“Mom! Mom! Lihatlah, Mom! Aku dapat nilai seratus,” seru seorang bocah dengan sepasang gigi seri atasnya yang baru saja tanggal kemarin sore.
Angelina seketika menoleh pada Arthur Wilson—putranya—yang sedang berlari penuh semangat menuju ke arahnya. Benda yang dia pegang adalah selembar kertas—yang mengombak dikibarkan oleh angin—hasil latihan dari salah satu pelajarannya di sekolah. Senyum lebar wanita itu pun spontan terbit sebagai reaksi.
“Lihatlah, Mom!” pinta suara cadel Arthur
Pertanyaan dari Arthur itu spontan menciptakan sejenis cambuk yang terasa melecut habis dada Angelina. Dia hanya mampu mengulas senyum—samar dan sarat oleh kepedihan tiada berujung—yang menggantung separuh di sudut bibirnya. Tatapan murungnya masih bertahan hingga sang putra kini tertidur pulas di kamarnya sendiri.“Apa yang sedang kau pikirkan?” tanya Saga yang menyela lamunan Angelina di dekat jendela jungkit—tingkap dengan engsel model ayun—tanpa tirai itu.“Ti-tidak ada.”“Aku tahu kau merasa sedih tentang ucapan Arthur.”“Sedikit.”“Sedikit saja? Benarkah? Mengapa yang katamu
Kebersamaan panas mereka membuat Angelina menjadi terbiasa didominasi oleh Saga. Dia menatap lurus ke depan—gemetar sekaligus malu—untuk memuaskan dirinya sendiri. Jemari wanita itu merayap turun ke pangkal paha kirinya dengan gerakan lamban, sementara deru napasnya memburu seperti arus yang siap menyeret mereka tergulung ke dalam pusaran gairah.“Sa-Saga,” racau Angelina yang kepalanya langsung menjengit sesaat setelah kecupan singkat itu hadir di ceruk lehernya.“Lakukanlah, Angelina. Sentuh dirimu sekarang atau apa kau ingin aku yang melakukannya untukmu?” bisik Saga dengan sorot mata yang dijejali hasrat.Itu tawaran yang menggiurkan, pikir Angelina. Dia akan dengan senang hati menerimanya dan membiarkan semua akal sehatnya mati bersam
“Apa yang kau katakan, Arthur?” tegur Angelina yang muncul dari arah belakang.“Aku hanya ingin punya seseorang yang bisa kupanggil Dad seperti teman-temanku di sekolah,” jawab Arthur dengan sorot mata polosnya.“Apa Mom tidak cukup baik untukmu?”“Kau Mom terbaikku, tetapi aku juga ingin Dad. Aku ingin keluarga yang lengkap. Ada aku, ada Mom
Ada alasan untuk pulang ke San Francisco merupakan satu-satunya hal yang selalu ingin Angelina hindari. Dia lebih suka melupakan kota kelahirannya daripada harus kembali, tetapi kala itu situasi telah berubah menjadi gempar oleh isak tangis Bibi Sandra di akhir panggilan.Sulit untuk menangisi Rupert. Ingatan tentang perlakuan sang ayah masih membekas jelas di dalam kepalanya, seolah-olah insiden itu baru saja terulang dan berlangsung lagi kemarin sore. Namun, darah memang lebih kental daripada air.Demi melakukan penghormatan terakhir, Angelina pun terpaksa menginjakkan kakinya di kota terpadat keempat sewilayah California itu. Dia akan menghadiri pemakaman Rupert sekaligus mengenalkan Arthur pada kakeknya. Pertemuan yang terlambat, tetapi apa boleh buat?Rupert menya
“Siapa namamu?” tanya suara bariton Adam sambil memandangi wanita berambut pirang yang sedang meliuk manja di hadapannya.“Mia,” desisnya dengan nada sesensual mungkin.“Mia? Baiklah, Mia. Jadi, apa keahlian yang kau punya?”Tatapan sayu Mia menyoroti wajah Adam yang masih tetap datar di kursi kebanggaannya. Dia mengumpat dalam hati, lantas mengubah taktik agar pria dingin itu terlihat tertarik atau setidaknya menunjukkan sedikit minat pada tubuh seksinya. ‘Dasar sialan!’ batin wanita itu.“Cukup banyak, Adam.”Satu alis Adam menukik dengan segera dan dia mencemooh, “Kau harus tahu posisimu,
“Dah, Arthur! Ingat ucapan Mom dan turuti pesan-pesan Dad,” pamit Angelina yang melambai pada putranya yang sedang duduk nyaman di samping Saga.“Dah, Mom!” balas Arthur dari balik taksi yang akan segera mengantar mereka menuju ke Hotel Lordé.Saga mengerling pada Angelina yang memberinya senyum perpisahan. Dia sempat mengangguk tanpa antusias sebelum kendaraan roda empat itu membawanya menjauhi lokasi. Ada rasa gelisah yang menaungi dadanya sejak tadi, seolah-olah akan muncul tragedi buruk yang mengintai kekasihnya.Saga bukan tipikal orang yang percaya dengan takhayul, tetapi untuk pertama kalinya dia merasa khawatir tanpa sebab pada Angelina. Sama sekali bukan Saga Wayne yang biasanya. Pria itu pun hanya mampu berharap segalanya akan baik-baik saja dalam perjalanan singkat yang membawa mereka ke sebuah penginapan terdekat dari kawasan flat.Setelah kepergian mereka, Angelina kembali masuk—meniti anak tangga dengan l
“A-apa?”“Aku tidak peduli dengan statusmu sekarang. Aku hanya ingin menyimpan dirimu untukku sendiri.”“Berhentilah melanjutkan mimpi siang bolongmu, Tuan Ford. Lepaskan aku sekarang juga atau aku akan berteriak dan mengundang para tetangga kemari!”Tuan Ford. Panggilan itu terasa melecut punggung Adam yang terluka oleh penolakan mentah-mentah dari Angelina. Dia benci mendengarnya. Sebutan asing yang serta-merta mengingatkannya pada momen perpisahan mereka terakhir kali.Tujuh tahun merupakan waktu yang lebih dari sekadar cukup untuk memorak-porandakan hidup Adam. Dunianya yang selalu terbiasa oleh pujaan dan penerimaan para lawan jenis itu mendadak runtuh sesaat selepas An
Suara tamparan itu sontak menggema dan membuat kedua telinga Adam berdengung karenanya. Hantaman tersebut mendarat tepat di wajahnya dengan sensasi riak yang menetap cukup lama. Angelina kemudian menurunkan jemari kanannya yang gemetar oleh aksinya sendiri.“Aku tidak ingin menikah denganmu, Tuan Ford. Aku milik seseorang.”Adam terkekeh pendek sesaat sebelum menjawab, “Aku tahu, tetapi itu bukan perkara yang sulit. Bukankah aku hanya harus membuat pria itu tiada?”“Kau sangat bebal!”“Tujuh tahun merupakan waktu yang cukup lama untuk mengubahku menjadi idiot.”“Mengapa kau tidak mengerti juga? Tiada lag