Share

Bab 5: Kepergok

Kepala Seruni masih tertunduk. Ia mendongak ketika lift berhenti dan pintunya terbuka. Dibiarkannya Bram menarik tangannya.

Raut muka Bram seketika berubah masam ketika melihat resepsionis dan satpam yang tersenyum penuh arti saat melihatnya. Setelah ini ia harus bersiap menghadapi gosip yang akan menyebar cepat di antara karyawan.

“Berapa nomor telepon orangtuamu? Besok pagi saya telepon mereka.”

“Orangtua saya sudah meninggal, Pak.” Seruni menjawab tanpa melihat Bram demi menyembunyikan embun di matanya.

Kaki Bram yang akan menekan pedal gas tertahan. Ia menoleh dan menatap Seruni yang menunduk hingga wajahnya tertutup sebagian rambutnya. Lantas, tanpa menanggapi ucapan Seruni, ia melajukan mobil. Otaknya sudah tidak mampu bekerja. Biarlah Seruni tinggal semalam di rumahnya.

Di samping Bram, Seruni duduk dengan tegang. Ia berusaha sekuat tenaga agar tetap terjaga. Bagaimanapun juga, ia harus tetap waspada.

Kantuk yang menyerang tubuh Seruni seakan terangkat ketika mobil memasuki halaman rumah besar berarsitektur modern. Jantungnya kembali berdetak cepat dan dahinya berkeringat. Rumah si tato kalajengking yang menjebaknya di Stasiun Tugu masih belum tanggal dari ingatan.

Dengan dada berdebar, Seruni membuka pintu mobil. Dipandanginya halaman luas nan asri sembari memutar otak mencari jalan untuk kabur. Ia mulai khawatir kalau Bram adalah bagian dari sindikat si tato kalajengking.

Ketukan sepatu Bram memenuhi rongga telinga ketika mereka melewati beranda. Hati Seruni makin kebat-kebit ketika kakinya telah berada di ruang tamu. Jalan untuk lari hampir tidak ada.

Setelah mengunci pintu, Bram menarik lengan Seruni. “Ada kamar untuk tamu di bawah. Kamu bisa tidur di situ malam ini. Besok, aku antar cari kost.”

Seruni mengangguk tanpa suara kemudian mengikuti langkah kaki Bram melintasi ruang tamu yang diisi perabot minimalis tetapi mewah dan elegan. Mata Seruni menyipit ketika melihat seorang perempuan yang sepertinya sudah berumur menyambutnya di ruang tengah. Gadis itu bisa menangkap tatapan heran dan raut terkejut perempuan itu. 

“Mbok Asih, tolong tunjukkan kamar buat mbaknya ini, ya.”

“Nggih, Mas.” Perempuan itu mengangguk sopan kemudian melempar senyum pada Seruni. Senyum yang berhasil meredakan debar di dada Seruni. Ia sedikit tenang. Rumah ini tampaknya berbeda dengan milik si tato kalajengking.

“Pinjamin baju Kanaya saja buat ganti. Saya belum sempat beliin baju tadi.”

Perempuan itu kembali mengiyakan perintah Bram. Dengan bibir melengkung, ia menggandeng lengan Seruni.

Setelah memastikan urusan Seruni tertangani dengan baik, Bram naik ke lantai dua. Tidak butuh waktu lama bagi Bram untuk segera berpindah ke alam mimpi.

Sementara itu, jejak rasa khawatir yang masih tersisa di hati membuat Seruni begitu sulit memejamkan mata meski tubuhnya disergap letih dan penat. Ia merasa belum lama tertidur ketika terdengar ketukan pintu dan suara perempuan memanggil namanya.

Seruni bangkit. Diregangkannya tubuh sejenak sebelum melangkah ke pintu. Refleks ia tersenyum tatkala melihat Mbok Asih sudah berdiri di depan pintu.

“Ini baju ganti dan mukena, Non. Sebentar lagi subuh,” ujar Mbok Asih seraya mengulurkan setumpuk kain.

“Terima kasih, Mbok.” Seruni mengambil barang-barang di tangan perempuan itu.

“Simbok ada di dapur. Kalau mau minum, langsung ke dapur saja, Non.”

Seruni mengangguk kemudian menutup pintu setelah perempuan itu pergi. Usai salat Subuh membersihkan diri, ia memberanikan diri keluar kamar. Dihelanya napas dalam-dalam karena butuh waktu sekian menit untuk menemukan jalan ke dapur. Ia belum pernah tinggal di rumah seluas ini.

Langkah Seruni terhenti di balik dinding dapur ketika telinganya mendengar namanya disebut.

“Siapa yang tidur di kamar tamu, Mbok?”

“Non Seruni, temannya Mas Bram, Non.”

“Mas Bram pulang tengah malam dan bawa perempuan, Mbok?”

Sembari menarik napas dalam-dalam, Seruni merapatkan tubuh ke dinding. Ia menimbang-nimbang, apakah perlu muncul sekarang atau nanti menunggu Bram bangun. Bagaimana kalau istri Pak Bram mengira aku selingkuhannya? Pertanyaan yang muncul di kepala menggerakkan kaki Seruni untuk melangkah masuk ke dapur.

“Selamat pagi, Nyonya.” Seruni menatap Kanaya yang sedang memasukkan satu demi satu wortel ke dalam juicer. Hanya sekejap karena ia buru-buru menunduk saat kedua matanya bertubrukan dengan pandangan perempuan berkulit putih yang kelihatan segar dan terawat.

“Kamu Seruni?” Kanaya mengambil gelas penyimpan perasan wortel kemudian menuang isinya ke dalam gelas kaca setinggi sepuluh senti. Ditutupnya gelas setelah menambahkan perasan jeruk nipis.

Sementara itu, Mbok Asih sibuk memotong sayur dan bumbu hingga suara pisau beradu dengan talenan memenuhi udara.

“Benar, Nyonya. Mohon maaf saya menginap tanpa izin. Semalam Pak Bram menolong saya dan meminta saya menginap di sini. Tapi sumpah, saya dan Pak Bram tidak ada hubungan apa-apa. Sumpah demi Allah, saya bukan selingkuhan Pak Bram. Apalagi perempuan penggoda suami orang.”

Dengan kepala tertunduk, Seruni nyerocos. Jantungnya berdetak cepat, menanti jawaban Kanaya. Ia pernah mendengar cerita salah satu anak asuh si tato kalajengking yang sempat jadi simpanan pejabat. Hanya tiga tahun sebelum ketahuan istri sah dan diusir dari rumah pemberian si pejabat. Jangan sampai ia diusir karena dianggap perempuan simpanan Bram.

“Kalau bukan selingkuhan Mas Bram, siapa kamu? Kenapa tengah malam ada di hotel dan ikut pulang Mas Bram?” Bola mata hazel milik Kanaya memindai tubuh Seruni.

Tiba-tiba Seruni memangkas jarak dengan Kanaya lalu bersiumpuh di kaki perempuan itu. “Maaf, Nyonya, demi Allah, saya bukan selingkuhan Mas Bram. Tolong jangan usir saya.” Tangan Seruni memegang kaki Kanaya.

Tawa Kanaya nyaris pecah melihat sikap Seruni. Tak disangka gadis di depannya benar-benar ketakutan. Ia mundur hingga cengkeraman Seruni di kakinya terlepas kemudian mencuci tangan di wastafel. Dibiarkannya Seruni dengan posisi bersimpuh di lantai. Setelah mengelap tangan, ia memegang lengang gadis itu dan menariknya.

“Berdirilah. Tak pantas menyembah-nyembah begitu. Aku bukan Tuhan.”

“Tolong jangan usir saya, Nyonya.” Seruni tersekat di ujung kalimat. Kepalanya masih tertunduk hingga sebagian rambunya menutupinya. “Nanti siang, setelah Pak Bram bangun, saya pasti pamit dan nyari kosan.”

“Duduklah.” Kanaya membawa Seruni ke kursi dan mendudukkannya. “Sebenarnya siapa kamu dan kenapa bisa sampai ketemu Mas Bram?”

Seruni meremas ujung kemeja kemudian saling menautkan jari. Lidahnya sedikit kaku mengingat salah satu episode menyakitkan dalam hidupnya.

“Mbok, tolong buatkan Seruni teh, ya.” Kanaya menggeser kursi kemudian duduk di dekat Seruni. “Tolong antar jusnya ke kamar Mama.”

Duh, mati aku. Ternyata Pak Bram tinggal dengan ibunya. Biasanya nyonya besar lebih galak daripada nyonya muda. Seruni bergidik. Bayangan perempuan dengan bola mata nyaris terlepas karena amarah terpampang di depan mata, menyelusupkan rasa jeri di hatinya.

“Minum dulu.” Kanaya menepuk bahu Seruni.

“Te-terima kasih, Nyonya.” Seruni memberanikan diri mendongakkan kepala. Kini dilihatnya paras Kanaya berhias senyum tulus. Rasa takut di dadanya sedikit berkurang dan debar di dadanya mereda.

“Sekarang ceritakan siapa kamu,” ujar Kanaya setelah Seruni meneguk tehnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status