“Apa yang kau inginkan?” tanya Adam sesaat setelah mencabut kesunyian yang tumbuh mengakar di antara mereka berdua.
Kate menghela napas panjang sebelum membalas, “Aku tidak suka bertele-tele. Jadi, aku akan langsung memberitahumu intinya.”
Adam masih bergeming dan menunggu Kate kembali menyuarakan semuanya atau mengatur siasat, lebih tepatnya. Dia lagi-lagi memandang dengan tatapan hampa ke arah para penari tiang yang tengah menggeliat sensual di atas panggung. Bertanya-tanya mengenai kabar Angelina yang entah di mana rimbanya.
“Aku hamil, Adam. Janin dalam rahimku adalah milikmu.”
Berita itu spontan membuat sistem kesadaran Adam bangun sepenuhnya. Dia berpaling memandang Kate den
“Apa kau suka masakanku?” tanya Saga sesaat setelah dia ikut bergabung bersama Angelina di meja yang sama.Angelina yang masih mengunyah suapan terakhirnya pun langsung mengangguk dengan sorot mata antusias pada Saga. Selera makannya memang kelewat besar sejak dua hari terakhir—tiga atau empat porsi salad sanggup dia habiskan tanpa sisa—membuatnya terlatih untuk menandaskan semua makanan dalam waktu singkat.“Sungguh, kau berbakat. Kau juga cocok menjadi seorang koki,” komentar Angelina lagi di sela-sela kunyahannya.“Benarkah? Aku hanya akan menjadi koki pribadimu,” sahut Saga sambil tersenyum menggoda.“Aku penasaran. Bagaimana dengan resep lain? Apa kau juga m
“Ide bodohmu gagal, Roland!” pekik Kate yang langsung menerobos masuk ke dalam kamar mereka.“Berengsek! Kau membuatku terkejut,” sahut Roland yang kemudian mengunci tatapan pada ekspresi wajah Kate.“Kau membuatku malu!”“Apa maksudmu?”Kate menyipitkan matanya yang sembap karena sisa tangis yang masih bertahan di sana, lantas menggertakkan gigi dan kembali membentak, “Adam mendampratku habis-habisan di depan umum! Gagasan yang kau anggap brilian itu justru menyeretku ke dalam petaka!”“Mengapa kau menyalahkanku?”“Jika
“Kate? Apa itu benar?” sahut Adam yang sedang menerima panggilan—di kursi putarnya—dengan raut wajah pias.Percakapan itu pun terhenti setelahnya sebab Adam langsung memutuskan sambungan dan bangkit dari posisi duduknya yang nyaman. Dia menyambar kunci mobil dan jas miliknya—menyampirkan benda itu di salah satu lengan, lantas meminta Samuel ikut bersamanya. Pria yang baru saja selesai mengecek jadwal bosnya itu seketika menjadi kelabakan.“Apa Anda ingin saya mengatur ulang pertemuan kita dengan Nyonya Delores di hari lain, Tuan Ford?”Adam sontak menjeda langkahnya dan menoleh pada Samuel, kemudian meminta sang asisten untuk segera mengekorinya. Tanpa berani bertanya lagi, pria itu pun menuruti perintah Adam. Mereka beranjak m
“Mom! Mom! Lihatlah, Mom! Aku dapat nilai seratus,” seru seorang bocah dengan sepasang gigi seri atasnya yang baru saja tanggal kemarin sore.Angelina seketika menoleh pada Arthur Wilson—putranya—yang sedang berlari penuh semangat menuju ke arahnya. Benda yang dia pegang adalah selembar kertas—yang mengombak dikibarkan oleh angin—hasil latihan dari salah satu pelajarannya di sekolah. Senyum lebar wanita itu pun spontan terbit sebagai reaksi.“Lihatlah, Mom!” pinta suara cadel Arthur
Pertanyaan dari Arthur itu spontan menciptakan sejenis cambuk yang terasa melecut habis dada Angelina. Dia hanya mampu mengulas senyum—samar dan sarat oleh kepedihan tiada berujung—yang menggantung separuh di sudut bibirnya. Tatapan murungnya masih bertahan hingga sang putra kini tertidur pulas di kamarnya sendiri.“Apa yang sedang kau pikirkan?” tanya Saga yang menyela lamunan Angelina di dekat jendela jungkit—tingkap dengan engsel model ayun—tanpa tirai itu.“Ti-tidak ada.”“Aku tahu kau merasa sedih tentang ucapan Arthur.”“Sedikit.”“Sedikit saja? Benarkah? Mengapa yang katamu
Kebersamaan panas mereka membuat Angelina menjadi terbiasa didominasi oleh Saga. Dia menatap lurus ke depan—gemetar sekaligus malu—untuk memuaskan dirinya sendiri. Jemari wanita itu merayap turun ke pangkal paha kirinya dengan gerakan lamban, sementara deru napasnya memburu seperti arus yang siap menyeret mereka tergulung ke dalam pusaran gairah.“Sa-Saga,” racau Angelina yang kepalanya langsung menjengit sesaat setelah kecupan singkat itu hadir di ceruk lehernya.“Lakukanlah, Angelina. Sentuh dirimu sekarang atau apa kau ingin aku yang melakukannya untukmu?” bisik Saga dengan sorot mata yang dijejali hasrat.Itu tawaran yang menggiurkan, pikir Angelina. Dia akan dengan senang hati menerimanya dan membiarkan semua akal sehatnya mati bersam
“Apa yang kau katakan, Arthur?” tegur Angelina yang muncul dari arah belakang.“Aku hanya ingin punya seseorang yang bisa kupanggil Dad seperti teman-temanku di sekolah,” jawab Arthur dengan sorot mata polosnya.“Apa Mom tidak cukup baik untukmu?”“Kau Mom terbaikku, tetapi aku juga ingin Dad. Aku ingin keluarga yang lengkap. Ada aku, ada Mom
Ada alasan untuk pulang ke San Francisco merupakan satu-satunya hal yang selalu ingin Angelina hindari. Dia lebih suka melupakan kota kelahirannya daripada harus kembali, tetapi kala itu situasi telah berubah menjadi gempar oleh isak tangis Bibi Sandra di akhir panggilan.Sulit untuk menangisi Rupert. Ingatan tentang perlakuan sang ayah masih membekas jelas di dalam kepalanya, seolah-olah insiden itu baru saja terulang dan berlangsung lagi kemarin sore. Namun, darah memang lebih kental daripada air.Demi melakukan penghormatan terakhir, Angelina pun terpaksa menginjakkan kakinya di kota terpadat keempat sewilayah California itu. Dia akan menghadiri pemakaman Rupert sekaligus mengenalkan Arthur pada kakeknya. Pertemuan yang terlambat, tetapi apa boleh buat?Rupert menya