“Permisi. Ada pesanan makan untuk Anda.”
Pesanan makan? Belum sempat otak Seruni mencerna, tiba-tiba pintu didorong dari luar. Seruni mundur selangkah hingga pintu terbuka dan dilihatnya pegawai hotel berdiri di depan kamar dengan nampan di tangan.
“Pesanan makanan untuk Anda, Mbak.” Pegawai itu tersenyum meski pandangannya menelisik. Wajah lusuh Seruni mengusik pikiran.
Tatapan heran Seruni menyapu wajah pegawai hotel. “Saya tidak pernah pesan apa pun. Sepertinya Anda salah kamar.”
Senyum belum tanggal dari bibir laki-laki muda itu. “Pak Bram yang memesan untuk Anda. Katanya Anda perlu makan malam.”
“Makan malam?” Seruni bergumam. Ia bahkan tak merasa lapar. Lebih tepatnya, ia tidak ingat kalau belum makan sejak siang. Sebelum dibawa si tato kalajengking, Seruni hanya minum air putih. Nafsu makannya hilang setiap kali mengingat nasibnya. Kata makan malam yang diucapkan pegawai hotel mendadak membuat perutnya menyanyikan lagu rock.
“Silakan, Mbak.” Petugas itu mengulurkan nampan. Wangi bumbu nasi goreng menyergap hidung.
Tubuh Seruni mendadak kaku dan dadanya sesak. Wangi bumbu nasi goreng mengingatkannya pada masakan Ibu. Mata gadis itu berkaca-kaca. Bayangan Ibu mengapung di depan mata dan piring di atas nampan menjelma wajah perempuan yang sangat dirinduinya itu.
“Mbak?” Penjaga hotel itu menelengkan kepala. Bola mata cokelat gelap miliknya menatap lekat Seruni.
“Eh, iya.” Seruni mengusap ujung mata lalu mengerjap. Kenapa aku cengeng sekali hari ini? Segera diambilnya nampan sembari merutuki dalam hati. “Terima kasih, Mas.” Ia mengangguk sopan.
Petugas hotel membalas senyum dan ucapan terima kasih Seruni. “Kalau ada yang ingin dipesan lagi, Mbak bisa menekan bel.”
Seruni mengangguk dan melengkungkan bibir. Ia mundur selangkah karena tangan petugas hotel itu terulur kemudian menutup pintu.
Helaan napas panjang lolos dari bibir Seruni. Diletakkannya nampan di atas meja. Cacing di perutnya konser. Sekuat tenaga Seruni menyingkirkan bayangan wajah Ibu. Ia butuh makan agar cukup punya kekuatan untuk melarikan diri. Segera diambilnya sendok dan melepas tissue yang melapisinya. Seruni hampir menyendok nasi goreng ampela yang menggugah selera itu ketika tiba-tiba ingatannya tertuju pada Bram.
Bagaimana kalau makanan ini beracun? Seruni meletakkan sendok di samping piring. Ia duduk termangu dengan mata tertuju pada piring. Bagaimana kalau Bram memasukkan obat bius di dalam makanan dan minuman ini. Setelah ia pingsan, Bram kembali untuk merenggut kehormatannya.
Seruni bergidik ngeri. Didorongnya nampan menjauh kemudian beranjak pergi. Lebih baik ia memesan makan sendiri. Bagaimana kalau Bram sudah pesan ke petugas hotel untuk memasukkan obat bius atau racun ke makanan yang kupesan? Bisikan di kepalanya menghentikan telunjuknya yang hampir menekan bel.
Seruni membuang napas kasar. Tampaknya ia harus menghapus keinginan untuk makan saat ini. Lebih baik ia berhati-hati daripada menjadi korban.
Merasa buntu dengan keadaannya, Seruni berkeliling kamar. Ia tersenyum kecil ketika membuka kamar mandi dan melihat buthup di sana. Sepertinya aku butuh berendam air hangat sebentar. Setelah memenuhi buthup dengan air hangat, Seruni segera membenamkan tubuhnya di sana. Siapa tahu, setelah berendam, otaknya bisa berpikir dan menemukan jalan keluar.
Seruni tidak tahu berapa lama berendam. Hanya saja, tubuhnya terasa lebih segar dan ia memutuskan untuk menyudahi aksinya. Ia sedang menyisir rambut dengan tangan ketika terdengar ketukan sepatu di luar. Ia segera melompat ke tempat tidur dan pura-pura memejamkan mata.
Tidak lama kemudian, terdengar pintu berderak. Dada Seruni berdebar menyadari Bram yang datang. Ia hapal parfum Bram dan bisa memastikan kalau dialah yang masuk. Seruni pura-pura menarik selimut dan bergelung di baliknya.
Bram mendekati ranjang. Ia menggeleng sambil berdecak. Kenapa juga malah tidur di sini?Ia membatin. Ia melepas jas dan menggulung kemeja hingga siku. Setelah itu, ia mencuci muka kemudian merebahkan diri di sofa. Rapat kali ini sangat melelahkan. Daripada ia meninggalkan Seruni di sini dan nanti saat gadis itu bangun ia membuat keributan, lebih baik ditunggunya sampai bangun. Setelah itu, ia bisa mengantar Seruni pulang.
Detak jarum jam dinding memnuhi ruangan. Dari balik selimut Seruni mengintip. Ia tersenyum mendapati Bram tidur. Gadis itu menyibak selimut kemudian beringsut perlahan. Ia meraih jas yang tersampir di kursi dan mencari-cari kunci kamar. Nihil.
Dengan berjingkat, Seruni mendekati tubuh Bram. Jantungnya berdetak cepat dan tangannya sedikit gemetar. Ia memindai tubuh Bram, menerka-nerka di mana lelaki itu menyimpan kunci.
Tangan Seruni terulur hendak memeriksa saku kemeja. Sepertinya tadi Bram memasukkan ke sana. Ia nyaris berseru kegirangan ketika tebakannya benar. Perlahan, ditariknya kunci dari saku.
Seruni tersenyum lebar seraya mengepalkan tangan. Namun, baru saja ia membalikkan badan, tiba-tiba ia merasakan seseorang mencengkeram tangannya.
“Mau pergi ke mana, Nona?” Suara Bram yang tenang menerobos rongga telinga.
Seperti terkena mantra penyihir, tubuh Seruni mendadak kaku. Ia tidak mengira Bram akan terbangun padahal ia sudah melakukan aksinya sepelan mungkin.
Bram membuka mata lalu menoleh. Tangannya masih memerangkap pergelangan Seruni kuat-kuat.
Seruni menelan ludah. Ditatapnya Bram dengan pandangan kesal sekaligus takut.
“Kamu benar-benar mau pergi? Sudah punya tujuan? Kamu pikir, kota ini aman?” Bram memberondong Seruni.
“Saya lebih baik pergi dan jadi gembel di jalanan daripada harus melayani Bapak.” Dada Seruni seperti diimpit batu besar ketika mengucapkan kalimat itu.
Bram bangkit dan duduk tegak. Sedikit mendongak, ditatapnya Seruni lekat-lekat. Gadis di hadapannya memang memiliki garis wajah dan tubuh menarik. Suara hati Bram mendorongnya untuk tidak membiarkan Seruni pergi.
“Lepaskan saya. Beritahu alamat Bapak. Kalau saya sudah punya uang, saya akan bayar utang saya.”
Bram melepaskan cengkeramannya. Ia menghela napas. “Dengar, Macan Kecil, bagaimana kalau saya punya pekerjaan untukmu?”
“Pekerjaan apa? Melayani pria hidung belang?” Seruni hampir menjerit.
“Astaga.” Bram menyugar rambut frustrasi. Apakah wajahku begitu mesum? Bram mengeluh dalam hati. “Kamu bisa masak?” tanyanya kemudian.
“Masak?” Seruni menelengkan kepala. Pertanyaan itu terdengar begitu ajaib. Setelah semua manusia yang ditemui menganggapnya sebagai pemuas nafsu, kini ia justru ditanya seputar dapur.
“Apa pertanyaan saya kurang jelas?”
“Bi-bisa, Pak.”
“Bagus. Ikut saya. Besok, saya tunjukkan pekerjaan kamu.”
“Bapak butuh pembantu?”
“Ya, Tuhan.” Bram mendengkus. Disambarnya jas lalu dipakainya cepat-cepat. “Jangan banyak tanya. Ikut saja dulu.” Ia melangkah menuju pintu dan membukanya. Setelah itu, ia memberi isyarat pada Seruni untuk keluar dan Bram mengayunkan kaki secepat mungkin menuju lift.
“Sebenarnya, ke mana tujuan kamu di sini? Ada saudara?” tanya Bram ketika mereka berada dalam lift. Suaranya melunak dan tatapan matanya tak lagi garang. Bram merasa sangat letih. Bayangan kasur empuk mengapung di depan mata, tetapi urusan dengan gadis ini belum juga selesai.
Sesaat Seruni bergeming. Ia tidak punya jawaban. “Sa-saya juga tidak tahu, Pak.” Kepala Seruni tertunduk hingga matanya menatap lantai lift. Otaknya sibuk menimbang apa yang harus dilakukan.
Dasar abege labil. Pasti dia kabur dari rumah.“Bapak Ibu kamu di mana? Biar saya hubungi mereka?” Bram mengambil ponsel. “Jangan sampai mereka tidak tahu kamu bekerja pada saya.”
“Aku yang akan atur pertemuanmu dengan Seruni.”Bram menatap Re lurus-lurus. Mulutnya masih mengunya sepotong risol mayo. Pagi itu Re tampak seperti komandan pasukan rahasia sedang mengatur strategi. Mendadak Bram merasa sedikit gerah meski mesin pendingin kafe menyala.“Menurutmu, dengan cara apa aku bisa ketemu Seruni? Aku harus menyamar menjadi pria hidung belang?” Bram hampir tersedak ketika mengucapkannya. Beruntung risol mayo di mulut sudah tertelan. Kalau belum, mungkin makanan itu akan tersangkut di tenggorokan atau malah tersembur keluar. Entahlah. Bram mual mendengar istilah pria hidung belang. “Lalu apa? Membawa Seruni kabur?”Re tersenyum kecil. Tatapan tajamnya melunak dan otot-otot wajahnya mengendur. “Sabar, Bro. Aku akan jelaskan.” Diraihnya cangkir lalu menyeruput isinya perlahan. “Baristamu keren, Bram.” Bram mengacungkan jempol seraya melirik pria berapron biru di balik coffee bar yang sedang menyetel peralatan menyeduh kopi.“Kebiasaanmu mengalihkan pembicaraan.”
“Jangan terlambat atau kesempatanmu bertemu Seruni hilang.”Dengan tangan masih menggenggam ponsel, Bram menoleh ke kiri dan kanan, mencari sofa tersembunyi yang bisa diduduki dengan tenang atau dinding untuk sekadar bersandar. Bram menghela napas berat. Semakin malam bar semakin ramai. Tidak ada tempat kosong sama sekali.Ketika akhirnya Bram menemukan dinding untuk bersandar, ponsel di tangannya hampir jatuh karena seseorang menubruk tubuhnya. Bram menggeram. Didorongnya badan gempal pria beraroma minuman keras dan rokok itu hingga jatuh terduduk di lantai. Ia masih sempat meracau sambil bersandar di dinding sebelum akhirnya terkapar.Merasa tidak akan bisa berpikir di tempat remang-reman itu, Bram memutuskan keluar. Segera ia memasuki lift dan kembali ke basement. Ia bisa gila atau cepat mati kalau lebih lama di dalam bar.Sesampainya di basement, Bram menghirup oksigen banyak-banyak, mengusir asap rokok yang sempat menghuni paru-parunya dengan udara baru yang lebih segar. Bergegas
Bram membelalak melihat aksi perempuan bergaun merah. Segera, ia menurunkan lengan si gaun merah lalu mendorongnya dengan kasar hingga hampir terjungkal. Sebelum keadaan berubah menjadi tak terkendali, Bram menyadari kesalahannya. Ia menarik tangan perempuan itu dan menahan tubuhnya agar tidak jatuh.Bartender di balik meja bar terkejut. Ia sampai berhenti melayani pesanan demi melihat adegan tak terduga itu.“Lepaskan!” Si gaun merah mendorong tubuh Bram. Sumpah serapah perempuan itu berkejaran dengan bingar musik dalam bar. Ia melambaikan tangan dan tidak lama berselang, dua lelaki berbadan kekar dengan baju serba hitam mendatangi Bram.Si gaun merah menatap sengit Bram lalu pergi, menyerahkan urusan Bram pada dua bodyguard di bar. Ia tidak akan menghabiskan waktu meladeni pria tak tahu diri seperti Bram. Masih banyak laki-laki lain yang bisa didekati.Astaga, kenapa aku bisa lepas kendali? Bram mengambil sapu tangan dan mengusapkannya ke wajah. Ada banyak perempuan mencoba mendekat
“Kamu sudah lapor polisi kalau tempat mereka pindah?”Bram tidak lagi punya harapan apa pun pada Dewi dan teman-temannya. Jika polisi saja tidak mampu mengejar dan menangkap mereka, apalagi Dewi dan anggota LSM-nya. Musuh mereka terlalu kuat. Hanya demi kesopanan, ia tetap menanggapi laporan Dewi.“Sudah.”Dari nada bicara Dewi, Bram bisa menebak kalau harapan dalam genggaman perempuan itu pun mulai meredup. Advokat utama mereka masih belum pulih dari patah tulang. Sementara itu, pengacara pengganti terus didera teror dan Dewi terpaksa memintanya tiarap demi keselamatan diri dan keluarganya. Posisi Dewi sangat sulit. Bram tidak ingin menambah beban dengan bersikap acuh.“Apa kata mereka?”“Mereka hanya bilang sedang mendalami kasus ini dan akan segera memberi tahu kalau ada perkembangan baru.”Dewi menghentikan kalimat lalu diam.“Halo, Dew, kamu masih di sana?” Bram berseru khawatir pembicaraan mereka terjeda sunyi. Dewi juga mengalami banyak teror, tetapi wanita itu begitu tegar dan
“Ngomong-ngomong, Gou yang katamu dulu pernah menangkap Seruni, sekarang sudah mati.” Re menatap Bram sekilas lalu menandaskan isi cangkir.Mulut Bram sedikit terbuka. Ia hampir tersedak. Jika Gou sudah mati, lalu siapa yang menculik Seruni sekarang? Bram berteman dengan Re sejak lama. Mereka memiliki satu guru dan lama berlatih bersama dalam satu perguruan Taekwondo. Belakangan Bram tahu kalau selain mendirikan perguruan dan mengajar Taekwondo, Re juga membuka jasa menyediakan petugas keamanan yang bekerja tersembunyi. Ia tahu bisnis gelap dan orang-orang yang berputar di dalamnya. Jadi, Bram tidak punya alasan untuk tidak mempercayai ucapan Re. Pria itu tidak mungkin bohong. “Aku boleh nambah kopi?” Re mengangkat cangkir yang telah kosong. “Kasusmu membuat otakku berasap.” Ia terkekeh.“Kamu boleh minum dan makan sepuasmu tanpa harus memikirkan bagaimana membayar tagihan.” Bram melengkungkan bibir.Re berdecak. “Kamu pikir aku semiskin itu sampai nggak bisa bayar secangkir kopi?”
Merasa kasus Seruni masih gelap, Bram mencoba mengurai dan mencari titik terang. Ia mengambil kertas dan pulpen lalu mulai menulis kronologi hilangnya Seruni versi Ben dan hasil pencarian timnya Dewi. Bram yakin, Seruni diculik komplotan bisnis prostitusi online yang dulu pernah menjualnya.Bram menuliskan tempat-tempat yang mungkin akan digunakan komplotan itu untuk mempertemukan Seruni dengan pelanggan.BarPubHotelJumlah ketiganya puluhan atau malah ratusan. Menyisir semua tempat akan menghabiskan waktu. Alih-alih ketemu, Seruni mungkin sudah jatuh ke tangan pria hidung belang. Membayangkan hal itu, Bram bergidik. Disandarkannya punggung ke kursi. Sesaat ia memejamkan mata sambil memijit pelipis.Lelah karena tidak kunjung menemukan jalan keluar, Bram memutuskan rehat sejenak. Ia bangkit dan keluar ruang kerjanya. Kafe menjadi tujuan Bram. Sebagai CEO, ia bisa saja memesan menu apa pun dan pelayan akan mengantar ke kantor. Namun, Bram butuh udara segar dan suasana baru. Siapa ta
“Nay, selama Seruni belum ketemu, aku nitip rumah. Kamu fokus ngurus Mama dan anak-anak. Aku yang akan cari Seruni.’ Hari sudah gelap dan Bram masih bertahan di kantor.Lebih dari 24 jam Seruni hilang. Polisi dan tim dari NGO yang menangani kasus ini belum berhasil menemukan jejaknya. Ia seperti debu yang hilang ditiup angin.Bram memilih bertahan di kantor agar tetap bisa berpikir jernih. Di rumah, ia harus berada di samping Rain dan Ran sampai mereka tidur. Ia juga harus menghadapi wajah-wajah muram Mbok Asih dan Wulan. Mereka memang tidak banyak bertanya, tetapi mata keduanya mengungkap jauh lebih banyak kata dari yang bisa diucapkan oleh mulut. Bram tidak sanggup melihat kemelut itu.“Beres, Mas. Semua aman, kok. Kamu nggak usah khawatir.”Bram mengecek jadwal kontrol sang mama. ‘Thanks, Nay. Besok Mama harus kontrol. Kamu bisa minta tolong Kai buat nganter.”Nay tertawa. ‘Nggak perlu. Aku bisa handle, kok. I’m not a little girl, Mas. Jangan bilang kamu ambil kesempatan genting in
“Aduh!” Seruni mengerang. Dadanya sakit karena Shin memelintir tangan dan menekan punggungnya ke mobil.“Sudah kukatakan, jangan coba-coba melawanku. Aku tidak sebodoh dan selemah Gou.” Shin menarik tubuh Seruni menjauhi mobil lalu mendorongnya masuk ke dalam Expander. Kamu benar-benar macan kecil, Nona. Aku tidak akan pernah melepasmu. Shin duduk di samping Seruni. Diambilnya pisau lipat lalu menempelkan ke perut Seruni. sedikit saja gadis itu bergerak, pisau akan segera bekerja merobek kulit dan menembus tubuhnya.Salah satu penjaga masuk ke mobil dan duduk di samping kanan Seruni. Diambilnya selembar kain hitam lalu menutupkannya ke mata Seruni.Seruni menahan napas, merasakan pisau tepat menempel di tubuh dan dunia yang mendadak gelap. Satu-satunya jalan agar tetap bernapas hanya dengan menyerah dan berpura-pura menjadi anak manis.Perjalanan terasa begitu lama bagi Seruni. Ia berusaha menajamkan pendengaran, berharap mendapat petunjuk di mana ia berada. Namun, tidak ada suara a
Shin mundur selangkah. ‘Makanlah dulu. Kita bicarakan soal utangmu nanti.” Melihat Seruni menurunkan tensi, pria itu pun melakukan hal yang sama. Ia semakin yakin, Seruni akan jatuh ke dalam pelukannya. Tanpa ragu, dilepaskannya ikatan tangan Seruni agar gadis itu bisa makan.Desisan Seruni terdengar ketika tali pengikat telah terlepas. Seruni menyeringai kesakitan sambil mengangkat tangan. Dilihatnya pergelangan tangannya memerah.“Makan.” Shin mengangkat dagu, memberi isyarat pada Seruni agar segera mengambil piring.Nyeri di tangan Seruni masih terasa. Ia bergeming dan mengabaikan perintah Shin. Sambil meniupi bagian tangan yang tergores, bayangan tubuhnya menggelepar keracunan makanan menggantung di depan mata. Ia bergidik seraya mengernyitkan dahi lalu beringsut menjauhi piring.“Kalau kamu tidak mau makan sendiri, aku akan suapi.” Shin mengangkat piring, menyendok nasi dan menyodorkannya ke depan mulut Seruni.Seperti ada yang bertalu di dada Shin melihat bibir Seruni yang menge