Sesuai perkataan Shila kemaren. Ia sudah menyetujui perjodohan yang dilakukan oleh Figo. Maka, di sini lah ia sekarang. Duduk berhadapan dengan laki-laki yang sebentar lagi akan menjadi suaminya. Siapa lagi jika bukan, Gerald. Laki-laki minim ekspresi yang membuat Shila bingung bagaimana caranya membuat calon suaminya itu tersenyum jika sudah menikah nanti.
"Kamu umur berapa?" tanya Shila yang memilih topik random. Jujur, ia bingung harus berbicara apa saja dengan Gerald. Karena yang bisa ia nilai dari laki-laki itu sekarang adalah, Gerald tidak suka basa-basi dan apalagi banyak berbicara. Gerald tipe yang langsung to the point. Apa mungkin setelah menikah nanti mereka akan jarang berinteraksi?
"Dua puluh enam tahun," balas Gerald dengan singkat tanpa mengalihkan tatapannya dari ponsel.
Dalam hati Shila terus berdecak kesal karena Gerald yang tidak pernah menatapnya sedikit pun. Meskipun sekarang cafe ini banyak pengunjung—Shila merasa seperti duduk seorang diri. Apakah isi ponsel Gerald lebih menarik dari pada dirinya? Tentu saja. Jika tidak, maka sejak tadi Gerald pasti tidak melepaskan tatapannya dari wajahnya.
"Berarti, beda tiga tahun sama aku." Shila menganggukkan kepalanya berkali-kali. Tidak apa, yang penting tidak terlalu tua. Setelah itu, tidak ada sahutan apapun lagi dari Gerald. Makanan di hadapannya pun belum di sentuh—hanya fokus menatap layar ponsel. Sebenarnya, apa yang sedang dilakukan oleh Gerald? Apa laki-laki itu berpura-pura menyibukkan dirinya dengan ponsel agar tidak terlalu gugup saat bertemu dengannya?
Shila memilih untuk menatap wajah Gerald dengan lekat. Sangat tampan, batinnya. Apakah ia terlalu beruntung memiliki seorang Gerald nantinya? Tapi melihat sikapnya yang sangat dingin seperti sekarang membuat Shila harus berpikir ribuan kali lagi untuk mengatakan jika dirinya itu beruntung.
Merasa diperhatikan, Gerald mengalihkan tatapannya ke arah depan. Menatap Shila yang berpenampilan sangat sederhana, tapi terkesan elegan. Gadis di hadapannya ini sangat cantik dan manis. Gerald tidak pernah menemui gadis seperti ini.
"Ada apa?" tanya Gerald yang berhasil membuat Shila gelapan di tempatnya karena ketahuan sedang menatap Gerald. Sial. Ia jadi malu sendiri karena ulahnya.
Shila menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sambil tersenyum canggung. "Kamu lagi ngapain?" tanyanya sambil melirik ke arah benda pipih yang masih berada digenggaman tangan Gerald.
"Kamu tidak perlu tahu. Langsung makan aja. Saya masih ada yang mau diurus," ujar Gerald yang kembali memfokuskan tatapannya ke arah ponselnya.
Melihat dan mendengar itu membuat Shila mencibikkan bibirnya dengan kesal. "Kalau sibuk kenapa ngajak ketemuan?" tanya Shila yang seolah sedang tidak terima jika Gerald mendiaminya seperti sekarang. Ia persis seperti seorang kekasih yang tidak terima karena pasangannya memilih untuk bermain ponsel dibandingkan berbicara dengannya.
Gerald kembali mengalihkan tatapannya ke arah Shila. Menatap gadis itu dengan alis yang berkerut menyatu. "Kamu marah karena saya abaikan?" tanya balik Gerald yang kedua kalinya berhasil membuat Shila merasa malu.
Gerald itu tidak suka basa-basi dan sangat suka mengatakan sesuatu yang sesuai dengan isi hatinya. Ia bukan tipe laki-laki yang berkata manis hanya untuk membuat seorang gadis terpikat dengannya. Justru sebaliknya, Gerald lebih suka jujur. Meskipun itu menyakiti hati bagi yang mendengarnya. Salah satunya, Shila.
Dengan cepat Shila menggelengkan kepalanya. "Gak gitu, tapi kalau mau ketemuan cuma buat diam-diam aja, lebih baik gak usah ketemuan. Buang waktu aja. Aku bahkan sampai batalin jadwal pemotretan aku hari ini karena mau ketemu kamu," ungkap Shila yang keceplosan. Sial. Mulutnya tidak bisa dikontrol.
Dalam hati Shila merutuki kebodohannya sendiri karena mengatakan yang sebenarnya. Ya, memang benar. Shila rela membatalkan jadwal pemotretannya hanya untuk bertemu dengan Gerald, tapi jika tahu ujungnya akan menjadi seperti ini, Shila tidak akan menyia-nyiakan pekerjaannya lagi.
Gerald terkejut mendengarnya. "Pemotretan? Kamu model?" tanyanya dengan wajah yang polos.
Shila menganga. Menatap Gerald tidak percaya. Selama ini sangat banyak yang mengenali dirinya. Contohnya, sekarang. Tidak sedikit para pengunjung cafe yang menatap ke arah dirinya. Bahkan, ada yang sempat mengarahkan ponsel ke arahnya—mengambil fotonya secara terang-terangan. Tapi seorang Gerald—CEO ternama yang tidak mengenali dirinya? Ini benar-benar memalukan bagi Shila. Apakah selama ini ia kurang terkenal? Atau justru Gerald yang ketinggalan zaman? Ah, sepertinya yang benar adalah opsi kedua.
"Jadi, sebelum kita kenalan malam itu, kamu gak tahu kalau aku model terkenal?" tanya Shila yang ingin memastikan. Gerald pun menganggukkan kepalanya dua kali sebagai jawaban.
Brak.
Spontan Shila menggebrak meja yang ada di hadapannya—tidak terima jika dirinya merasa direndahkan oleh Gerald. "Kamu hidup di zaman apa, sih? Masa model terkenal dan cantik seperti aku gak tahu?"
"Saya gak punya waktu untuk mengetahui tentang itu," balas Gerald yang membela dirinya. Sebelumnya, ia sedikit terkejut karena Shila yang tiba-tiba saja memukul meja makan mereka dan beberapa para pengunjung lain pun mulai memusatkan perhatiannya ke arah mereka.
Benar juga, Gerald seorang CEO, mana ada waktu untuk mengetahui tentang seperti itu. Pasti yang Gerald ketahui hanya tentang perusahaan. Ah, Shila melupakan satu hal, sebelum pergi ke sini—Figo mengatakan jika Gerald itu orangnya workaholic dan Shila mengakui kebenaran itu.
"Jadi, kamu membatalkan jadwal pemotretan demi bertemu dengan saya?"
Shila membuang pandangannya ke arah lain. Ditatap seperti itu oleh Gerald membuatnya tiba-tiba saja merasa gugup. Apalagi, nada bicara Gerald yang terdengar sangat percaya diri.
"Jangan percaya diri banget, deh," sindir Shila yang sebenarnya ingin menutupi kebenaran itu. Jelas saja ia merasa malu.
"Saya bukan percaya diri. Bukannya tadi kamu yang bilang sendiri? Saya hanya memastikan apakah telinga saya masih berfungsi dengan baik atau tidak."
"Telinga kamu bermasalah kali," elak Shila, lagi. Ia benar-benar malu sekarang. Sedikit menyesal karena menolak Adel—managernya yang menyarankan dirinya untuk memilih pemotretan dibandingkan bertemu dengan calon suaminya. Tunggu, calon suami? Kenapa Shila sangat geli saat mengatakannya?
Gerald mengangkat bahunya dengan acuh. Mematikan ponselnya lalu meletakkan ke atas meja—tindakan kecil itu pun tidak luput dari perhatian Shila. Hingga tanpa sadar kedua sudut bibir Shila terangkat ke atas—membentuk sebuah senyuman kecil. Tidak percaya jika Gerald yang menghargainya.
"Ayo, makan," ajak Gerald dengan nada yang terdengar sangat datar.
Entah mengapa, Shila kembali bersemangat. Moodnya langsung membaik dan mulai memakan makanan yang dipesankan oleh Gerald tadi.
"Kok, kamu tahu kesukaan aku?" tanya Shila sambil menatap pasta kesukaannya. Sudah satu bulan lebih ia tidak makan pasta lantaran Adel yang terus melarangnya, tapi biarkan kali ini ia nakal sedikit. Maafkan Shila, Adel.
"Kesukaan kamu? Saya gak tahu kalau kamu suka pasta. Saya pesan random aja," jawab Gerald dengan santai tanpa tahu jika Shila yang kesekian kalinya merasa sangat malu. Sangat-sangat malu. Berlipat-lipat.
Bolehkah Shila melemparkan sesuatu ke wajah Gerald yang tampak seperti tidak merasa bersalah itu? Ia sangat muak dengan Gerald yang terus membuatnya merasa malu. Ini sudah terhitung sudah ke berapa kalinya ia merasa malu didekat Gerald.
"Kasihan banget yang jadi istrinya nanti," gumam Shila dengan suara yang sangat pelan. Benar-benar pelan, tapi ia tidak tahu jika perkataannya itu berhasil masuk ke dalam indra pendengaran Gerald.
"Loh, bukannya kamu yang akan jadi istri saya?" tanya Gerald yang lagi-lagi bertanya dengan wajah yang seolah tidak merasa bersalah. "Kata papa saya, kamu sudah setuju dengan perjodohan kita," sambung Gerald sambil menatap Shila dengan tatapan bertanya.
Sial. Sudah dipastikan jika sekarang wajah Shila memerah seperti kepiting rebus. Gerald memang cocok jika dinobatkan sebagai laki-laki yang bisa mempermalukan seorang perempuan. Termasuk, dirinya.
"Kamu sakit?" tanya Gerald menatap Shila dengan wajah datarnya. "Wajah kamu merah. Padahal, di dalam sini dingin, tidak panas, kok."
Shila berulang kali merutuki kebodohan Gerald. Apakah laki-laki itu tidak tahu jika dirinya sedang malu? Dan apakah laki-laki itu juga tidak sadar karena telah mempermalukannya secara tidak langsung?
Ah, Shila sudah tidak kuat lagi sekarang.
"Kamu kena—
"Bisa diam aja gak?!"
Gerald terkesiap di tempatnya. Menatap Shila dengan sedikit terkejut. Bukankah tadi perempuan itu sendiri yang ingin dirinya tidak diam dan bermain ponsel? Tapi kenapa sekarang Shila marah karena dirinya berbicara? Inilah yang Gerald sangat tidak suka dan membuatnya bingung sejak dulu. Perempuan itu aneh. Sangat aneh. Seketika, Gerald menyadari sesuatu. Otak pintarnya tiba-tiba saja menemukan sebuah jawaban atas sikap aneh Shila sekarang.
"Kamu malu, ya?"
Tolong siapa pun bantu Shila untuk menghilang dari hadapan Gerald sekarang juga.
***
Tok tok tok."Aku masih mau tidur. Berisik banget, sih, dari tadi," gumam Shila sambil menutup wajahnya dengan bantal. Berharap jika orang yang mengetuk pintu kamarnya itu segera pergi.Setelah kejadian memalukan kemaren—Shila tidak berani lagi mengirimkan pesan kepada Gerald. Meskipun ada notifikasi pesan masuk dari laki-laki itu—Shila tidak berniat membalasnya sedikit pun. Bahkan, tidak ia baca. Biarkan saja, ia tidak peduli. Lagipula, itu adalah salah Gerald sendiri. Kenapa dengan sengaja memalukannya?Tok tok tok.Lagi, suara ketukan itu terus membuat Shila merasa kesal dan ingin berteriak marah. Tidak peduli jika itu Figo atau Karin. Siapa pun yang mengganggu waktu tidurnya—Shila akan
Shila berdecak malas. Tidak habis pikir dengan Figo yang menyuruh Gerald untuk menjadi supirnya malam ini. Padahal, ia bisa meminta Adel yang menjemputnya seperti biasa, tapi Figo tetap memaksakan kehendaknya."Calon suami lo cakep juga," ucap Adel sambil melirik ke arah Gerald yang sedang fokus menyetir mobil. Adel terkejut saat mendapat kabar dari Shila bahwa akan segera menikah bulan depan. Apalagi, dengan cara dijodohkan. Membuat Adel merasa kasihan sekaligus bahagia karena Shila akan menempuh hidup baru.Shila sengaja memilih untuk duduk di kursi penumpang—agar Gerald duduk sendirian seperti supir. Salah siapa yang tidak menolak permintaan dari Figo. Ini adalah salah satu bagian balas dendam Shila kepada calon suaminya karena pernah mempermalukannya waktu itu. Shila masih mengingatnya dengan baik dan rasa kesal itu tersimpan nyata di dalam hatinya.
Shila melangkahkan kakinya dengan malas. Memasuki rumahnya yang entah mengapa hari ini tampak sangat sepi. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan—tidak ada siapa-siapa. Shila mengerutkan dahinya bingung. Tumben sekali tidak ada orang seperti ini. Biasanya, saat ia pulang ke rumah ada suara televisi yang berisi film kartun kesukaan Hito—Upin & Ipin, tapi sekarang tidak ada."BI," panggil Shila dengan suara yang berteriak kencang. Ia berjalan ke arah dapur. Menatap sosok wanita tua yang sedang sibuk mencuci piring."Eh, Non Shila. Ada yang bisa Bibi bantu, Non?" tanya Bi Surti—pembantu rumah tangga mereka yang sudah bekerja sebelum Shila lahir ke dunia. Tepatnya, semenjak pernikahan kedua orang tuanya. Figo dan Yeslin.Shila menggelengkan ke
"SHILA!"Prang.Shila menatap nanar ke arah ponselnya yang baru saja terjatuh ke lantai. Ia terkejut mendengar suara teriakan Figo yang sangat kencang itu. Bahkan, jantungnya pun berdetak lebih cepat.Dengan kesal Shila melangkahkan kakinya untuk keluar dari kamar. Membuka pintu, lalu melihat Figo yang menyengir di depannya sekarang."Papa, Shila kaget tahu gak," ucap Shila dengan nada yang terdengar kesal.Sedangkan Figo hanya mampu menyengir dengan lebar. "Kamu gak pergi ke mana-mana, kan, hari ini?" tanyanya dengan tidak sabaran."Enggak ada kalau hari ini," balas Shi
Sepertinya, semesta ingin sekali melihat Shila menderita. Buktinya, yang ada di depannya sekarang adalah Gerald. Setiap hari yang ia lihat adalah wajah Gerald, Gerald, dan Gerald. Kedua orang tua mereka tidak main-main dengan ucapannya di cafe waktu itu. Memberikan banyak waktu agar mereka bisa saling mengenal dan menghabiskan waktu bersama sebanyak mungkin sebelum hari pernikahan mereka."Kamu jemput aku?" tanya Shila menunjuk dirinya sendiri. Mengedarkan pandangannya ke arah lain—bisa jadi Gerald ingin menemui orang lain. Jangan sampai ia harus menahan malu lagi karena terlalu percaya diri.Gerald menganggukkan kepalanya. "Pak Figo yang nyuruh saya buat jemput kamu."Shila meringis dalam hatinya. "Kalau kamu lagi sibuk kenapa gak tolak aja? Ngerepotin tahu gak," balas
Apakah ada seseorang yang bisa menolong Shila sekarang? Ia ingin menghilang dari bumi kalau bisa. Tidak percaya dengan Gerald yang baru saja mengucapkan tiga kata yang mampu membuat kedua sudut bibirnya berkedut—memaksa untuk tersenyum. Namun, Shila berusaha untuk terlihat biasa saja. Seolah apa yang diucapkan oleh Gerald tadi bukanlah hal yang asing baginya."Kamu bilang apa tadi?" tanya Shila sambil menyelipkan sebagian rambutnya ke belakang telinga. Meminta Gerald untuk mengulang perkataannya yang terucap beberapa menit yang lalu. Sungguh, ia tidak pernah merasa sesenang ini saat orang lain mengatakannya 'cantik'.Gerald membuang pandangannya ke arah lain. Sepertinya, ia salah. Mulutnya tidak bisa dikontrol dengan baik kali ini. "Lidah saya kepleset. Saya gak bilang apa-apa tadi," elak Gerald yang tidak ingin mengakui jika dirinya baru
Berulang kali Shila menatap kagum isi rumah yang sedang ia pijak. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan. Menatap satu persatu bingkai foto yang terpajang di dinding. Tanpa sadar kedua sudut bibir Shila tertarik ke atas—membentuk sebuah senyuman yang sangat manis. Foto Gerald pada masa kecilnya ternyata sangat menggemaskan. Berbanding terbalik dengan yang sekarang."Ayo duduk sini aja, Shil," panggil seorang wanita yang berdiri tak jauh dari posisi Shila.Mendengar itu, dengan cepat Shila melangkahkan kakinya untuk mendekati Fira. Tampak di samping wanita itu ada seorang gadis remaja yang mungkin masih SMA. Apakah gadis itu adalah adiknya Gerald? Calon adik iparnya, mungkin? Ah, Shila tidak tahu bagaimana caranya memperlakukan seorang adik. Apalagi, perempuan, tapi ia akan berusaha untuk bersikap sebaik mungkin.&nbs
Setelah beberapa hari yang lalu mendapati Shila yang terduduk di lantai balkon kamarnya, sekarang Gerald sedang berada di depan rumah Shila. Tangannya memegang satu buket bunga mawar merah. Sebelum melangkah untuk masuk ke dalam—Gerald menarik nafasnya terlebih dahulu. Semenjak hari itu, Shila berkata dengannya untuk tidak menemuinya dulu sampai tiga hari kemudian. Dan hari ini, tepat tiga hari.Tok tok tok.Gerald mengetuk pintu dengan sopan. Ia berulang kali menghembuskan nafasnya—tidak percaya jika sekarang dirinya sangat gugup.Ceklek.Terlihat bi Surti yang membukakan pintu untuknya. Gerald tersenyum tipis. "Shila ada, Bi?" tanyanya dan tanpa sengaja melirik ke arah dalam rumah yang terdapat Shila sedang duduk di sofa.