Rendra mengeratkan dekapannya pada bahu Leandra.
“Enggak lah,” sahut Rendra. “Tapi aku butuh pengertian kamu—kalau nantinya aku sering ke tempat Silvi, itu semata-mata cuma untuk melihat bayi itu.”Leandra diam saja.“Atau kalau kamu nggak keberatan, kita bisa asuh bayi itu berdua saja.” Rendra mengusulkan.“Terus Silvi gimana?” tanya Leandra dengan kening berkerut. “Kamu akan memisahkan bayi itu dari ibunya?”Rendra berpikir sejenak.“Bukan memisahkan juga sih,” katanya membantah. “Kan bayi itu bisa kamu rawat, Silvi juga bebas kalau mau lihat anaknya.”Leandra terpaku, menurutnya usul Rendra terlalu dipaksakan. Selain itu dia tidak yakin kalau Widi akan setuju jika Silvi dipisahkan dari bayinya nanti.Pekan itu sesuai jadwal, Rendra harus bermalam di tempat Silvi dan itu artinya Leandra akan ditinggal sendirian.“Atau kamu mau aku antar ke tempat Tante Ivana dulu?” tanya Rendra menawari ketika melihat wajah Leandra yang muram.“TanLeandra menghela napas. “Kalau begitu, biar aku ikut kerja.” Dia memutuskan karena tidak tahan dengan tuduhan boros yang disematkan kepadanya.Rendra malah tersenyum geli.“Mau kerja apa?” tanya Rendra dengan kening berkerut. “Perusahaan mana yang mau menerima calon pegawai yang belum punya pengalaman seperti kamu?”Kali ini Leandra merasa kalau Rendra terlalu meremehkannya.“Kalau nggak dicoba, mana aku tahu?” ucap Leandra seraya memasukkan kembali surat kendaraannya ke dalam laci. “Tapi aku serius, aku akan mulai cari kerja besok.”“Jangan ngawur,” tegur Rendra. “Kalau kamu kerja, memangnya kamu masih bisa mengurus keperluan aku?”Leandra mengangguk.“Seharusnya bisa, itu bukan sesuatu yang sulit kan?” kata Leandra optimis.Rendra menghela napas panjang.“Terserah kamu,” sahutnya, enggan berdebat. “Yang penting, jangan sampai urusan rumah kamu tinggalkan cuma karena kamu kepingin kerja.”Jujur saja jawaban Rendra membuat Leandra ingin tertawa.“Mas, Mas, jangan bersika
Sudah satu minggu lebih, bahkan hampir dua mingguan lamanya, email yang dikirim Leandra tidak mendapat tanggapan dari kantor Tian.“Kenapa sih kamu gelisah terus akhir-akhir ini?” Rendra mempertanyakan, seingatnya dia sudah membagi waktu antara Leandra dan Silvi dengan sebaik-baiknya. Dan Leandra masih dia prioritaskan dengan lima hari penuh bersamanya, begitupun soal nafkah bulanan yang tidak pernah terlambat Rendra berikan.“Aku belum dapat jawaban dari kantor yang aku incar,” jawab Leandra sambil berkali-kali memeriksa email-nya.Rendra tersenyum tipis, “Kamu kira cari kerja itu gampang? Sudahlah, kamu di rumah saja seperti biasa. Toh aku juga nggak pernah menelantarkan kamu kan?” Leandra meletakkan ponselnya dan berbaring dengan wajah lelah di tempat tidur.Melihat sang istri tidak bersemangat, Rendra lantas berinisiatif untuk mengajaknya jalan-jalan ke mal.“Kita belanja, yuk?” ajak Rendra sambil mengusap kepala Leandra. “Atau kita ke puncak? Sudah lama kan kita nggak li
Widi sedang merapikan pot-pot yang berisi tanaman hiasnya ketika salah seorang asisten rumah tangga muncul di halaman.“Maaf, Nyonya ... ponsel Nyonya bunyi!” lapornya memberi tahu.“Ya sudah, kamu tunggu dulu tanaman saya.” Widi berdiri dan melangkah masuk ke dalam rumah. Dia langsung menuju kamarnya di lantai dua karena ponsel itu ditinggalkannya sejak sarapan pagi tadi.“Siapa ya pagi-pagi begini telepon?” gumam Widi sambil meraih ponselnya yang berdering, dia mengerutkan kening ketika melihat nama yang terpampang di layar. “Halo?”“Bu, Mas Renda kenapa sih?” Suara Silvi langsung terdengar begitu Widi menerima teleponnya. “Aku suruh dia mampir, tapi dia malah negur aku ...!”“Silvi, kamu kenapa, Nak?” tanya Widi khawatir. “Jangan gelisah begitu, kamu kan sedang hamil.”Setelah Silvi sudah agak tenang, Widi melanjutkan ucapannya. “Apa yang terjadi? Memangnya Rendra kenapa?” “Mas Rendra ternyata sedang cuti, tapi dia nggak mau mampir ke tempatku, Bu!” ucap Silvi dengan nada g
“Kenapa kamu tidak langsung mampir ke tempat Silvi?” tanya Widi tajam ketika Rendra menghadap kepadanya.“Ibu yang benar saja, aku kan sedang sama Lea.” Rendra mencoba memberikan pengertian. “Ibu mengharapkan aku mampir ke sana dan membiarkan Lea bertemu sama Silvi?”“Memangnya kenapa, Ren?” tukas Widi dengan nada tidak mau dibantah. “Silvi itu sedang hamil muda, dia lebih membutuhkan perhatian kamu dibandingkan Lea. Yang namanya istri sedang hamil itu memang harus kamu istimewakan.”Rendra meremas rambutnya sendiri dengan gusar.“Tapi aku tetap nggak bisa membiarkan mereka berdua bertemu,” kata Rendra sambil menggelengkan kepala. “Dan perjanjiannya adalah aku ke tempat Silvi cuma dua kali dalam seminggu.”Widi geregetan memandang putranya dan menghardik, “Silvi sedang hamil muda, Ren! Kamu mana tahu rasanya hamil itu bagaimana! Mual, muntah, pusing, tidak bisa tidur juga!”Suara keras Widi membuat Rendra terperangah.“Wajar kan, Bu?” ujar Rendra yang tidak suka ditekan seperti
Malam itu sudah menunjukkan pukul setengah sembilan, tapi Rendra belum juga pulang ke rumah. Leandra sudah berusaha menghubungi ponselnya beberapa kali, tapi tidak kunjung diangkat atau menghubungi balik.Sejujurnya Leandra sudah berusaha memaklumi jika Rendra masih harus menemani Silvi lebih lama lagi, tapi dia ingin suaminya memberikan kabar supaya pikiran Leandra tidak gelisah sedemikian rupa.“Bu, Mas Rendra apa kasih kabar ke Ibu mau pulang jam berapa?” tanya Leandra yang tidak bisa menahan diri lagi ketika mendengar suara pintu kamar Widi dibuka.“Bukannya dia masih di tempat Silvi?” jawab Widi dengan nada biasa. “Kamu tidak usah terlalu khawatir, dia kan melakukan kewajibannya sebagai seorang suami.”Leandra menarik napas.“Aku cuma khawatir kalau terjadi sesuatu, karena Mas Rendra tidak kasih kabar sama sekali.” Dia menjelaskan. “Aku coba hubungi ponselnya juga tidak diangkat dari tadi.”Betapa herannya Leandra, ekspresi wajah Widi sedikit mengeras ketika mengetahui mena
Rasa kecewa Leandra masih terasa hingga dia enggan untuk melayani keperluan Rendra dengan sepenuh hati. “Kalian kenapa, tumben diam?” tanya Widi ingin tahu seraya memandang putra dan menantunya bergantian. “Nggak apa-apa,” jawab Rendra sambil menghela napas. “Aku cuma capek saja.” Leandra memilih diam karena haknya untuk bicara sudah tertelan di kerongkongan sebelum dia sempat bersuara. “Mas, hari ini kemungkinan aku nggak ada di rumah.” Leandra memberi tahu ketika dia mengantar Rendra menuju mobilnya. “Maksud kamu?” Pikiran Rendra langsung ke mana-mana. “Nggak ada di rumah gimana?” “Ya aku mau pergi,” tukas Leandra dengan kening berkerut. “Kenapa muka kamu kaget begitu sih, Mas?” Rendra melihat ke arah pintu, kemudian segera menarik Leandra untuk masuk ke mobilnya. “Aku paham kalau kamu marah sama aku,” kata Rendra lambat-lambat. “Aku ketiduran di sana dan ... kamu nggak hubungi aku, jadi aku pikir kalau kamu nggak keberatan seandainya aku pulang terlambat sebentar saja.” Lea
“Tapi, Pak ... saya ada perlu penting sekali sama Pak Tian!” ucap Leandra yang masih bertahan di tempatnya berdiri.“Maaf, Bu. Ini adalah aturan dari Pak Tian sendiri,” sahut si satpam tegas.Belum sempat Leandra menjawab, terdengar suara klakson yang cukup keras di belakang mereka disusul mobil putih bersih yang menepi perlahan.Satpam yang tadi mengusir Leandra bergegas menyingkirkan motor matic yang berada mepet sekali dengan mobil putih itu.“Nah Bu, silakan pergi!” suruh satpam lagi seraya menunjuk motor Leandra, setelah itu dia mempersilakan mobil putih itu untuk melaju.“Itu bukannya Pak Tian ya?” tanya Leandra yang teringat dengan mobil putih bersihnya. “Saya mau bicara sebentar sama beliau ....”“Tidak bisa, Bu. Harus bikin janji dulu kalau mau bertemu Pak Tian,” jelas satpam untuk kesekian kalinya. “Begini saja, Ibu bikin janji untuk pertemuan hari apa. Nanti akan saya sampaikan ke sekretaris Pak Tian.”Leandra sadar bahwa mencari pekerjaan tidak semudah yang dibayang
Keesokan harinya, Leandra kembali merencanakan untuk mendatangi kantor Tian lagi.“Kamu mau ke mana?” tanya Rendra heran karena mendapati Leandra ikut bersiap-siap sesaat sebelum dirinya berangkat kerja.“Ke kantor yang kemarin lagi,” jawab Leandra terus terang. “Soalnya aku belum berhasil bertemu sama bosnya.”Rendra berputar menghadap Leandra.“Buat apa kamu bertemu sama bosnya?” tanya Rendra heran. “Cukup serahkan surat lamarannya ke satpam atau sekretaris, setelah itu kamu tinggal menunggu panggilan. Itu juga kalau kamu dipanggil sama mereka.”Leandra melirik ke arah Rendra dan menyahut, “Kok kamu kayak nggak yakin begitu?”“Masalahnya kamu kan belum punya pengalaman kerja apa-apa,” jawab Rendra masuk akal. “Bukan maksud aku meremehkan kamu ....”“Makanya biar aku berusaha dulu,” kata Leandra tegas sambil berdiri. “Kita nggak akan tahu sebelum mencobanya kan? Kamu saja coba-coba poligami nggak bilang-bilang dulu sama aku, masa aku harus mundur Cuma karena aku nggak punya p