Share

5. Pertemuan yang Memalukan

Sesuai perkataan Shila kemaren. Ia sudah menyetujui perjodohan yang dilakukan oleh Figo. Maka, di sini lah ia sekarang. Duduk berhadapan dengan laki-laki yang sebentar lagi akan menjadi suaminya. Siapa lagi jika bukan, Gerald. Laki-laki minim ekspresi yang membuat Shila bingung bagaimana caranya membuat calon suaminya itu tersenyum jika sudah menikah nanti. 

"Kamu umur berapa?" tanya Shila yang memilih topik random. Jujur, ia bingung harus berbicara apa saja dengan Gerald. Karena yang bisa ia nilai dari laki-laki itu sekarang adalah, Gerald tidak suka basa-basi dan apalagi banyak berbicara. Gerald tipe yang langsung to the point. Apa mungkin setelah menikah nanti mereka akan jarang berinteraksi? 

"Dua puluh enam tahun," balas Gerald dengan singkat tanpa mengalihkan tatapannya dari ponsel. 

Dalam hati Shila terus berdecak kesal karena Gerald yang tidak pernah menatapnya sedikit pun. Meskipun sekarang cafe ini banyak pengunjung—Shila merasa seperti duduk seorang diri. Apakah isi ponsel Gerald lebih menarik dari pada dirinya? Tentu saja. Jika tidak, maka sejak tadi Gerald pasti tidak melepaskan tatapannya dari wajahnya. 

"Berarti, beda tiga tahun sama aku." Shila menganggukkan kepalanya berkali-kali. Tidak apa, yang penting tidak terlalu tua. Setelah itu,  tidak ada sahutan apapun lagi dari Gerald. Makanan di hadapannya pun belum di sentuh—hanya fokus menatap layar ponsel. Sebenarnya, apa yang sedang dilakukan oleh Gerald? Apa laki-laki itu berpura-pura menyibukkan dirinya dengan ponsel agar tidak terlalu gugup saat bertemu dengannya? 

Shila memilih untuk menatap wajah Gerald dengan lekat. Sangat tampan, batinnya. Apakah ia terlalu beruntung memiliki seorang Gerald nantinya? Tapi melihat sikapnya yang sangat dingin seperti sekarang membuat Shila harus berpikir ribuan kali lagi untuk mengatakan jika dirinya itu beruntung. 

Merasa diperhatikan, Gerald mengalihkan tatapannya ke arah depan. Menatap Shila yang berpenampilan sangat sederhana, tapi terkesan elegan. Gadis di hadapannya ini sangat cantik dan manis. Gerald tidak pernah menemui gadis seperti ini. 

"Ada apa?" tanya Gerald yang berhasil membuat Shila gelapan di tempatnya karena ketahuan sedang menatap Gerald. Sial. Ia jadi malu sendiri karena ulahnya. 

Shila menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sambil tersenyum canggung. "Kamu lagi ngapain?" tanyanya sambil melirik ke arah benda pipih yang masih berada digenggaman tangan Gerald. 

"Kamu tidak perlu tahu. Langsung makan aja. Saya masih ada yang mau diurus," ujar Gerald yang kembali memfokuskan tatapannya ke arah ponselnya. 

Melihat dan mendengar itu membuat Shila mencibikkan bibirnya dengan kesal. "Kalau sibuk kenapa ngajak ketemuan?" tanya Shila yang seolah sedang tidak terima jika Gerald mendiaminya seperti sekarang. Ia persis seperti seorang kekasih yang tidak terima karena pasangannya memilih untuk bermain ponsel dibandingkan berbicara dengannya. 

Gerald kembali mengalihkan tatapannya ke arah Shila. Menatap gadis itu dengan alis yang berkerut menyatu. "Kamu marah karena saya abaikan?" tanya balik Gerald yang kedua kalinya berhasil membuat Shila merasa malu. 

Gerald itu tidak suka basa-basi dan sangat suka mengatakan sesuatu yang sesuai dengan isi hatinya. Ia bukan tipe laki-laki yang berkata manis hanya untuk membuat seorang gadis terpikat dengannya. Justru sebaliknya, Gerald lebih suka jujur. Meskipun itu menyakiti hati bagi yang mendengarnya. Salah satunya, Shila. 

Dengan cepat Shila menggelengkan kepalanya. "Gak gitu, tapi kalau mau ketemuan cuma buat diam-diam aja, lebih baik gak usah ketemuan. Buang waktu aja. Aku bahkan sampai batalin jadwal pemotretan aku hari ini karena mau ketemu kamu," ungkap Shila yang keceplosan. Sial. Mulutnya tidak bisa dikontrol. 

Dalam hati Shila merutuki kebodohannya sendiri karena mengatakan yang sebenarnya. Ya, memang benar. Shila rela membatalkan jadwal pemotretannya hanya untuk bertemu dengan Gerald, tapi jika tahu ujungnya akan menjadi seperti ini, Shila tidak akan menyia-nyiakan pekerjaannya lagi. 

Gerald terkejut mendengarnya. "Pemotretan? Kamu model?" tanyanya dengan wajah yang polos. 

Shila menganga. Menatap Gerald tidak percaya. Selama ini sangat banyak yang mengenali dirinya. Contohnya, sekarang. Tidak sedikit para pengunjung cafe yang menatap ke arah dirinya. Bahkan, ada yang sempat mengarahkan ponsel ke arahnya—mengambil fotonya secara terang-terangan. Tapi seorang Gerald—CEO ternama yang tidak mengenali dirinya? Ini benar-benar memalukan bagi Shila. Apakah selama ini ia kurang terkenal? Atau justru Gerald yang ketinggalan zaman? Ah, sepertinya yang benar adalah opsi kedua. 

"Jadi, sebelum kita kenalan malam itu, kamu gak tahu kalau aku model terkenal?" tanya Shila yang ingin memastikan. Gerald pun menganggukkan kepalanya dua kali sebagai jawaban. 

Brak. 

Spontan Shila menggebrak meja yang ada di hadapannya—tidak terima jika dirinya merasa direndahkan oleh Gerald. "Kamu hidup di zaman apa, sih? Masa model terkenal dan cantik seperti aku gak tahu?" 

"Saya gak punya waktu untuk mengetahui tentang itu," balas Gerald yang membela dirinya. Sebelumnya, ia sedikit terkejut karena Shila yang tiba-tiba saja memukul meja makan mereka dan beberapa para pengunjung lain pun mulai memusatkan perhatiannya ke arah mereka. 

Benar juga, Gerald seorang CEO, mana ada waktu untuk mengetahui tentang seperti itu. Pasti yang Gerald ketahui hanya tentang perusahaan. Ah, Shila melupakan satu hal, sebelum pergi ke sini—Figo mengatakan jika Gerald itu orangnya workaholic dan Shila mengakui kebenaran itu. 

"Jadi, kamu membatalkan jadwal pemotretan demi bertemu dengan saya?" 

Shila membuang pandangannya ke arah lain. Ditatap seperti itu oleh Gerald membuatnya tiba-tiba saja merasa gugup.  Apalagi, nada bicara Gerald yang terdengar sangat percaya diri. 

"Jangan percaya diri banget, deh," sindir Shila yang sebenarnya ingin menutupi kebenaran itu. Jelas saja ia merasa malu. 

"Saya bukan percaya diri. Bukannya tadi kamu yang bilang sendiri? Saya hanya memastikan apakah telinga saya masih berfungsi dengan baik atau tidak." 

"Telinga kamu bermasalah kali," elak Shila, lagi. Ia benar-benar malu sekarang. Sedikit menyesal karena menolak Adel—managernya  yang menyarankan dirinya untuk memilih pemotretan dibandingkan bertemu dengan calon suaminya. Tunggu, calon suami? Kenapa Shila sangat geli saat mengatakannya? 

Gerald mengangkat bahunya dengan acuh. Mematikan ponselnya lalu meletakkan ke atas meja—tindakan kecil itu pun tidak luput dari perhatian Shila. Hingga tanpa sadar kedua sudut bibir Shila terangkat ke atas—membentuk sebuah senyuman kecil. Tidak percaya jika Gerald yang menghargainya. 

"Ayo, makan," ajak Gerald dengan nada yang terdengar sangat datar. 

Entah mengapa, Shila kembali bersemangat. Moodnya langsung membaik dan mulai memakan makanan yang dipesankan oleh Gerald tadi. 

"Kok, kamu tahu kesukaan aku?" tanya Shila sambil menatap pasta kesukaannya. Sudah satu bulan lebih ia tidak makan pasta lantaran Adel yang terus melarangnya, tapi biarkan kali ini ia nakal sedikit. Maafkan Shila, Adel. 

"Kesukaan kamu? Saya gak tahu kalau kamu suka pasta. Saya pesan random aja," jawab Gerald dengan santai tanpa tahu jika Shila yang kesekian kalinya merasa sangat malu. Sangat-sangat malu. Berlipat-lipat. 

Bolehkah Shila melemparkan sesuatu ke wajah Gerald yang tampak seperti tidak merasa bersalah itu? Ia sangat muak dengan Gerald yang terus membuatnya merasa malu. Ini sudah terhitung sudah ke berapa kalinya ia merasa malu didekat Gerald. 

"Kasihan banget yang jadi istrinya nanti," gumam Shila dengan suara yang sangat pelan. Benar-benar pelan, tapi ia tidak tahu jika perkataannya itu berhasil masuk ke dalam indra pendengaran Gerald. 

"Loh, bukannya kamu yang akan jadi istri saya?" tanya Gerald yang lagi-lagi bertanya dengan wajah yang seolah tidak merasa bersalah. "Kata papa saya, kamu sudah setuju dengan perjodohan kita," sambung Gerald sambil menatap Shila dengan tatapan bertanya. 

Sial. Sudah dipastikan jika sekarang wajah Shila memerah seperti kepiting rebus. Gerald memang cocok jika dinobatkan sebagai laki-laki yang bisa mempermalukan seorang perempuan. Termasuk, dirinya. 

"Kamu sakit?" tanya Gerald menatap Shila dengan wajah datarnya. "Wajah kamu merah. Padahal, di dalam sini dingin, tidak panas, kok." 

Shila berulang kali merutuki kebodohan Gerald. Apakah laki-laki itu tidak tahu jika dirinya sedang malu? Dan apakah laki-laki itu juga tidak sadar karena telah mempermalukannya secara tidak langsung?  

Ah, Shila sudah tidak kuat lagi sekarang. 

"Kamu kena—

"Bisa diam aja gak?!"  

Gerald terkesiap di tempatnya. Menatap Shila dengan sedikit terkejut. Bukankah tadi perempuan itu sendiri yang ingin dirinya tidak diam dan bermain ponsel? Tapi kenapa sekarang Shila marah karena dirinya berbicara? Inilah yang Gerald sangat tidak suka dan membuatnya bingung sejak dulu. Perempuan itu aneh. Sangat aneh. Seketika, Gerald menyadari sesuatu. Otak pintarnya tiba-tiba saja menemukan sebuah jawaban atas sikap aneh Shila sekarang. 

"Kamu malu, ya?" 

Tolong siapa pun bantu Shila untuk menghilang dari hadapan Gerald sekarang juga. 

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status