Hari-hari setelah itu berubah menjadi kabut yang tak bisa ditembus. Diajeng tak lagi tersenyum seperti dulu. Wajahnya pucat, matanya sembab, dan langkahnya lamban seperti kehilangan arah. Ia menghindari aula, menghindari kantin, bahkan menghindari cermin.
Ia merasa seperti musuh bagi dirinya sendiri. Setiap kali melihat bayangannya di kaca, rasa malu dan takut langsung merayap naik seperti ular. Suara tawa teman-temannya terasa seperti ejekan. Tatapan orang-orang, bahkan yang tidak tahu apa-apa, terasa seperti tuduhan. Diajeng tahu dirinya hamil. Dua garis merah di test pack yang ia sembunyikan dalam kotak pensil tua adalah pengingat bahwa hidupnya tak akan pernah sama. Dan ia tak tahu harus bagaimana. --- Di kampus, ia menghindari Alexander. Lelaki itu semakin mencarinya, mengirim pesan setiap malam, menanyakan mengapa ia berubah dingin. Tapi Diajeng tak mampu menjawab. Ia tahu suaranya akan bergetar jika bicara. Ia takut jika Alexander menyentuhnya dan tahu kenyataan pahit yang sedang ia sembunyikan. Sementara itu, Erika terus mencoba mendekat. Menyapa seperti biasa, bahkan lebih manis dari sebelumnya. Tapi Diajeng tahu, sahabatnya itu menyimpan sesuatu. Tatapan matanya terlalu tajam, terlalu tajam untuk seseorang yang mengaku peduli. Diajeng hanya ingin sendiri. Di taman belakang, di perpustakaan lantai dua, bahkan di toilet perempuan yang sepi, ia bersembunyi. Ia tidur hanya dua jam semalam. Makan pun sudah tak terasa. Perutnya sering mual, tapi ia tahan. Ia tak mau siapa pun tahu. Suatu siang, ia terduduk lemas di klinik kampus, Kepalanya pusing seperti berputar-putar tanpa arah, dan perutnya mual hebat. Keringat dingin merembes dari pelipis hingga ke leher, membuat rambutnya lepek menempel di kulit. Napasnya berat, dan matanya terasa berat seakan tubuhnya hendak menyerah. Tapi bukan hanya tubuhnya yang lelah—jiwanya pun rapuh. Ruangan itu sepi, hanya ada aroma khas antiseptik dan semilir angin dari kipas angin tua yang berputar lambat di langit-langit. Diajeng duduk di ranjang kecil di sudut ruangan, menggenggam ujung jaket sekolahnya erat-erat, seolah kain itu bisa menahan semua yang ia sembunyikan dalam diam. Tak lama, pintu terbuka. Suara langkah mendekat. Seorang suster masuk, menatapnya penuh kekhawatiran. "Diajeng? Kamu kenapa, Nak?" tanyanya sambil mendekat. Diajeng mengangkat wajah dengan susah payah. Senyuman dipaksakan terlukis di bibir pucatnya. “Cuma... kecapekan, Sus,” katanya pelan, hampir seperti bisikan. Suster itu mengerutkan kening, lalu duduk di kursi sebelah ranjang. "Apa kamu perlu dipanggilkan orang tua? Atau kamu mau saya bantu hubungi temanmu?" Pikiran Diajeng langsung kacau. Panggil orang tua? Tidak, itu bisa jadi kiamat. Hubungi teman? Siapa? Erika? Alexander? Tidak. Tidak boleh. Ia cepat-cepat menggeleng, lebih kuat dari sebelumnya. “Gak usah, Sus. Saya cuma... mau istirahat sebentar aja.” Suster piket itu menghela napas, masih tampak ragu, tapi akhirnya berdiri. “Baiklah. Kalau ada apa-apa, kamu panggil, ya.” Lalu beliau keluar, membiarkan Diajeng sendiri dalam diam yang menggigit. --- Begitu pintu tertutup, Diajeng langsung membungkuk, memeluk perutnya sendiri. Air mata akhirnya jatuh, tapi tak pernah cukup untuk meluruhkan sesak yang menyesaki dadanya. Ia menangis tanpa suara, menahan isak agar tidak terdengar dari luar. “Aku harus kuat,” gumamnya lirih. “Aku harus kuat...” Tapi bagaimana bisa kuat, saat tiap malam ia bermimpi buruk tentang masa depan? Saat tiap pagi ia merasa jijik pada tubuhnya sendiri? Saat tiap detak jantung membawa satu kalimat menakutkan: "Aku hamil." Diajeng menatap langit-langit ruangan, membayangkan seandainya waktu bisa diputar. Seandainya ia tidak pergi ke kamar itu malam itu. Seandainya ia menolak minuman itu. Seandainya ia tidak pernah bertemu Banyu Samudra. Tapi semuanya sudah terjadi dan sekarang, ia sendirian. Banyu berdiri di balik tembok luar klinik, menyandarkan punggungnya dengan wajah tertunduk. Ia tidak tahu kenapa kakinya membawanya ke sini. Mungkin karena tadi ia melihat Diajeng berjalan sempoyongan di lorong. Mungkin karena matanya tak bisa berpaling sejak gadis itu menjauh dari segalanya. Atau... mungkin karena rasa bersalah yang selama ini ia kubur dalam-dalam mulai memukul balik tanpa ampun. Ia mencuri dengar saat suster piket keluar dari ruang klinik, bergumam pelan pada suster sekolah bahwa Diajeng terlihat pucat dan lemas. Tidak perlu jadi dokter untuk tahu bahwa Diajeng sedang tidak baik-baik saja. Dan Banyu tahu persis kenapa. Karena ia penyebabnya. Ia menyentuh dinding di sampingnya, mengepalkan tangan kuat-kuat. Rasa ingin marah—pada dirinya sendiri—membuncah begitu kuat sampai membuat dadanya terasa sesak. Ia ingin masuk dan menanyakan kabar Diajeng. Tapi apa haknya? Ia bukan siapa-siapa. Banyu tahu Diajeng membencinya. Ia juga membenci dirinya sendiri. Malam itu bukan hal yang pantas terjadi, bahkan meski ia dalam pengaruh obat. Ia seharusnya bisa menahan diri. Ia seharusnya tidak masuk kamar itu. Ia seharusnya tidak menyentuh Diajeng. Tapi semuanya sudah terjadi. Dan sekarang, gadis itu duduk sendiri di dalam ruangan kecil, menggenggam tubuhnya sendiri seperti sedang mencoba mempertahankan sisa-sisa harapan. --- Banyu mengintip sedikit lewat celah jendela. Dari balik tirai tipis, ia bisa melihat bahu Diajeng bergetar. Ia menangis, meski wajahnya tidak terlihat jelas. Tapi dari gerak tubuhnya, dari cara ia membungkuk memeluk diri sendiri, Banyu tahu air mata itu bukan tangisan biasa. Itu... tangisan hancur. Ia memalingkan wajah. Mencoba menahan napas yang tiba-tiba terasa berat. Matanya memanas, tapi ia menelan semuanya. Emosi itu tidak boleh terlihat. Tidak sekarang. “Maaf...” gumamnya lirih, walau takkan pernah cukup. “Maaf karena aku terlalu pengecut untuk menyelamatkanmu dari diriku sendiri.” Lalu ia pergi. Pelan. Dengan langkah yang semakin berat, seiring dengan beban yang mulai mengubur hatinya perlahan. --- Malam itu sunyi. Kamar Diajeng hanya diterangi cahaya temaram dari lampu jalan yang menyelinap masuk lewat jendela. Tirai tidak sepenuhnya tertutup, membiarkan bayang-bayang daun bergerak di dinding seolah ikut mengawasi. Ia duduk di tepi tempat tidur dengan punggung membungkuk, lutut ditekuk, dan lengan memeluk dirinya sendiri. Kepalanya terasa berat. Bukan karena sakit fisik, tapi karena isi pikirannya yang kacau. Jantungnya berdetak cepat, tapi anehnya... ia merasa sangat lelah. Seolah tubuh dan pikirannya tidak lagi berjalan dalam satu irama. Ponselnya bergetar di samping bantal. Dari Alexander. > “Sayang, aku rindu. Kamu kenapa, sih? Jangan bikin aku gila.” Diajeng terdiam. Matanya memandang layar lama, jari-jarinya gemetar di atas keyboard virtual. Ia tahu, satu kata darinya bisa mengubah semuanya. Ia tahu Alexander sedang kebingungan, dan mungkin benar-benar merindukannya. Tapi... apakah cinta masih bisa menyelamatkan mereka? Ia menelan ludah, lalu mengetik dengan pelan. > “Aku cuma butuh waktu sendiri.” Dikirim. Layar kembali gelap. Tapi hatinya tidak ikut meredup. Justru semakin bergemuruh. Nafasnya tersengal, dan dada terasa sesak. Tangannya yang tadi memegang ponsel kini mengepal. Ia ingin menangis, tapi air mata seolah menolak keluar. Ia merasa seperti pengecut. Tapi bagaimana bisa ia berkata jujur? Bagaimana ia bisa bilang bahwa dirinya telah menghancurkan segalanya? Bahwa tubuhnya kini menyimpan rahasia yang bahkan belum bisa ia terima sendiri? Bahwa malam itu... ia telah kehilangan sesuatu yang tak bisa dikembalikan? --- "Aku hamil, Alex." Kalimat itu terus berdengung di kepalanya. Tapi lidahnya terlalu kelu untuk mengucapkannya. Ia takut. Takut melihat raut kecewa di wajah Alexander. Takut ditinggalkan. Takut disebut pengkhianat. Takut disebut perempuan murahan. Takut... kehilangan sisa dirinya yang selama ini ia jaga mati-matian. Bukan hanya Alexander yang bisa ia kehilangan. Ia juga takut kehilangan dirinya sendiri. Di luar kamar, suara detik jam terdengar lebih keras dari biasanya. Seolah waktu pun ikut menyiksa. Ia menutup wajah dengan kedua tangan. Selimut tak lagi memberi rasa hangat. Tempat tidur yang biasanya nyaman kini terasa seperti jurang kesepian. Di sisi lain kota, seseorang bernama Banyu Samudra mungkin juga belum tidur. Mungkin juga merasakan perasaan yang sama. Tapi Diajeng terlalu hancur untuk memikirkan itu. Yang ia tahu, malam ini adalah malam lain yang harus ia lalui dalam diam—bersama rahasia yang tumbuh dalam perutnya… dan luka yang tumbuh dalam hatinya. Pagi berikutnya, ketika masuk kelas, Diajeng melihat Banyu duduk di pojok belakang. Seperti biasa, ia menunduk, acuh tak acuh. Tapi ketika mata mereka bertemu, ada sesuatu yang terasa. Seperti gelombang tak kasatmata yang menekan dada mereka berdua. Diajeng buru-buru mengalihkan pandangan. Ia tahu, Banyu satu-satunya orang yang tahu kebenaran. Dan ia membencinya karena itu. Tapi yang lebih menyakitkan, ia juga membenci dirinya sendiri karena saat malam itu terjadi, ia tak melawan.Aroma kopi arabika memenuhi ruangan kafe kecil di sudut kota. Erika duduk di kursi dekat jendela, menunggu seseorang dengan wajah penuh kesabaran—atau lebih tepatnya, penuh perhitungan. Tangan halusnya memainkan sedotan plastik sambil sesekali melirik jam tangan mewah yang baru saja ia beli dengan sisa uang tabungannya.Tak lama kemudian, seorang pria tinggi berjaket denim memasuki kafe. Rambut hitamnya sedikit berantakan, tapi karisma alaminya tetap memancar. Alexander Benjamin.Alex menarik kursi dan duduk di hadapan Erika. “Kamu kelihatan serius banget. Ada apa?”"Aku lagi mikirin cara kita deketin Diajeng," jawab Erika seraya menatap pria pujannya. “Dan kalau dia nggak tertarik sama aku?”Erika menyeringai. “Tenang. Di situ aku yang main peran. Aku sahabatnya. Aku tahu semua pintu yang bisa kita buka. Percayakan sisanya ke aku.”Tatapan mereka bertemu. Dan di titik itulah, dosa pertama mereka dimulai—sebuah rencana yang kelak akan menghancurkan lebih banyak hati daripada yang mer
Mobil sedan hitam menggelinding mulus menyusuri jalan kota yang mulai diterangi lampu-lampu senja. Di dalamnya, keheningan menggantung seperti selimut tipis—tidak canggung, tapi… penuh degup yang disembunyikan.Diajeng melirik ke arah Banyu yang menyetir dengan satu tangan, tangan satunya bertumpu santai di kemudi. Tuxedo hitam itu membuatnya terlihat terlalu sempurna—pria yang tadinya ia benci, kini terlihat seperti tokoh utama dalam mimpi romantis siapa pun.“Kamu yakin gak salah arah?” tanya Diajeng pelan, mencoba mencairkan suasana.Banyu menoleh sebentar, tersenyum. “Tenang. Aku sudah hafal setiap jalan ke tempat yang akan jadi kenangan terindah kita malam ini.”Diajeng mengerjap pelan. Kalimat itu membuat pipinya sedikit hangat.Tak lama, mobil berbelok masuk ke sebuah kawasan elite. Di ujung jalan berlampu temaram, berdiri sebuah restoran bergaya klasik Eropa, dengan taman kecil di sisi kanan dan lampu-lampu gantung di terasnya. Ada suara lembut piano yang terdengar samar dari
Lampu bar berwarna kuning redup memantul di meja kaca yang basah oleh tetesan alkohol. Aroma vodka dan cerutu bercampur jadi satu, memenuhi udara malam yang pengap.Alexander Benjamin duduk di sudut VIP, kancing atas kemejanya terbuka. Wajahnya tampan tapi kusut, dengan mata merah dan rahang yang mengeras menahan amarah.Di depannya, tiga gelas whiskey sudah kosong. Gelas keempat kini ia genggam erat, jari-jarinya mencengkeram kaca seolah ingin menghancurkannya."Diajeng..." namanya terucap pelan, nyaris seperti geraman.Matanya menatap kosong ke arah lampu gantung bar, tapi pikirannya tak bisa lepas dari bayangan gadis itu. Senyumnya. Suaranya. Dan bayangan yang paling menusuk: Diajeng dalam pelukan Banyu.Alexander mendengus kasar, lalu meneguk whiskey itu sampai habis dalam satu tarikan. Cairan panas membakar tenggorokannya, tapi rasa perih di dadanya jauh lebih menyakitkan."Kenapa, Jeng...? Kenapa kamu harus jatuh ke pelukan dia?"Alex menunduk, menatap layar ponselnya. Foto yang
Apartemen Erika yang biasanya rapi kini tampak berantakan. Bantal berserakan di lantai, dua cangkir kopi yang belum habis tertinggal di meja, dan setumpuk pakaian bersih belum sempat dilipat.Erika mondar-mandir di ruang tamu dengan napas memburu, matanya memerah karena kurang tidur dan terlalu banyak emosi yang dipendam."Kenapa dia bisa sekuat itu, hah?!" bentaknya ke udara, lalu melempar bantal ke sofa.Gadis itu mengacak-acak rambutnya sendiri, frustasi. Ingatan tentang tatapan Diajeng semalam kembali menghantuinya—tatapan tajam penuh kebencian dan luka."Aku tahu semua, Rik. Aku lihat kalian."Kalimat itu terus terngiang di telinganya, menampar rasa aman yang selama ini ia bangun dengan kebohongan."Seharusnya dia lemah… seharusnya dia hancur!" gumam Erika, suaranya seperti racun.Dia meraih laptopnya dengan kasar, membukanya dan membuka folder tersembunyi berisi cuplikan-cuplikan dari malam pesta itu. Erika memutar video pendek saat Diajeng tampak memasuki kamar hotel sendirian.
Mentari siang mulai merambat, menyusup malu-malu lewat tirai yang setengah terbuka. Di atas ranjang, dua insan yang semalam diliputi badai emosi kini masih terbaring dalam diam.Tapi, bukan diam yang dingin. Ini diam yang… hangat. Menenangkan.Diajeng membuka mata lebih dulu. Cahaya tipis dari jendela menyentuh wajahnya. Ia mengedip pelan—dan baru sadar kepalanya masih bersandar di dada Banyu, yang kini terlelap. Tangan pria itu masih memeluknya lembut.Deg.Deg.Deg.Jantungnya seperti berdentang keras di telinga."Astaga... aku tidur sambil meluk dia?!" batin Diajeng panik.Pelan-pelan Diajeng beringsut mundur, tapi baru saja ia bergerak, Banyu mengerang pelan dan membuka mata. Mata mereka bertemu. Sekejap. Tapi cukup untuk membuat keduanya refleks saling menjauh dengan canggung.“Ehm…” Banyu menggaruk tengkuknya sambil menghindari tatapan. “Tidurmu… nyenyak?”Diajeng langsung duduk dan membetulkan rambutnya yang berantakan. “Aku... ya. Lumayan.”Mereka berdua menunduk. Sunyi. Cangg
Jam menunjukkan pukul dua dini hari. Suasana apartemen Banyu yang mewah dan biasanya terasa hangat, malam itu justru dingin seperti es. Diajeng duduk memeluk lututnya di sofa ruang tamu, hanya mengenakan sweater longgar dan celana tidur. Rambutnya masih sedikit basah karena tadi sempat mencuci wajahnya—berharap bisa menghapus sisa-sisa air mata yang terlalu keras mengalir..Namun yang tersisa hanyalah perih.Banyu belum pulang.Diajeng menatap kosong ke arah jendela besar yang menampilkan pemandangan kota Jakarta yang masih menyala. Tapi semua cahaya itu tak mampu menenangkan hatinya. Yang ada justru bayangan-bayangan dari masa lalu berputar dalam pikirannya seperti film rusak yang tak mau berhenti diputar ulang.Nama Erika muncul pertama.Sahabat yang selama ini ia percayai. Tempat ia berlindung. Tempat ia mencurahkan ketakutan dan kebingungan saat hidupnya berantakan... ternyata punya wajah lain di balik topeng manisnya.Diajeng mencengkeram bantal kecil di pelukannya lebih erat. Nap