Beranda / Romansa / Tersesat Dalam Pelukan Musuh / 6. Hari-hari yang berat

Share

6. Hari-hari yang berat

last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-19 16:36:46

Hari-hari setelah itu berubah menjadi kabut yang tak bisa ditembus. Diajeng tak lagi tersenyum seperti dulu. Wajahnya pucat, matanya sembab, dan langkahnya lamban seperti kehilangan arah. Ia menghindari aula, menghindari kantin, bahkan menghindari cermin.

Ia merasa seperti musuh bagi dirinya sendiri.

Setiap kali melihat bayangannya di kaca, rasa malu dan takut langsung merayap naik seperti ular. Suara tawa teman-temannya terasa seperti ejekan. Tatapan orang-orang, bahkan yang tidak tahu apa-apa, terasa seperti tuduhan.

Diajeng tahu dirinya hamil. Dua garis merah di test pack yang ia sembunyikan dalam kotak pensil tua adalah pengingat bahwa hidupnya tak akan pernah sama. Dan ia tak tahu harus bagaimana.

---

Di kampus, ia menghindari Alexander. Lelaki itu semakin mencarinya, mengirim pesan setiap malam, menanyakan mengapa ia berubah dingin. Tapi Diajeng tak mampu menjawab. Ia tahu suaranya akan bergetar jika bicara. Ia takut jika Alexander menyentuhnya dan tahu kenyataan pahit yang sedang ia sembunyikan.

Sementara itu, Erika terus mencoba mendekat. Menyapa seperti biasa, bahkan lebih manis dari sebelumnya. Tapi Diajeng tahu, sahabatnya itu menyimpan sesuatu. Tatapan matanya terlalu tajam, terlalu tajam untuk seseorang yang mengaku peduli.

Diajeng hanya ingin sendiri. Di taman belakang, di perpustakaan lantai dua, bahkan di toilet perempuan yang sepi, ia bersembunyi. Ia tidur hanya dua jam semalam. Makan pun sudah tak terasa. Perutnya sering mual, tapi ia tahan. Ia tak mau siapa pun tahu.

Suatu siang, ia terduduk lemas di klinik kampus,

Kepalanya pusing seperti berputar-putar tanpa arah, dan perutnya mual hebat. Keringat dingin merembes dari pelipis hingga ke leher, membuat rambutnya lepek menempel di kulit. Napasnya berat, dan matanya terasa berat seakan tubuhnya hendak menyerah. Tapi bukan hanya tubuhnya yang lelah—jiwanya pun rapuh.

Ruangan itu sepi, hanya ada aroma khas antiseptik dan semilir angin dari kipas angin tua yang berputar lambat di langit-langit. Diajeng duduk di ranjang kecil di sudut ruangan, menggenggam ujung jaket sekolahnya erat-erat, seolah kain itu bisa menahan semua yang ia sembunyikan dalam diam.

Tak lama, pintu terbuka. Suara langkah mendekat. Seorang suster masuk, menatapnya penuh kekhawatiran. "Diajeng? Kamu kenapa, Nak?" tanyanya sambil mendekat.

Diajeng mengangkat wajah dengan susah payah. Senyuman dipaksakan terlukis di bibir pucatnya.

“Cuma... kecapekan, Sus,” katanya pelan, hampir seperti bisikan.

Suster itu mengerutkan kening, lalu duduk di kursi sebelah ranjang. "Apa kamu perlu dipanggilkan orang tua? Atau kamu mau saya bantu hubungi temanmu?"

Pikiran Diajeng langsung kacau. Panggil orang tua? Tidak, itu bisa jadi kiamat. Hubungi teman? Siapa? Erika? Alexander? Tidak. Tidak boleh.

Ia cepat-cepat menggeleng, lebih kuat dari sebelumnya. “Gak usah, Sus. Saya cuma... mau istirahat sebentar aja.”

Suster piket itu menghela napas, masih tampak ragu, tapi akhirnya berdiri. “Baiklah. Kalau ada apa-apa, kamu panggil, ya.” Lalu beliau keluar, membiarkan Diajeng sendiri dalam diam yang menggigit.

---

Begitu pintu tertutup, Diajeng langsung membungkuk, memeluk perutnya sendiri. Air mata akhirnya jatuh, tapi tak pernah cukup untuk meluruhkan sesak yang menyesaki dadanya. Ia menangis tanpa suara, menahan isak agar tidak terdengar dari luar.

“Aku harus kuat,” gumamnya lirih. “Aku harus kuat...”

Tapi bagaimana bisa kuat, saat tiap malam ia bermimpi buruk tentang masa depan? Saat tiap pagi ia merasa jijik pada tubuhnya sendiri? Saat tiap detak jantung membawa satu kalimat menakutkan:

"Aku hamil."

Diajeng menatap langit-langit ruangan, membayangkan seandainya waktu bisa diputar. Seandainya ia tidak pergi ke kamar itu malam itu. Seandainya ia menolak minuman itu. Seandainya ia tidak pernah bertemu Banyu Samudra.

Tapi semuanya sudah terjadi dan sekarang, ia sendirian.

Banyu berdiri di balik tembok luar klinik, menyandarkan punggungnya dengan wajah tertunduk. Ia tidak tahu kenapa kakinya membawanya ke sini. Mungkin karena tadi ia melihat Diajeng berjalan sempoyongan di lorong. Mungkin karena matanya tak bisa berpaling sejak gadis itu menjauh dari segalanya. Atau... mungkin karena rasa bersalah yang selama ini ia kubur dalam-dalam mulai memukul balik tanpa ampun.

Ia mencuri dengar saat suster piket keluar dari ruang klinik, bergumam pelan pada suster sekolah bahwa Diajeng terlihat pucat dan lemas. Tidak perlu jadi dokter untuk tahu bahwa Diajeng sedang tidak baik-baik saja. Dan Banyu tahu persis kenapa.

Karena ia penyebabnya.

Ia menyentuh dinding di sampingnya, mengepalkan tangan kuat-kuat. Rasa ingin marah—pada dirinya sendiri—membuncah begitu kuat sampai membuat dadanya terasa sesak.

Ia ingin masuk dan menanyakan kabar Diajeng.

Tapi apa haknya? Ia bukan siapa-siapa.

Banyu tahu Diajeng membencinya. Ia juga membenci dirinya sendiri. Malam itu bukan hal yang pantas terjadi, bahkan meski ia dalam pengaruh obat. Ia seharusnya bisa menahan diri. Ia seharusnya tidak masuk kamar itu. Ia seharusnya tidak menyentuh Diajeng.

Tapi semuanya sudah terjadi.

Dan sekarang, gadis itu duduk sendiri di dalam ruangan kecil, menggenggam tubuhnya sendiri seperti sedang mencoba mempertahankan sisa-sisa harapan.

---

Banyu mengintip sedikit lewat celah jendela. Dari balik tirai tipis, ia bisa melihat bahu Diajeng bergetar. Ia menangis, meski wajahnya tidak terlihat jelas. Tapi dari gerak tubuhnya, dari cara ia membungkuk memeluk diri sendiri, Banyu tahu air mata itu bukan tangisan biasa. Itu... tangisan hancur.

Ia memalingkan wajah. Mencoba menahan napas yang tiba-tiba terasa berat. Matanya memanas, tapi ia menelan semuanya. Emosi itu tidak boleh terlihat. Tidak sekarang.

“Maaf...” gumamnya lirih, walau takkan pernah cukup. “Maaf karena aku terlalu pengecut untuk menyelamatkanmu dari diriku sendiri.”

Lalu ia pergi.

Pelan.

Dengan langkah yang semakin berat, seiring dengan beban yang mulai mengubur hatinya perlahan.

---

Malam itu sunyi.

Kamar Diajeng hanya diterangi cahaya temaram dari lampu jalan yang menyelinap masuk lewat jendela. Tirai tidak sepenuhnya tertutup, membiarkan bayang-bayang daun bergerak di dinding seolah ikut mengawasi. Ia duduk di tepi tempat tidur dengan punggung membungkuk, lutut ditekuk, dan lengan memeluk dirinya sendiri.

Kepalanya terasa berat. Bukan karena sakit fisik, tapi karena isi pikirannya yang kacau. Jantungnya berdetak cepat, tapi anehnya... ia merasa sangat lelah. Seolah tubuh dan pikirannya tidak lagi berjalan dalam satu irama.

Ponselnya bergetar di samping bantal.

Dari Alexander.

> “Sayang, aku rindu. Kamu kenapa, sih? Jangan bikin aku gila.”

Diajeng terdiam. Matanya memandang layar lama, jari-jarinya gemetar di atas keyboard virtual. Ia tahu, satu kata darinya bisa mengubah semuanya. Ia tahu Alexander sedang kebingungan, dan mungkin benar-benar merindukannya. Tapi... apakah cinta masih bisa menyelamatkan mereka?

Ia menelan ludah, lalu mengetik dengan pelan.

> “Aku cuma butuh waktu sendiri.”

Dikirim.

Layar kembali gelap. Tapi hatinya tidak ikut meredup. Justru semakin bergemuruh. Nafasnya tersengal, dan dada terasa sesak. Tangannya yang tadi memegang ponsel kini mengepal. Ia ingin menangis, tapi air mata seolah menolak keluar.

Ia merasa seperti pengecut.

Tapi bagaimana bisa ia berkata jujur?

Bagaimana ia bisa bilang bahwa dirinya telah menghancurkan segalanya? Bahwa tubuhnya kini menyimpan rahasia yang bahkan belum bisa ia terima sendiri? Bahwa malam itu... ia telah kehilangan sesuatu yang tak bisa dikembalikan?

---

"Aku hamil, Alex."

Kalimat itu terus berdengung di kepalanya. Tapi lidahnya terlalu kelu untuk mengucapkannya.

Ia takut.

Takut melihat raut kecewa di wajah Alexander.

Takut ditinggalkan.

Takut disebut pengkhianat.

Takut disebut perempuan murahan.

Takut... kehilangan sisa dirinya yang selama ini ia jaga mati-matian.

Bukan hanya Alexander yang bisa ia kehilangan. Ia juga takut kehilangan dirinya sendiri.

Di luar kamar, suara detik jam terdengar lebih keras dari biasanya. Seolah waktu pun ikut menyiksa. Ia menutup wajah dengan kedua tangan. Selimut tak lagi memberi rasa hangat. Tempat tidur yang biasanya nyaman kini terasa seperti jurang kesepian.

Di sisi lain kota, seseorang bernama Banyu Samudra mungkin juga belum tidur.

Mungkin juga merasakan perasaan yang sama.

Tapi Diajeng terlalu hancur untuk memikirkan itu.

Yang ia tahu, malam ini adalah malam lain yang harus ia lalui dalam diam—bersama rahasia yang tumbuh dalam perutnya… dan luka yang tumbuh dalam hatinya.

Pagi berikutnya, ketika masuk kelas, Diajeng melihat Banyu duduk di pojok belakang. Seperti biasa, ia menunduk, acuh tak acuh. Tapi ketika mata mereka bertemu, ada sesuatu yang terasa. Seperti gelombang tak kasatmata yang menekan dada mereka berdua.

Diajeng buru-buru mengalihkan pandangan. Ia tahu, Banyu satu-satunya orang yang tahu kebenaran. Dan ia membencinya karena itu.

Tapi yang lebih menyakitkan, ia juga membenci dirinya sendiri karena saat malam itu terjadi, ia tak melawan.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Tersesat Dalam Pelukan Musuh   6. Hari-hari yang berat

    Hari-hari setelah itu berubah menjadi kabut yang tak bisa ditembus. Diajeng tak lagi tersenyum seperti dulu. Wajahnya pucat, matanya sembab, dan langkahnya lamban seperti kehilangan arah. Ia menghindari aula, menghindari kantin, bahkan menghindari cermin.Ia merasa seperti musuh bagi dirinya sendiri.Setiap kali melihat bayangannya di kaca, rasa malu dan takut langsung merayap naik seperti ular. Suara tawa teman-temannya terasa seperti ejekan. Tatapan orang-orang, bahkan yang tidak tahu apa-apa, terasa seperti tuduhan.Diajeng tahu dirinya hamil. Dua garis merah di test pack yang ia sembunyikan dalam kotak pensil tua adalah pengingat bahwa hidupnya tak akan pernah sama. Dan ia tak tahu harus bagaimana.---Di kampus, ia menghindari Alexander. Lelaki itu semakin mencarinya, mengirim pesan setiap malam, menanyakan mengapa ia berubah dingin. Tapi Diajeng tak mampu menjawab. Ia tahu suaranya akan bergetar jika bicara. Ia takut jika Alexander menyentuhnya dan tahu kenyataan pahit yang seda

  • Tersesat Dalam Pelukan Musuh   Bab 5: Kepungan Dusta dan Tanggung Jawab

    Keesokan harinya, Diajeng terpaksa berangkat kuliah. Dia tidak ingin membuat orang tuanya khawatir dan curiga, dia juga tidak ingin membuat Alex khawatir dan mencemaskan keadaannya. "Sayang, kamu terlihat pucat. Kamu masih sakit?" tanya Alex dengan khawatir. Punggung tangan laki-laki itu menyentuh wajah Diajeng. Diajeng memaksakan sebuah senyum untuk kekasihnya agar tidak khawatir. "Aku gak apa-apa. Cuma kecapean, Lex." Beberapa meter dari sana, Banyu Samudra melihat semua itu. Dalam hatinya pun merasa cemas dengan tampilan Diajeng yang sedikit lebih pucat dan tertekan. Meskipun gadis itu sudah menutupinya dengan make-up tipis. Beberapa minggu pun berlalu. Pagi itu, Diajeng Dirandra berdiri di depan wastafel kamar mandi dengan tubuh gemetar. Aroma sabun cair yang biasanya ia suka kini membuat perutnya mual. Tangannya bergetar saat membasuh wajah. Napasnya berat. Ia memejamkan mata, mencoba menenangkan diri. Tapi mual di perutnya tak kunjung hilang. "Aku kenapa…?" bisiknya

  • Tersesat Dalam Pelukan Musuh   Bab 4: Luka yang Tak Terucap

    "Aku benci kamu." Itu adalah kalimat terakhir yang keluar dari bibir Diajeng sebelum bibir lembut Banyu membungkam bibir merah gadis itu dengan ciuman panas dari laki-laki tersebut. Tidak ada kalimat lain yang terucap selain suara desahan dari kedua manusia itu dalam kedapnya kamar tersebut. Sementara Alexander di luar sana mencari kekasihnya seperti orang gila. Apalagi ponsel Diajeng tidak dapat di hubungi. Alexander mendapati rencananya gagal karena menemukan Vanessa tak sadarkan diri dan Banyu menghilang. Di tambah lagi di tidak menemukan Diajeng. Padahal dia ingin menemui kekasihnya tersebut untuk minta maaf dan memperbaiki hubungan mereka. Laki-laki tampan dengan wajah perpaduan Indo-Eropa tersebut benar-benar kesal. ---- Sinar matahari masuk dari celah tirai, menyinari dua tubuh yang terbaring di atas kasur hotel. Diajeng membuka mata dengan pelan. Sakit kepala, mual, dan nyeri menjalar di sekujur tubuhnya. Saat ia melihat sekeliling dan sadar... ia telanjang. Tubu

  • Tersesat Dalam Pelukan Musuh   Bab 3: Malam yang Mengubah Segalanya

    Suasana pesta para mahasiswa Universitas Mahadwipa di rooftop hotel malam itu meriah. Musik berdentum, lampu disko berputar menciptakan kilauan warna-warni di langit malam, dan minuman mengalir seolah tak ada hari esok. semua orang larut dalam euforia malam kebebasan mereka—malam di mana aturan ditanggalkan, dan semua topeng bisa diturunkan. Dari arah bar, sorotan mata mulai mengarah pada satu titik. Diajeng Dirandra. Ia berdiri sendirian, memandangi lampu-lampu kota yang berkelap-kelip dari ketinggian. Gaun merah marun selutut dengan potongan terbuka di bagian punggung itu membalut tubuh ramping dan proporsionalnya seperti dibuat khusus untuknya. Kain satin yang lembut mengalir mengikuti lekuk tubuhnya, memperlihatkan pinggang mungil dan kaki jenjang yang terpoles sempurna. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai ikal, menambah kesan feminin yang tak terelakkan. Bibirnya yang dilapisi lipstik burgundy tampak mengundang, dengan kilau samar saat terkena cahaya. Mata Diajeng yang dih

  • Tersesat Dalam Pelukan Musuh   Bab 2: Api dalam Sekam

    Aula Univeesitas Mahadwipa berubah menjadi lautan sorak-sorai. Lampu sorot menari di langit-langit, musik menggelegar, dan denting suara tawa para siswa mengisi udara. Tapi di sudut aula, di balik tirai belakang panggung, suasana berbeda. Alexander Benjamin berdiri dengan kedua tangan di saku celana. Tatapannya tajam, tertuju pada seorang gadis berambut pirang bergelombang yang sedang merapikan make-up. “Jangan lupa peranmu malam ini, Vanessa,” bisik Alexander sambil menyelipkan amplop kecil ke tas tangan si gadis. “Pastikan Banyu... kehilangan kendali. Dia harus kelihatan seperti monster di mata semua orang.” Vanessa mengangguk, tersenyum menggoda. “Tenang. Aku tahu cara menjerat pria cuek sepertinya.” Alexander berbalik. Bibirnya terangkat sinis. “Game dimulai, Banyu Samudra.” Sementara itu, di ruang peralatan pentas, Diajeng Dirandra sibuk menata perlengkapan lomba fashion show. Kardus berisi aksesoris dan kabel-kabel berserakan di sekelilingnya. Keringat menempel di pe

  • Tersesat Dalam Pelukan Musuh   Bab 1: Musuh yang Nyaris Abadi

    Langit pagi itu tampak kelabu, seolah memberi tanda bahwa hari ini bukan hari biasa. Universitas Mahadwipa tampak ramai seperti biasa, tapi aura ketegangan di antara dua murid unggulannya hampir bisa dirasakan siapa pun yang lewat di koridor lantai dua. Banyu Samudra berjalan dengan langkah tenang, rapi, dan dingin. Seragamnya licin, rambutnya disisir ke belakang, dan tatapannya setajam belati. Semua siswa tahu, meskipun dia jarang bicara, sekali bicara, efeknya dalam. Laki-laki itu entah mengapa selalu terlihat misterius dan mematikan dalam diamnya, membuat tidak ada satu orang pun yang berani mendekatinya. Di ujung koridor, suara tawa meledak. Alexander Benjamin baru saja datang. Rambutnya agak acak-acakan, pakaiannya casual dan senyum liciknya tak pernah absen. Di sekelilingnya ada dua-tiga temanya, selalu tertawa atas apa pun yang dia ucapkan—entah karena lucu, atau karena mereka takut jadi target. Seperti dua kutub magnet yang saling menolak, Banyu dan Alexander tak pernah

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status