[Kenapa tidak kunjung mengirim kekayaanmu padaku? Aku tunggu sepuluh menit lagi, jika belum ada saldo masuk di rekeningku. Itu artinya kau siap bermain denganku]Sebuah pesan masuk membuat Rafan seketika membanting ponselnya. Sudah sangat lama ia tidak semarah ini pada keadaan. Sudah lama darahnya semendidih sekarang. Semua terasa begitu memuakkan dan membuat ia gila dengan keadaan. Semua orang pasti akan merasakan hal yang sama jika berada di posisi Rafan. "Ada apa? Bukankah sudah aku katakan untuk tetap tenang? Semarah apa pun dirimu sekarang, tidak akan merubah keadaan. Yang ada kau hanya akan kehilangan tenaga. Kenapa tidak kau simpan saja tenagamu untuk bertemu dengannya?" Rafan mengusap wajahnya kasar, ia terlampau serius menanggapinya hingga lupa cara mengontrol emosi yang biasanya mudah baginya. Rafan yang sekarang tak ubahnya seperti Danish yang muda tersulut percikan api dan pastinya akan mudah terbakar jika di siram gas sedikit saja. "Lihat ini!" kata Rafan menyerahkan g
Rafan hendak membuka mulutnya untuk kembali menjawab pertanyaan dari Frans. Hanya saja, getaran di ponselnya membuat ia mengalihkan perhatian. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal terpampang di layar. Baginya sekarang tak mengherankan lagi ada banyak nomor yang menghubunginya. Si peneror seringkali mengganti nomornya saat menghubungi. Wajah yang semula biasa saja kini mendadak membuat raut tegang, wajahnya pucat, dan ia mulai di serang panik. "Sial! Frans, aku harus pulang." Hanya kalimat itu yang mampu Rafan keluarkan. Ia tergesa membawa dirinya keluar dari apartemen. Pesan dari peneoror ini membuat ia kembali kalang kabut. Rafan meluncur di jalan dengan kecepatan tinggi, hatinya berdegup kencang. Pemandangan di sekitarnya menjadi blur, hanya fokus pada satu tujuan, pulang. Ketegangan memenuhi udara di dalam mobil saat ia meraba-raba kantong saku, mengeluarkan ponselnya dengan gemetar. Layar ponsel terangkat menampilkan foto ancaman yang menakutkan. Rafan merasa napasnya se
"Mas, kau pulang?" Satu pertanyaan ringkas ia dengar, suara yang serak, lembut, dan halus itu membuat sakit di kepalanya seketika hilang, tapi hanya untuk beberapa detik saja. Ia berpikir ini hanya halusinasinya semata. Namun, sekali lagi semesta menegaskan bahwa apa yang ia dengar tadi bukanlah sebuah ilusi. Tapi memang ada sesuatu yang hidup di dalam kamarnya, di atas ranjang lebih tepatnya. Hal itu ia yakini setelah sepanjang punggungnya merasakan pelukan hangat dan juga desakan tubuh yang semakin mendekat. Semakin lama semakin mendekat dan seperti tengah memaksa untuk ia dekap. "Kenapa kau diam saja? Peluk aku supaya aku kembali terlelap. Kau tahu aku susah tidur lagi jika ada yang membangunkan. Ini belum pagi, kan?" Yuan meraba-raba mencari tangan Rafan. Setelah mendapatkan tangan itu, segera ia lingkarkan ke pinggang. Sedikit aneh saat hidung Yuan tertempel di dada bidang Rafan. Keningnya sedikit mengernyit lantaran bau alkohol yang cukup menyengat. Ia sampai sedikit ter
"Tutup mulutmu adik ipar, kau ingin membuat semua penghuni rumah datang ke sini dan melihat keadaan kita?" Rafan kembali melompat ke ranjang seraya membekap mulut Yuan yang berteriak ketika mendapati dirinya yang masih belum mengenakan celana.Dengan kasar Yuan memindahkan tangan kakak iparnya dari mulutnya, "kau yang salah, dan lagipula kenapa kau naik lagi di ranjangku? Harusnya kau cepat-cepat pakai celana dan keluar dari sini. Oh Tuhan, kau membuat mataku tercemar oleh adik kecilmu itu."Air muka Rafan berubah menjadi wajah-wajah tak terima sekaligus tercengang. Bagaimana bisa Yuan mengatakan bahwa adiknya ini kecil di saat semalam mereka menghabiskan malam panas dengan dirinya yang tak henti-hentinya memuja betapa nikmatnya adiknya ini. "Apa kau bilang, adikku kecil? Seharusnya aku merekam kegiatan panas kita semalam supaya aku ada bukti, bahwa kau selalu memuja adik yang kau sebut kecil ini. Di setiap kali aku memberikan hentakan kau selalu–.""Sudah cukup Rafan, hentikan! Kita
"Bagaimana bisa kau ada sini, Rafan?" Yuan menoleh ke kanan dan kiri, ia tak menjumpai siapa pun di sini kecuali Rafan. Tidak ada sekretaris atau setidaknya bawahan pria itu. Untuk apa pria ini datang ke pusat perbelanjaan di jam kerja seperti ini? Batinnya."Memangnya kenapa kalau aku ada di sini? Ini di tempat umum, siapa pun berhak ke sini asal punya duit. Adikku menyukai warna cerah, ini bagus untuk menggodanya nanti malam."Rafan mengambil lingerie yang masih berada di tangan Yuan dan mengembalikannya ke tempat semula lalu menyodorkan lingerie pilihannya. Tak kunjung diterima Yuan, pria itu menarik tangan wanita itu dan meletakkannya di gantungan lingerie yang ia bawa. Sedetik kemudian, lingerie itu sudah berpindah tangan. Yuan yang tercengang dan masih shock hanya bergeming. Tak ada perlawanan ataupun kalimat yang wanita itu keluarkan. Ia hanya mampu menatap Rafan yang nampak biasa saja setelah kejadian semalam. Padahal ia dengan susah payah berusaha melupakan, tapi yang ada ma
"Ae in itu teman kuliahku, lagipula sejak kapan kau lancang ingin menjawab panggilan dari ponsel seseorang?" "Kau bukan orang lain, kau suamiku. Harusnya tidak ada privasi di antara kita. Ya kalau itu temanmu, kenapa tiba-tiba wajahmu memucat?"Tatapan yang penuh kecurigaan memperlihatkan perasaan yang tersembunyi. Bibir Yuan yang tegang dan alis yang terangkat menciptakan aura ketidakpercayaan. Hatinya berdebar keras, terjebak dalam labirin pertanyaan tanpa jawaban. Apakah ini hanya paranoid atau benar-benar ada sesuatu yang disembunyikan? Tatapan itu berbicara lebih banyak daripada kata-kata yang bisa diucapkan. Entah mengapa untuk kali ini ia tidak terlalu percaya dengan ucapan suaminya. Nama kontak yang terlalu asing di telinga, panggilan sepagi ini di nomor pribadinya, yang ia tahu seseorang yang menghubungi suaminya di nomor pribadinya hanyalah keluarga besarnya. Untuk teman-teman dan juga rekan kerjanya ia menggunakan ponsel lain. "Sudahlah, Yuan. Kau tidak perlu berpikir ya
Yuan sempat mengira bahwa pertengkaran yang ia lakukan pagi itu adalah pertengkaran yang terakhir. Namun siapa yang mengira, justru pertengkaran pagi itu adalah pertengkaran yang membawa masalah-masalah lain dalam rumah tangganya.Kecurigaan yang memenuhi kepalanya berusaha untuk diabaikan, karena ia sadar semakin memikirkan itu, ia sama saja menyakiti diri sendiri. Tapi sayangnya, sikap abainya itu justru membuat tingkah Danish semakin menjadi, semakin mencurigakan, semakin berubah, dan semakin menunjukkan sifat aslinya.Pertengkaran yang ia kira sebagai bumbu tambahan dalam rumah tangga. Kini nyatanya menjadi bumbu utama dalam rumah tangganya. Selalau saja ada pertengkaran kecil yang menjadi teman dalam kamar mereka."Berhenti menuang air panas di cangkir yang penuh."Suara bariton yang berjarak dekat dengannya membuatnya terkejut. Ia menunduk dan membola melihat air yang sudah tumpah ruah ke mana-mana. Beruntung air itu tak mengenai ujung kulitnya."Astaga, aku tidak sadar kalau can
Tanpa permisi Rafan masuk ke dalam dan memberikan bogeman pada adik kandungnya. Ia benci kekerasan, ia tak suka baku hantam, tapi ia lebih tak suka jika ada yang menyakiti wanita. Tak peduli siapa yang melakukan dan wanita mana menjadi korban. Kedua orang tuanya adalah orang yang baik, keharmonisan rumah tangga mereka dan juga didikan dari ayahnya harusnya sudah cukup menjadi bekal bagaimana cara memperlakukan wanita terutama istrinya. Ibunya pun selalu memberikan kasih sayang yang berlebih pada kedua anaknya, tapi entah kenapa sikap Danish ini berbanding terbalik dengan sang kakak. Rafan dikenal dengan ketegasan dan kejam saat berada di lingkungan kantornya. Tapi bertingkah sebaliknya saat berada di rumah. Sementara Danish dikenal sebagai pribadi yang humble, humoris, dan hangat. Namun, nyatanya saat di rumah ia berubah menjadi monster bagi sang istri. "Tidak bisakah kau melawan saat mendapat perlakuan kasar seperti itu? Kau berani padaku, kenapa kau t