Share

Bab 7

Penulis: Bun say
last update Terakhir Diperbarui: 2022-06-03 06:51:50

Bab 7

"Kenapa kamu memberi pilihan sulit, Indira?" Mas Agung bertanya dengan mimik muka yang terlihat kaget yang justru membuatku sedikit tersenyum. Lelaki itu mengacak rambutnya kasar, sepertinya dia bingung harus memilih.

Kamu harus diberi sedikit pelajaran Mas, sebelum aku menyelidiki perbuatan burukmu dibelakangku.

"Pilihan ada ditanganmu, Mas." Aku mengangkat bahuku seolah tak peduli. Hanya ingin tahu saja, seperti apa pikirannya. Apa lebih memilih Zahra atau keluarganya.

"Baiklah, jika itu maumu. Aku takkan kemana-mana dan tetap di sampingmu sekarang. Apa kamu puas?!" Mas Agung duduk kembali dan meletakkan gawainya di atas nakas. Sesekali dia mengetuk-ketuk ujung jarinya ke permukaan kasur. Tanda bahwa dia sedang berpikir keras. Hingga beberapa panggilan telepon dia abaikan, entah dari siapa. Tapi sepertinya penting, mengingat tiap kali berdering wajah Mas Agung akan berubah pucat. Dia kemudian terlihat mengacak rambutnya kasar sambil berjalan mondar-mandir seperti orang yang bingung ditagih hutang.

"Indi, apa kamu tidak memberiku izin walau hanya sebentar saja?" Kembali Mas Agung bertanya, dari nada suaranya bisa kutebak dia sedang mencari alasan untuk pergi. Namun aku tak mau lagi dibohongi. Cukup kamu bermain-main denganku Mas. Sudah saatnya aku bertindak.

"Tidak, bukankah sudah lama kita tidak menghabiskan waktu bersama, Mas?" Aku bersikap manis, dan menyandarkan kepalaku di pundaknya. Pundak yang sepuluh tahun ini menjadi tempatku bertumpu dan berkeluh kesah. Sebelum badai ini datang. Sebelum Mas Agung berulah di belakangku.

"In-Indira … aku …," Mas Agung  menggeser badannya sedikit, menolak secara halus akan perbuatanku. Padahal dalam hati pun aku sudah muak untuk sekedar dekat dengannya. Semua hanya akting Mas, untuk mengukur sejauh mana rasa sayangmu padaku.

"Kenapa, Mas?" tanya dengan pura-pura bodoh. Sengaja kupasang mimik wajah sedih agar Mas Agung menyangka aku butuh dia. Tentu saja semua hanya akting.

"Aku sedang banyak pikiran, Indi. Kumohon mengertilah." Dengan tangan kokohnya Mas Agung  memegangi kedua pipiku. Kucari cinta di matanya, tapi sepertinya sudah meredup, seperti bintang yang tersamarkan saat pagi datang. Membuatku semakin sadar, bahwa dia bukan Mas Agung yang dulu. Aku mengangguk, enggan untuk bertanya lagi. Lalu memilih tidur membelakanginya, mencoba menghalau rasa sakit dalam dada.

Suara gedoran pintu depan membuatku tersadar dari mimpi. Kubuka mataku dan mengedarkan pandangan ke sekelilingku. Rupanya Mas Agung sudah tak ada. Namun terdengar sedikit suara keributan dari arah depan. Kuraih kerudung instant dan segera beranjak menemui sumber suara. Langkah kakiku baru menginjak ruang tamu, saat seseorang menghampiri dengan cepatnya dan menampar pipiku.

PLAK!!

Doni. Adik dari suamiku melayangkan tangannya ke pipiku. Cukup kencang. Membuat otakku yang masih belum seratus persen terkumpul menjadi blank. Aku terhunyung hampir jatuh, kalau saja Mas Agung tidak segera menahanku.

Apa maksudnya ini? Kenapa tiba-tiba dia berbuat seperti itu. Apa salahku? Doni, salah satu adik Mas Agung yang membenciku, namun tetap kuperlakukan dengan sopan karena permintaan Mas Agung suamiku, tiba-tiba saja tanpa kuduga menamparku. Tanpa ku tahu alasannya sama sekali. oh, Ya Tuhan, berani sekali dia berbuat seperti itu padaku.

"Doni, hentikan!! Apa yang kau lakukan, hah?!" teriak Mas Agung dengan suara lantang. Kulihat Doni menatap tajam padaku dan kakaknya secara bergantian. Matanya terlihat memerah. Jelas sekali dia sangat marah. Tapi entah karena apa. Aku masih diam dalam posisiku enggan melawan atau sekedar bertanya. Merasakan pipi yang terasa nyeri. Persis seperti saat dulu sering bertarung di tempat latihan beladiri.

"Semua gara-gara dia, kan?! Kenapa kamu malah berteriak padaku, Agung?" Doni menatap tajam pada kakaknya. Mas Agung terlihat semakin galau saja. Terus mendengus kasar dengan dada naik turun.

"Karena kamu sudah keterlaluan, Don! Aku percaya istriku tidak mungkin bertindak sejauh itu." Mas Agung terdengar berusaha menguasai amarah. Tapi apa yang mereka bicarakan ini, aku masih tidak mengerti. Dan kenapa membawaku dalam masalah mereka.

"Oh, ya? Kenapa kamu sangat percaya padanya." Doni tersenyum sinis masih menatap ke arahku.

 "Tamparan ini belum seberapa, jika dibandingkan dengan perbuatan istrimu pada Zahra!!" tukasnya cepat dengan menunjuk mukaku. Oh, jadi ini gara-gara Zahra. Pantas saja. Pasti wanita gila itu mengadu yang bukan-bukan hingga aku disalahkan.

"Indira tidak berbuat demikian! Aku yakin!!" bela Mas Agung. Aku masih diam di posisiku, menyaksikan kakak beradik beradu mulut.

"Dan kamu percaya?" tanyanya penuh selidik. Mas Agung melirik padaku sekilas seolah mencari kebenaran di mataku, kemudian beralih pandang kembali pada Doni. Dia mengangguk, tapi seperti ragu.

"Indira tak pernah berbohong," jawabnya pelan. Seperti tidak yakin dengan apa yang diucapkannya.

 "Apa kamu yakin. Hah!?"

"Tentu saja!!"

Mendengar jawaban Mas Agung. Doni berlalu keluar ruang disusul Mas Agung dibelakangnya. Entah apa yang mereka bicarakan selanjutnya, aku tak mau tahu lagi. Yang jelas rasa perih di pipiku membuatku semakin berpikir untuk segera mengakhiri pernikahan ini.

Beberapa saat kemudian.

Pintu kamar Adi tiba-tiba terbuka. Adi berdiri dengan heran. Anakku satu-satunya itu langsung mendekat.

"Ibu." Dia meraih tanganku untuk berdiri. Nampak sekali wajah sedih dari mukanya yang polos itu.

"Ibu nggak apa-apa. Tadi Ibu jatuh." Aku mencoba berbohong, karena tak ingin Adi menjadi sedih.

"Aku dengan suara orang marah-marah tadi. Pasti ini semua gara-gara ayah!" Adi berdiri dan langsung mendorong tubuh Mas Agung yang baru saja masuk ke ruang tamu.

 "Harusnya Ayah pergi dari kehidupan kami agar tidak menyakiti Ibu lagi. Aku benci Ayah … Aku benci …!!" Luapan amarah Adi bercampur tangisan. Tangannya tak henti memukul perut dan tangan Mas Agung, ayahnya. Sesekali lelaki mengelak, mungkin dia merasakan sakit juga akibat tonjokan bocah SD itu.

Aku sendiri merasa sedikit syok. Semuanya terasa sulit dipercaya. Ditampar dan menyaksikan tindakan Adi pada ayahnya sendiri membuat otakku buntu. Tak ada pembelaan ataupun sekedar menghentikan aksi tangan Adi yang terus memukuli perut dan tangan Mas Agung. Dia hanya diam dengan wajah yang menatap sendu ke arahku dan Adi bergantian. 

'Apakah kamu memang pantas mendapatkan ini semua Mas? Hingga Adi terus-menerus membencimu. Kuharap aku mendapatkan jawabannya segera. 

*****

Setelah amarah Adi mereda, Mas Agung mengajakku duduk di sofa. Lelaki itu pergi ke dapur, lalu kembali dengan baskom kecil berisi air hangat dan waslap.

"Indi, apakah aku masih tidak diizinkan untuk pergi?" Mas Agung tengah mengompres pipi dengan es batu yang memerah dan terasa nyeri. Tenaga Doni sangat kuat saat menamparku.

Aku menggeleng lemah. Sebenarnya entahlah. Apa aku harus memberi izin atau tidak. Aku hanya spontan saja menggelengkan kepala.

"Kalau begitu bisakah kamu ikut denganku menemui Zahra?" Untuk kedua kalinya Mas Agung bertanya. Aku menatapnya penuh dengan kening berkerut.

"Besok, mas."

"Baiklah, Indi. Terima kasih." Mas Agung mengusap pipi kiriku lembut. Rona di wajahnya pun sedikit lebih ceria tak seperti tadi. Apa mungkin dia bahagia karena akan bertemu Zahra, entahlah.

'Kita lihat saja besok, apa yang akan terjadi, Mas!'

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Terungkapnya Kebiasaan Buruk Suamiku   Bab 101

    Bab 101Setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit, keadaanku mulai sedikit membaik. Rasa nyeri di punggung tidak terlalu terasa sekarang. Meskipun masih tidak bisa bergerak bebas. Tapi karena perawatan yang maksimal, aku pun cepat pulih.Yuda juga semakin perhatian padaku. Pria itu setiap waktu selalu datang dan menjalankan kewajibannya. Pagi-pagi Yuda akan pulang ke rumah untuk mengurus anakku, siangnya mengurus pekerjaan hingga sore, dan malamnya dia akan menemani sambil bercerita tentang kesehariannya dalam mengurus bisnis kuliner miliknya, serta mengecek toko kue milikku. Sikapnya yang periang dan suka bercanda mampu membuatku tersenyum tiap waktu. Yuda juga kerap kali menceritakan apa saja kejadian yang lucu. Aku selalu tersenyum saat melihat kebahagiaan terpancar dari matanya. Rasa benci dan sakit hati yang sebelumnya hadir, sirna begitu saja, setelah mendengar pengakuan dan penjelasannya. Pria itu, benar-benar tidak bersalah dan dia sudah mengatakan semuanya. Dan aku per

  • Terungkapnya Kebiasaan Buruk Suamiku   Bab 100

    Bab 100Mini POV YudaKutatap layar ponsel yang terus-terusan menyala. Panggilan dan pesan terus masuk beruntun dari orang yang sama. Yanti.Entah harus dengan cara apalagi aku menghindari dan menjauhkan dia dari kehidupan kami. Langkahnya yang bersih tanpa jejak membuat pihak kepolisian kesulitan untuk menangkapnya. Kalaupun dia berhasil ditangkap, entah bagaimana caranya hingga wanita itu bisa berkeliaran dengan bebas di luar sana. Meski kuduga ada pihak dalam yang ikut serta membantunya kepergiannya. Bukan hanya saat di lapas, bahkan saat di rumah sakit saja dia bisa melarikan diri entah bagaimana caranya.Saat itu memang kebodohanku, yang mau saja bicara berdua dengannya. Setelah ayah dan ibunya terus meminta untuk datang ke rumah sakit. "Lepaskan Indira, Yuda. Ayo kita menikah. Aku akan menjadi wanita yang baik, dan akan kupastikan kamu lebih bahagia bersamaku.""Kau sudah gila. Sekian lama aku menunggunya dan sekarang hampir kudapatkan, jadi mana mungkin aku akan melepaskannya

  • Terungkapnya Kebiasaan Buruk Suamiku   Bab 99

    Bab 99Aku tertegun di tempatku. Tak menyangka dengan pesan yang kubaca barusan. Apakah Yanti sengaja melakukannya atau dia hanya menakut-nakutiku, karena dia masih belum rela jika Yuda sudah menikah denganku. Tapi jika dipikir-pikir, bukankah beberapa saat lalu pria yang sudah menjadi suamiku itu juga tengah berkirim pesan dengannya. Aneh."Apa yang kamu lihat?" Yuda mendekat dan mengambil alih ponselku. Keningnya langsung berkerut dan terlihat kesal setelah ikut membaca pesan yang masuk dari Yanti. Dari sini saja bisa kulihat jika pria itu ikut marah padanya."Kamu tidak mungkin percaya dengan apa yang dikatakan wanita itu, bukan?" ujarnya dengan wajah sendu. Sepasang manik coklat gelap itu memindai wajahku dengan seksama. Aku memilih duduk menyamping di tempat tidur sambil menunduk."Ayolah, Mbak. Jangan pernah percaya pada kata-kata yang belum jelas kebenarannya!" "Hari ini aku lelah sekali. Bisa tolong matikan lampunya?" ujarku sambil membelakanginya dan menutupi seluruh tubuhk

  • Terungkapnya Kebiasaan Buruk Suamiku   Bab 98

    Bab 98Akhirnya resepsi itu selesai juga, ketika waktu menunjukkan hampir tengah malam. Para undangan yang datang paling akhir didominasi oleh rekan satu profesi dan juga teman-teman Yuda. Dan mereka tampak mengobrol lama sekali.Adi, ibu dan keluarga yang lainnya sudah pulang tepat pukul sembilan malam tadi, mengingat putraku itu sudah merasa mengantuk dan tidak mau tinggal, meskipun Yuda mengatakan tidak masalah jika Adi ingin menginap di kamar yang sama dengan kami. Tapi tentu saja ibu dan yang lainnya melarang. Bahkan sebelumnya mereka semua menggodaku, dengan alasan tidak ingin diganggu, padahal itu tidak benar sama sekali. Lagipula pernikahan ini bukan karena mengejar nafsu yang itu.Aku terlebih dahulu masuk ke dalam kamar yang telah disiapkan sebelumnya. Ruangan ini sudah dipenuhi dengan hiasan serta taburan bunga mawar merah di atas tempat tidur juga dua handuk yang dibentuk seperti angsa dengan posisi saling menghadap. Aku menghela nafas berat, membayangkan apa yang terja

  • Terungkapnya Kebiasaan Buruk Suamiku   Bab 97

    Bab 97Yuda tampak gagah saat berdiri bersisian di sampingku dengan wajah bahagianya. Sesekali pria itu melirik ke arahku, tapi tetap kuabaikan. Meski aku tersenyum di depan para tamu, nyatanya ketika melihat sosok pria yang sekarang telah menjadi pendamping hidupku ini, hatiku kembali tersayat pedih.Bayangan bibir merahnya beradu dengan bibir Yanti waktu itu, terus membayang di pelupuk mata."Sepertinya kamu masih nggak percaya padaku, Indi." Pria itu berbisik tepat di telinga. Aku mengerjap sadar kala Yuda mengangsurkan air mineral. Kali ini dia tidak memanggil dengan sambutan 'Mbak' lagi. Mungkin karena sekarang aku telah resmi menjadi istri sah-nya.Meski sebenarnya hari ini tidak bisa kubayangkan. Betapa aku telah menikahi dengan seorang pria yang sebelumnya telah melakukan perbuatan yang menurutku sangat menjijikan itu dengan mantan adik iparku sendiri.Aku mengacuhkan perkataannya, saat para tamu undangan kembali mendekat ke arah kami. Memberi doa restu, sekaligus memberi sel

  • Terungkapnya Kebiasaan Buruk Suamiku   Bab 96

    Bab 96Akhirnya sampai pada di hari H. Pernikahan itu tetap digelar karena tak mungkin membatalkannya begitu saja. Mengingat undangan sudah dicetak, catering dan gedung serta pakaian khusus sudah dipersiapkan dengan baik. Maka atas permintaan keluarga besar Yuda dan Bu Dewi sendiri, mereka sengaja datang ke rumah untuk membujukku untuk melakukan kesepakatan."Aku setuju, tapi kumohon agar tidak bertemu dengan Yuda sampai hari H. Bahkan aku tak mau melihatnya di sekitar rumah dan tempat kerjaku. Aku perlu waktu untuk menata hatiku, walau bagaimanapun aku tidak siap bahkan untuk mendengar penjelasan serta permintaan maaf darinya," ucapku waktu itu pada mereka. Kulihat perubahan di wajah Bu Dewi yang sedikit terkejut. Mungkin tidak menyangka dengan permintaanku yang di luar nalar itu. Bagaimana mungkin aku akan menikahi pria itu, namun tidak ingin melihatnya sampai waktu yang ditentukan tiba.Bu Dewi mengangguk dan mencoba untuk memahami permintaanku."Aku tahu, mungkin kamu berat untu

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status