Share

Bab 3: Macan Kecil

“Ayo, turun!” seru Bram sedikit kesal.

Seruni mengusap wajah. Ia memutuskan mengikuti perintah Bram. Jika laki-laki itu akan berbuat macam-macam, ia akan melawan sampai titik darah penghabisan. Biarlah ia mati ketimbang hidup sebagai manusia hina. Bapak dan Ibu pasti akan menyambutnya di surga karena ia mati demi mempertahankan harga diri.

“Hotel La Luna.” Seruni mengeja nama yang tertulis di dinding bangunan bergaya Eropa itu. Jadi nasibnya akan berakhir di sini. “Bapak, Ibu, tunggu aku,” batinnya sendu.

Seruni menatap heran lelaki yang berjalan cepat di depannya ketika semua karyawan menyapa dan mengangguk hormat padanya. Hatinya diliputi tanda tanya. Sebenarnya, siapa manusia yang selalu tampak galak itu?

Tubuh Seruni mendadak kaku ketika Bram berhenti di depan kamar di lantai empat.

“Masuk!” Dengan dagunya, Bram memberi isyarat agar Seruni segera masuk ke kamar.

“Bapak mau apa? Kalau hanya karena baju ini saya harus melayani Bapak, saya tidak sudi!”

“Astaga!” Bram melirik Rolex di tangan. Ia benar-benar sudah tidak punya waktu. Segera ditariknya tangan Seruni. “Kamu tunggu di sini. Saya masih ada kerjaan. Kalau lapar, pesan layanan kamar saja.” Tangannya menunjuk telepon di atas nakas. Setelah itu Bram berbalik.

Tepat ketika kaki Bram akan melangkah, tiba-tiba ia merasa sebuah tendangan mendarat di punggungnya sehingga ia terhuyung. Lalu, dilihatnya Seruni melewati tubuhnya dan berlari cepat menuju pintu.

Bram mendengkus. Rupanya ia salah terka. Gadis yang mendadak ditemuinya itu bukan bidadari, tetapi macan kecil. “Baik kalau itu maumu,” desisnya.

Sigap, Bram menegakkan tubuh kemudian berlari ke pintu. Tangannya mencengkeram handle pintu ketika Seruni ingin membukanya.

“Kamu kira bisa membukanya, hah?” Bram menyeringai. Ia mengambil kunci dari saku kemudian menggoyangnya di depan mata Seruni yang berdiri kaku.

“Bapak mau apa?”

“Kamu pikir aku mau apa?” Bram menyimpan kunci ke saku celana lalu mendorong Seruni menjauhi pintu.

“Saya bisa kerja apa saja untuk mengganti uang Bapak. Tapi, tolong jangan lakukan itu, Pak. Saya mohon!” Seruni mundur selangkah demi selangkah hingga tumitnya menyentuh dinding ranjang.

“Dengar, pertolonganku tidak gratis.” Bram menyilangkan tangan di depan dada. “Tapi aku sedang ada urusan. Kita akan membahasnya nanti.” Lelaki itu berbalik.

Baru saja akan mengayunkan kaki, Bram bisa merasakan pergerakan Seruni. Tepat ketika Seruni berusaha menyentuh tubuhnya dan ingin membanting, ia lebih dulu meraih gadis itu dan menjatuhkannya di atas ranjang.

Setelah itu, ia meletakkan kedua tangan di sisi kanan dan kiri Seruni yang terlentang dengan mata menatap nanar.

“Kamu mau melawan saya, Macan Kecil?”

“Apa yang Bapak inginkan dari saya?”

Seruni menatap Bram dengan sorot mata memelas. Air matanya menetes perlahan. Setelah lepas dari jebakan Batman, ia harus masuk perangkap Spiderman dan ketika berhasil lepas, ia malah disekap Dr. Strange.

“Ya, Tuhan, dosa apa yang kuperbuat sampai aku harus mengalami nasib senaas ini?” Seruni meratap dalam hati.

Air mata Seruni meluluhkan hati Bram. Pandangannya tak lagi nanar. Ditatapnya gadis di hadapannya lekat-lekat, mencari jejak kebohongan di sana, tetapi yang dijumpai Bram hanya luka, kecewa, juga amarah di balik mata yang gerimis.

Diam-diam ia tidak tega dengan tatapan sendu Seruni, tetapi tingkah gadis itu yang berusaha menyerangnya membuat Bram naik darah. Lelaki itu tidak menyangka jika Seruni mempunyai kemampuan beladiri.

“Sudah saya katakan, tinggallah di sini. Setelah urusan saya selesai, kita bicarakan nasibmu.” Suara Bram melunak. Kemudian, ia mengangkat kedua tangan dari sisi Seruni sehingga tubuhnya menjauh.

“Hotel ini tidak jauh beda dengan hotel-hotel lain. Bisa jadi, orang yang mengejarmu juga gentayangan di sini.”

Bram menghela napas. Jika memang Seruni korban dan ia dijebak, tidak mustahil si pelaku akan terus mengejar. Bram memutuskan akan membantu Seruni jika itu terjadi walaupun ia akan tetap waspada karena sejauh ini posisi Seruni belum jelas. Dunia penuh tipu-tipu. Pelaku kejahatan bisa menyaru sebagai korban.

Seruni bangun setelah tubuh Bram benar-benar menjauh darinya. Ia merapikan rambut yang acak-acakan kemudian menghapus jejak air mata dengan punggung tangan dan jemarinya.

“Kalau kamu tetap mau pergi, silakan. Tapi jangan salahkan saya kalau ternyata kamu sudah ditunggu orang jahat yang mengejarmu tadi di depan hotel ini. Orang-orang seperti itu punya banyak mata dan telinga. Jaringan mereka di mana-mana.”

Nada bicara Bram terdengar santai, tetapi menimbulkan jeri di hati Seruni. Bayangan lelaki bertato kalajengking berkelebat cepat di kepala. Ia bergidik. Ia tidak mau kembali ke mulut harimau.

Di antara derai air mata, Seruni memandang Bram. Jika dilihat dari sikapnya, Seruni merasa jika Bram bukanlah orang jahat. Setidaknya, tatapan lelaki itu tidak liar. Ia bahkan membelikan baju yang lebih sopan. Untuk sementara waktu, mungkin ada baiknya ia mengikuti perintah Bram.

“Ba-baik, Pak.” Helaan napas kasar keluar dari mulut Seruni. Disusutnya ingus dengan ujung lengan kemeja. Akhirnya Seruni menyerah. Lebih tepatnya pura-pura menyerah. Tidak mengapa saat ini ia mundur selangkah. Jika di kemudian hari ternyata Bram tidak lebih baik dari si tato kalajengking, ia akan lari.

Melihat Seruni menggunakan baju untuk mengusap ingus, Bram segera mengambil tissue di atas meja dan menyodorkannya pada gadis bertubuh semampai itu. “Jangan berbuat jorok di depanku!”

Seruni mengambil tissue tanpa menatap Bram. Hatinya benar-benar kacau. Ia masih sibuk mengelap ingus dan membersihkan wajah ketika Bram meninggalkannya.

Embusan napas kasar lolos dari mulut Bram ketika ia sudah berada di luar kamar. Dirapikannya jas dan rambut yang agak berantakan kemudian berjalan ke ruang meeting di lantai satu. “Demi apa aku harus mengalami kejadian buruk malam-malam begini,” keluhnya dalam hati.

“Pak, buka pintunya! Jangan sekap saya di sini!” Teriakan Seruni beradu dengan suara kepalan tangannya yang membentur pintu. Namun, semua sia-sia. Meski sudah berteriak sampai tenggorokannya sakit, permintaannya membentur dinding kamar dan bersambut sunyi. Bram tak kembali.

Frustrasi, Seruni menendang pintu sekeras mungkin. “Ouch!” Dipegangnya telapak kaki yang ngilu. Putus asa, Seruni menyandarkan tubuh di dinding. Lalu, perlahan tubuhnya melorot ke bawah hingga ia terduduk dengan kaki selonjor. Air matanya kembali tumpah. Ia pasti tidak akan sanggup menatap hari esok kalau sampai kehormatannya direnggut. Lebih baik mati daripada menyerahkan diri pada musang berbulu kucing yang menyaru menjadi malaikat penolong.

“Permisi. Layanan kamar.”

Seruni terperanjat ketika terdengar pintu diketuk diikuti suara lelaki dari luar. Diusapnya wajah dengan ujung kemeja. Perlahan Seruni berdiri sembari menyusut ingus dan menempelkan telinga di daun pintu. Dahi gadis itu berkerut. Ia merasa tidak pernah memesan apa pun sejak masuk ke kamar ini.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status