Share

7. Rasa Yang Ditepis

Risa dan Abizar sampai juga di gerbang rumah. Risa langsung berjalan lunglai menuju pagar rumahnya. Langkah Risa terhenti karena cekalan tangan Abizar. Risa menoleh ke arah Abizar.

"Kenapa harus dengan cara seperti ini  Risa?"

Risa diam, tak menjawab pertanyaan Abizar.

"Apa yang kamu dapat dengan melakukan hal ini hem?"

"Sebuah keputusan," jawab Risa singkat.

"Dan kamu yakin dengan keputusanmu?"

Risa mengangguk dan tersenyum.

"Ayo." Abizar menarik tangan Risa lembut.

Mereka bersama-sama mengetuk pintu rumah Risa.

Ceklek.

Risa dan Abizar tertegun karena mendapati seorang wanita yang membukakan pintu. 

"Anda siapa?" tanya Risa.

"Risa," teriak seorang lelaki dari dalam rumah.

"Lik Hamdi?"

"Iya. Wah kamu udah besar ya. Kamu mirip Mas Handi. Kenalkan ini istri Lilik, Tina."

Risa menyalami lilik dan istrinya. Abizar pun melakukan hal yang sama.

"Ris, sudah pulang?" Eyang Risa datang menghampiri.

"Sudah Eyang."

"Loh, Nak Abi. Ayuk masuk dulu."

"Lain kali Eyang, Abi pulang dulu. Ini cuma mau nganter Risa. Tadi pas ke kamar mandi dia salah pake keran air. Ternyata kerannya rusak malah jadi basah semua itu bajunya."

"Oh ya? Ya sudah kamu cepat ganti baju Ris, biar gak sakit."

"Iya Eyang."

"Aku duluan Ris," pamit Abizar.

"Makasih Kak." Risa menatap Abizar dengan tatapan beribu terima kasih dan dibalas Abizar dengan senyum manis. Risa sedikit terpana. Hah? Senyum itu? Risa kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya. Berusaha memusnahkan khayalan anehnya.

"Kenapa Ris? Pusing?"

"Enggak Kak, tadi kayaknya ada nyamuk nempel di sekitar mukaku."

"Owh ... aku pulang ya Ris."

"Iya Kak."

Risa menatap Abizar keluar rumah hingga terdengar suara gerbang rumah tetangga sebelahnya sudah terkunci, dia pun masuk kedalam rumah dan mengunci pintunya.

Setelah membersihkan diri dan berganti pakaian, Risa duduk merenung di tepi ranjang. Pintu kamarnya diketuk seseorang.

"Siapa?"

"Eyang."

"Masuk Eyang, gak Risa kunci."

Ceklek. 

Pardi menghampiri Risa dan duduk di sebelahnya.

"Kamu tadi kenapa?"

"Gak papa Eyang."

"Kamu gak mau jujur sama Eyang?"

"Eyang ...."

"Gak papa kalau belum mau cerita."

"Maaf Eyang."

Eyang mengelus kepala Risa penuh sayang.

"Kenapa Lilik gak bilang kalau udah nikah Yang?"

"Itulah Lilikmu. Selalu melakukan sesuatu semaunya sendiri."

Eyang menghembuskan nafasnya pelan, lalu mulai bicara kembali.

"Lilik kamu selama ini merantau ke Kalimantan, dia udah nikah sama wanita bernama Tina. Katanya Tina orang Jawa juga yang lama hidup disana." Risa mendengarkan penjelasan eyangnya dengan sabar. Terlihat dengan jelas raut kesedihan disana.

"Eyang ...."

"Eyang gak tahu harus menasehati Lilikmu dengan cara apa. Dia selalu seperti itu, melakukan sesuatu semaunya sendiri tanpa musyawarah. Tapi kalau tertimpa masalah selalu Eyang yang kena getahnya."

Lagi. Pardi membelai kepala Risa penuh sayang.

"Beda dengan Bapakmu, dia bisa mengambil keputusan tapi selalu mengupayakan melalui musyawarah." Terlihat mata Eyang berkaca-kaca.

"Eyang …."

"Kita nunggu kamu ujian tengah semester. Kita akan pulang ke Banyumas. Eyang udah minta tolong teman Eyang buat ngurus sekolah kamu disana. Dia pensiunan guru. Sekarang dia di Sokaraja. Dia bersedia membantu Eyang. Nanti Eyang bakalan kerja di tokonya. Dia juga mau menerima kita tinggal di rumahnya untuk sementara sampai kita bisa ngontrak."

"Eyang."

"Rumah ini Eyang jual buat melunasi utang Lilik kamu."

"Astagfirullah. Jadi, Lik Hamdi ...."

"Iya, makanya dia pulang. Rupanya dia punya banyak utang."

"Eyang."

"Hiks ... hiks ... Eyang udah minta tenggang waktu sama pembeli rumah ini. Sampai kamu ujian tengah semester. Besok Hamdi sama istrinya pergi."

"Lalu utangnya gimana Eyang?"

"Udah Eyang kasih langsung ke orangnya. Gak mungkin Eyang kasih lewat Hamdi. Yang ada nanti dipakai untuk yang lain."

"Eyang yang sabar ya."

"Iya. Kamu juga. Oh iya, jangan sampai Maira dan Fatih tahu ya. Mereka udah baik banget sama kita. Eyang gak enak kalau mereka bantu kita lagi."

"Iya Eyang."

"Ya sudah tidur sana!"

"Iya."

Risa segera merebahkan dirinya di kasur dan mencoba untuk memejamkan mata. Hampir satu jam Risa berusaha memejamkan mata namun tak bisa. Risa memutuskan keluar dari kamar. Saat akan menuju ke kamar mandi Risa mendengar percakapan Lik Hamdi dan istrinya.

"Gimana sih Mas? Kok malah langsung dibayarkan ke Juragan Anton."

"Ya mau gimana lagi, Bapak emang gitu orangnya."

"Terus, kita dapat apa?"

"Ya gak dapat apa-apa."

"Ah Mas Hamdi sih. Harusnya bilang ke Bapak uangnya Mas aja yang mau ngasihkan ke Juragan Anton."

"Bapak gak bakalan mau Tina, harusnya kita bersyukur Bapak masih mau bantu kita."

"Tapi kita gak bisa dapat duit lagi Mas?"

"Ya mau gimana lagi. Kamu juga sih."

"Kok Tina sih."

"Ya salah kamu. Coba jangan boros. Gak bakalan punya utang banyak kan kitanya."

"Mas juga senengnya traktir temen-temen Mas biar keliahatan sok kaya. Sok royal. Kenapa malah jadinya nyalahin Tina?"

"Agh ... Bapak nyuruh kita besok pergi. Karena percuma saja kita disini. Rumah udah dijual. Bapak cuma nunggu Risa sampai ujian tengah semester lalu balik kampung. Bapak nanya ke aku apa kita bakalan ikut atau enggak?"

"Agh .... ngapain ke kampung Mas? Disana gak ada mall."

"Aku juga gak mau balik ke sana lagi. Malu karena aku gak jadi orang sukses."

"Terus besok kita mau kemana?"

"Kita ke rumah Ibu kamu dulu. Mau gak mau."

"Agh ... ogah."

"Gak ada tempat lain lagi, Tina."

"Iya-iya. Tapi begitu Mas dapat kerjaan kita pindah."

"Iya."

Risa merasa dia sudah cukup banyak menguping, dia memilih kembali ke kamarnya dan tidak jadi ke kamar mandi untuk mengambil wudhu. Sesampainya di kamar Risa berusaha untuk tidur. Lama-kelamaan Risa tertidur juga.

*****

"Ini Tante, Risa kembaliin make up-nya."

"Owh ... kemarin Risa dandan sendiri?"

"Iya."

"Pasti kamu cantik. Padahal Tante minta sama Abi buat mengambil foto kamu loh. Tapi dasar Abi, katanya lupa."

Risa hanya tersenyum tipis. Dalam hati Risa tertawa, andai Tante Maira tahu bagaimana dandanan menornya pasti akan tertawa.

"Ya udah, Risa berangkat dulu ya Tan."

"Eh ... gak nungguin Abi?"

"Enggak Tan. Duluan Tante, assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam. Hati-hati ya sayang."

"Iya Tan."

Risa berjalan menyusuri gang rumahnya dan akhirnya sampailah di jalan utama. Dengan sabar Risa menunggu angkot, baru lima menit menunggu sebuah motor berhenti di depannya

"Naik."

"Ri ...."

"Naik!" titah si pengendara tegas dan dingin.

Mau tak mau Risa membonceng Abizar. Untung rambutnya ia kepang. Sekali lagi Risa merasa beruntung karena tidak ada alasan tambahan untuk dibentak oleh tetangga AC-nya itu.

"Loh, kok jalannya beda." Risa baru menyadari jalan yang mereka lewati berbeda.

"Sengaja."

"Kenapa?"

"Buat tambahan energi bagi cewek yang kemarin berulah. Sebentar lagi dia harus menghadapi kenyataan."

Risa tersenyum, sungguh kalimat terpanjang yang pernah dia dengar keluar dari mulut si AC.

"Kenapa senyum?"

"Kok tahu Risa senyum."

"Tuh." Abizar menunjuk spion dengan dagunya.

"Ooo."

"Bunder."

"Kotak-kotak."

"Lingkaran."

"Trapesium"

"Segitiga."

"Bermuda."

Abizar terkekeh bahkan bahunya sampai terguncang. Risa heran melihat tetangga AC-nya yang tampak lebih hangat dan murah senyum. Aneh.

"Kakak aneh."

"Kenapa?"

"Kayak lagi seneng banget, ramah lagi. Gak kayak biasanya.

"Hem." Abizar memilih menanggapi pernyataan Risa dengan senyuman.

*****

"Ris."

"Kenapa?"

"Kak Juna udah jadian sama cewek yang dansa sama dia di malam Valentine."

"Owh."

"Kamu gak cemburu?"

"Gak."

"Beneran?"

"Beneran Citra. Toh dari awal aja aku udah sangsi sama niatnya deketin aku."

"Emangnya Kak Juna ngapain?"

"Udalah, kita bahas yang lain ya."

"Tapi ...."

"Plis. Oke."

"Oke deh."

Citra akhirnya menyerah karena sudah seminggu ini sejak kejadian malam valentine itu, Risa tak pernah mau cerita. Bahkan Citra sampai heran dengan sikap sahabatnya yang cuek padahal selama seminggu ini dia selalu di bully. Tapi memang pada minggu berikutnya, para siswa sudah jarang mengejek Risa bahkan sepertinya banyak yang sudah melupakan kejadian itu. 

*****

Risa tengah memandang bulan purnama lewat jendela rumahnya. Besok dia ujian tengah semester berarti tinggal dua minggu lagi dia di Jakarta. Risa belum memberitahu kedua sahabatnya karena takut mereka akan sedih. Pun dengan Tante Maira sekeluarga, dia gak mau mereka juga ikut sedih. 

Risa menatap bulan purnama dengan penuh rasa kagum. Tanpa sadar mulutnya mendendangkan lirik Purnama Merindu milik Siti Nurhaliza.

Saking menghayati lagu itu Risa sampai tidak sadar jika sejak tadi sepasang mata tajam mengamati tingkahnya, bahkan bibirnya membentuk garis lengkung yang sangat menawan. 

Risa bernyanyi sambil mengamati sekitarnya hingga deg ... matanya bertubrukan dengan mata tajam itu. Dan senyum itu ... sekali lagi senyum itu membuat jantung Risa berdetak sangat cepat. 

Dia pernah menyukai senyum itu lima tahun yang lalu. Namun sebuah tragedi membuat senyum itu pergi entah kemana? Dan menjadikan Risa sadar akan kekurangannya. Risa menutup jendela kamar lalu memegang dada kirinya. 

"Jangan sampai Risa. Jangan sampai Rasa itu kembali lagi. Sadar. Arjuna saja seperti itu, apalagi dia. Kamu harus sadar diri. Buang jauh-jauh. Lagian sebentar lagi kamu akan pergi dari sini," lirih Risa.

Sementara Abizar mendesah kecewa. Matanya nampak memancarkan kesedihan.

"Andai saat itu aku datang lebih cepat Ris," lirih Abizar.

"Maafkan aku Risa. Maaf."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status