Sebelum lanjut baca bab berikutnya, jangan lupa masukkan ke rak biar tahu kalau aku up bab baru. terima kasih:)
“Bagaimana keadaan Ibu, ada keluhan yang dirasakan mungkin?” tanya dokter ketika datang berkunjung.Leandra tentu saja tidak menyia-nyiakan kesempatan itu.“Kemarin-kemarin saya lemas sekali, Dok. Perut saya juga rasanya kram, saya pikir kontraksi.”“Ibu tidak dalam kondisi baik saat dibawa ke sini tadi, jadi asupan makanannya harus diperhatikan ya?”“Baik, Dok. Tapi janin saya baik-baik saja kan?”“Semuanya dalam kondisi baik, asalkan Ibu tidak boleh kelelahan, atau banyak pikiran dulu.”Leandra mengangguk paham, setelah itu dokter meninggalkannya sendirian lagi.“Aku lupa tanya sesuatu!” keluh Leandra. “Tapi entah kenapa aku jadi ngantuk sekali, dokter juga bilang kalau aku nggak boleh kecapekan ... nanti saja aku akan tanya ....”Leandra memejamkan matanya, tidak membutuhkan waktu lama dia segera terlelap di alam mimpi.Dan terbangun keesokan paginya ketika beberapa suster masuk ke ruangannya untuk absen.“Sus, apa tidak ada yang datang semalam?” tanya Leandra penuh harap
Rendra membuka pintu mobilnya dan mempersilakan Leandra untuk masuk. “Apa Silvi tidak akan apa-apa?” tanya Leandra ragu.“Aku nggak bersama Silvi,” geleng Rendra sambil mengistirahatkan Leandra untuk masuk. Karena tidak memiliki pilihan lain, Leandra akhirnya setuju untuk menumpang mobil Rendra.“Tolong antar aku ke kantor Mas Tian ya, Ren?” pinta Leandra dengan wajah letih. “Atau ke rumah mertua aku saja, kamu tahu kan?”“Ya ....”“Yang perumahannya dekat sama rumah kamu dan Silvi,” imbuh Leandra lagi. “Aku mau cepat pulang dan bertemu Mas Tian, aku sudah capek.”Rendra mengangguk saja dan segera menutup pintu mobil rapat-rapat begitu Leandra sudah duduk di depan, setelah itu dia ikut masuk dan duduk di kursi kemudi.“Anak kamu sudah umur berapa, Ren?” tanya Leandra basa-basi ketika mobil yang ditumpanginya mulai melaju di jalan raya.“Sudah satu setengah tahun,” jawab Rendra datar, dan Leandra langsung mengernyitkan keningnya karena merasa nada suara Rendra yang terdengar
“Rendra kok lama ya?” pikir Leandra yang masih duduk menunggu, dengan susah payah dia mencoba berdiri karena kondisi perutnya yang tidak nyaman. “Lea!” panggil Rendra ketika langkah kaki Leandra belum terlalu jauh. “tunggu sebentar, aku belum selesai.” “Biar aku naik taksi saja, Ren. Sudah berhari-hari aku nggak pulang, Mas Tian pasti cari-cari aku ... siapa tahu dia juga sudah telepon polisi.” Rendra terpaku ketika Leandra menyebut kata polisi. “Kamu betul juga, Lea.” “Makanya itu biar aku pergi sendiri ....” “Kamu masuk, sekarang.” “Apa maksud kamu?” Rendra tidak menjawab, melainkan menarik tangan Leandra dan memaksanya untuk masuk ke dalam mess karyawan. “Ren, apa-apaan sih?” Rendra celingukan dan lekas mendorong pelan leandra di saat pegawai sedang melayani pembeli yang berbelanja. “Kamu tunggu di sini dulu, lea.” “Kenapa sih kamu maksa? Aku nggak minta kamu untuk antar aku kalau memang nggak bisa, tapi biarkan aku pergi pakai taksi!” Leandra sudah merada
“Itu bukannya Mas Rendra?” Leandra menghentikan motornya di lampu merah, ketika jalanan sedang padat-padatnya karena bertepatan dengan jam pulang pegawai kantor. Tanpa sengaja mata Leandra menangkap satu sosok yang dikenalnya sebagai Rendra, suaminya sendiri. Rendra terlihat baru saja keluar dari sebuah klinik ibu hamil bersama seorang perempuan yang tidak Leandra kenal. Sebelum Leandra sempat mengamati perempuan itu lebih jauh lagi, lampu lalu lintas berubah hijau dan dia terpaksa melajukan motornya dengan kecepatan sedang. Selama dalam perjalanan menuju rumah mertuanya, hati Leandra sama sekali tidak bisa tenang. “Siapa perempuan itu?” tanya Leandra dalam hati seraya mengemudikan motornya dengan gelisah. Kok bisa Mas Rendra keluar dari klinik ibu hamil bersama perempuan itu? Atau dia hanya salah lihat saja karena pandangannya berjarak cukup jauh dari klinik? Banyak sekali pertanyaan yang berdesakan di kepala Leandra hingga membuatnya nyaris lupa kalau dia sedang mengemudi di
Rendra sontak terdiam. “Testpack? Maksud kamu?” Dia bertanya dengan kening berkerut. Leandra meraih tas kerja Rendra dan mengeluarkan testpack yang tadi dia temukan. “Ini bukan testpack aku,” kata Leandra sambil menunjukkan benda pipih itu. “Hasilnya positif—testpack siapa ini, Mas?” Leandra menatap lurus ke arah Rendra yang berdiri membeku di depannya. “Lea, itu ...” Leandra berusaha untuk tetap tenang dan menunggu apa yang akan Rendra jelaskan kepadanya. Namun, terlihat jelas kalau suaminya begitu kesulitan dalam merangkai kata-kata yang tepat. “Testpack ini milik siapa, Mas?” tanya Leandra lagi dengan nada mendesak. “Kamu tahu sendiri kalau hasil testpack aku selalu negatif ... tapi yang ini positif—bisa kamu jelaskan?” Rendra tidak segera menjawab. “Kenapa kamu diam, Mas?” tuntut Leandra lagi. “Itu punya rekan kerja aku, Lea!” jawab Rendra buru-buru. “Sepertinya nggak sengaja kebawa saat aku beres-beres meja.” Dengan menahan rasa curiga yang memuncak, Leandra mengambil p
Untuk membuktikan bahwa dirinya tidak mandul, Leandra berkeras untuk mengajak Rendra mengantarnya tes kesuburan di rumah sakit. “Aku minta maaf, Lea.” Rendra berulang kali mengatakan hal yang bagi Leandra sudah tidak lagi penting. Permintaan maaf itu ibarat nasi basi yang sudah tidak mungkin untuk dikonsumsi lagi. Ketika memutuskan untuk menikah diam-diam, tidakkah Rendra dalam keadaan sadar? Kenapa tidak ada setitik pun rasa bersalah dalam dirinya ketika dia akan membagi cinta dengan Silvi? “Lea?” panggil Rendra, membuat Leandra tersentak dari lamunannya. “Aku janji kalau aku nggak akan mengabaikan kamu, bagiku kamu tetap istri aku.” Leandra menyeka kedua matanya, saat itu dia dan Rendra sedang antre di rumah sakit untuk menunggu giliran. “Aku sedang nggak mau bicara soal itu, Mas.” Dia menggeleng. “Aku mau fokus, aku harus ikut tes kesuburan ini untuk membuktikan sama ibu kalau aku bukan perempuan mandul ....” Rendra bisa merasakan kekecewaan yang dipikul Leandra saat ini, kare
Ketika pagi datang, kedua kaki Leandra terasa begitu berat untuk meninggalkan tempat tidurnya. Dia merasakan ketakutan yang teramat besar, bagaimana kalau dia bertemu ibu mertua dan ditanyai soal hasil tes kesuburan itu? Leandra tidak akan sanggup menjawabnya. “Sayang, kamu nggak bangun?” lirih Rendra dengan mata setengah terpejam. “Tumben ....” Leandra tidak segera menjawab, andai saja dia memiliki kemampuan untuk menjelaskan suasana hatinya sekarang tanpa perlu bersuara—tentu akan dilakukannya saat ini juga. “Aku ... jujur aku nggak siap bertemu sama ibu kamu, Mas.” Leandra membuka mulutnya dan sukses membuat kedua mata Rendra terbuka sepenuhnya. “Kenapa?” tanya Rendra dengan suara serak. “Aku takut ibu marah karena hasil tes aku yang menyatakan kemandulanku,” jawab Leandra pelan. “Kita pindah saja yuk, Mas? Siapa tahu kalau kita tinggal sendiri, aku bisa lebih cepat hamil?” Rendra tertegun mendengar kalimat terakhir Leandra. “Maksud aku—kemungkinan hamil itu masih ada kan?”
“Aku nggak bisa,” desis Rendra untuk menimbulkan kesan di depan Leandra bahwa sebenarnya dia tidak menyukai interupsi ini. “Mual-mual itu kan biasa saat hamil ....” “Kok kamu bilang begitu sama aku sih, Mas?” protes Silvi. “Ini anak juga anak siapa? Anak kamu!” Rendra memegang keningnya, kenapa semuanya jadi terasa begitu rumit sejak Leandra mengetahui pernikahan keduanya ini? “Ya aku tahu, tapi sekarang aku nggak bisa!” bisik Rendra, meskipun Leandra masih bisa mendengarnya dengan sangat baik. “Kamu sengaja pilih istri pertama kamu daripada aku?” protes Silvi dengan nada merengek. “Memangnya dari awal siapa yang memilih kamu?” tukas Rendra. “Kita juga sudah sepakat kalau aku akan tetap menomorsatukan Lea apa pun yang terjadi, ingat?” “Tapi, Mas ... aku ini sedang hamil ...” ucap Silvi, nadanya seperti menahan tangis. “Aku juga butuh kamu di samping aku ....” Rendra menghela napas panjang, dia mengusap rambutnya dengan jemari sebelum akhirnya berkata, “Nanti kita bicara lagi.”