"Kosong?!" Sari menatap kecewa. Ada sedikit rasa kesal menyelinap.Akan tetapi, wanita itu tak begitu saja putus asa. Dia mencari di laci yang lainnya. Seketika mata itu berbinar melihat kotak merah besar beludru, tempat penyimpanan untuk perhiasan. Dengan cepat Sari membukanya. Matanya semakin membulat dengan isi kotak itu. Berbagai macam perhiasan saling bertumpuk di sana. Wanita itu seperti mendapatkan lotre, tanpa menunggu lama memasukkan isinya ke tas yang dia bawa.Seringai licik terpampang jelas di wajah Sari. Dia akan menjarah harta Ayu tanpa sisa. Setelah memastikan kotak perhiasan itu kosong, Sari beralih ke laci yang selanjutnya.Ada empat laci di meja rias Ayu. Sayangnya, yang berisi hanya laci kedua. Sedangkan sisanya, nihil. Hanya ada bros dan aksesoris untuk rambut juga kerudung, Sari tak butuh itu.Aksinya tidak berhenti sampai di situ. Dia beralih ke lemari Ayu juga Rahman. Siapa tahu surat-surat berharga milik madunya ada di lemari. Biasanya dia juga menyimpan benda
Rahman mengernyit saat tangannya mengusap samping pembaringan. Dengan cepat laki-laki itu membuka mata, tak ada sosok Ayu di sana. Lalu, matanya yang masih melihat sekitar dengan samar-samar pun menoleh pada samping kiri, di mana jam bertengger. Baru pukul tiga dini hari.Seperti kebiasaan Ayu setiap hari, dia akan bangun di jam-jam tersebut untuk menunaikkan kewajibannya sebagai seorang istri. Namun, sebelumnya salat dua rakaat tak pernah absen Ayu lakukan.Selama menikah dengan Rahman dan tinggal di rumah itu, Ayu memang sengaja tidak mempekerjakan pembantu. Kalau pun mendesak, dia akan menyewa pembantu yang hanya digaji beberapa hari. Itu demi kepuasaannya sebagai seorang istri, mengurus rumah dan suami dengan totalitas.Namun, semua pengorbanan Ayu sia-sia karena tingkah Rahman yang menyakitinya.Rahman turun dari pembaringan. Sebenarnya, dia tahu Ayu pasti tengah berkutat di dapur. Ada sedikit rasa senang menyelusup, itu berarti Ayu masih peduli dengannya, hingga tetap bangun di
"Hah?! Yang bener, Koh? Ja-jadi ini ...."Koh menghela napas panjang. "Iya, ini semua perak, Mbak."Sari berdiri, wajahnya memerah. Entah marah atau malu. Mungkin juga keduanya."Mana mungkin, Koh!"Sari mengacak sebelah rambutnya. Dia benar-benar dibuat syok. Mana mungkin Ayu menggunakan barang perak? Sedangkan di tempatnya tinggal, semua orang tahu jika Ayu orang kaya."Masa saya bohong, Mbak. Kalau gak percaya, coba tanya ke toko lain. Pasti hasilnya sama. Barang Mbak punya ini perak, bukan emas. Kalau mau dijual bisa, tapi di toko perak. Paling banter semua dapat dua jutaan," papar Koh membuat dada Ayu naik turun.Dua juta? Ayu bisa dapatkan itu dari Rahman tanpa harus mencuri. Sari benar-benar merasa dibodohi oleh Ayu. Susah payah dia mencuri, tapi hasilnya mentah.Dengan menahan malu dan kesal, Sari mengambil kembali barang itu dan melenggang pergi dengan cepat. Wanita itu harus memberi pelajaran pada madunya.Di rumah Ayu, anggota keluarga sudah berkumpul di meja makan. Tersed
Terlihat Ambu tampak celingukan. Dia menyambangi setiap ruangan. Ayu yang melihatnya pun keheranan, dia menghampiri sang mertua.“Ambu, cari apa?” tanya Ayu sambil ikut celingukan.Ambu mendesah. Dia duduk di kursi ruang makan. Sesekali memijat lututnya yang mulai sakit.Cari pembantu kamu, Yu. Sedari pagi tidak kelihatan. Katanya ke pasar, masa sampai jam segini gak juga kelihatan, tutur Ambu membuat Ayu tersenyum hambar.“Tadi sudah datang, Ambu. Tapi, entah sekarang ke mana,” ujar Ayu tak enak pada sang mertua.Harusnya dia menekankan keras pada Sari. Sejak pagi dia yang mengerjakan segala urusan rumah tangga. Sebenarnya tidak masalah untuk Ayu, setidaknya selama keluarga Rahman di sini, Ayu harus memastikan semua aman. Namun, sepertinya Ambu mulai curiga dan terusik dengan tingkah Sari."Hah, kan sudah Ambu bilang, dia itu perempuan gak benar. Masa pembantu gak ada kerjaan. Malah, sedari pagi kamu yang ngerjain kerjaan rumah. Mending pecat saja!" rutuk Ambu gemas.Ayu hanya menari
"Saya mau bertemu Pak Rahman," ucap Sari pada resepsionis yang menatapnya aneh.Resepsionis itu menelisik penampilan Sari dari ujung rambut sampai ujung kaki. Mungkin heran atau curiga, karena baru kali ini ada yang mencari Rahman selain istrinya, Ayu."Mbak siapa? Ada urusan apa dengan Pak Rahman?" tanya resepsionis itu, curiga.Seperti biasa, Sari yang mudah terpancing emosi pun menatap sang resepsionis, tajam. Tangannya dilipat di depan dada dengan dagu dinaikkan."Apa seperti ini caramu memperlakukan tamu? Resepsionis macam apa kamu, hah?!" Sari menaikkan nada bicara hingga beberapa orang di sana menoleh.Si resepsionis tersentak melihat perlakuan Sari. Dia pun melirik ke sekitar, mungkin malu karena jadi bahan tontonan."Kamu cukup bilang sama Pak Rahman, ada yang mau bertemu. Katakan namanya Sari. Saya sudah buat janji dengannya," ujar Sari, membuat resepsionis itu menelan ludah.Tidak mau menambah malu atau masalah, akhirnya dia menelepon Rahman. Memberitahukan sesuai keinginan
"Hotel?" gumam Azam dengan wajah tak percaya.Laki-laki itu tidak perlu berpikir keras untuk mengartikan apa yang akan terjadi jika dua orang berbeda jenis masuk ke sana. Terlebih lagi dengan mesra seperti itu.Dadanya terasa dihantam batu besar. Kaget, marah dan kecewa bercampur jadi satu. Ternyata benar, ada yang tidak beres dengan kehadiran mantannya di rumah Ayu. Azam hanya tidak menyangka jika sang kakaklah yang menjadi korban Sari.Azam rasa, dia tidak perlu mengikuti mereka sampai ke dalam hotel. Cukup tahu saja dan dia akan memberitahukan semuanya pada Ayu. Dengan cepat, dia memutar kemudi untuk pulang.Bagaimanapun perbuatan kakaknya tidak benar. Dia tidak mungkin menyimpan bangkai ini terlalu lama, atau akan banyak orang yang tersakiti, termasuk orang tuanya.Selama perjalanan, Azam terus bertanya-tanya. Kenapa sampai bisa Sari dan Rahman melakukan hubungan terlarang? Apa kekurangan Ayu sebagai istri? Apalagi dia saja iri pada Rahman karena mendapatkan istri terbaik Ayu.Aza
"Jadi, dia hamil anak Rahman?" tanya Ambu, matanya sudah berkaca-kaca. Jelas tampak kekecewaan di wajah tuanya.Ayu mengangguk lemah. Isakan sudah lolos dari mulut wanita itu. Dia tidak bisa berbohong lagi. Jikalau bisa, lalu bagaimana dengan Sari? Jalang itu pasti akan dengan senang hati jujur akan kondisinya."Maafkan Ayu yang tidak bisa jadi istri yang baik buat anak Ambu. Mungkin kalau Ayu lebih--""Gak, Nak. Ini bukan salahmu," potong Abah. Wajahnya menyiratkan kemarahan yang tertahan.Abah malu, benar-benar malu. Merasa tidak becus mendidik anaknya. Padahal, selama hidupnya, Abah pantang berkhianat. Entah pada rekan atau pasangan. Jika sudah tak nyaman, Abah lebih mengutamakan untuk jujur. Tetapi Rahman, dalam sekejap telah mencoreng prinsip itu."Yu, maafkan Rahman. Kami benar-benar minta maaf. Kami malu sama kamu, Nak," ujar Ambu, memegang tangan Ayu erat.Ayu menggeleng kuat. Dia tidak bisa menyalahkan mertuanya. Entah salah siapa, yang pasti nasi sudah jadi bubur. Ayu harus
"Dari mana saja kamu?" Ambu melipat tangan di depan dada. Tatapannya tajam pada Rahman dan Sari yang baru saja pulang.Waktu menunjukkan pukul 8. Namun, kedua manusia laknat itu baru sampai rumah. Yang membuat Ambu kesal, Sari bergelayut manja pada Rahman.Di sana sudah berkumpul Ayu, Azam dan Abah. Rafli sendiri sudah diantar sekolah. Anak kecil itu sedari malam menanyakan keberadaan Rahman, Ayu terpaksa berbohong tentang suaminya."Rahman! Ambu tanya, dari mana saja kamu tidak pulang kemarin?!" bentak Ambu. Setelah sekian lama, ini kali pertama lagi Ambu membentak anaknya. Sakit memang, tapi Ambu tak punya pilihan lain untuk mendidik Rahman."Dari hotel," jawab Rahman, enteng dan datar. Sari tersenyum miring mendengar jawaban Rahman. Sedangkan Ambu dan Abah kaget bukan main. Biasanya, Rahman akan menunduk dan meminta maaf jika melakukan kesalahan. Kali ini ada yang lain. Anaknya malah berkata santai, tanpa bersalah. Bahkan tatapan matanya terlihat kosong.Ambu mendekati Rahman den