Suara ketukan pintu berulang-ulang. Membuat Stefani dan Lucy yang terlelap dalam lelahnya kembali terjaga.
"Lucy, apa kau mendengarnya?" tanya Stefani dengan suara lirih berhati-hati.
Lucy hanya mengangguk. Kemudian ia menempelkan telinganya ke tembok. Mencoba mendengarkan apakah benar sumber suara ketukan dengan tempo yang sama itu dari tembok sebelahnya.
"Bukan dari tembok sebelah kita, sepertinya tidak terlalu jauh jaraknya. Aku masih bisa mendengarnya," balas Lucy.
Stefani diam sejenak. Kemudian ia beringsut turun, mengintip dari celah balik pintu, apakah ada yang sedang berjaga atau keadaan sedang aman terkendali.
Dani tersungkur di lantai. Bagian tengkuknya meleleh cairan merah kental berbau anyir.Tangannya gemetar meraba tengkuknya sendiri. Ia bangkit dan bergegas meninggalkan kamar, lalu menguncinya. Sementara Lucy dan Stefani mendorongnya kuat-kuat. Berharap bisa mengimbangi tenaga yang dimiliki Dani.BRAAAK!Pintu tertutup, dan tangan Dani dengan cekatan menguncinya."Kalian berani sekali menipuku! Dengar! Aku akan mengadukannya pada Darren, kalian akan mendapat balasan yang setimpal dengan perbuatan kalian. Menipu anak kecil adalah kejahatan!" pekik Dani."Kamu itu pria dewasa, Dani! Hanya saja sika
Delano masih duduk tercengang menatap David yang juga menatapnya dari jarak yang tak seberapa jauh. Hanya beberapa meter saja darinya duduk bersandar.David menatap dengan seringainya, sedangkan Delano melemparkan pandangan mata menunjukkan rasa tidak suka atas kehadiran pria itu.Delano mengesah. Kemudian bangkit dari duduknya, ia berjalan menuju jendela. Kedua tangannya dengan lincah dan cekatan membuka jendela kamar. Setelah menoleh ke belakang, David menghilang.Mata Delano seketika menyapu sekeliling ruangan kamar. Tak lupa ia menjulurkan kepalanya ke arah luar jendela, mencari sosok yang sedari tadi tak mau pergi dari sisinya.Delano meraba dadanya se
Darren duduk termangu di ruang kebesarannya. Kini ia adalah penguasa di galeri Jeff Hilton. Setelah kepergian Delano, dirinyalah yang mengambil alih seluruh kekuasaan bahkan juga hartanya.Sesekali jemarinya gemulai menari di atas laptop miliknya. Sementara matanya menatap tanpa kedip ke arah layar.Dengan lincah ia mengirimkan surel untuk Elis. Seorang wanita berusia paruh baya yang belakangan terakhir sering ditemui Delano.Bibirnya merekah setelah tahu ada jawaban surel untuknya. Pertanda Elis menyetujui permintaannya untuk bertemu."Hmmm … jadwal berkunjung. Kita akan bertemu lagi, Elis," katanya sambil tersenyum licik.Tepat pukul sembilan malam
Ini tentang seorang pria yang selalu dihina sepanjang hidupnya. Ia bahkan bukan hanya dikucilkan, tetapi ia juga juga begitu sedih karena kehilangan kedua orangtuanya.Namanya Delano, ia sejak kecil sering di hina karena ia terlahir berbeda. Warna kulitnya yang aneh membuat siapapun tak ingin dekatnya.Itu kenapa Delano tidak memiliki banyak teman di dunia nyata. Lingkungan seakan enggan bersahabat dengannya.Bahkan hidup terasa sulit saat ia kehilangan ibu angkatnya untuk selama-lamanya.Delano yang unik dan penyendiri pada akhirnya memiliki banyak teman, tapi anehnya para teman Delano ini tidak semuanya bisa dilihat oleh semua ora
Darren mematung menatap cermin di hadapannya. Ia melihat Delano yang seolah samar di dalamnya. Matanya sendu. Kini ia tidak tahu pasti apa yang harus dilakukan. Sementara itu, suara teriakan tanpa henti mengusik ketenangannya."Keluarkan kami, apa salah kami? Pengecut! Beraninya hanya dengan perempuan!" pekik Stefani sambil terus menggedor pintu kamar tanpa jeda.Di ruangan yang lainnya pun juga sama. Kedua gadis itu juga saling berteriak, sengaja menciptakan kegaduhan. Langkah kaki Delano terhenti di depan beberapa pintu yang berderet.Sementara matanya, perlahan menyisir satu persatu pintu yang terdengar gaduh. Dan tatapannya terhenti di pintu pertama. Dengan langkah pasti ia mengayunkan langkah menuju tempat yang ia yakini.&nb
Stefani masih menempelkan telinganya di daun pintu. Berharap bisa menerka-nerka apa yang sedang terjadi di luar sana. Suara jeritan dan dentuman langkah kaki tak lama kemudian mulai berhenti. Membuat Stefani semakin cemas tak karuan. Saat masih menempelkan telinganya, tiba-tiba pintu tersebut terdesak keras, hingga tubuhnya terpental dengan kerasnya. "Kenapa kamu di depan pintu?" tanya Darren. Ia seolah memberikan waktu untuk ketiganya saling bertatapan juga pelukan hangat. Ketiganya berpelukan penuh haru. Darren memperhatikan ketiganya. Seharusnya mereka hanya diam, dan berterimakasih atas kebaikan Darren. Naasnya Lucy yang masih merasa kesal, langsung menyerang Darren.
Di malam yang begitu gelap itu semua berubah hening setelah teriakan Darren menggema. Ketiga gadis duduk meringkuk memeluk lututnya masing-masing sembari menunggu kepastian nasib mereka.Sepuluh menit. Lima belas menit. Masih saja hening. Ketiganya juga memilih membisu. Mungkin mereka terlalu takut meski sekedar untuk mengeluarkan sepatah dua patah kalimat.Dua puluh menit berlalu, suara langkah kaki mendekat mengangetkan ketiganya. Stefani segera bangkit, dan berdiri. Meski ia tertatih dan sedikit pincang, dengan kaki gemetar, ia mencoba meraih gagang pintu.Sama seperti sebelumnya, ia begitu berani mengintip dari celah lubang kunci di pintu. Ia melihat sebuah lentera yang ditenteng oleh sepasang tangan kekar lelaki yang mengarah masuk ke kamarnya. 
Lampu masih belum juga menyala. Suasana di kastil tua itu masih sepi. Delano pergi menuju kamarnya. Kemudian ia duduk di sebuah meja dengan komputer tua terpasang di sana. Masih jelas diingatkannya bahwa ia sempat mengirimkan janji temu pada psikiater berkelas tersebut. Wajahnyakini bermuram durja. Ia resah, gelisah. Dan juga takut pada banyak hal. Setelah menghela napas panjang, akhirnya Delano memberanikan diri membuka sebuah laci yang sejak kedatangannya ia kunci rapat-rapat. Tiga slop berisi penuh obat yang diberikan Elis untuknya agar bisa tidur nyenyak dan juga memenangkan diri. Meski nyatanya tak satu pun dari pil pahit itu ditelannya. Ia teru