Share

Kedewasaan Nathan

TESTPACK DI TAS SEKOLAH ANAK LELAKIKU

POV MAYRA

Sepertinya Mas Ardi sudah membaca pesan yang ku kirimkan tadi.

“Bukankah aku sudah bilang. Aku tidak ingin anak itu ada di rumahku!” tegasnya.

Sudah diduga, Mas Ardi pasti akan marah. Tapi aku tidak ingin mengalah untuk saat ini. Jika bukan di sini di mana Nathan akan tinggal. Sedangkan orangtua Kayra tidak ingin juga mereka tinggal di sana.

“Mas … aku mohon kamu bisa ngerti,” mohonku sambil menggenggam tangannya. Dia langsung menepisnya dengan kasar.

“Ngerti? ngerti apa hah?! Aku gak bisa toleransi kesalahan kayak gini!” tekannya.

“Mas, apa kamu tega–”

“Tega? Anakmu itu lebih tega karena membiarkan orang tuanya menanggung dosa zinanya! Mungkin sampai aku matipun, dosanya akan terus mengalir padaku, meskipun aku mengatakan ingin memutuskan hubungan dengannya!” Mas Ardi memotong ucapanku dengan penuturan yang membuatku bungkam.

Air mata ini kembali mengalir deras. Menyadari betapa berat tanggung jawab suamiku sebagai imam. Dia juga ikut menanggung dosa yang dilakukan istri dan anaknya. Dengan cepat aku mendekap tubuh Mas Ardi yang kini mematung, dadanya masih naik turun menahan marah.

Mas Ardi masih bisa mengendalikan emosinya karena tidak sampai memakai kekerasan pada Nathan. Bahkan saat putraku masih kecil saja, jika nakal Mas Ardi tidak pernah sekali pun membentak atapun mencubitnya. Terlihat jelas suamiku itu sangat menyayangi Nathan dan sekarang merasa dikhianati dengan datangnya masalah ini.

“Mas … ki–kita harus sa–saling menguatkan. Masalah ini menguji kita,” ucapku sambil terbata, aku hampir tersedak oleh tangisku sendiri.

Dia membalas pelukanku, tangisannya pecah, air matanya membasahi pundakku. Tubuhnya bergetar. Kita harus sama-sama menguatkan, bukan semakin melemah karena masalah. Mungkin Allah ingin menaikan derajat kita dengan memberikan ujian ini.

***

Makan malam sudah tersedia di meja. Nathan dan Kayra sudah duduk di kursi mereka. Hanya tinggal menunggu Mas Ardi. 

“Kalian makan aja dulu. Ibu mau ke kamar dulu,” titahku.

Pintu kubuka perlahan. Mas Ardi masih duduk bersila diatas sajadah dengan al-quran di tangannya. Bibirnya bergerak, terdengar alunan ayat suci yang sangat menyejukkan hati.

Dia menghentikan aktivitasnya dan mengalihkan pandangannya padaku yang berdiri di ambang pintu.

“Aku belum lapar, kalian makan duluan aja,” tuturnya lalu melanjutkan melantunkan ayat suci al-quran.

Aku tidak membalasnya, kembali menutup pintu dan menghampiri dua orang yang masih terdiam.

“Kenapa malah diem? Ayo makan,” ajakku.

Nathan menatapku seolah bertanya. Aku hanya menanggapinya dengan senyum tipis dan mengelus pelan tangannya.

“Kay, makan yang banyak, ya. Biar sehat,” pesanku sambil mengambilkan makanan untuk mereka.

“Iya, Tante,” balasnya.

“Kok tante sih? Mulai sekarang panggil Ibu, ya. Inget, kalau kamu butuh apa-apa bilang sama ibu. Jangan sungkan, ini juga rumah kamu, Nak,” ujarku. Dia hanya mengangguk pelan.

Makan malam ini ditemani dengan keheningan, hanya dentingan sendok dan piring yang terdengar.

***

Mas Ardi pergi kerja tanpa sarapan. Dia mengatakan padaku ingin puasa. Aku baru mengingat jika sekarang hari kamis. Ibadah sunnah yang rutin dilakukan suamiku

Sedangkan Nathan dan Kayra sedang mempersiapkan untuk daring. Suara Kayra yang sedang muntah membuatku berjalan ke arah sumber suara. Aku membantu dengan mengurut leher belakangnya dan menuntunnya untuk kembali duduk di ranjang.

“Mual, Bu,” keluhnya. 

Wajahnya terlihat lebih pucat dari kemarin. Sepertinya nanti aku harus membawanya untuk memeriksakan kondisinya kandungannya. Aku mengambilkan segelas air hangat untuknya. 

“Kamu istirahat, biar Ibu yang bilang sama guru kamu kalau kamu sakit jadi gak bisa ikut daring,” ujarku lalu keluar mencari Nathan.

Meminta padanya nomor guru agar bisa ku hubungi dan mengatakan Kayra sakit dan tidak bisa ikut daring. Aku bahkan tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya jika Kayra merasa mual saat melakukan daring.

“Emang Kayra kenapa, Bu? Gak dibawa ke dokter aja?” tanya Nathan, dia terlihat cemas.

“Perempuan saat hamil muda memang seperti itu, Nak. Sering mual, muntah bahkan kadang tidak selera makan. Besok Ibu bawa Kayra buat periksa,” jelasku. Nathan menganggukkan kepalanya dan berlalu ke dalam kamar, mungkin dia ingin melihat kondisi Kayra.

Aku bersyukur karena Mas Ardi tidak sekeras kemarin, tidak menyuruh Nathan untuk keluar dari rumah ini. Dia juga orang tua pasti tidak tega melihat anaknya sengsara.

Siang itu Nathan berbicara padaku, meminta izin untuk memakai motor. Motor yang memang jarang dipakai.

“Pake aja, emang kamu mau kemana?” tanyaku.

“Mau ke rumah Tama sebentar, Bu,” jawabnya. Aku mengambil kunci di dalam kamar dan memberikan padanya.

“Titip Kayra ya, Bu. Mungkin Nathan pulangnya agak sore. Assalamualaikum.” ujarnya lalu mencium tanganku sebelum pergi.

Masih tidak percaya anakku yang lugu dan penurut bisa melakukan hal jauh seperti ini. Pengaruh pergaulan memang sangat berperan besar bagi anak-anak. 

***

Aku masih menunggu kepulangan Nathan, jam 8 malam dia masih belum pulang. Mencoba dihubungi tapi tidak dia angkat. Aku merasa cemas, dia tidak pernah keluar sendiri apalagi sampai malam begini. Meskipun dia laki-laki tetap saja sebagai seorang ibu aku selalu cemas.

Mungkin jika orang melihatku begini mereka akan mengatakan aku terlalu protektif pada anak laki-lakiku yang sudah remaja. Padahal anak seumurannya banyak yang sering keluar malam bahkan sampai tidak pulang.

Terdengar ketukan pintu diiringi suara Nathan.

“Assalamualaikum, Bu ….”

Aku dengan cepat berjalan ke arah pintu dan membukanya. Wajah Nathan terlihat sangat lelah, bahkan keringat bercucuran membasahi pelipisnya.

“Kamu dari mana aja, Nak? Kenapa baru pulang?” tanyaku cemas.

Aku menuangkan air putih dan memberikannya pada Nathan, dia meminumnya sampai tandas.

“Tapi Ibu janji jangan marah, ya,” tuturnya.

Aku menghela nafas panjang. “Iya, katakan! Kamu dari mana dan kenapa pulang malam begini?” tanyaku kembali.

“Nathan kerja, Bu,” ungkapnya.

“Kamu pulang jalan kaki? Ibu gak denger suara motor kamu,” tanyaku.

“Ban motornya bocor pas masuk perumahan. Disana gak ada tukang tambal ban makanya Nathan dorong motornya sampai sini,” jelasnya.

Aku menatap iba anakku yang malang ini. Dari gerbang perumahan ke rumah ini bisa ditempuh sepuluh menit jika jalan kaki.

“Terus … buat apa kamu kerja, Nak? Ayah masih bisa menyekolahkanmu dan Kayra,” seruku.

“Kayra sekarang tanggungjawab Nathan. Kayra istri Nathan, semua kebutuhan termasuk uang sekolahnya Nathan yang harus menanggungnya, Bu. Nathan harus memberikan nafkah pada Kayra, iya kan, Bu?” tuturnya dengan bijak.

Hati ini tertohok dengan pemikiran dewasa Nathan. Bahkan aku tidak berpikir sampai kesitu. Saat ini Nathan berstatus sebagai suami Kayra dan harus memenuhi semua kebutuhan perempuan itu.

Tanpa membalas perkataannya, aku mendekap erat tubuhnya yang sudah dibanjiri keringat itu. Tak terasa cairan menggenang di pelupuk mataku, tidak ingin membuatnya sedih dengan cepat aku menyeka sebelum turun membasahi pipi.

“Maafin Nathan, Bu ….”

Tangisnya pecah dalam pelukanku membuat diri ini tidak bisa lagi untuk membendung air mata yang susah payah ku tahan.

 “Ibu yang harusnya minta maaf karena belum bisa menjadi Ibu yang baik buat kamu. Didikan yang Ibu berikan masih kurang,” batinku.

Bersambung ….

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status