MasukCara Martin, the eldest child of Bob and Melinda Martin, was the breadwinner of her family after her father died. Her life changed when she met Kelvin, the son of Mr. Bruce Murray, an American billionaire. Cara lost her chances with Kelvin when a construction company in China supposedly contacted her for a job interview. She was held against her will and could not return to Kelvin. Kelvin and Cara's relationship was hanging in the balance, and Kelvin had to do something to rescue his beloved Cara and preserve their relationship. Will Cara remain the same after her horrible experience in China? find out in this thrilling Billionaire Romance story of Crime and Action.
Lihat lebih banyak"BRUKK."
"Jalan pake mata dong, Om!" seru galak seorang pemuda yang mengenakan jaket kulit warna hitam yang bertubrukan dengan William di Bandara Soekarno-Hatta.
"Maaf, aku keburu-buru!" balas William lalu melanjutkan langkah cepatnya sembari menyeret koper miliknya menuju bagian pengecekan tiket akhir pesawat.
Petugas bandara dengan nametag Diana Sihotang itu tersenyum geli lalu berkata, "Selamat siang, Pak. Maaf, apa Anda penumpang American Airlines tujuan New York?"
"Iya, Mbak. Saya mau boarding sekarang!" jawab William tak sabar sambil melirik jam tangannya.
"Yaahh ... maaf, pesawatnya baru saja take-off dari landasan, Pak. Anda terlambat 15 menit dari panggilan terakhir sebelum pintu pesawat ditutup!" terang Diana turut prihatin.
Sekalipun dirinya gusar, tak ada yang dapat dilakukan lagi oleh William selain membalik badan untuk pulang saja. Dia harus menjadwal ulang keberangkatannya menuju New York. Sopir yang mengantarkannya ke bandara juga sudah meluncur meninggalkan tempat itu usai menurunkannya tadi. Maka William pun merogoh saku jasnya untuk mengambil dompet. Dia akan naik taksi bandara saja.
"Lho, di mana dompet gue sih?!" ujarnya panik sendiri merogoh saku jas dan juga celana kainnya di tengah lobi Bandara Soekarno-Hatta yang sibuk oleh arus penumpang. Dia pun teringat kejadian bertabrakan dengan seorang pemuda berjaket hitam tadi. "Ckk, sialan. Dasar copet, nggak tahu gue lagi sial begini malah ngambil dompet pula!" kesalnya.
Ketika William buru-buru membalik badannya yang tinggi kekar, dia tak sengaja menyenggol seorang gadis bertubuh mungil hingga nyaris terkapar di lantai bandara.
"Aaarrrhhh!" jerit gadis itu seraya memejamkan matanya.
"HA-HA-HA. Hey, kamu aman kok!" ujar William mendekap gadis mungil itu dengan sepasang lengan kekarnya. Dia senyum-senyum sendiri melihat wajah perempuan belia berambut panjang bergelombang di pelukannya.
Gadis itu pun mengomeli William, "Makasih, Om! Tapi, lain kali hati-hati deh, badan Om tuh kayak buldozer begini, bisa bikin orang benjol!" Dia lalu melanjutkan perjalanannya lagi menuju ke sebuah coffee shop untuk membeli minuman sebelum memesan taksi yang akan mengantarkannya pulang ke rumah kakek neneknya.
Emmy melangkah masuk ke Harlem Cafe lalu melihat-lihat papan menu dan harganya di atas konter pemesanan. Dia pun melakukan order, "Caramel Frappuccino satu ya, Mas. Sama muffin blueberry deh dua biji!"
"Oke, Kakak. Silakan ditunggu sebentar ya!" jawab mas-mas barista itu sambil menginput pesanan Emmy ke mesin kasir. Dia lalu menyebutkan jumlah tagihan untuk dibayar oleh Emmy.
Sementara menunggu pesanannya dibuat, Emmy duduk di kursi yang berbatasan dengan jendela cafe di dalam bandara tersebut. Pria blasteran berbadan besar seperti beruang kutub yang tadi menabraknya masih berdiri di tempat sama.
"Si om tadi tuh kenapa sih kok kayak orang linglung gitu nabrak-nabrak? Kasihan juga deh sebenernya—" Emmy bergumam pelan sembari menatap ke luar kaca jendela cafe.
Karena tergelitik oleh rasa simpati, akhirnya Emmy memberanikan dirinya untuk mendatangi pria yang tadi menabraknya. "Emm ... maaf, Om. Apa lagi nunggu orang? Mau kutraktir minum kopi di sana?" tunjuk Emmy ke arah Harlem Cafe.
"Ohh, boleh sih. Kebetulan dompetku habis dicopet di bandara jadi nggak bawa duit deh!" jawab William lalu dia menyeret kopernya mengikuti Emmy masuk ke Harlem Cafe.
"Om mau pesan apa? Bebas aja, aku yang traktir karena tadi sudah ditolongin, nggak mesti nyosor lantai," ucap Emmy dengan suara remaja yang imut-imut.
"Espresso saja," jawab William yang memang suka kopi hitam.
Emmy bertanya lagi, "Apa mau donat, croisant, atau pai?"
"Donat boleh juga!" sahut William tidak rewel. Dia tersenyum melihat gadis yang tak dia kenal sebelumnya mentraktirnya kopi serta donat.
'Gemesin banget deh dia, berapa ya umurnya? Kayak masih teenage gitu penampilannya!' batin William sambil diam-diam mengamati Emmy.
Ketika Emmy kembali ke meja, dia duduk berhadapan dengan William lalu mengulurkan tangan kanannya. "Kenalan dulu dong, Om. Aku Emmy, lengkapnya Emmy Estelia Setiawan!" ucapnya riang.
William menjabat tangan mungil yang ukurannya separuh telapak tangannya itu dan menyeringai geli seraya menjawab, "Will, singkatan dari William Samsons MacRay. Apa kamu baru pulang dolan? Kok sendirian di bandara, Emmy?"
Namun, Emmy malah cekikikan mendengar dugaan si om ganteng di seberangnya itu. "Apa aku masih keliatan ABG banget sih? Padahal aku sudah lulus kuliah lho, Om!" jawabnya tanpa merasa tersinggung.
Waiter cafe mengantarkan pesanan mereka berdua ke meja lalu berkata, "Silakan pesanannya, Mas, Mbak. Kalau mau nambah orderan bisa langsung ke meja display ya!" Dia pun berlalu dari meja tersebut.
"Ohh, keren dong sudah sarjana. Memang umur kamu berapa sih?" selidik William yang mulai penasaran dan tertarik mengenal Emmy lebih dekat.
"Aku dua dua tahun, Om. Kalau Om William usia berapa?" sahut Emmy seperti layaknya orang berkenalan dan sama-sama kepo pastinya.
William terbatuk-batuk karena ditanya umurnya yang memang pantas dipanggil dengan sebutan 'Om'. Dengan sigap Emmy menghampiri William lalu menepuk-nepuk punggung pria itu. "Kucariin air putih ya, Om! Bentar—" Dia lalu berlari kecil ke kasir untuk membelikan William sebotol air mineral untuk melegakan tenggorokan.
'Busettt, kita nih beda lima belas tahun. Hmm ... berasa old banget gue!' batin William sambil meminum air mineral kemasan yang dibelikan Emmy.
"Aku usia tiga tujuh, kenapa emang?" jawab William.
"Nggak kenapa-kenapa, kok gitu amat nanyanya sih, Om!" Emmy pun mencebik lalu memalingkan wajahnya ke kaca jendela cafe sambil mengunyah muffin blueberry favoritnya.
'Wow, kalau seumuran dia kayaknya wajar ya tukang ngambekan. Hmm!' batin William menilai temperamen Emmy yang nampaknya naik turun sesuai mood.
"Oya, selai blueberrynya cemong tuh!" William lalu membersihkan warna biru keunguan lengket itu dari tepi bibir Emmy. Dia menjilat jemarinya sambil menatap wajah gadis itu yang mendadak berwarna merah jambu.
"Thank you," ucap lirih Emmy. Dia mengerjap-ngerjapkan matanya gelisah sembari meminum Caramel Frappuccino miliknya. Setelah melirik jam tangan di pergelangan tangan William, dia pun berkata, "Om, apa mau nebeng taksi bareng sama aku? Tadi 'kan katanya dompet Om ilang dicopet di bandara!"
Mendengar tawaran yang dia butuhkan, William pun menjawab antusias, "Boleh. Yuk kita pulang, Beb!"
"Beb?!"
"Iya, 'kan kamu masih muda banget dan imut-imut, cocoklah kalau aku panggil 'Baby'," jawab William sambil terkekeh khas om-om.
"Nggak mau, Om. Panggil Emmy aja. Nanti aku dikirain sugar baby-nya, Om Will pula!" protes gadis itu galak dengan alis tertaut kesal.
William menggaruk-garuk kepalanya, nampaknya gadis imut itu super moody. Dia mendadak seperti merasa punya keponakan baru dan harus ekstra sabar momong bocah. Sisi baiknya adalah Emmy sangat simpatik dan gemar menolong orang, William suka itu.
"Oke, yuk cabut, Om. Kita cari taksi buat pulang bareng!" ajak Emmy menyunggingkan senyum berlesung pipitnya seraya bangkit dari kursi cafe.
Mereka berdua pun berjalan bersebelahan sambil menyeret koper masing-masing menuju ke pintu keluar Bandara Soekarno-Hatta. William yang biasanya tinggal perintah ini itu harus rela mencarikan taksi untuk Emmy dan dirinya. Namun, anehnya dia senang melakukannya. Ada apa gerangan dengan William?
He gulped nervously as she swayed her body sexily across the room, taking slow steps toward him, with a smile plastered on her innocent face.Her red lingerie accentuated her figure and made it difficult to focus on anything else. He could feel his heart throbbing against his chest. Staring at her alluring body was something he could do all day gleefully.He made to get off the bed and take her in his arms, but she waved her finger disapprovingly, stopping him from doing so.He waited and hoped he wouldn't lose it if she was out to torment him with the view. His penis pushed harder at his pajamas, seeking an escape. He rested his back on the bed frame and glued his eyes on her.She moved rhythmically to Marvin Gaye's sexual healing which played faintly in the background. It created the perfect atmosphere she desired. She smirked victoriously at the effect her body movement was having on him, she was ready to take him in tonight.She mounted the bed and crawled towards her prey in t
Chris wobbled along the dimly lit hallway dragging Cara along with him.Cara struggled to get free from him, but couldn't. She was certain she had heard the voice before but couldn't point out where. She kept her head bent for fear of being faced with a nightmare of having sēx with someone she knows. It was better she only imagined she knew the man than to truly recognize him.She used her free hand to wipe off the lone tear running down her over-painted cheeks. There was no need to cry, none of her tears had ever worked, especially when the men were this drunk.She pulled down her black leathered skirt which hung tightly to her buttocks and left nothing to the imagination. These had been the provocative wears she was always forced to wear, in attracting men who patronize the factory.Chris pulled Cara roughly as he barged into an empty room. The only light in the room was the one emanating from a table lamp.Chris grinned and pushed Cara to the bed carelessly, all he wanted was t
"So, Mr. Davis, we have seen your samples, and your presentation is brilliant." He paused. "But we need something exceptional. Something that can stand you out amongst other companies bidding for this project." He drummed his golden pen on the table while the room remained silent with all attention focused on him."The truth is," he continued, "the Boris Factory representatives were here two days ago and they presented something similar to this. I am not saying your presentation is a total replica of theirs, but it has a connection and I seriously do not understand how that came to be."He looked around, then added, "if your team can present something out of the ordinary in our next meeting, Zepan Firm will be glad to award the project to your company."Chris looked around the room dejectedly, doing his best to stop himself from breaking down. He had prepared so much for the presentation and had given his all in explaining each slide as the projector displayed the plans. Listening
Mr. Bruce Murray took another sip from his champagne, ignoring the impatient look on his son's face. It had been thirty minutes since Kelvin arrived at the mansion after he was summoned by his father, yet his father had his attention pinned on a program he wasn't listening to."Dad, are you going to keep tormenting me with silence? I have been sitting here for about half an hour and you haven't said a thing." Kelvin complained, doing his best to mask his feelings.Mr. Bruce Murray raised his champagne glass for a refill, and his male servant, Arthur, rushed towards him to fill his glasses. Kelvin looked on as his father took a more calculated sip without taking his eyes off the program. He sighed and held his head in his hands with his elbows resting on his thighs. He was already going through a lot and didn't want to add his father's case to it.After what seemed like an eternity, Mr. Murray placed his half-empty glasses on the golden stool beside him, tilting his head towards hi












Welcome to GoodNovel world of fiction. If you like this novel, or you are an idealist hoping to explore a perfect world, and also want to become an original novel author online to increase income, you can join our family to read or create various types of books, such as romance novel, epic reading, werewolf novel, fantasy novel, history novel and so on. If you are a reader, high quality novels can be selected here. If you are an author, you can obtain more inspiration from others to create more brilliant works, what's more, your works on our platform will catch more attention and win more admiration from readers.
Ulasan-ulasan