Pagi itu, suasana rumah tampak tenang. Namun hati Alisya justru semakin bergejolak. Sejak malam sebelumnya, ia tak bisa berhenti memikirkan pesan di ponsel Dhimas yang berasal dari Susi. Rasa curiga itu menempel erat, seakan ada sesuatu yang hendak terungkap.
Alisya duduk di meja makan, menata sarapan. Ibu mertua sudah duduk dengan wajah penuh otoritas, sementara Dhimas baru turun dengan seragam polisinya. Susi datang dari dapur, membawa piring berisi omelet yang baru saja ia buat.
“Mas Dhimas, coba deh ini,” kata Susi sambil tersenyum manis. “Aku bikin khusus buat Mas. Kata Mama, kalau bikin sarapan harus dari hati, biar rasanya lebih enak.”
Dhimas terkekeh kecil, mengambil piring itu. “Wah, terima kasih, Sus. Kayaknya sih bener, dari baunya aja udah bikin lapar lagi.”
Ibu mertua menimpali dengan suara puas. “Nah, kan? Tante bilang juga apa. Susi itu memang pintar. Nggak cuma cantik, tapi juga perhatian.”
Pagi itu rumah masih sunyi ketika Alisya menarik koper kecilnya keluar kamar. Jantungnya berdetak kencang, seakan setiap langkah menuju pintu membawa beban yang semakin berat. Tangannya menggenggam gagang koper erat-erat, sementara matanya melirik ke arah ruang tamu, tempat ibu mertua sudah duduk sejak subuh, dengan wajah masam dan tatapan yang sulit ditebak.“Sya, jadi kamu tetap berangkat ke Jakarta?” suara ibu mertua terdengar tajam.Alisya berhenti sejenak, lalu menoleh. “Iya, Bu. Saya harus berangkat hari ini, tiket sudah dibelikan pihak kampus.”Ibu mertua menghela napas panjang, seolah setiap hembusan adalah bentuk protes. “Hmmm… kalau istri orang lain, pasti mikir seribu kali sebelum ninggalin suaminya. Tapi kamu? Baru juga nikah, udah sibuk kerja ke luar kota.”Alisya menunduk, mencoba menahan gejolak di dadanya. “Saya sudah bicara dengan Mas Dhimas, Bu. Beliau sudah izinkan…”“Ya, kamu sudah bilang kemarin, tapi tetap saja Dhimas itu terlalu nurut sama kamu! Nanti kalau ada
Pagi itu udara kampus masih terasa sejuk. Langit biru terang membentang, dihiasi awan tipis yang bergerak pelan. Alisya melangkah masuk ke gedung administrasi dengan langkah mantap, meski dalam hati ada kegugupan yang tak bisa ia sembunyikan. Ia baru saja mendapat izin dari Dhimas untuk pergi ke Jakarta, dan kini saatnya menyampaikan keputusan itu kepada rektor.Di depan ruang rektor, ia sempat berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam sambil merapikan kerah bajunya. Jantungnya berdegup kencang, bukan karena takut, tapi karena kesadaran bahwa keberangkatan ini akan mengubah ritme hidupnya untuk sementara waktu.Ia mengetuk pintu. “Masuk,” suara berat rektor terdengar dari dalam.Alisya membuka pintu pelan. Rektor, pria paruh baya dengan kacamata bulat, menoleh sambil tersenyum kecil. “Silakan duduk, Alisya. Jadi bagaimana keputusanmu?”Alisya duduk, merapatkan tangannya di pangkuan. “Pak, saya sudah berbicara dengan suami saya. Beliau setuju k
Pagi telah tiba, Alisya bangun dengan tubuh masih lemah. Kepalanya berat, matanya sembab karena terlalu banyak menangis semalam. Namun ia tetap memaksa diri untuk bersiap. Rasa letih bukan alasan untuk bolos kerja—apalagi kampus sedang padat kegiatan.Dengan langkah pelan, ia menyiapkan diri. Tanpa banyak bicara, ia sarapan seadanya, lalu berangkat ke kampus. Di sepanjang jalan, pikirannya kacau. Rasa takut, sakit hati, dan lelah bercampur jadi satu. Namun ia tetap berusaha tersenyum ketika memasuki area kampus, menyapa rekan-rekan kerjanya seperti biasa.Belum lama ia duduk di meja kerja, seorang staf mengetuk mejanya.“Bu Alisya, Pak Rektor minta Ibu ke ruangannya sekarang.”Alisya terkejut, jantungnya berdetak lebih cepat. “Sekarang juga?”“Iya, Bu. Katanya ada hal penting.”Alisya mengangguk, merapikan map di mejanya, lalu berjalan menuju ruang rektor.Di dalam ruangan, suasana terasa formal
Kadang tubuh lebih jujur daripada hati, ia roboh ketika beban sudah terlalu berat untuk ditahan.Alisya membuka pintu rumah perlahan. Aroma masakan tercium samar dari dapur, bercampur dengan suara tawa renyah yang menusuk telinga. Dadanya berdegup kencang, tangannya dingin.Di ruang tamu, pemandangan yang langsung membuat perutnya mual terpampang nyata.Susi duduk di sofa, mengenakan celana pendek sepaha yang memperlihatkan kulit mulusnya, dipadukan dengan baju crop ketat yang mengekspos pusarnya. Rambutnya tergerai rapi, wajahnya penuh make-up segar. Ia tertawa lepas, matanya menatap Dhimas dengan penuh percaya diri.Dhimas, yang masih mengenakan kaos cokelat, ikut tertawa kecil, duduk di sebelahnya. Posisi mereka terlalu dekat, terlalu nyaman, seolah rumah itu bukan rumah Alisya lagi.Alisya berdiri terpaku di ambang pintu, matanya panas, jantungnya mencelos. Dunia seperti berputar.“Sya… kamu udah pulang?” suar
Kadang kenyataan paling pahit justru hadir di saat kita berusaha menenangkan hati.Pagi itu, setelah pertengkaran yang membuat dadanya sesak, Alisya menarik napas panjang dan beranjak dari meja makan. Ia menyiapkan tas kerja, mengenakan kemeja rapi dengan rok hitam sederhana. Wajahnya dipoles tipis dengan bedak dan lipstik natural. Cermin di kamarnya memperlihatkan senyum samar—senyum yang ia paksa muncul, bukan untuk dirinya, melainkan agar orang-orang di kampus tidak melihat betapa rapuh ia sebenarnya.Setelah berpamitan seadanya, Alisya berangkat ke kampus. Jalanan yang ramai seolah menjadi pelarian singkat dari tekanan rumah. Motor ojek online yang ia tumpangi melaju menembus keramaian kota. Udara panas bercampur debu tak ia pedulikan; pikirannya sibuk menyusun kekuatan untuk bertahan.Di kantor administrasi universitas, Alisya disambut tumpukan berkas-berkas yang menunggu untuk di input. Rekan-rekannya sudah terbiasa melihatnya cekatan dengan
Pagi yang tampak biasa seringkali menyimpan luka yang tak terlihat.Matahari baru saja naik ketika aroma bawang goreng dan tumisan sayur memenuhi dapur. Alisya berdiri di dekat kompor, mengenakan daster sederhana. Matanya masih sembab, namun ia berusaha menutupi jejak semalam dengan senyum kecil. Tangannya lincah menyiapkan nasi goreng kesukaan Dhimas, sambil sesekali melirik ke pintu, berharap pagi ini tidak ada keributan lagi.Suara langkah kaki terdengar dari arah kamar. Dhimas muncul dengan seragam polisinya yang rapi, wajahnya datar. Ia tidak menyapa, hanya mengambil koran di meja. Sesaat kemudian, suara ibu mertua, Bu Ratna, ikut mengisi ruangan.“Lama amat sarapannya, Sya!” serunya tajam, membuat Alisya tersentak.Alisya buru-buru membawa piring ke meja makan. “Ini Bu, sebentar lagi siap.”Tak lama, Susi juga keluar dari kamar tamu, dengan rambut panjangnya tergerai indah, memakai blus ketat yang menonjolkan