“Dasar munafik! Luarnya saja baik, dalemnya bejat.” Sebuah pesan masuk ke ponsel Kai ketika ia baru saja selesai salat Asar. Wajahnya berkerut. Apa yang sudah diperbuatnya sehingga orang tak dikenal tiba-tiba mengirim sumpah serapah? Ah, paling hanya orang iseng. Kai menutup chat room dan meletakkan ponsel di atas meja. Ia masih harus mengecek menu satu pekan ke depan dan ketersediaan bahan pangan di gudang sebelum mengajukan daftar belanja ke bagian finance. Ia tidak punya waktu untuk mengurus hal remeh seperti itu. Namun, rasa ingin tahu Kai sepertinya jauh lebih besar ketimbang dorongan untuk segera menyelesaikan pekerjaan. Sehingga, ketika lampu di ujung atas ponselnya menyala, Kai buru-buru menyambar. Jantungnya berpacu ketika notifikasi dari nomor tak dikenal terpampang di layar. “Beritahu kakakmu agar berhenti jadi orang munafik.” Jika hanya pesan itu, Kai tidak akan ambil pusing. Kali ini, si pengirim juga menyertakan sebuah foto yang cukup membuat Kai seperti disengat lis
“Sebenarnya, siapa Seruni? Kenapa kamu ngotot bantu dia?” Bram menghirup oksigen dalam-dalam. Ia tahu Kai emosi. Meski demikian, Bram tidak akan menyalahkan sepupunya itu. Kalau dia berada di posisi Kai mungkin juga tidak akan percaya begitu saja. Siapa pun akan negthink kalau disuguhi foto seperti itu. “Aku baru kenal semalam.” “What?” Kain memotong penjelasan Bram. “Apa aku masih boleh ngomong?” Bram memberi sedikit tekanan pada ucapannya. Lama-lama dia bisa terpancing emosinya kalau Kai terus ngegas. “Kalau kamu merasa penjelasanku nggak guna, mending aku pulang. Aku capek banget. Mending istirahat daripada ngeladenin orang yang ngegas dan nggak bisa ngerem.” Sejenak, pandangan Kai beralih ke jendela, menatap lampu-lampu taman berbentuk bulat. “Seruni ada masalah.” Bram melanjutkan kalimat. “Tapi aku belum bisa cerita ke kamu masalah dia. Yang jelas, dia butuh pertolongan.” Kedua bola mata Kai kembali bertemu pandang dengan Bram. “Bukan karena supaya kedok kalian tidak terbon
“Atau, Mas Bram memang suruh dia cari kosan dan nggak balik ke rumah?” Pertanyaan Kanaya kembali bergema di telinga Bram. Sesat Bram terdiam. Ia berdiri kemudian mondar-mandir di depan musala. Angin berembus cukup kencang, meriapkan ujung rambut Bram dan mengirim aroma dedaunan dan tanah basah karena disiram drone penyiram sepanjang sore tadi. Di langit, sepotong bulan setengah penuh seolah sedang menatap bumi. Seingatnya, ia tidak mengatakan apa pun pada Seruni tadi pagi selain memintanya bekerja sebaik mungkin. Seharusnya Seruni kembali ke rumahnya. “Mas ..., Mas masih dengerin aku, kan?” “He em." Kebiasaan Kanaya, tidak sabaran, batin Bram. "Tadi Kai naruh dia di shift pagi. Harusnya sekarang sudah sampai rumah.” Jalan tercepat untuk sampai rumah hanya dengan ojek atau taksi online. Selain itu, Trans Jogja menjadi pilihan terakhir karena harus ganti tiga kali baru sampai halte terdekat dengan rumahnya. Bram berpikir jika Seruni mungkin memilih Trans Jogja karena lebih murah. As
Berita dari Kanaya membuat Bram diliputi kekhawatiran. Lalu, bayangan Seruni mengapung di depan mata. Ia dulu pernah gagal menyelamatkan istrinya. Jangan sampai ia gagal untuk kali kedua. Seumur hidupnya pasti akan dihantui penyesalan.“Kalau dari ciri-ciri yang disebutin Dewi, korban mirip banget dengan Seruni. Gimana kalau Mas Bram tengok ke Polres. Siapa tahu itu memang Seruni.”Hati Bram semakin was-was. Memang ada begitu banyak perempuan dengan ciri mirip Seruni, tetapi tidak ada salahnya ia mengecek ke Polres.“Kalau gitu aku ke kantor polisi dulu, Nay,” putus Bram. “Oh, ya, tadi aku janji bacain cerita ke Ran dan Rain. Tolong gantiin, ya. Bilang ke mereka aku masih ada kerjaan.”“Berees.”“Thanks, Nay.” Bram mengakhiri pembicaraan lalu menyimpan di saku. Segera, ia meninggalkan ruang kerja dan tergesa melewati koridor hingga derap langkahnya memenuhi lorong panjang yang sunyi itu.Ayunan kaki Bram melambat ketika melewati lobi. Ia melambaikan tangan dan mengembangkan senyum pad
Sempat keberatan karena teringat dengan janjinya pada Rain dan Ran, Bram akhirnya menyerah. Diturutinya permintaan Kanaya untuk mencari Seruni meski ia tidak yakin akan menemukan gadis itu. Ada puluhan indekos di sekitar La Luna dan Bram tidak mungkin menyambangi satu per satu. Jika hal itu sampai terjadi, bisa-bisa ia harus mengerjakannya sampai tengah malam. “Tenang, Mas. Rain dan Ran tidak rewel, kok. Mereka selalu jadi kucing manis di depan tantenya.” “Oke, deh. Nitip mereka. Bilang ke mereka kalau aku baru bisa bacain cerita besok malam.” “Berees.” Suara Kanaya terdengar ringan tanpa beban. Setelah menutup pembicaraan dan menyimpan ponsel, Bram segera menginjak pedal gas. Sel-sel kelabu di kepalanya sibuk menerka, di mana kira-kira Seruni berada. Namun, Bram tidak juga menemukan titik terang dan lelaki itu menyerah, membiarkan segala pikiran buruk tetap bercokol di kepala. Laju Honda Accord yang dikemudikan Bram berkurang ketika memasuki jalan menuju La Luna. Manik mata hitam
“Bodoh!” Si tato kalajengking berteriak kesal ketika kaki tangannya mengabarkan kalau Seruni sudah dibawa Bram. “Sorry, Bos. Masalahnya tiba-tiba bosnya dateng. Kalau saya langsung culik Seruni, malah berbahaya buat kita.” “Alesan! Bilang saja kamu nggak becus kerja!” Si tato kalajengking mendengkus. Dijatuhkannya tubuh ke atas sofa. Sembari bersandar, dipijitnya pelipis. Kenapa anak buahnya mendadak lemot dan letoy dalam bergerak? Hanya menangani Bram dan Seruni saja dia tidak bisa. “Aku tidak peduli bagaimana caranya, tapi kamu harus bisa bawa Seruni padaku!” Kepalan tangan si tato kalajengking mengenai meja kaca sehingga asbak dan botol di atasnya seperti melompat ketakutan. “Kalau kamu sampai gagal, jangan pernah datang padaku lagi! Mengerti?” Ibu jari si tato kalajengking menekan tombol di sisi kanan ponsel. Lalu, telunjuknya menyentuh panel power. Digenggamnya kuat-kuat ponsel sembari menggeretakkan gigi. Benar-benar menyebalkan! Bisa-bisanya dia kalah dari Seruni. Sejurus k
Jadi yang tertangkap Jack. Kupikir geng sebelah. Si tato kalajengking mengambil koran paling atas seraya berpikir keras. Dibacanya headline surat kabar paling berpengaruh di Yogyakarta itu lalu meletakkannya kembali di atas meja. Si tato kalajengking sama sekali tidak berminat membaca isinya. Untuk apa? Apa pun kata polisi tidak akan ada artinya karena bisnis ini memiliki backing orang berpengaruh. Semua aman. Semua akan baik-baik saja. “Tuan tinggal membayar uang jaminan dan Jack bisa lepas. Semua beres, Tuan. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.” Si tato kalajengking menggosokkan kedua telapak tangannya dan menatap tuannya penuh percaya diri. “Kamu terlalu sering mabuk.” Tuan Besar mendengkus. Didekatinya si tato kalajengking hingga tubuh mereka hanya berjarak dua langkah. Perut pria berusia 45 tahun itu sedikit mual mencium aroma rokok dan bir dari mulut orang kepercayaannya. “Kamu terlalu banyak minum.” Telunjuk Tuan Besar menekan dada Gou. “Sampai-sampai otakmu tidak bisa beker
Bram mengambil alih pengasuh anaknya memapah Mbok Asih. Dibantunya perempuan sepuh itu duduk di mobil kemudian membangunkan Seruni.“Bangun, Nona. Jangan sampai kamu ngiler di mobil saya.” Bram membungkuk dan berseru di samping kepala Seruni.Mbok Asih terkekeh. “Gitu amat banguninnya, Mas.”“Iya, ih. Mas Bram nggak ada sopan-sopannya sama orang.” Kanaya menggeser tubuh Bram. “Biar aku bangunin.” Ditepuknya pipi Seruni beberapa kali.“Eh, oh, di mana saya?” Seruni tergeragap. Dikuceknya mata kemudian memandang ke sekeliling dan menemukan tubuh menjulang Bram berdiri di samping Kanaya yang membungkuk.“Kamu sudah sampai rumah., Seruni.”Rumah? Seruni memaksa saraf otaknya bekerja lebih keras. Ia menepuk jidat ketika melihat rumah besar Bram ada di depan mata. Barulah Seruni mengerti kalau dia sudah berada di tempat tinggal Bram.“Cepet keluar, Seruni. Saya tidak punya banyak waktu.” Bram berseru tak sabar.Seruni melongok hingga wajahnya tepat menghadap Bram. Kenapa dia selalu marah-ma