“Ayo, turun!” seru Bram sedikit kesal.
Seruni mengusap wajah. Ia memutuskan mengikuti perintah Bram. Jika laki-laki itu akan berbuat macam-macam, ia akan melawan sampai titik darah penghabisan. Biarlah ia mati ketimbang hidup sebagai manusia hina. Bapak dan Ibu pasti akan menyambutnya di surga karena ia mati demi mempertahankan harga diri.
“Hotel La Luna.” Seruni mengeja nama yang tertulis di dinding bangunan bergaya Eropa itu. Jadi nasibnya akan berakhir di sini. “Bapak, Ibu, tunggu aku,” batinnya sendu.
Seruni menatap heran lelaki yang berjalan cepat di depannya ketika semua karyawan menyapa dan mengangguk hormat padanya. Hatinya diliputi tanda tanya. Sebenarnya, siapa manusia yang selalu tampak galak itu?
Tubuh Seruni mendadak kaku ketika Bram berhenti di depan kamar di lantai empat.
“Masuk!” Dengan dagunya, Bram memberi isyarat agar Seruni segera masuk ke kamar.
“Bapak mau apa? Kalau hanya karena baju ini saya harus melayani Bapak, saya tidak sudi!”
“Astaga!” Bram melirik Rolex di tangan. Ia benar-benar sudah tidak punya waktu. Segera ditariknya tangan Seruni. “Kamu tunggu di sini. Saya masih ada kerjaan. Kalau lapar, pesan layanan kamar saja.” Tangannya menunjuk telepon di atas nakas. Setelah itu Bram berbalik.
Tepat ketika kaki Bram akan melangkah, tiba-tiba ia merasa sebuah tendangan mendarat di punggungnya sehingga ia terhuyung. Lalu, dilihatnya Seruni melewati tubuhnya dan berlari cepat menuju pintu.
Bram mendengkus. Rupanya ia salah terka. Gadis yang mendadak ditemuinya itu bukan bidadari, tetapi macan kecil. “Baik kalau itu maumu,” desisnya.
Sigap, Bram menegakkan tubuh kemudian berlari ke pintu. Tangannya mencengkeram handle pintu ketika Seruni ingin membukanya.
“Kamu kira bisa membukanya, hah?” Bram menyeringai. Ia mengambil kunci dari saku kemudian menggoyangnya di depan mata Seruni yang berdiri kaku.
“Bapak mau apa?”
“Kamu pikir aku mau apa?” Bram menyimpan kunci ke saku celana lalu mendorong Seruni menjauhi pintu.
“Saya bisa kerja apa saja untuk mengganti uang Bapak. Tapi, tolong jangan lakukan itu, Pak. Saya mohon!” Seruni mundur selangkah demi selangkah hingga tumitnya menyentuh dinding ranjang.
“Dengar, pertolonganku tidak gratis.” Bram menyilangkan tangan di depan dada. “Tapi aku sedang ada urusan. Kita akan membahasnya nanti.” Lelaki itu berbalik.
Baru saja akan mengayunkan kaki, Bram bisa merasakan pergerakan Seruni. Tepat ketika Seruni berusaha menyentuh tubuhnya dan ingin membanting, ia lebih dulu meraih gadis itu dan menjatuhkannya di atas ranjang.
Setelah itu, ia meletakkan kedua tangan di sisi kanan dan kiri Seruni yang terlentang dengan mata menatap nanar.
“Kamu mau melawan saya, Macan Kecil?”
“Apa yang Bapak inginkan dari saya?”
Seruni menatap Bram dengan sorot mata memelas. Air matanya menetes perlahan. Setelah lepas dari jebakan Batman, ia harus masuk perangkap Spiderman dan ketika berhasil lepas, ia malah disekap Dr. Strange.
“Ya, Tuhan, dosa apa yang kuperbuat sampai aku harus mengalami nasib senaas ini?” Seruni meratap dalam hati.
Air mata Seruni meluluhkan hati Bram. Pandangannya tak lagi nanar. Ditatapnya gadis di hadapannya lekat-lekat, mencari jejak kebohongan di sana, tetapi yang dijumpai Bram hanya luka, kecewa, juga amarah di balik mata yang gerimis.
Diam-diam ia tidak tega dengan tatapan sendu Seruni, tetapi tingkah gadis itu yang berusaha menyerangnya membuat Bram naik darah. Lelaki itu tidak menyangka jika Seruni mempunyai kemampuan beladiri.
“Sudah saya katakan, tinggallah di sini. Setelah urusan saya selesai, kita bicarakan nasibmu.” Suara Bram melunak. Kemudian, ia mengangkat kedua tangan dari sisi Seruni sehingga tubuhnya menjauh.
“Hotel ini tidak jauh beda dengan hotel-hotel lain. Bisa jadi, orang yang mengejarmu juga gentayangan di sini.”
Bram menghela napas. Jika memang Seruni korban dan ia dijebak, tidak mustahil si pelaku akan terus mengejar. Bram memutuskan akan membantu Seruni jika itu terjadi walaupun ia akan tetap waspada karena sejauh ini posisi Seruni belum jelas. Dunia penuh tipu-tipu. Pelaku kejahatan bisa menyaru sebagai korban.
Seruni bangun setelah tubuh Bram benar-benar menjauh darinya. Ia merapikan rambut yang acak-acakan kemudian menghapus jejak air mata dengan punggung tangan dan jemarinya.
“Kalau kamu tetap mau pergi, silakan. Tapi jangan salahkan saya kalau ternyata kamu sudah ditunggu orang jahat yang mengejarmu tadi di depan hotel ini. Orang-orang seperti itu punya banyak mata dan telinga. Jaringan mereka di mana-mana.”
Nada bicara Bram terdengar santai, tetapi menimbulkan jeri di hati Seruni. Bayangan lelaki bertato kalajengking berkelebat cepat di kepala. Ia bergidik. Ia tidak mau kembali ke mulut harimau.
Di antara derai air mata, Seruni memandang Bram. Jika dilihat dari sikapnya, Seruni merasa jika Bram bukanlah orang jahat. Setidaknya, tatapan lelaki itu tidak liar. Ia bahkan membelikan baju yang lebih sopan. Untuk sementara waktu, mungkin ada baiknya ia mengikuti perintah Bram.
“Ba-baik, Pak.” Helaan napas kasar keluar dari mulut Seruni. Disusutnya ingus dengan ujung lengan kemeja. Akhirnya Seruni menyerah. Lebih tepatnya pura-pura menyerah. Tidak mengapa saat ini ia mundur selangkah. Jika di kemudian hari ternyata Bram tidak lebih baik dari si tato kalajengking, ia akan lari.
Melihat Seruni menggunakan baju untuk mengusap ingus, Bram segera mengambil tissue di atas meja dan menyodorkannya pada gadis bertubuh semampai itu. “Jangan berbuat jorok di depanku!”
Seruni mengambil tissue tanpa menatap Bram. Hatinya benar-benar kacau. Ia masih sibuk mengelap ingus dan membersihkan wajah ketika Bram meninggalkannya.
Embusan napas kasar lolos dari mulut Bram ketika ia sudah berada di luar kamar. Dirapikannya jas dan rambut yang agak berantakan kemudian berjalan ke ruang meeting di lantai satu. “Demi apa aku harus mengalami kejadian buruk malam-malam begini,” keluhnya dalam hati.
“Pak, buka pintunya! Jangan sekap saya di sini!” Teriakan Seruni beradu dengan suara kepalan tangannya yang membentur pintu. Namun, semua sia-sia. Meski sudah berteriak sampai tenggorokannya sakit, permintaannya membentur dinding kamar dan bersambut sunyi. Bram tak kembali.
Frustrasi, Seruni menendang pintu sekeras mungkin. “Ouch!” Dipegangnya telapak kaki yang ngilu. Putus asa, Seruni menyandarkan tubuh di dinding. Lalu, perlahan tubuhnya melorot ke bawah hingga ia terduduk dengan kaki selonjor. Air matanya kembali tumpah. Ia pasti tidak akan sanggup menatap hari esok kalau sampai kehormatannya direnggut. Lebih baik mati daripada menyerahkan diri pada musang berbulu kucing yang menyaru menjadi malaikat penolong.
“Permisi. Layanan kamar.”
Seruni terperanjat ketika terdengar pintu diketuk diikuti suara lelaki dari luar. Diusapnya wajah dengan ujung kemeja. Perlahan Seruni berdiri sembari menyusut ingus dan menempelkan telinga di daun pintu. Dahi gadis itu berkerut. Ia merasa tidak pernah memesan apa pun sejak masuk ke kamar ini.
“Permisi. Ada pesanan makan untuk Anda.”Pesanan makan? Belum sempat otak Seruni mencerna, tiba-tiba pintu didorong dari luar. Seruni mundur selangkah hingga pintu terbuka dan dilihatnya pegawai hotel berdiri di depan kamar dengan nampan di tangan.“Pesanan makanan untuk Anda, Mbak.” Pegawai itu tersenyum meski pandangannya menelisik. Wajah lusuh Seruni mengusik pikiran.Tatapan heran Seruni menyapu wajah pegawai hotel. “Saya tidak pernah pesan apa pun. Sepertinya Anda salah kamar.”Senyum belum tanggal dari bibir laki-laki muda itu. “Pak Bram yang memesan untuk Anda. Katanya Anda perlu makan malam.”“Makan malam?” Seruni bergumam. Ia bahkan tak merasa lapar. Lebih tepatnya, ia tidak ingat kalau belum makan sejak siang. Sebelum dibawa si tato kalajengking, Seruni hanya minum air putih. Nafsu makannya hilang setiap kali mengingat nasibnya. Kata makan malam yang diucapkan pegawai hotel mendadak membuat perutnya menyanyikan lagu rock.“Silakan, Mbak.” Petugas itu mengulurkan nampan. Wang
Kepala Seruni masih tertunduk. Ia mendongak ketika lift berhenti dan pintunya terbuka. Dibiarkannya Bram menarik tangannya.Raut muka Bram seketika berubah masam ketika melihat resepsionis dan satpam yang tersenyum penuh arti saat melihatnya. Setelah ini ia harus bersiap menghadapi gosip yang akan menyebar cepat di antara karyawan.“Berapa nomor telepon orangtuamu? Besok pagi saya telepon mereka.”“Orangtua saya sudah meninggal, Pak.” Seruni menjawab tanpa melihat Bram demi menyembunyikan embun di matanya.Kaki Bram yang akan menekan pedal gas tertahan. Ia menoleh dan menatap Seruni yang menunduk hingga wajahnya tertutup sebagian rambutnya. Lantas, tanpa menanggapi ucapan Seruni, ia melajukan mobil. Otaknya sudah tidak mampu bekerja. Biarlah Seruni tinggal semalam di rumahnya.Di samping Bram, Seruni duduk dengan tegang. Ia berusaha sekuat tenaga agar tetap terjaga. Bagaimanapun juga, ia harus tetap waspada.Kantuk yang menyerang tubuh Seruni seakan terangkat ketika mobil memasuki hal
“Saya tidak sengaja sampai Jogja, Nyonya.” Lantas, mengalirlah cerita dari bibir Seruni dari awal pelarian hingga terdampar bersama Bram di Hotel La Luna.Tatapan prihatin Kanaya menyapu wajah Seruni. “Aku pernah dengar tentang prostitusi online. Tapi baru kali ini ketemu orangnya.”“Sa-saya belum pernah melayani satu orang pun pria hidung belang.” Suara Seruni bergetar. Hatinya seperti dibanting ketika mendengar ucapan Kanaya.“Ehm, sorry. Bukan aku nuduh kamu.” Kanaya menghela napas. “Maksudku, baru kali ini aku ketemu korban pedagangan manusia seperti kamu.” Tangannya terulur lalu menggenggam jemari Seruni yang gemetar. “Sekarang, kamu mau ke mana? Katamu, tidak ada saudara di sini.”“Saya belum tahu, Nyonya. Tapi semalam Pak Bram bilang kalau ada pekerjaan buat saya. Apa Nyonya butuh pembantu? Saya bisa masak, beres-beres rumah, nyci, setrika, apa saja saya bisa.” Semangat di hati Seruni kembali timbul. Dengan mata berpendar, disebutnya semua pekerjaan rumah tangga seperti renteta
Pandangan Bram dan Seruni bertemu. Dada Seruni berdebar melihat bola mata Bram yang hitam legam menatapnya lebih tajam seperti menuntut jawaban segera. Otaknya berhenti bekerja sekian detik. Saat itu, ia baru sadar kalau Bram memiliki mata yang indah.“Gimana, bisa masak masakan Eropa?”Suara Bram menyentak kesadaran Seruni. Otaknya kembali bekerja normal dan mengirim jawaban. “Belum bisa, Pak.” Seruni memilih berkata jujur. Kata Ibu, jujur itu mujur. Meski ia pernah mendengar pamannya bilang, jujur tak selalu mujur karena kadang bisa ajur 1). “Tapi saya bisa belajar, Pak,” sambung Seruni ketika melihat setitik kecewa di mata Bram. “Saya yakin tidak sulit.”Mata Bram sedikit melebar mendengar ucapan Seruni. Sombong sekali, pikirnya.Seolah tahu isi kepala Bram, Seruni meneruskan ucapan. “Saya kira segala hal di dunia ini bisa dipelajari, Pak. Asalkan mau berusaha, pasti tidak sulit.” Gadis itu tersenyum penuh percaya diri. Diselipkannya helai-helai rambut ke balik telinga dan memandan
Bram menghela napas. Tangan kanannya memegang kemudi kuat-kuat sementara jemari kiri menggenggam ponsel. Urusan pegawai ada di tangannya, bukan Aditya. Laki-laki itu selalu ingin ikut campur di luar kewenangannya. “Nanti aku bicara pada Om Adit, Kai.” Suara Bram rendah dan berat. “Tapi seingatku, kemarin kita sudah sepakat kalau butuh tambahan asisten chef selama tiga bulan ke depan. Kamu sendiri yang mengajukan tambahan orang ke HRD karena bakal ada event dan ada asisten yang cuti.” Dada Seruni mendadak berdebar. Pembicaraan Bram seperti magnet yang membuatnya menoleh hingga matanya menangkap paras tampan Bram sedikit berkerut. Dari kalimat-kalimat Bram, Seruni tahu jika lelaki itu pasti sedang membicarakannya. “HRD sudah setuju dapur nambah tiga orang. Om Adit juga tahu itu.” Jejak rasa kesal terdengar jelas di balik ucapan Bram. “Soal Om Adit biar aku urus nanti. Dia tidak bisa seenaknya ngubah keputusan.” Seperti motor yang tiba-tiba berbelok tanpa menyalakan lampu sein, Bram m
“Nggak usah diterima.” Bram menjawab santai. Seruni melongo. Hatinya kebat-kebit. Sepertinya dia memang harus memeras otak mencari kemungkinan pekerjaan lain. “Oke.” Kai menjentikkan jari. “Aku pergi dulu.” Bram menepuk lengan lalu meninggalkan dapur tanpa berkata apa pun pada Seruni. Sesaat gadis itu mematung, mendadak ia merasa seperti anak ayam ditinggalkan induknya. “Ikut saya.” Ucapan Kai menyentak kesadaran Seruni. Segera diikutinya lelaki berperawakan sedang itu menuju ruangan kecil di belakang dapur. “Silakan duduk.” Kai memberi isyarat dengan dagu sementara tubuhnya bersandar di dinding dengan tangan bersedekap. Kepala Seruni tertunduk sesaat. Tatapan dari mata cokelat milik Kai membuat Seruni seperti kaki seribu disentuh manusia. “Mungkin Bram sudah memberitahu kalau ada tiga pos yang bisa kamu tempati.” Suara Kai agak kaku, tetapi terdengar jernih. Melibas rasa takut di hati, Seruni memberanikan diri mendongak hingga ia bertemu pandangan dengan Kai. Jemarinya salin
“Saya akan serahkan lamarannya besok, Bu.” Tidak hanya perutnya yang mulas, sekarang tubuh Seruni pun gemetar. Ya, Tuhan, bisakan dia tidak melihatku seperti itu? Seruni benar-benar merasa terpojok oleh tatapan Nina. Detik itu, ia berharap Bram datang. Nina pasti tidak akan semena-mena di depan Bram.“Jangan panggil saya “bu”. Saya belum setua itu,” ujar Nina ketus.“Ma-maaf, Bu. Eh, Mbak.”“Dengar, saya tidak tahu seberapa istimewa kamu di mata Mas Bram sampai tanpa lamaran diterima.”“Saya hanya pegawai rendahan. Cuma kang cuci piring.” Seruni memberanikan diri menyanggah. Perempuan di hadapannya makin menjadi dan keberanian di hati Seruni mulai terbit.“Semua pegawai di sini tidak boleh asal masuk. Apa pun posisinya. Kami profesional.” Nina menggerak-gerakkan bolpoin ke kiri dan kanan.“Tadi saya sudah ketemu Pak Kai dan dia mengizinkan saya bekerja.”Mengabaikan ucapan Seruni, Nina meraih gagang telepon. “Apa benar Seruni kamu terima di dapur?” ujarnya setelah menyapa Kai. “Kamu
“Masa, sih? Aku, kok, nggak percaya Pak Bram punya simpenan?”“Ada buktinya, Mbak.”“Kalau simpenan duit, pastilah.”“Diih. Coba Mbak cek grup. Ada, kok, foto Pak Bram gandengan sama cewek yang gitu, deh.”Telinga Seruni seperti digelitik dengan kawat. Sakit dan perih. Rasa sakitnya terasa sampai ke hati. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana tanggapan karyawan hotel kalau tahu dialah perempuan dengan baju tidak pantas yang digandeng Bram.“Bisa saja itu editan, Mei.”“Sudah ada yang ngecek. Foto itu asli, Mbak. Sumpah samber geledek.”“Hus, jangan ngomong sembarangan. Beneran disamber geledek baru tahu rasa.”“Aku ngomong gitu karena yakin itu bener.”Seruni menyandarkan tubuh di dinding. Diabaikannya tatapan heran pegawai hotel yang mendorong keranjang besar berisi piring dan gelas kotor. Kedua telapak tangan Seruni berkeringat hebat dan perutnya sangat mulas, lebih mulas ketimbang saat berhadapan dengan Nina. Ternyata, begini rasanya jadi bahan gunjingan orang.“Mending pastikan du