“Apa yang sudah ayahanda Anda lakukan?” senyum sinis itu kembali tergambar di wajah Yosua, membuat Ken mengepalkan tangannya kuat-kuat. “Anda puteranya, bukan? Jadi saya rasa lebih baik Anda tanyakan langsung pada yang bersangkutan.”
Yosua hendak melangkah pergi dari hadapan Ken, ketika tangan itu mencekalnya dengan begitu kasar. Yosua mencoba tidak terpancing, sangat tidak etis kalau sampai dia memukul sosok itu di area rumah sakit, terlebih sekali lagi, Ken anak wakil direktur rumah sakit tempat dia pendidikan, bisa habis karier kedokteran dan pendidikan spesialisnya kalau sampai mereka terlibat baku hantam di sini.
“Bisa jawab pertanyaan saya, Dok?” cengkeraman itu begitu kuat, dengan sekali sentakan kuat, tangan itu terlepas.
Yosua menatap tajam ke dalam mata Ken. Sorot mereka sama-sama tajam dan penuh kebencian.
“Mohon maaf, saya ada on call dan harus segera ke IGD sekarang, Dokter. Sebagai calon dokter spesi
Setelah hiruk pikuk IGD yang begitu padat dan menegangkan, Elsa melangkah dengan lunglai ke ruang istirahat para dokter. Bed sudah hampir kosong, pasien sudah terkondisikan semua dan jangan lupa dia sudah mendapat izin dokter Hilda sebagai penangung jawab IGD hari ini untuk istirahat sejenak.Elsa mendorong pintu itu, tampak ada beberapa orang di sana, terlelap di atas bed membelakanginya. Siapa tiga orang itu? Entah apakah dia koas juga, dokter residen atau malah spesialis, Elsa tidak tahu. Ia memilih menjatuhkan diri ke lantai, duduk sambil menekuk dan memeluk lututnya.Cukup lama Elsa dalam posisinya, hingga kemudian dia merasakan ada sebuah sensasi dingin menyapa kulit tangannya. Elsa tersentak, mengangkat wajah dan terkejut luar biasa mendapati Ken sudah duduk tepat di sisinya sambil menyodorkan sebotol air mineral dingin ke arahnya.“Minumlah, jangan khawatir, segelnya masih utuh.” Ken tersenyum kecut, membuat Elsa menghela nafas panjang.
“Balik!”Perintah itu terdengar begitu menyebalkan di telinga Ken, membuat sosok itu mendengus kesal dan sontak menganggukkan kepala tanda setuju. Apa lagi memang? Mau membantah dan beradu argume dengan papanya? Ah ... percaya lah ini bukan waktu yang tepat.Darmawan menepuk pundak anak lelakinya itu, ia melangkah dengan begitu tenang menuju mobilnya yang tidak jauh diparkir dari tempat mereka berdiri. Ken sudah paham, untuk apa dia di suruh pulang ke rumah, pasti membahas rencana gila sang papa yang hendak menjodohkan dirinya dengan anak dokter Hilman Atmasoebrata. Sudah pasti itu!Ken dengan malas meraih helm-nya, naik ke atas motor dan hendak membawa motornya mengikuti mobil sang papa ketika sudut matanya menangkap sosok itu. Gadis yang begitu ia cintai tengah melangkah beriringan dengan residen menyebalkan yang entah ada hubungan apa dengan Elsa.“Sialan!” runtuk Ken kesal lantas pergi membawa motornya laju-laju.Hatinya
“Tania Atmasoebrata.”“Wiliam Kendra Wijaya.”Ken langsung melepaskan jabat tangannya dan tersenyum kaku. Di dalam hati dia mengutuk sang ayah. Apa bagusnya wanita ini? Penampilannya sangat biasa, wajahnya juga! Bisa tertawa sepanjang hidup Jessica nanti melihat Ken menikahi wanita yang keseluruhannya ada di bawahnya, kecuali memang kekayaan wanita ini jauh lebih di atas Jessica. Kakek Tania punya pabrik plastik terbesar se pulau Jawa!“Mari silahkan duduk, Dokter.”William tersenyum pada sosok dokter onkologi itu, lantas duduk di bangku tepat di samping sang ayah. Pertemuan dan makan malam mereka berlangsung di salah satu restoran mewah hotel berbintang, sungguh bukan makan malam yang biasa-biasa saja.Dari tempat duduk Ken, dia bisa melihat wanita itu tersipu malu. Senyumnya merekah namun itu sama sekali tidak membuat Ken lantas tertarik pada radiolog tiga puluh satu tahun itu. Pikiran Ken malah tertuju pada El
“Ken, mama boleh masuk?” Linda mengetuk pintu kamar Ken, dimana Ken langsung masuk ke dalam kamarnya tanpa berkata-kata lagi selepas turun dari mobil sang papa.Tak perlu waktu lama, pintu kamar itu terbuka, tampak Ken berdiri di balik pintu dengan mata memerah. Linda tersenyum getir. Laki-laki tiga puluh tahun sematang Ken menangis? Sungguh tidak bisa dipercaya, tetapi itulah nyatanya.“Mama ingin bicara berdua denganmu, Ken. Boleh Mama masuk?” ulang Linda ketika Ken hanya membisu di balik pintu kamarnya.Ken hanya mengangguk, membuka pintu kamarnya lebih lebar lagi dan membiarkan sang mama masuk ke dalam kamarnya. Pintu kamar tertutup, Ken melangkah menuju ranjangnya, menjatuhkan diri dan menutupi wajah dengan kedua tangan.Linda duduk di tepi ranjang, tangannya terulur mengelus lembut dahi Ken yang tampak begitu frustasi. Ia ikut sedih dengan apa yang Ken alami. Namun sekali lagi, Linda tidak bisa berbuat dan berbicara banyak.
Ken menatap nanar sosok yang tampak tengah sibuk membersihkan tangan setelah ikut asistensi. Ken sudah bertekad akan pasrah pada keadaannya. Dia tidak akan membebani Elsa dengan pernyataan cinta yang cukup membahayakan masa depan gadis itu.Masa depan?Ken sudah merenggut masa depan Elsa! Pantaskah dia mengatakan bahwa apa yang dia lakukan ini demi masa depan Elsa? Ah... setidaknya masa depan profesi Elsa aman. Setidaknya Elsa tetap bisa menjadi dokter seperti cita-cita yang sudah dia perjuangkan selama ini."Ken, melamun?"Ken tersentak, tampak dokter Glondong tersenyum setelah tahu apa yang membuat sosok itu melamun siang bolong begini."Kangen punya asisten pribadi? Koas lain, kan, ready?" goda dokter Glondong yang sebenarnya sudah tahu apa arti tatapan mata itu. Dia juga pernah muda, pernah jatuh cinta dan kasmaran, ya walaupun itu sudah puluhan tahun yang lalu."Ah iya, Dok. Kalau begitu saya permisi, mau l
Tampak Yosua menghela nafas panjang, ia melirik Elsa yang hanya termenung sambil menempelkan dagu di meja, sejak tadi Yosua tahu betul gadis itu menyimak dengan baik apa yang dia ceritakan perihal hubungannya dengan sang kekasih.Yosua mengusap wajahnya dengan kasar, menyandarkan punggung di kursi dan melipat dua tangan di belakang kepala.“Kau tahu sendiri kan, Sa? Abang ini Cuma anak tunggal, jadi tentu mama sama papa hanya berharap sama Abang, orang anaknya Cuma Abang seorang.”Tanpa perlu Yosua tegaskan, Elsa sudah paham akan hal itu. Mereka kenal sejak kecil meskipun kemudian terpisah karena Yosua sekeluarga pindah ke Jakarta, tapi rupanya mereka di pertemukan lagi sekarang.“Ya memang Abang masih pendidikan, tapi mama sama papa sudah bersedia kok buat nanggung hidup kita semisal kita beneran mau nurutin permintaan mereka nikah, Sa. Mama sama papa sudah siap sama semua konsekuensinya minta Abang nikah posisi Abang masih pendidikan b
“Lama nunggunya? Maaf ya agak padat jalanan sore ini.” Ujar Ken sambil tersenyum, sesuai rencananya, sebelum pernikahan terjadi dia harus melambungkan harapan wanita ini, membuat wanita ini berpikir bahwa Ken menyukai dirinya dan antusias dengan rencana perjodohan mereka.“Ah nggak apa-apa, maaf ya kalau aku merepotkan kamu,” Tania masuk ke dalam, memasang seat belt itu ke tubuhnya, memberikan sebuah senyum manis dan tulus untuk Ken.“Ah, repot apaan sih? Kalau aku repot tentu nggak bakalan bisa jemput kamu, kan?” Ken tertawa dalam hati, kalau dipikir-pikir, dia ini jahat sekali bukan? Tapi mau bagaimana lagi, dia tidak bisa berbuat banyak dan dia sudah memutuskan bahwa akan memilih sendiri hidup dan takdirnya selepas lulus spesialis nanti.“Sekali lagi terima kasih banyak.”Ken mengangguk, dia sudah membawa mobil sang papa masuk kembali ke jalanan, berbaur dengan mobil lainnya. Tania memang tidak cantik, ta
“Bagaimana masa residensimu?” Tania memotong wagyu steak-nya, sesekali mencuri pandang ke arah Ken, menikmati berapa indah siluet wajah yang berpadu sempurna dengan tubuh menjulang tinggi dan kulit bersih.Mimpi apa Tania semalam hendak diperisteri sosok setampan ini?“Ya, sejauh ini sih baik-baik saja, kau sudah berhasil melewatinya, bukan? Tentu kamu tahu betul bagaimana keadaanya.” Ken tersenyum, fokusnya hanya pada makanan yang ada di depannya, ditambah fokus mengingat kenangan bersama orang yang begitu dia cintai.“Tapi spesialis yang kita ambil beda, Ken. Tentu pengalamannya lain, benar bukan?” Tania tersenyum, jujur ia lebih menikmati wajah di hadapannya daripada makanan lezat yang dia pesan ini.Ken hanya tersenyum tipis, jujur ia jenuh, bosan dan sama sekali tidak tertarik dengan segala macam obrolan basa-basi yang sejak tadi diajukan sosok itu. Ternyata dia tidak hanya kurang pandai mer