yang lututnya sudah hampir roboh di lantai marmer toilet, lalu segera melangkah cepat menghampiri, meski dia tahu ini toilet perempuan dan bisa menimbulkan masalah kalau ketahuan. Tapi saat itu, dia tidak peduli. Banyu dengan cepat meraih sapu tangan dari sakunya dan menyalakan keran untuk membasuh wajah Diajeng. "Astaga… kamu muntah lagi?” Suaranya penuh kepanikan. Ia segera membuka botol air mineral yang ia bawa, dan mengangkat wajah Diajeng dengan lembut. “Minum dulu, pelan-pelan. Aku bilang juga apa, kamu terlalu maksa hari ini,” ucapnya pelan, setengah kesal, setengah penuh kekhawatiran. Diajeng menepis tangannya, tapi lemah. “Jangan di sini! Nanti ada orang.” Diajeng mencoba menolak, tapi tubuhnya terlalu lemah. Air mata menetes dari sudut matanya saat ia menyeruput sedikit air. “Kenapa kamu ke sini?” ucapnya pelan, hampir tak terdengar. “Karena aku tahu kamu maksa kuliah hari ini padahal kamu belum pulih. Kamu bahkan belum makan," jawab Banyu. Dia menyeka wajah Diajeng dengan lembut. “Kamu tahu nggak rasanya lihat kamu kayak gini dari jauh? Rasanya—” Banyu menggigit bibir, menahan gejolak yang hampir meledak. “—rasanya kayak dihukum setiap hari.” Diajeng menutup mata. “Aku nggak butuh kasihanmu, Banyu.” “Aku tahu. Kamu butuh rasa aman. Dan itu… yang nggak bisa kamu dapetin dariku.” Suaranya menurun, seperti luka yang tak kunjung sembuh. “Tapi aku tetap di sini. Aku nggak akan ninggalin kamu, Diajeng.” Seketika, bahu Diajeng bergetar. “Aku takut… Banyu,” gumamnya lirih. “Aku nggak tahu harus bagaimana. Aku belum siap. Semua ini terlalu cepat.” Banyu menatapnya lama, lalu perlahan berlutut di hadapan Diajeng. Ia memegang tangannya, hangat dan tegas. “Kamu nggak sendiri. Ada aku. Meskipun kamu benci aku, meskipun aku adalah penyebab semuanya. Aku tetap di sini.” Detik itu, waktu seolah berhenti. Di tengah ruang toilet yang sepi dan sunyi, hanya ada mereka berdua. Dua jiwa yang saling menyakiti, tapi juga terhubung oleh satu kehidupan kecil yang sedang tumbuh dalam rahim. Banyu mendesah, lalu dengan hati-hati menopangnya. “Kalau kamu nggak peduli sama dirimu, pikirin bayi itu. Dia butuh ibunya kuat, Diajeng.” Diajeng menangis. “Aku takut, Banyu…” “Ssst… aku di sini. Jangan takut." Tanpa mereka sadari, dari balik koridor kaca, seseorang menyaksikan semuanya. Alexander. Tubuh laki-laki itu membeku. Mata tajamnya menyaksikan bagaimana laki-laki yang ia benci itu menyentuh Diajeng, memanggilnya dengan lembut dan bicara soal bayi. Bayi? Alexander mengepalkan tangan. Matanya menyala penuh amarah dan kecurigaan. "Banyu. Kau ambil segalanya dariku? Bahkan aku tidak pernah menyentuh Diajeng."Aroma kopi arabika memenuhi ruangan kafe kecil di sudut kota. Erika duduk di kursi dekat jendela, menunggu seseorang dengan wajah penuh kesabaran—atau lebih tepatnya, penuh perhitungan. Tangan halusnya memainkan sedotan plastik sambil sesekali melirik jam tangan mewah yang baru saja ia beli dengan sisa uang tabungannya.Tak lama kemudian, seorang pria tinggi berjaket denim memasuki kafe. Rambut hitamnya sedikit berantakan, tapi karisma alaminya tetap memancar. Alexander Benjamin.Alex menarik kursi dan duduk di hadapan Erika. “Kamu kelihatan serius banget. Ada apa?”"Aku lagi mikirin cara kita deketin Diajeng," jawab Erika seraya menatap pria pujannya. “Dan kalau dia nggak tertarik sama aku?”Erika menyeringai. “Tenang. Di situ aku yang main peran. Aku sahabatnya. Aku tahu semua pintu yang bisa kita buka. Percayakan sisanya ke aku.”Tatapan mereka bertemu. Dan di titik itulah, dosa pertama mereka dimulai—sebuah rencana yang kelak akan menghancurkan lebih banyak hati daripada yang mer
Mobil sedan hitam menggelinding mulus menyusuri jalan kota yang mulai diterangi lampu-lampu senja. Di dalamnya, keheningan menggantung seperti selimut tipis—tidak canggung, tapi… penuh degup yang disembunyikan.Diajeng melirik ke arah Banyu yang menyetir dengan satu tangan, tangan satunya bertumpu santai di kemudi. Tuxedo hitam itu membuatnya terlihat terlalu sempurna—pria yang tadinya ia benci, kini terlihat seperti tokoh utama dalam mimpi romantis siapa pun.“Kamu yakin gak salah arah?” tanya Diajeng pelan, mencoba mencairkan suasana.Banyu menoleh sebentar, tersenyum. “Tenang. Aku sudah hafal setiap jalan ke tempat yang akan jadi kenangan terindah kita malam ini.”Diajeng mengerjap pelan. Kalimat itu membuat pipinya sedikit hangat.Tak lama, mobil berbelok masuk ke sebuah kawasan elite. Di ujung jalan berlampu temaram, berdiri sebuah restoran bergaya klasik Eropa, dengan taman kecil di sisi kanan dan lampu-lampu gantung di terasnya. Ada suara lembut piano yang terdengar samar dari
Lampu bar berwarna kuning redup memantul di meja kaca yang basah oleh tetesan alkohol. Aroma vodka dan cerutu bercampur jadi satu, memenuhi udara malam yang pengap.Alexander Benjamin duduk di sudut VIP, kancing atas kemejanya terbuka. Wajahnya tampan tapi kusut, dengan mata merah dan rahang yang mengeras menahan amarah.Di depannya, tiga gelas whiskey sudah kosong. Gelas keempat kini ia genggam erat, jari-jarinya mencengkeram kaca seolah ingin menghancurkannya."Diajeng..." namanya terucap pelan, nyaris seperti geraman.Matanya menatap kosong ke arah lampu gantung bar, tapi pikirannya tak bisa lepas dari bayangan gadis itu. Senyumnya. Suaranya. Dan bayangan yang paling menusuk: Diajeng dalam pelukan Banyu.Alexander mendengus kasar, lalu meneguk whiskey itu sampai habis dalam satu tarikan. Cairan panas membakar tenggorokannya, tapi rasa perih di dadanya jauh lebih menyakitkan."Kenapa, Jeng...? Kenapa kamu harus jatuh ke pelukan dia?"Alex menunduk, menatap layar ponselnya. Foto yang
Apartemen Erika yang biasanya rapi kini tampak berantakan. Bantal berserakan di lantai, dua cangkir kopi yang belum habis tertinggal di meja, dan setumpuk pakaian bersih belum sempat dilipat.Erika mondar-mandir di ruang tamu dengan napas memburu, matanya memerah karena kurang tidur dan terlalu banyak emosi yang dipendam."Kenapa dia bisa sekuat itu, hah?!" bentaknya ke udara, lalu melempar bantal ke sofa.Gadis itu mengacak-acak rambutnya sendiri, frustasi. Ingatan tentang tatapan Diajeng semalam kembali menghantuinya—tatapan tajam penuh kebencian dan luka."Aku tahu semua, Rik. Aku lihat kalian."Kalimat itu terus terngiang di telinganya, menampar rasa aman yang selama ini ia bangun dengan kebohongan."Seharusnya dia lemah… seharusnya dia hancur!" gumam Erika, suaranya seperti racun.Dia meraih laptopnya dengan kasar, membukanya dan membuka folder tersembunyi berisi cuplikan-cuplikan dari malam pesta itu. Erika memutar video pendek saat Diajeng tampak memasuki kamar hotel sendirian.
Mentari siang mulai merambat, menyusup malu-malu lewat tirai yang setengah terbuka. Di atas ranjang, dua insan yang semalam diliputi badai emosi kini masih terbaring dalam diam.Tapi, bukan diam yang dingin. Ini diam yang… hangat. Menenangkan.Diajeng membuka mata lebih dulu. Cahaya tipis dari jendela menyentuh wajahnya. Ia mengedip pelan—dan baru sadar kepalanya masih bersandar di dada Banyu, yang kini terlelap. Tangan pria itu masih memeluknya lembut.Deg.Deg.Deg.Jantungnya seperti berdentang keras di telinga."Astaga... aku tidur sambil meluk dia?!" batin Diajeng panik.Pelan-pelan Diajeng beringsut mundur, tapi baru saja ia bergerak, Banyu mengerang pelan dan membuka mata. Mata mereka bertemu. Sekejap. Tapi cukup untuk membuat keduanya refleks saling menjauh dengan canggung.“Ehm…” Banyu menggaruk tengkuknya sambil menghindari tatapan. “Tidurmu… nyenyak?”Diajeng langsung duduk dan membetulkan rambutnya yang berantakan. “Aku... ya. Lumayan.”Mereka berdua menunduk. Sunyi. Cangg
Jam menunjukkan pukul dua dini hari. Suasana apartemen Banyu yang mewah dan biasanya terasa hangat, malam itu justru dingin seperti es. Diajeng duduk memeluk lututnya di sofa ruang tamu, hanya mengenakan sweater longgar dan celana tidur. Rambutnya masih sedikit basah karena tadi sempat mencuci wajahnya—berharap bisa menghapus sisa-sisa air mata yang terlalu keras mengalir..Namun yang tersisa hanyalah perih.Banyu belum pulang.Diajeng menatap kosong ke arah jendela besar yang menampilkan pemandangan kota Jakarta yang masih menyala. Tapi semua cahaya itu tak mampu menenangkan hatinya. Yang ada justru bayangan-bayangan dari masa lalu berputar dalam pikirannya seperti film rusak yang tak mau berhenti diputar ulang.Nama Erika muncul pertama.Sahabat yang selama ini ia percayai. Tempat ia berlindung. Tempat ia mencurahkan ketakutan dan kebingungan saat hidupnya berantakan... ternyata punya wajah lain di balik topeng manisnya.Diajeng mencengkeram bantal kecil di pelukannya lebih erat. Nap