Sudah hampir satu bulan Siska pergi. Rumah tanggaku sekarang kembali aman damai. Semua berjalan seperti seharusnya. Oliv dan Fia, terlihat semakin montok. Mereka jarang menangis, walaupun sesekali menanyakan soal ibunya. Hal itu wajar. Kami sepakat menjawab, bahwa Siska sedang bekerja di luar kota, saat kedua anaknya bertanya. Arif menerima tawaranku untuk mempekerjakan Santi. Untuk menghindari fitnah dan omongan yang tidak-tidak, Santi datang saat Arif sudah pergi bekerja, dan segera pulang setelah semua pekerjaan selesai. Tidak semua orang mengerti dan paham dengan posisi Arif dan Santi. Karena itulah kami memilih menghindari kemungkinan terjadi percikan konflik.Aku juga sudah kembali pada aktivitas semula. Mengurus keluarga dan nyambi jualan baju. Mang Ali menepati janjinya. Seminggu setelah pulang dari sini, beliau mentransfer sejumlah uang sesuai hutang Siska padaku. Sebenarnya aku merasa tidak enak hati. Akan tetapi, Mang Ali bersikeras membayarnya. ***Terdengar suara tangis
POV SiskaNamanya Meidina Rahajeng, atau biasa dipanggil Ajeng. Istri dari A Reyhan, kakak sepupuku. Kami memanggilnya Mbak Ajeng. Wajah dan penampilan Mbak Ajeng, biasa saja. Entah apa yang membuat A Reyhan begitu menggilai wanita berdarah jawa asli itu. Mbak Ajeng dan A Reyhan menikah, tak lama setelah aku menikah dengan ayahnya Alif. Aku tidak ikut mengantar A Reyhan seserahan, karena sedang hamil. Lagian, rumah Mbak Ajeng sangat jauh, sekitar tiga jam dari rumah A Reyhan. Itu yang kudengar dari beberapa tetangga yang ikut ke sana. Untung, aku tidak ikut. Kalau ikut, pasti merasa sangat bosan. "Heran sama Reyhan. Nikah kok, jauh-jauh amat sama orang Cilacap. Kayak di sini nggak ada perempuan aja," gerutu salah satu kerabat yang ikut mengantar ke sana. "Hus! Kamu ini, kalo ngomong sok seenaknya! Namanya juga jodoh. Udah ditentukan sama Allah," sahut Wa Tuti, ibunya A Reyhan. Ibunya A Reyhan adalah kakak sepupu Bapak. Nenek dari pihak Bapakku, merupakan adik dari neneknya ibu
"Bi, Mbak Ajeng nggak bisa masak, terus, mereka nanti makan gimana, ya?" tanyaku pada Bi Wati yang sedang membantu Wa Tuti di dapur. "Makannya? Ya, pakai tangan, Sis," jawab Bi Wati tanpa menoleh. Dia sedang fokus menata bungkusan Saroja ke dalam kardus. Saroja adalah makanan ringan yang bentuknya menyerupai roda pedati. Rasanya ada yang manis, ada yang asin. Ada juga yang menyebutnya Kembang Goyang atau Antari. "Ish, Bibi mah! Maksudnya, kalo nggak masak, mereka dapat makanan dari mana?""Ya, belilah. Mereka kan, tinggal di kota. Serba praktis! Makan tinggal beli! Beres-beres rumah tinggal nyuruh orang. Atau, mereka bisa cari pembantu yang bisa masak dan beberes sekaligus," sahut Bi Wati sambil menutup kardus menggunakan lakban. Masuk akal juga. Dipikir-pikir, enak banget Mbak Ajeng. Makan tinggal beli, baju tinggal pakai."Itu nyuruh orang buat beresin rumah, bayar dong, Bi? Bukannya, Mbak Ajeng itu katanya cuma karyawan pabrik kayak A Reyhan? Kalo gitu, sama aja buang-buang d
POV SiskaSemakin hari, kehidupan rumah tangga A Reyhan dan Mbak Ajeng semakin maju. Mereka membeli rumah secara kredit. Dari kabar yang kudengar, tempat kerja Mbak Ajeng menyediakan fasilitas bagi karyawan yang ingin kredit rumah. "Halah, rumah dapat kredit aja bangga," celetukku saat beberapa saudara membicarakan tentang rumah A Reyhan. Wa Tuti dan suaminya sedang ke rumah A Reyhan, untuk menghadiri syukuran. "Ya, kredit juga nggak apa-apa, yang penting punya rumah. Daripada ngontrak atau numpang di rumah orang tua," sahut Bi Wati sinis. Dari dulu, Bi Wati memang selalu sinis kalau bicara padaku. Berbeda dengan saat bicara dengan keponakan yang lain. "Ih, aku mah, rumah bapak juga luas. Buat apa bikin rumah lagi? Toh, Bapak juga sendirian. Kalo aku bikin rumah, kasihan Bapak, nggak ada yang ngurus ntar, Bi.""Halah, alesan aja kamu mah."Malas mendengar ceramah Bi Wati, aku memilih pulang. Pusing kepalaku mendengar cerita tentang A Reyhan dan Mbak Ajeng. Entahlah, semakin hari,
Tetanggaku Luar Biasa Kehidupanku bersama A Sandi semakin tidak jelas. Pekerjaan A Sandi yang tidak tetap membuatku sering kekurangan uang. Bahkan, aku jarang pulang ke Ciamis. Selain tak ada ongkos, aku juga malas dinyinyirin sama keluarga di sana. Apalagi, kalau kebetulan aku datang bersamaan dengan pulangnya A Reyhan dan Mbak Ajeng. Makin panaslah kupingku ini dibuatnya. Karena itulah, sebisa mungkin aku tidak sering-sering ke Ciamis. "Sis, aku mau ke Jakarta. Mang Soleh ngajak kerja.""Kerja apa?""Apa aja yang penting halal.""Kuli bangunan?" tanyaku ketus. Setahuku, saudara A Sandi yang bernama Mang Soleh itu memang bekerja sebagai kuli bangunan. "Iya, Sis."Aku mendengkus kasar. "Cari kerja itu, yang bagusan dikit, kenapa? Tiap ada yang nawarin kerja, rata-rata jadi kuli bangunan. Heran!""Memangnya kenapa kalo Aa kerja jadi kuli bangunan? Yang penting halal, Sis. Lagian, kamu ini, kemarin Aa udah kerja di pabrik, kamu riweuh nyuruh pulang. Padahal, belum ada sebulan kerja.
Tetanggaku Luar BiasaKeputusanku sudah bulat. Aku bosan terkungkung di dalam rumah yang menurutku melelahkan. Keadaan ekonomi yang tetap sulit, keluarga mertua yang selalu mengabaikanku bahkan saat butuh bantuan. Suami juga susah disuruh pulang. Hah! Menyedihkan sekali hidupku. Dengan alasan menyusul A Sandi ke Jakarta, aku meninggalkan Alif bersama mertuaku di Sumedang. Aku bilang ke mereka, ada lowongan pekerjaan sebagai penjaga toko di dekat tempat kerja A Sandi. Mereka percaya begitu saja, bahkan memberikan tambahan ongkos.Apa kubilang? Orang tua A Sandi itu sebenarnya mata duitan, mereka ingin punya menantu yang memiliki penghasilan sendiri. Namun, mereka memutar balikkan fakta, seolah akulah yang boros dan mata duitan. Lihatlah, mereka memasang wajah sumringah saat aku berpamitan. Mereka memintaku bekerja dengan tekun agar bisa mengumpulkan uang untuk renovasi rumah seperti keinginanku. Menyebalkan bukan? Bahkan Bapakku saja tidak pernah menyuruhku bekerja mencari uang. ***
Tetanggaku Luar Biasa"Saya akan membiayai perceraian kamu, asal…."Pak Rudi tidak melanjutkan kalimatnya. "Asal apa, Pak?" Pak Rudi tersenyum. Tangan halusnya mengusap kedua pipiku. Perlahan wajah Pak Rudi mendekat membuat hati berdebar tak karuan. Hembusan napasnya menyapa lembut wajahku. Tanpa sadar, mata pun terpejam untuk menghindari tatapan Pak Rudi. "Asal, kamu selalu ada buat saya," bisiknya di telingaku, membuat bulu kuduk meremang. Sebelum ini, aku memang sering menghabiskan waktu dengan beberapa cowok. Dari yang biasa saja sampai yang luar biasa dan melewati batas yang seharusnya kujaga. Tapi, rasanya biasa saja dan tidak mendebarkan seperti ini. Sungguh, bersama Pak Rudi, membuatku tak berdaya. "Sis, kamu baik-baik saja?" tanya Pak Rudi, cepat aku membuka mata, tampak pria berkumis tipis itu menjauhkan wajahnya sambil tersenyum jahil."Sa-saya baik-baik saja," jawabku sambil menghirup udara sebanyak mungkin. Duh, malunya. Aku pikir tadi Pak Rudi akan melakukan sesuatu
Tetanggaku Luar BiasaPermintaan dan tawaran Pak Rudi terus terngiang di telinga. Aku memang sengaja tidak langsung menjawabnya dan berpura-pura meminta waktu untuk memikirkan semuanya. Padahal, aku memang tergiur dengan tawaran itu. Kapan lagi, ada orang yang dengan suka rela membiayai perceraianku, ya, kan? Dan, aku juga berpikir, bahwa inilah saatnya, aku menunjukkan pada keluarga di kampung bahwa aku pun bisa menjadi orang kaya. "Sis, kamu ngelamun terus, ada apa?" tegur Mia saat kami berjalan menuju kamar seusai bekerja.Aku dan Mia menempati kamar yang sama, di belakang restoran. Pak Rudi memang memberikan fasilitas mess untuk karyawan, terutama yang perempuan. "Tuh, kan, ngelamun lagi. Ada apa sih?" tanya Mia sambil membuka kunci kamar kami. Kemudian, kami berdua masuk. "Mm, nggak apa-apa Mia," jawabku sambil tiduran di atas kasur lipat yang cukup untuk empat orang. Kata Mia, dulu, kamar ini ditempati empat orang sebelum dua orang yang lain dipindahkan ke restoran yang baru.