Lenna menyusuri koridor remang itu dengan langkah anggun yang tegas. Rambut sebahunya bergerak-gerak seiring dengan langkahnya yang melambat ketika mendengar suara-suara aneh.
Ia memasang telinga baik-baik dan memajukan langkahnya dengan hati-hati.
"Akh! Hmphh—"
Lenna menyatukan alis mendengar desahan dan rintihan itu. Terkesiap ketika matanya menangkap sang tuan besar yang sedang menindih seorang perempuan di atas sofa.
Ia memutar tubuh dan ingin enyah sesegera mungkin, tapi seorang pelayan tiba-tiba muncul dan membuatnya kaget.
Lenna mengurut dada. "Apa yang kau lakukan? Kau membuatku kaget."
"Aku sudah lumayan lama berjalan dari sana, Kepala Lenna." Pelayan berkuncir itu menunjuk koridor.
"Tunggu, Rita. Kau mau ke mana?" tahannya ketika melihat Rita hendak maju.
"Aku ingin membersihkan ruang tengah. Pertemuannya sudah selesai, kan? Bukannya keluarga Nyonya sudah pulang?"
"Ya, nanti saja kau bersihkan."
Ri
Saga membuka kancing-kancing kemejanya dengan kasar.Sial! Ini sangat panas.Jantungnya berdebar kencang dan sesuatu di bawah sana masih mengeras dengan sempurna."Lenna!"Lenna masuk kamar dengan cepat dan menghampirinya."Bawakan wanita untukku."Ada jeda sekian detik sebelum Lenna menjawab seperti biasanya."Baik, Tuan Besar." Kemudian mundur teratur dan menghilang dari pandangannya.Perpaduan antara amarah yang menggelegak dan gairah yang memberontak. Benar-benar kombinasi yang akan membuatnya membunuh seseorang malam ini.Beberapa menit kemudian, Lenna datang dengan seorang wanita bertubuh tinggi dan sintal, tipe wanita yang disukainya."Kemari."Seperti biasa, wanita itu akan dengan senang hati melemparkan diri kepadanya. Menggoda dan memohon di bawah kuasanya.Tapi Juni Lahendra sialan itu sama sekali bukan tipe yang seperti ini, yang akan membuka pakaiannya dengan gerakan sensual dan membisik
"Nyonya, Tuan Besar menunggu Anda di ruang makan." Juni mengangkat wajah dari buku yang tengah dibacanya dan menatap Sarah yang berdiri di depan ranjang. Ia sedang duduk di tempat tidur sembari meluruskan kaki dan bersandar pada kepala ranjang. "Aku sedang tidak ingin sarapan." "Tapi Tuan menyuruh saya untuk memanggil Anda." Juni menghela napas kemudian menutup bukunya. "Katakan aku sedang tidak enak badan." "Maafkan saya, Nyonya. Saya takut Tuan Besar datang dan memaksa Nyonya lagi." "Jangan khawatir. Aku akan menurut kalau dia memaksa." "Mohon maaf, Nyonya. Saya tidak bermaksud ikut campur. Sudah tujuh tahun saya bekerja di rumah ini dan baru kali saya melayani seorang nyonya besar. Saya sangat senang. Saya tidak ingin melihat Nyonya terus menangis." Juni menatap mata Sarah yang memerah. Perempuan yang tiga tahun lebih muda darinya itu menunduk. Juni terhenyak. "Terima kasih atas kasih sayangmu, Sarah."
'Jangan permalukan dirimu di pesta nanti. Buat semua orang kagum dan tunduk padamu.'Juni membaca pesan dari Maria sembari meringis. Keluarga Lehendra pasti juga diundang ke pesta besok. Dia tidak habis pikir untuk apa dirinya melakukan hal seperti itu. Toh tidak ada untungnya juga.Semua orang sudah tahu soal Atlanta dan Lahendra. Dia tidak perlu lagi bersusah payah membuat semua orang kagum padanya. Sudah pasti mereka akan iri dan ingin berada di posisinya.'Semua orang ingin berada di posisiku dan aku hanya ingin melarikan diri dari sini' batinnya sembari mendengus bosan.Dia sangat bersyukur jika ada orang yang ingin bertukar tempat dengannya. Juni akan berterima kasih setulus hati."Nyonya, Anda pilih gaun yang mana?" tanya Vera sembari memperlihatkan gaun-gaun indah dan mewah di hadapannya.Di depan Juni, berdiri deretan manekin yang berpose dan mempertontonkan gaun-gaun indah dan menawan.Semuanya tampak elegan. Tak
Juni keluar dari mobil dan langsung berhadapan dengan karpet merah yang dikelilingi hiasan bunga mewah dengan pot dan guci-guci yang mengkilap.Para wartawan berkerumun dengan kamera siap siaga dan mikrofon yang mereka ulurkan kepada para tamu kelas kakap yang datang."Itu Saga Atlanta!""Atlanta sudah datang!""Kupikir ini cuma rumor, ternyata dia benar-benar datang.""Dia bersama seorang wanita, apa itu istrinya?"Saat pesta pernikahannya bersama Saga, lelaki itu memang tidak mengundang para wartawan. Hanya para kolega dan keluarga terkemuka yang datang. Pestanya pun tak seheboh dan seramai ini. Orang-orang cuma mengetahui namanya—Juni Lahendra—sebagai istri Saga, tidak dengan wajahnya.Saga mengamit pinggang Juni dengan posesif, membuat wanita itu terksiap sejenak sebelum mengatur kembali ekspresinya, berusaha seanggun mungkin. Melangkah dengan percaya diri diiringi senyum tipis dan langkah kaki yang elegan.
Saat umurnya berada pada fase remaja hingga menginjak dewasa, Juni terkenal sebagai putri sulung Lahendra yang sangat potensial untuk mewarisi seluruh kerajaan bisnis Lahendra.Tapi sejak ia memutuskan menikah dengan Rafael dan meninggalkan semua kemewahan itu, dirinya mulai menjadi santapan bibir orang-orang hingga akhirnya dilupakan sepenuhnya.Orang-orang hanya mengingat tiga anak dari Sandi Lahendra. Satu putri dan dua putra. Hanya itu.Hari ini dia datang kembali, sebagai pewaris utama Lahendra sekaligus istri dari Atlanta.Dua keluarga yang disegani di dunia bisnis. Keluarga termasyhur dan memiliki reputasi baik dan buruk masing-masing.Juni Aulia menggenggam kedua keluarga itu setelah kembali dari pernikahan bodoh dan kehidupan melaratnya."Wah ... kau lihat? Tak ada satu pun yang kurang dari wajah maupun tubuhnya untuk menyandang status penting dari dua keluarga itu.""Aku masih ingat terakhir kali aku melihatnya,
"Aku tidak bisa menyentuhnya sedikit pun karena ada Maria yang selalu melindunginya, bahkan ketika dia tidak berada di rumah Lahendra. Sekarang dia ada dalam genggaman Atlanta. Situasinya jadi semakin sulit."Leticia menghentakkan kaki di lantai rooftop sembari memandang kesal pada bangunan-bangunan tinggi yang menjulang di hadapannya."Ini semua karenamu, Jeni. Kalau kau bersedia menikah dengan Atlanta sebagai pengganti Juni, maka kau yang akan menjadi pewaris Lahendra. Semuanya akan jatuh ke tangan kita."Jeni yang berdiri di sampingnya melirik Leticia sengit. "Ibu menyuruhku menikah dengan serigala kutub itu? Dia memang sangat tampan dan amat kaya, tapi dia adalah pemangsa wanita. Dia sangat berbahaya. Ibu mau aku mati sebagai budak seks-nya?"Leticia mendecak. "Makanya kau harus pintar mengambil hatinya dan menjinakkannya."Jeni mengangkat dagu, mengangkuhkan diri pada bangunan-bangunan tinggi di hadapannya. "Bukannya ini kesempatan bagus
Bagus. Umpannya sudah termakan.Saleh Dipomo pecinta wanita cantik ini terlalu mudah untuk masuk dalam kail pancingannya. Lihat saja tatapan mesumnya yang menjijikkan itu.Leticia sudah bisa menduga perselisihan yang baru saja terjadi antara Saleh Dipomo dan Saga Atlanta ketika Saga membisikkan sesuatu pada lelaki botak jelek itu yang langsung memerah dan panik luar biasa.Bukankah ini adalah kesempatan yang bagus?"Anda pasti sangat ahli menjebak perempuan. Yah ... cara apa pun bisa digunakan."Lelaki bertubuh tambun itu semakin menatap Juni antusias."Juni sangat jarang keluar dari mansion Atlanta, tapi tampaknya malam ini dia bebas."Kedua mata Dipomo membulat, seolah mendapat ide yang sangat cemerlang.'Bagus. Seret anak itu dan bawa dia ke neraka bersamamu.' Leticia berseru puas dalam hati.Dia sudah membayangkan jika Dipomo berhasil membawa Juni ke ranjangnya. Dia sudah menyiapkan bukti-bukti yang
Pelayan suruhannya berdiri di ambang pintu dengan keringat bercucuran."Bagus. Mana wanita itu?"Pelayan laki-laki itu mematung. Wajahnya tampak gelisah.Hidung Dipomo mengerut. "Aku tanya di mana wanita itu? Kau tuli?"Dipomo mendecak kesal. Gairahnya sudah menggebu tapi pelayan bodoh itu masih berdiri dan tidak memperlihatkan Juni Lahendra padanya.Ia baru saja ingin mendekat ketika sang pelayan menggeser tubuhnya dan sosok lain yang bukan Juni terlihat.Dipomo membelalak."Wanita siapa yang kau cari?"'Ke-kenapa Saga Atlanta yang muncul?'Dipomo menelan ludah gugup. Bagaimana bisa rencananya ketahuan secepat ini?!Dengan satu lirikan mata Saga, pelayan itu bergegas keluar dan meninggalkan Dipomo berdua dengan Saga.Saga melangkah maju. Sosoknya yang tinggi tegap menguarkan aura yang mengerikan."Aku tidak tahu kau senekat ini, Dipomo."Dipomo mundur dengan sorot mata