Share

Bab 4: Jebakan Baru

“Permisi. Ada pesanan makan untuk Anda.”

Pesanan makan? Belum sempat otak Seruni mencerna, tiba-tiba pintu didorong dari luar. Seruni mundur selangkah hingga pintu terbuka dan dilihatnya pegawai hotel berdiri di depan kamar dengan nampan di tangan.

“Pesanan makanan untuk Anda, Mbak.” Pegawai itu tersenyum meski pandangannya menelisik. Wajah lusuh Seruni mengusik pikiran.

Tatapan heran Seruni menyapu wajah pegawai hotel. “Saya tidak pernah pesan apa pun. Sepertinya Anda salah kamar.”

Senyum belum tanggal dari bibir laki-laki muda itu. “Pak Bram yang memesan untuk Anda. Katanya Anda perlu makan malam.”

“Makan malam?” Seruni bergumam. Ia bahkan tak merasa lapar. Lebih tepatnya, ia tidak ingat kalau belum makan sejak siang. Sebelum dibawa si tato kalajengking, Seruni hanya minum air putih. Nafsu makannya hilang setiap kali mengingat nasibnya. Kata makan malam yang diucapkan pegawai hotel mendadak membuat perutnya menyanyikan lagu rock.

“Silakan, Mbak.” Petugas itu mengulurkan nampan. Wangi bumbu nasi goreng menyergap hidung.

Tubuh Seruni mendadak kaku dan dadanya sesak. Wangi bumbu nasi goreng mengingatkannya pada masakan Ibu. Mata gadis itu berkaca-kaca. Bayangan Ibu mengapung di depan mata dan piring di atas nampan menjelma wajah perempuan yang sangat dirinduinya itu.

“Mbak?” Penjaga hotel itu menelengkan kepala. Bola mata cokelat gelap miliknya menatap lekat Seruni.

“Eh, iya.” Seruni mengusap ujung mata lalu mengerjap. Kenapa aku cengeng sekali hari ini? Segera diambilnya nampan sembari merutuki dalam hati. “Terima kasih, Mas.” Ia mengangguk sopan.

Petugas hotel membalas senyum dan ucapan terima kasih Seruni. “Kalau ada yang ingin dipesan lagi, Mbak bisa menekan bel.”

Seruni mengangguk dan melengkungkan bibir. Ia mundur selangkah karena tangan petugas hotel itu terulur kemudian menutup pintu.

Helaan napas panjang lolos dari bibir Seruni. Diletakkannya nampan di atas meja. Cacing di perutnya konser. Sekuat tenaga Seruni menyingkirkan bayangan wajah Ibu. Ia butuh makan agar cukup punya kekuatan untuk melarikan diri. Segera diambilnya sendok dan melepas tissue yang melapisinya. Seruni hampir menyendok nasi goreng ampela yang menggugah selera itu ketika tiba-tiba ingatannya tertuju pada Bram.

Bagaimana kalau makanan ini beracun? Seruni meletakkan sendok di samping piring. Ia duduk termangu dengan mata tertuju pada piring. Bagaimana kalau Bram memasukkan obat bius di dalam makanan dan minuman ini. Setelah ia pingsan, Bram kembali untuk merenggut kehormatannya.

Seruni bergidik ngeri. Didorongnya nampan menjauh kemudian beranjak pergi. Lebih baik ia memesan makan sendiri. Bagaimana kalau Bram sudah pesan ke petugas hotel untuk memasukkan obat bius atau racun ke makanan yang kupesan? Bisikan di kepalanya menghentikan telunjuknya yang hampir menekan bel.

Seruni membuang napas kasar. Tampaknya ia harus menghapus keinginan untuk makan saat ini. Lebih baik ia berhati-hati daripada menjadi korban.

Merasa buntu dengan keadaannya, Seruni berkeliling kamar. Ia tersenyum kecil ketika membuka kamar mandi dan melihat buthup di sana. Sepertinya aku butuh berendam air hangat sebentar. Setelah memenuhi buthup dengan air hangat, Seruni segera membenamkan tubuhnya di sana. Siapa tahu, setelah berendam, otaknya bisa berpikir dan menemukan jalan keluar.

Seruni tidak tahu berapa lama berendam. Hanya saja, tubuhnya terasa lebih segar dan ia memutuskan untuk menyudahi aksinya. Ia sedang menyisir rambut dengan tangan ketika terdengar ketukan sepatu di luar. Ia segera melompat ke tempat tidur dan pura-pura memejamkan mata.

Tidak lama kemudian, terdengar pintu berderak. Dada Seruni berdebar menyadari Bram yang datang. Ia hapal parfum Bram dan bisa memastikan kalau dialah yang masuk. Seruni pura-pura menarik selimut dan bergelung di baliknya.

Bram mendekati ranjang. Ia menggeleng sambil berdecak. Kenapa juga malah tidur di sini?Ia membatin. Ia melepas jas dan menggulung kemeja hingga siku. Setelah itu, ia mencuci muka kemudian merebahkan diri di sofa. Rapat kali ini sangat melelahkan. Daripada ia meninggalkan Seruni di sini dan nanti saat gadis itu bangun ia membuat keributan, lebih baik ditunggunya sampai bangun. Setelah itu, ia bisa mengantar Seruni pulang.

Detak jarum jam dinding memnuhi ruangan. Dari balik selimut Seruni mengintip. Ia tersenyum mendapati Bram tidur. Gadis itu menyibak selimut kemudian beringsut perlahan. Ia meraih jas yang tersampir di kursi dan mencari-cari kunci kamar. Nihil.

Dengan berjingkat, Seruni mendekati tubuh Bram. Jantungnya berdetak cepat dan tangannya sedikit gemetar. Ia memindai tubuh Bram, menerka-nerka di mana lelaki itu menyimpan kunci.

Tangan Seruni terulur hendak memeriksa saku kemeja. Sepertinya tadi Bram memasukkan ke sana. Ia nyaris berseru kegirangan ketika tebakannya benar. Perlahan, ditariknya kunci dari saku.

Seruni tersenyum lebar seraya mengepalkan tangan. Namun, baru saja ia membalikkan badan, tiba-tiba ia merasakan seseorang mencengkeram tangannya.

“Mau pergi ke mana, Nona?” Suara Bram yang tenang menerobos rongga telinga.

Seperti terkena mantra penyihir, tubuh Seruni mendadak kaku. Ia tidak mengira Bram akan terbangun padahal ia sudah melakukan aksinya sepelan mungkin.

Bram membuka mata lalu menoleh. Tangannya masih memerangkap pergelangan Seruni kuat-kuat.

Seruni menelan ludah. Ditatapnya Bram dengan pandangan kesal sekaligus takut.

“Kamu benar-benar mau pergi? Sudah punya tujuan? Kamu pikir, kota ini aman?” Bram memberondong Seruni.

“Saya lebih baik pergi dan jadi gembel di jalanan daripada harus melayani Bapak.” Dada Seruni seperti diimpit batu besar ketika mengucapkan kalimat itu.

Bram bangkit dan duduk tegak. Sedikit mendongak, ditatapnya Seruni lekat-lekat. Gadis di hadapannya memang memiliki garis wajah dan tubuh menarik. Suara hati Bram mendorongnya untuk tidak membiarkan Seruni pergi. 

“Lepaskan saya. Beritahu alamat Bapak. Kalau saya sudah punya uang, saya akan bayar utang saya.”

Bram melepaskan cengkeramannya. Ia menghela napas. “Dengar, Macan Kecil, bagaimana kalau saya punya pekerjaan untukmu?”

“Pekerjaan apa? Melayani pria hidung belang?” Seruni hampir menjerit.

“Astaga.” Bram menyugar rambut frustrasi. Apakah wajahku begitu mesum? Bram mengeluh dalam hati. “Kamu bisa masak?” tanyanya kemudian.

“Masak?” Seruni menelengkan kepala. Pertanyaan itu terdengar begitu ajaib. Setelah semua manusia yang ditemui menganggapnya sebagai pemuas nafsu, kini ia justru ditanya seputar dapur.

“Apa pertanyaan saya kurang jelas?”

“Bi-bisa, Pak.”

“Bagus. Ikut saya. Besok, saya tunjukkan pekerjaan kamu.”

“Bapak butuh pembantu?”

“Ya, Tuhan.” Bram mendengkus. Disambarnya jas lalu dipakainya cepat-cepat. “Jangan banyak tanya. Ikut saja dulu.” Ia melangkah menuju pintu dan membukanya. Setelah itu, ia memberi isyarat pada Seruni untuk keluar dan Bram mengayunkan kaki secepat mungkin menuju lift.

“Sebenarnya, ke mana tujuan kamu di sini? Ada saudara?” tanya Bram ketika mereka berada dalam lift. Suaranya melunak dan tatapan matanya tak lagi garang. Bram merasa sangat letih. Bayangan kasur empuk mengapung di depan mata, tetapi urusan dengan gadis ini belum juga selesai.

Sesaat Seruni bergeming. Ia tidak punya jawaban. “Sa-saya juga tidak tahu, Pak.” Kepala Seruni tertunduk hingga matanya menatap lantai lift. Otaknya sibuk menimbang apa yang harus dilakukan.

Dasar abege labil. Pasti dia kabur dari rumah.“Bapak Ibu kamu di mana? Biar saya hubungi mereka?” Bram mengambil ponsel. “Jangan sampai mereka tidak tahu kamu bekerja pada saya.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status