"SHILA!"
Prang.
Shila menatap nanar ke arah ponselnya yang baru saja terjatuh ke lantai. Ia terkejut mendengar suara teriakan Figo yang sangat kencang itu. Bahkan, jantungnya pun berdetak lebih cepat.
Dengan kesal Shila melangkahkan kakinya untuk keluar dari kamar. Membuka pintu, lalu melihat Figo yang menyengir di depannya sekarang.
"Papa, Shila kaget tahu gak," ucap Shila dengan nada yang terdengar kesal.
Sedangkan Figo hanya mampu menyengir dengan lebar. "Kamu gak pergi ke mana-mana, kan, hari ini?" tanyanya dengan tidak sabaran.
"Enggak ada kalau hari ini," balas Shila dengan cepat. Ia merasa ada yang tidak beres sekarang. Entah mengapa, perasaannya berubah menjadi tidak enak. Apalagi, melihat wajah Figo yang sekarang. Semakin membuatnya bertambah yakin dengan tebakannya.
"Bagus, Papa ada tugas buat kamu." Figo tersenyum lebih lebar lagi. Hal itu mampu membuat Shila semakin penasaran dibuatnya.
"Tugas apa?" tanya Shila dengan hati-hati. Ia takut, takut jika yang ada dipikirannya sekarang menjadi kenyataan.
"Sesuai dengan perkataan Papa dan calon mertua kamu waktu itu. Kamu harus banyak-banyak menghabiskan waktu bersama Gerald."
Kan. Seratus untuk Shila. Tebakannya sangat benar. Sesuatu yang buruk itu ternyata berkaitan dengan Gerald. Si patung berjalan—calon suaminya.
"Jadi?"
"Siang ini kamu antarkan makan siang buat Gerald ke kantornya. Sekalian kalian makan bareng di sana. Lagian, sebentar lagi, kan, kamu akan menjadi bagian dari keluarga Dikara. Masa kamu gak tahu letak kantor suami kamu di mana. Kan, gak lucu," jelas Figo dengan panjang lebar. "Gimana? Mau, kan? Harus mau, dong. Ini menjadi salah satu cara yang nantinya akan menjadi kebiasaan kamu."
Shila memutar bola matanya dengan malas, lalu membuang nafasnya dengan kasar. Tidak habis pikir dengan sikap Figo sekarang. Pria itu sangat bersemangat untuk mendekatkan dirinya dengan Gerald. Mendengar setiap kata yang dilontarkan pun Shila beranggapan bahwa dirinya tidak dimintai pendapat sedikit pun. Ini adalah perintah dari Figo yang tidak boleh ia bantah sedikit pun.
"Iya, Pa. Lagian, aku bisa apa selain terima?"
Mendengar itu membuat Figo melunturkan senyumnya. "Jangan gitu, dong. Kan, ini proses pendekatan, Shil."
"Iya-iya," balas Shila dengan pasrah. "Udah, itu aja, kan?" tanyanya memastikan.
Figo menganggukkan kepalanya lalu melirik ke arah jam tangannya. "Nanti jam sebelas siang kamu siap-siap terus berangkat ke kantor Gerald. Alamatnya udah Papa kirim ke nomor kamu. Jangan sampai lupa, ya! Papa udah kasih tahu Gerald soalnya."
Shila membulatkan matanya. Padahal, ia sudah menyusun rencana agar bisa mengelak dan tidak mengantarkan makan siang untuk Gerald. Ia tidak siap untuk bertemu dengan laki-laki yang sudah beberapa kali membuatnya malu.
"Pokoknya, Papa gak akan pergi ke mana-mana sebelum kamu pergi ke kantor Gerald. Awas aja kalau kamu ketiduran. Papa siram pakai air dingin," ancam Figo yang terdengar tidak main-main dan beranjak pergi meninggalkan Shila yang bergidik ngeri sambil membayangkan jika itu benar terjadi. Figo memang sangat kejam.
"Kejamnya Papa Figo," gumam Shila sambil menggelengkan kepalanya berkali-kali. Ah, jika seperti ini ia bisa semakin gila. Apakah ia tidak bisa sehari saja tidak bertemu dengan laki-laki itu? Besok-besok apalagi? Mengantarkan Gerald minuman? Atau menemani laki-laki itu mengerjakan pekerjaannya? Atau hal gila lainnya? Shila tidak ingin mati muda hanya dengan membayangkannya.
***
Sesuai perintah Figo tadi pagi. Di sinilah Shila sekarang. Berdiri di depan perusahaan yang sangat megah. Sebelumnya, Shila hanya melihat perusahaan ini melalui ponsel atau televisi. Selain terkenal, perusahaan keluarga Dikara itu menjadi perusahaan yang paling besar di Indonesia. Tidak heran jika Figo mengatakan Gerald lebih dari kata mampu untuk menafkahinya.
Baiklah, tidak perlu berlama-lama lagi. Shila segera melangkahkan kakinya untuk masuk ke dalam area kantor. Pertama kali yang ia dapatkan adalah tatapan kagum dari para karyawan perempuan dan laki-laki. Sebagian dari mereka ada yang mengenalinya. Hal itu mampu membangkitkan mood Shila.
"Eh, itu bukannya model yang cantik itu kan? Yang sama Aldo?"
"Iya, itu Shila."
"Tapi, ngapain dia ke sini?"
Shila meringis dalam hatinya. Sebentar lagi, ia sangat yakin jika ada berita yang berjudul 'Seorang model cantik, Shila Atmaja, ketahuan sedang mengantar makan siang untuk CEO perusahaan keluarga Dikara. Apakah mereka ada hubungan spesial?' Atau judul yang begini 'Shila Atmaja dikabarkan dekat dengan seorang CEO. Apakah gadis cantik itu berpindah ke lain hati dari rekan profesinya?' Atau yang lain lagi 'Model cantik bernama Shila Atmaja sedang mengantarkan makan siang untuk sang kekasih.'
Ah, memikirkan itu semua membuat Shila menjadi pusing. Ia tidak peduli lagi dengan media yang memberitakannya nanti. Biarkan saja, toh, sebentar lagi ia akan mengumumkan pernikahannya ke publik.
"Permisi, Mbak. Ruangan Pak Gerald di mana, ya?" tanya Shila dengan sopan kepada resepsionis yang ada di depan matanya.
"Mbak Shila mau ketemu Pak Gerald? Wah, mereka ada hubungan apa?" tanya salah satu karyawan yang berdiri tak jauh darinya. Mendengar perkataan Shila yang menyebut nama Gerald.
Shila hanya tersenyum tipis mendengarnya. Tidak mau dianggap sombong oleh mereka semua.
"Sebelumnya, sudah ada janji Mbak?" tanya perempuan itu yang tak kalah sopan.
Shila menganggukkan kepalanya dua kali. "Sudah, Mbak. Dari satu tahun yang lalu," gurau Shila sambil tertawa pelan. Melihat resepsionis itu yang terdiam membuat Shila meredamkan suaranya. "Maksudnya, saya sudah janjian dengan pak Gerald. Dari tadi pagi."
"Jangan-jangan mereka pacaran?" tebak salah satu dari mereka. Mulai membuat opini-opini baru.
"Iya, bisa jadi. Lagian, pak Gerald, kan, gak punya pacar. Bisa jadi selera pak Gerald itu seperti Mbak Shila. Cantik dan berbakat."
Shila tersenyum mendengarnya. Entah mengapa, ia merasa sangat senang. Sepertinya, mereka semua sangat mendukung hubungannya dengan Gerald. Apakah para fans nya yang lain akan seperti itu juga? Jika begitu, Shila tidak akan takut lagi.
"Mbak, kata pak Gerald langsung naik aja ke lantai atas. Nanti ada ruangan sebelah kiri yang paling ujung. Ada tulisan CEO dan nama pak Gerald di pintunya."
"Baik, terima kasih, ya, Mbak. Kalau begitu saya permisi," pamit Shila yang langsung melangkahkan kakinya untuk masuk ke dalam lift.
Akhirnya, Shila bisa bernafas lega. Ia yakin jika salah satu dari beberapa orang yang mengenalinya tadi ada yang memotretnya secara diam-diam dan menyebarkannya ke media sosial.
Ting.
Ponsel Shila berbunyi. Dengan cepat ia merogoh kantong bajunya.
I*******m:
@bhdri123 menyebut anda dalam sebuah cerita
Dengan cepat tangan Shila bergerak untuk membuka notifikasi itu. Kedua bola matanya membulat melihat postingan itu. Baiklah, hidupnya tidak akan tenang sebentar lagi.
***
"Ini kamu masak sendiri?" tanya Gerald melihat berbagai menu makanan yang dibawakan oleh calon istrinya, Shila.
"Bi Surti yang buat. Aku gak bisa masak, Ge," balas Shila dengan santai, tanpa merasa malu sedikit pun. Sejak dulu sampai sekarang, Shila tidak pernah mau menyentuh area dapur lagi. Semenjak kejadian mengenaskan saat dirinya yang terkena air panas saat memasak mie instan—Shila memutuskan untuk tidak akan masuk ke dapur lagi.
Gerald mendongakkan kepalanya. Menatap Shila yang tampak biasa saja setelah mengatakan itu. "Terus, kalau kita udah nikah nanti. Saya makan apa?" tanya Gerald dengan penasaran.
"Bi Surti ikut sama kita, kok. Jadi, yang masak bi Surti, bukan aku."
Gerald mengerutkan keningnya. "Meskipun bi Surti ikut sama kita, tapi kamu harus belajar masak juga, dong. Berarti, yang jadi istri saya itu bi Surti, bukan kamu."
Shila tanpa sadar melototkan matanya. "Enak aja. Kan, aku yang jadi istri kamu."
"Udah nerima, nih, ceritanya," goda Gerald menatap Shila sambil tersenyum tipis.
Menyadari itu, Shila gelagapan di tempatnya. Ia sangat keceplosan. Sepertinya, ia harus mengajari mulutnya ini agar tidak sembarangan ketika berbicara dengan Gerald.
"Makan aja. Makan aja. Nanti aku habisin semua, loh," elak Shila yang langsung menyibukkan dirinya untuk mengambil beberapa lauk dan mulai memakannya.
"Istri yang baik itu bukan yang menghasilkan uang, tapi bisa memerankan sosok istri yang sebenarnya. Bisa masak, bisa ngurus suami, anak, rumah, dan keluarga."
Shila tertegun mendengarnya. Perkataan Gerald berhasil memberikan tamparan yang keras kepadanya.
"Dan saya akan berusaha menjadi suami yang baik untuk kamu nanti. Pelan-pelan saya akan bimbing kamu agar menjadi istri yang baik," ucap Gerald yang kali ini sangat berbeda dengan sebelumnya. Nada berbicara laki-laki itu terdengar sangat lembut dan kedua bola matanya memancarkan sebuah ketulusan yang mendalam.
"Shila," panggil Gerald dengan suara beratnya.
"Ya?"
"... meskipun ini perjodohan, tapi saya mau menikah satu kali seumur hidup. Kita mulai semuanya secara pelan-pelan, ya?"
***
Sepertinya, semesta ingin sekali melihat Shila menderita. Buktinya, yang ada di depannya sekarang adalah Gerald. Setiap hari yang ia lihat adalah wajah Gerald, Gerald, dan Gerald. Kedua orang tua mereka tidak main-main dengan ucapannya di cafe waktu itu. Memberikan banyak waktu agar mereka bisa saling mengenal dan menghabiskan waktu bersama sebanyak mungkin sebelum hari pernikahan mereka."Kamu jemput aku?" tanya Shila menunjuk dirinya sendiri. Mengedarkan pandangannya ke arah lain—bisa jadi Gerald ingin menemui orang lain. Jangan sampai ia harus menahan malu lagi karena terlalu percaya diri.Gerald menganggukkan kepalanya. "Pak Figo yang nyuruh saya buat jemput kamu."Shila meringis dalam hatinya. "Kalau kamu lagi sibuk kenapa gak tolak aja? Ngerepotin tahu gak," balas
Apakah ada seseorang yang bisa menolong Shila sekarang? Ia ingin menghilang dari bumi kalau bisa. Tidak percaya dengan Gerald yang baru saja mengucapkan tiga kata yang mampu membuat kedua sudut bibirnya berkedut—memaksa untuk tersenyum. Namun, Shila berusaha untuk terlihat biasa saja. Seolah apa yang diucapkan oleh Gerald tadi bukanlah hal yang asing baginya."Kamu bilang apa tadi?" tanya Shila sambil menyelipkan sebagian rambutnya ke belakang telinga. Meminta Gerald untuk mengulang perkataannya yang terucap beberapa menit yang lalu. Sungguh, ia tidak pernah merasa sesenang ini saat orang lain mengatakannya 'cantik'.Gerald membuang pandangannya ke arah lain. Sepertinya, ia salah. Mulutnya tidak bisa dikontrol dengan baik kali ini. "Lidah saya kepleset. Saya gak bilang apa-apa tadi," elak Gerald yang tidak ingin mengakui jika dirinya baru
Berulang kali Shila menatap kagum isi rumah yang sedang ia pijak. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan. Menatap satu persatu bingkai foto yang terpajang di dinding. Tanpa sadar kedua sudut bibir Shila tertarik ke atas—membentuk sebuah senyuman yang sangat manis. Foto Gerald pada masa kecilnya ternyata sangat menggemaskan. Berbanding terbalik dengan yang sekarang."Ayo duduk sini aja, Shil," panggil seorang wanita yang berdiri tak jauh dari posisi Shila.Mendengar itu, dengan cepat Shila melangkahkan kakinya untuk mendekati Fira. Tampak di samping wanita itu ada seorang gadis remaja yang mungkin masih SMA. Apakah gadis itu adalah adiknya Gerald? Calon adik iparnya, mungkin? Ah, Shila tidak tahu bagaimana caranya memperlakukan seorang adik. Apalagi, perempuan, tapi ia akan berusaha untuk bersikap sebaik mungkin.&nbs
Setelah beberapa hari yang lalu mendapati Shila yang terduduk di lantai balkon kamarnya, sekarang Gerald sedang berada di depan rumah Shila. Tangannya memegang satu buket bunga mawar merah. Sebelum melangkah untuk masuk ke dalam—Gerald menarik nafasnya terlebih dahulu. Semenjak hari itu, Shila berkata dengannya untuk tidak menemuinya dulu sampai tiga hari kemudian. Dan hari ini, tepat tiga hari.Tok tok tok.Gerald mengetuk pintu dengan sopan. Ia berulang kali menghembuskan nafasnya—tidak percaya jika sekarang dirinya sangat gugup.Ceklek.Terlihat bi Surti yang membukakan pintu untuknya. Gerald tersenyum tipis. "Shila ada, Bi?" tanyanya dan tanpa sengaja melirik ke arah dalam rumah yang terdapat Shila sedang duduk di sofa.
Hari ini adalah hari yang sangat cerah. Lebih cerah dari yang sebelum-sebelumnya. Terbukti dari Shila yang sejak tadi terus bersenandung dengan riang. Ia bahkan senyum-senyum sendiri seperti orang gila. Sampai Dikta yang baru saja keluar dari kamarnya pun mengerutkan dahinya bingung."Ada yang lagi bahagia, nih," sindir Dikta melirik ke arah Shila yang tengah menatapnya dengan senyuman yang tidak luntur sedikit pun. "Kenapa? Ada proyek baru lagi?" tanyanya yang sangat penasaran dengan kelakuan aneh Shila pagi ini.Shila menggelengkan kepalanya sambil menggoyangkan jari telunjuknya ke kiri dan kanan secara bergantian. "Ada rahasia besar," balasnya, lalu detik berikutnya Shila terkekeh pelan."Udah gila, nih," gumam Dikta menatap Shila dengan ngeri. Semenjak kemaren, Shila terus
Pernikahan semakin dekat. Tidak terasa sekarang tersisa dua minggu lagi untuk menuju hari bahagia Shila dan Gerald. Baik keduanya, hubungan mereka jauh lebih dekat, tidak seperti awal kenal—merasa canggung untuk berinteraksi. Walaupun yang dominan adalah Shila."Kita mau ke mana, Ge?" tanya Shila yang baru saja masuk ke dalam mobil milik Gerald. Ia menoleh ke samping—menatap penampilan Gerald yang menggunakan pakaian formal. Sepertinya, calon suaminya ini baru saja pulang dari kantor dan langsung menuju ke rumahnya tanpa berganti pakaian terlebih dahulu.Gerald segera menyalakan mesin mobilnya dan memutar setir mobil untuk keluar dari area pekarangan rumah Shila. "Kita disuruh ke butik. Lebih tepatnya, saya menemani kamu untuk mencoba gaun pengantin," balas Gerald tanpa mengalihkan tatapannya sedikit pun dari arah jalanan. Ia tidak i
"Nanti pulang jam berapa?" tanya Gerald menatap Adel dan Shila secara bergantian.Tampak Adel melirik ke arah jam tangannya lalu menjawab, "jam tiga sore kita udah selesai, kok.""Nanti saya jemput." Usai mengatakan itu, Gerald segera melajukan mobilnya—meninggalkan area tempat pemotretan Shila hari ini."Gerald perhatian banget sama lo, Shil," ucap Adel yang menatap Shila dengan tatapan menggoda. "Sekali dapat cowok langsung yang kek gitu," sambungnya—mengingat Shila yang selama ini tidak pernah dekat dengan laki-laki manapun. Bukan tidak ada yang menyukai Shila, tapi karena gadis itu selalu berusaha untuk menjauh dan menghindar dari skandal apapun.Tiba-tiba saja ada seorang laki-laki yang data
"Papa minum apa?" tanya Shila menatap Figo dengan tatapan curiga. Ia melangkah masuk ke dalam kamar Figo dan matanya semakin menyipit kala papanya itu langsung memasukkan sesuatu ke dalam laci.Figo segera menegakkan tubuhnya. "Kamu nggak kerja hari ini?" tanya Figo sambil menarik tubuh Shila untuk keluar dari kamarnya. Tepatnya, mendorong paksa. Tidak ingin jika Shila memeriksanya secara langsung."Bentar, Papa jangan ngalihin pembicaraan dulu. Tadi Papa minum obat apa?" tanya Shila meminta penjelasan. Figo itu selalu menuntut dirinya untuk jujur dan terbuka dalam semua hal, tapi tidak dengannya sendiri. Figo kerap menyimpan sesuatu darinya.Terdengar hembusan nafas kasar dari mulut Figo. Ia menatap putrinya dengan kedua sudut bibir yang tertarik ke atas. "Papa cuma minum vit