"Minta dia keluar dari sini, Ve. Aku tidak sudi melihat wajahnya!" Pak Jo memaksakan kepalanya untuk menghadap ke arah yang berlawanan dengan posisi berdirinya Danish.
Pria yang tengah lemah tak berdaya karena serangan jantung itu bernapas dengan sedikit sesak karena amarah yang masih tersisa. Betapa sakitnya hati beliau mendapati anaknya yang melakukan hal sekeji ini. Sungguh beliau sangat malu saat ini jika harus melihat dunia beserta isinya.Bu Veronica lalu memberikan kode pada sang anak untuk menginggalkan mereka. Tak lupa beliau juga memberi tahu untuk tidak datang ke rumah sakit. Sebelum suasana kembali kondusif akan jauh lebih baik jika Danish tidak muncul dulu di depan Pak Jo, begitu pikir Bu Veronica."Aku sudah memintanya untuk pergi. Tolong jangan pikiran dulu soal apa pun. Kau tak akan kunjung sembuh jika seperti ini. Apakah kau menginginkan aku menghadapi ini sendirian? Kalau tidak, kau harus bisa mengatur emosimu. Pedulilah pada kesehata"Orang-orang ke mana? Kenapa rumah sangat sepi?"Rafan sampai rumah 15 menit yang lalu. Dari ia masuk rumah hingga kembali keluar kamar tak ada manusia yang ia temui selain pekerja di rumahnya. "Ibu lagi di rumah sakit, Mas, nungguin Pak Jo. Semalam setelah Mas Rafan pergi, Pak Jo dadanya sakit dan dibawa ke rumah sakit. Kalau Mas Danish mungkin masih di sana juga karena semalam juga Mas Danish nggak pulang.""Kenapa ibu tidak mengabari aku?" gumam Rafan seraya melangkahkan kaki dan menghubungi ibunya. Rafan yang tadinya sudah bersiap akan ke kantor kini terpaksa ia urungkan. Meskipun mendapat kabar dari ibunya bahwa keadaan sang ayah sudah jauh lebih baik, tetap saja ia harus memastikan sendiri kondisi pria itu. "Apa yang terjadi? Kenapa Ibu tidak kabari aku kalau ayah masuk rumah sakit? Aku, kan, bisa pulang semalam. Apa kata dokter?""Tidak apa-apa, Rafan. Jangan khawatir, seperti yang sudah Ibu katakan tadi, Ayah sudah leb
"Tidak ada, Ibu. Semuanya sudah aku ceritakan, Ibu tahu aku, kan? Aku tidak suka ada laki-laki yang menyakiti wanita, aku tidak peduli siapa pun dia pasti akan aku bela. Kalian selalu mengajarkan itu padaku, kenapa masih bertanya?""Aneh saja. Kau selalu ribut tiap kali bertemu dan tiba-tiba sekarang bersikap seolah keributan yang kau buat dengan Yuan adalah palsu.'Rafan menelan ludahnya. Memang benar apa yang dikatakan ibunya, semua yang ditunjukkan pada orang tuanya hanyalah palsu belaka. Tapi rasanya pada Yuan tidak palsu, apa pun yang berhubungan dengan Yuan, tidak ada kepalsuan di dalamnya. "Ibu mau Yuan ke sini? Aku akan menjemputnya jika Ibu mau.""Sebenarnya Ibu ingin, tapi Ibu di sisi lain juga tidak punya muka untuk bertemu dengan Yuan. "Ibu selamanya akan merasa seperti itu, Bu. Ibu Bisa tunjukan kepedulian Ibu sekarang, inilah waktu yang tepat untuk membuktikan bahwa Ibu sudah masih layak untuk dipanggil Ibu oleh Yuan."
"Danish aku terpikir sesuatu sejak semalam. Kejadian ini pasti akan berdampak pada posisimu di perusahaan. Sebelum hari ini terjadi saja kau sudah tidak dipercaya oleh ayahmu. Bagaimana setelah kejadian ini? Bisa-bisa kau kehilangan hak untuk mengelola perusahaan keluarga. Bisa juga ayahmu memindahkan tangankan pemimpin di perusahaanmu. Jika kau tidak melakukan sesuatu, kau akan kehilangan semuanya."Danish yang sedang menyiapkan diri untuk ke kantor itu terhenti sesaat. Ia berpikir benar juga yang dikatakan oleh Feli. Jika ia diam saja, bukan hanya kepemimpinan yang akan direbut Rafan, tapi perusahaannya juga. Oh tidak, jangan sampai itu terjadi. "Aku harap kau mengerti dengan apa yang aku maksud.""Iya, aku paham. Kau tenang saja. Aku akan mengambil alih perusahaan sebelum Ayah melakukan sesuatu. Terima kasih sudah ingatkan aku. Aku ke kantor dulu." Sebuah kecupan di kening mendarat dengan lancar. "Hai Baby, Ayah kerja dulu, ya. Jangan tendang Ibu terlalu keras, dia bisa kesakitan
"Jo, aku ini ibunya. Jika kau membencinya silakan saja. Kau hanya laki-laki yang menjadi peran sebagai ayahnya, kau tidak ikut mengandung, melahirkan, dan menyusuinya. Wajar saja jika bencimu lebih besar dari kasihmu. Yang bertaruh nyawa untuk melahirkan dia, aku. Kenapa kau harus melarangku untuk bertemu dengan anakku sendiri? Hanya karena kesalahan yang dia lakukan melampaui batas, bukan berarti dia berhenti jadi anakmu. Dia tetaplah anakmu. Aku yang melahirkan, jangan minta aku untuk berpisah dengannya. Jika kau tidak mengizinkan dia datang ke sini, biar aku yang mendatanginya." Bu Veronica berkaca-kaca.Bayangkan saja, beliau seperti merasa sakit yang lebih parah, sakit yang terasa dua kali lipat lebih sakit dibandingkan dengan yang sakit yang sudah beliau lewati. Jika untuk maaf, tentu saja Bu Veronica masih berat untuk memberi maaf Danish, tapi bukan berarti beliau harus hilang peduli pada anaknya sendiri. "Ibu, sudah, Bu. Ayah baru keluar dari rumah sakit.
Selesai dengan membujuk ayah dan ibunya, Rafan meninggalkan rumah dengan perasaan yang lega. Ia merasa dengan apa yang ia lakukan ini akan membuka pikiran keduanya. Mungkin terlihat bahwa Rafan yang plin plan dan tak jelas berpihak pada siapa, tapi di balik keputusannya ini, ia akan tetap berada di pihak ibunya. Laki-laki itu akan tetap mempertemukan keduanya tanpa sepengetahuan sang ayah dengan catatan pertemuan itu tidak dilakukan dalam waktu dekat. Hari demi hari yang terus terlewati dengan cepat tak terasa membawa situasi di mana sidang perceraian Yuan dan Danish dibuka. Butuh waktu dua bulan untuk sampai di titik ini. Hingga kurun waktu itu, tak ada yang berubah. Semua tetap sama. Bahkan Yuan dan Danish juga tidak saling berusaha memperbaiki silaturahmi hingga detik ini. Tidak ada yang saling mencari, tidak ada yang mengalah, seakan-akan hubungan mereka berakhir di hari pernikahan mereka yang kedua tahun. Mereka seakan saling membenci satu sama lain. Bahkan hingga sidang ini di
"Aku sedang tidak melantur, tapi aku sedang bicara fakta. Memang itu yang aku dapat dari Ayah. Kau sejak kecil menjadikan Rafan kesayangan dan bertingkah sebaliknya padaku. Selalu mengiyakan apa yang dikatakan Rafan, tapi selalu mengatakan tidak padaku."Pak Jo kini mulai mengerti arah pembahasan Danish. Kini tak perlu lagi beliau melanjutkan obrolan atau percakapan apa pun dengan Danish. Beliau rasa percuma saja bicara dengan anak bungsunya ini. Dari kecil Danish memang tipe anak yang pembangkang dan semaunya sendiri. Dan ternyata beliau baru sadar bahwa beliau gagal merubah Danish kecil. Pak Jo lebih memilih untuk pergi saja dari pada terus mengajak Danish bicara yang beliau tahu pasti akan berakhir pada pertengkaran yang lebih parah. Beliau masih sayang kesehatannya, tidak ingin lagi kesehatannya menurun atau tergerus karena kelakuan sang anak yang ternyata tidak ada perubahan dan justru semakin membuatnya kecewa. Tidak sadar kesalahan dan tidak berusaha berubah, sungguh manusia y
"Yuan? Kau di sini, Nak?" Yuan gugup, niatnya yang akan memberi surprise kekasihnya malah berujung ia yang terkejut. Ia sengaja datang setengah jam sebelum jam makan siang agar ada sedikit waktu lebih banyak. Namun, nasib baik saat ini sepertinya sedang tak berpihak pada wanita itu. Untunglah tadi ia tak memanggil Rafan dengan sebutan sayang, batinnya. Bukan apa-apa, bukan takut atau tak mau hubungannya diketahui oleh mantan mertuanya, hanya saja untuk sekarang sepertinya tidak tepat. Yuan baru saja resmi bercerai, di sisi lain Rafan juga tak ingin rasanya terhadap Yuan ini dinilai rasa kasihan oleh mereka. "Iya, Yah. Yuan memang sering ke sini. Dia antar makan siang, katanya sebagai bentuk rasa terima kasih karena sudah memberi izin tinggal di apartemenku. Sebenarnya aku ada rencana mau masukin dia ke perusahaan. Tapi, kan, aku harus izin dulu sama Ayah.""Boleh, tentu saja boleh. Kau atur saja. Kalau begitu Ayah pergi dulu." Merasa tak enak dan tak nyaman berada di tengah-tengah
"Ponsel ayah tertinggal. Maaf jika kedatangan ayah membuat kalian terkejut." Pak Jo lalu berjalan masuk dan mengambil ponselnya yang tertinggal di meja. Saat pria itu mengambil benda pipihnya di atas meja, di saat itulah beliau menatap Rafan dengan senyum yang tersungging. Rafan sendiri tidak tahu apa makna dari senyuman itu. Apa ayahnya tadi sempat melihat dirinya yang gelagapan melepaskan bibir Yuan? Ah mudah-mudahan saja tidak. Namun, harapan tinggalah harapan. Apa yang diharapkan oleh Rafan nyatanya berbanding terbalik dengan realita. Malam hari seusai makan malam, pria itu bicara empat mata dengan sang ayah. Seperti biasa, di teras samping rumah yang terdengar gemericik air mancur di tengah kolam ikan. Tak jauh dari sana ada kolam renang yang berukuran sedang. "Apa yang membuat ayah mengajakku ke sini?"Rafan ragu jika ayahnya membawa ke sini untuk membicarakan perihal pekerjaan. "Ada hubungan apa kau dengan Yuan?" tanya Pak Jo to the point. Rafan tertawa kecil, "hubungan ap