Share

4. Shila Setuju, Pa

Terhitung hari ini sudah hari ke empat setelah acara makan malam mereka waktu itu. Shila menatap pantulan dirinya di cermin dengan tatapan yang sulit diartikan. Setelah menuruti perkataan kakak iparnya—Rea, Shila mendapat sebuah jawaban. 

Dengan cepat ia menyisir rambut panjangnya, lalu merapikannya. Setelah cukup—Shila menarik nafasnya dengan panjang. Ini adalah hari yang berat baginya. Sebuah keputusan yang akan merubah hidupnya nanti. Jika kalian berpikir kalau Shila lebay, maka kalian salah. Itu karena kalian belum merasakannya atau tidak akan pernah merasakannya. Menikah dengan pilihan keluarga, menikah dengan laki-laki yang tidak dikenal, apalagi, cinta. Menikah satu kali dalam seumur hidup, itu adalah prinsip Shila. 

Tak perlu berlama-lama lagi, Shila segera melangkahkan kakinya untuk keluar dari kamar. Berniat untuk menemui Figo—selama empat hari mereka tidak saling berbicara.

'Renungkan kesalahan kamu tadi. Saya tidak mau memiliki istri yang suka membantah perkataan orang tuanya.' 

Dengan cepat Shila menggelengkan kepalanya. Kenapa ia jadi memikirkan laki-laki dingin itu? 

"Shila, mau ke mana?" tanya Rea yang baru saja keluar dari kamarnya dengan Hito yang berada di gendongannya. 

"Nggak ke mana-mana, Kak. Aku mau ketemu papa. Papa di mana, ya?" 

"Terakhir tadi Kakak lihat papa ada di taman belakang. Coba kamu cek lagi, deh," balas Rea yang langsung dibalas anggukan kepala oleh Shila. "Cepat baikan, ya. Kasihan papa sering ngelamun kalau lagi sendirian akhir-akhir ini," tambah Rea yang langsung berlalu pergi dari hadapan Shila tanpa mendengar jawaban dari adiknya karena Hito yang merengek ingin meminta minum. 

Shila terdiam di tempatnya. Jujur, ia semakin merasa bersalah sekarang. Benar apa yang dikatakan oleh Gerald. Ia terlalu kekanak-kanakan. Padahal, Figo hanya ingin yang terbaik dan bisa membuatnya bahagia. 

Segera Shila melangkahkan kakinya untuk turun ke lantai satu dan menuju taman belakang. Ia akan berbicara empat mata dengan pria itu. Meminta maaf atas semua kesalahannya. 

"Pa," panggil Shila dengan suara yang terdengar lirih. Benar apa yang dikatakan oleh Rea tadi. Figo sedang melamun sambil menatap lurus ke arah depan. Ah, lagi-lagi, rasa bersalah itu muncul. 

Figo menoleh ke belakang. Menatap Shila dengan wajah yang dihiasi senyuman. "Shila, sini duduk samping Papa," ajaknya sambil menepuk tempat kosong yang ada di bagian kirinya. 

Menurut, Shila melangkahkan kakinya untuk duduk di sana. Satu menit berlalu, tidak ada yang mengeluarkan suara lagi. Shila bingung harus mulai dari mana. Tiba-tiba saja lidahnya terasa kelu. 

"Maafkan Papa." 

Shila menoleh ke samping. Menatap Figo yang sedang mengarahkan pandangannya ke depan. Seolah sedang menerawang jauh. Shila memperhatikan wajah Figo dengan lekat. Semakin lama—wajah itu semakin keriput. Tidak terasa Figo sudah memasuki umur tua. Walaupun wajahnya sedikit awet muda, tapi umurnya tetap saja sudah memasuki usia rentan. 

"Papa terlalu egois. Maaf, sayang." 

Dengan tegas Shila menggelengkan kepalanya. Ia tidak tega mendengar suara menyakitkan yang keluar dari mulut Figo. Pria itu tidak salah, tidak juga egois, hanya saja Shila yang sulit mengerti semuanya. Shila yang masih belum bisa untuk memahami semuanya dengan baik. Shila yang belum bisa berpikiran seperti orang dewasa pada umumnya. 

"Papa tidak akan memaksa lagi. Semua keputusan ada sama kamu. Kamu boleh membatalkan perjodohan ini, Shila, tapi jangan abaikan Papa lagi, Nak," tutur Figo yang kali ini terdengar seperti orang yang sudah putus asa. "Cukup Papa kehilangan mama. Jangan kamu. Papa gak akan sanggup lagi untuk ada di dunia ini." 

Secepat kilat Shila memeluk tubuh Figo dengan sangat erat. Menangis dalam dekapan hangat dari papanya. Ia tidak sanggup untuk mendengar lebih jauh lagi. Jika seperti ini—Shila tampak seperti anak durhaka.

"Aku minta maaf, Pa. Aku gak bermaksud buat Papa sedih," gumam Shila dengan suara pelan, tapi masih bisa didengar oleh Figo. "Tolong jangan gini, Pa." 

Figo mengangkat tangan kanannya—mengelus rambut milik anaknya dengan penuh kasih sayang. Aroma parfum dari Shila menyeruak—parfum yang sama persis seperti Yeslin. Ia masih mengingat itu dengan baik. Semua tentang Yeslin—tidak pernah Figo lupakan. Posisi di hatinya pun masih sama. Pemilik tahta tertinggi. 

"Jangan marah lagi, ya, sama Papa," pinta Figo dengan suara yang tercekat. "Papa gak sanggup kalau kamu jauhin Papa terus," sambungnya yang semakin membuat Shila terisak dalam pelukannya. Mereka sangat sering bertengkar, tapi untuk yang sekarang adalah pertengkaran yang paling hebat dibandingkan yang sebelumnya. Mereka tidak pernah saling diam dan tidak berbicara sampai berhari-hari, ini kali pertamanya. Biasanya, mereka hanya membutuhkan waktu beberapa menit untuk meredakan emosi masing-masing. Lalu, mereka kembali seperti tidak terjadi apapun. 

"Iya, aku gak akan lagi kayak gitu. Janji, Pa." 

Lama mereka di posisi itu. Sampai akhirnya Shila melepaskan pelukan mereka. Menatap wajah Figo dengan kepala yang mendongak ke atas. 

"Shila, setuju sama perjodohan ini," ucap Shila dengan keputusan yang sudah bulat. Ia tidak ingin membuat siapa pun kecewa di sini. Shila tidak mau bersikap egois. Sudah saatnya ia membahagiakan keluarganya. Terutama, Figo. Pria yang sangat ia sayangi. Cinta pertamanya. 

Figo menggelengkan kepalanya dengan kedua tangan yang beralih menghapus jejak air mata yang berada di pipi Shila. "Papa gak akan maksa lagi. Kamu gak perlu menerima perjodohan ini kalau alasannya karena Papa," balas Figo yang masih merasa kalau Shila terpaksa melakukannya. Ia tidak ingin dicap sebagai sosok ayah yang egois karena memaksakan sesuatu yang bukan kehendak Shila. 

"Aku gak terpaksa, Pa. Aku menerima perjodohan ini karena keputusan dari aku sendiri. Aku udah yakin untuk menikah." 

Figo terkejut mendengar penuturan dari anaknya. Menatap Shila dengan tatapan tak percaya. "Apa yang membuat kamu berubah pikiran dan mau menerima perjodohan ini?" tanyanya penasaran. Karena Figo tahu, Shila itu tidak suka dibantah—sama seperti dirinya. Sikap Shila adalah sikap Figo yang nyata. 

"Karena Allah. Aku udah menemukan jawabannya. Aku akan menerima perjodohan ini," ucap Shila, lagi, yang kali ini terdengar sangat yakin dari nada suaranya. 

"Kamu benar-benar yakin?" tanya Figo sekali lagi. Masih tidak percaya jika putrinya mau menerima keputusannya kali ini. Keputusan yang akan merubah hidupnya dalam sekejab. 

Shila menganggukkan kepalanya dengan semangat dan tersenyum. "Bahkan, aku udah sangat yakin, Pa." 

"Terima kasih, Nak." Figo menarik tubuh mungil anaknya. Memeluk Shila dengan sangat erat—seolah takut kehilangan. Tapi sebentar lagi ia akan kehilangan putrinya. Shila akan segera menikah. 

"Kamu tahu Papa sayang bahkan cinta banget sama mama. Mama dan bunda punya tempatnya masing-masing di hati Papa. Begitu juga dengan kamu, Shila. Kamu itu jantung bagi Papa. Terdengar lebay, ya? Tapi memang sesayang itu Papa sama kamu," papar Figo dengan jujur, tanpa adanya kebohongan sedikit pun. "Dulu, waktu kamu kecelakaan hebat pas SMA. Jujur, Papa takut banget kehilangan kamu, Nak. Dunia Papa langsung terhenti gitu aja. Sama seperti saat Papa mendengar kabar kalau mama udah gak ada lagi di dunia ini. Ketika mama meninggalkan kita dan pergi untuk selama-lamanya." 

"Tapi Papa gak mau terlihat rapuh atau sedih. Masih ada kamu yang butuh Papa untuk selalu  ada di sisi kamu dan membahagiakan kamu selayaknya seorang ayah. Dan jujur, waktu omongan kamu di cafe malam itu. Papa sadar, kalau selama ini Papa udah terlalu berlebihan dalam mengatur hidup kamu. Papa melakukan itu semua karena Papa cuma takut kehilangan kamu. Papa terlalu takut kalau kamu menderita dan pergi meninggalkan Papa. Meski tidak bisa dipungkiri kalau manusia bisa pergi kapan aja." 

"Pa, udah," pinta Shila dengan suara yang nyaris tak terdengar.

Dengan cepat Figo menggelengkan kepalanya. "Papa cuma mau cerita. Terserah kamu mau dengar atau tidak. Papa gak tahu lagi bisa cerita ini atau enggak sama kamu kalau bukan hari ini. Kan, sebentar lagi kamu akan menikah," balas Figo yang diiringi dengan suara kekehannya. 

"Papa cuma mau kamu bahagia dan tidak salah dalam memilih pasangan. Meskipun Gerald itu anak yang dingin dan kaku dalam masalah perempuan, tapi Papa yakin, dia bisa menjadi imam yang baik buat kamu nanti. Perlahan, es akan mencair jika disatukan dengan kehangatan. Percaya itu, Nak."

Shila menganggukkan kepalanya mengerti. Sekarang ia bisa paham dengan semuanya. Terkadang, kita tidak bisa menilai sesuatu hanya dengan melihat satu sisi. Kita juga harus melihat dari sisi atau sudut pandang yang lain. Seperti perkataan calon suaminya di cafe waktu itu. 

"Terima kasih untuk semuanya, Pa." Shila mendekap tubuh Figo lebih erat. Membenamkan kepalanya di sana. "Aku sayang Papa." 

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status