TBE 47Sepanjang hari itu otakku berputar untuk menggali ingatan di mana aku pernah bertemu dengan kedua pria yang merupakan manajer dan asistennya Robi. Namun, kian keras berusaha mengingat maka kepalaku akan sakit hingga akhirnya kegiatan menekan otak itu dihentikan. Langit siang sudah berubah menjadi senja kala aku tersadar akan waktu. Bergegas aku membereskan meja dan berdiri. Jalan menuju pintu dan mengambil remot penyejuk udara sebelum mematikan benda itu serta dilanjutkan dengan menekan sakelar lampu. Aku mengayunkan tungkai ke luar dan menutup pintu. Koridor yang lengang terasa aneh dan hal itu sering dirasakan beberapa hari terakhir. Aku memindai sekitar untuk memastikan tidak ada penampakan sebelum menggeser tubuh dan menyusuri lorong terang. Kala memasuki lift, tiba-tiba lampu di sepanjang koridor itu berkedip-kedip. Aku menekan tombol agar pintu lift menutup dan berharap benda besi ini bisa segera turun serta tiba di lantai lobi. Kala pintu elevator terbuka, kondisi ya
TBE 48Viana merentangkan jemari tangan kanan dan menggeleng, seakan-akan menolakku untuk mendekatinya. Aku berhenti dua langkah darinya dan mengulurkan tangan untuk menggapainya, tetapi Viana menarik tangannya dan memandangiku dengan tatapan sendu. "Vi," panggilku. "Kemarilah," lanjutku. "Tidak bisa, badanmu memunculkan hawa panas yang buat aku lemah," jawabnya. "Oh, iya, aku lupa." Aku menghentikan mengucap doa dalam hati sambil mengusap-usap tangan dan kaki. "Sekarang udah bisa," tukasku. "Naiklah ke kamarmu, aku akan menunggu di sana." Belum sempat aku menjawab, Viana sudah telanjur menghilang dan hanya menyisakan kabut tipis. Kala suara Dani memanggil, saat itulah baru kusadari alasan Viana menghilang."Mas ngobrol sama siapa?" tanya Dani saat aku menyambanginya. "Nggak ngobrol, cuma lagi latihan pidato," kilahku. "Pidato?" Pria yang usianya lebih muda tujuh tahun dariku itu mengerutkan dahi. "Buat presentasi." Dani manggut-manggut sembari berbalik dan jalan menjauh. Aku
TBE 49Aku mengamati saat Risty jalan memasuki kamar mandi sambil menunduk. Senyumanku mengembang karena merasa bila gadis itu tengah malu padaku, hal yang lumrah terjadi pada pasangan pengantin baru. Kilasan kenangan saat menikahi Viana dan Dewi berkelebatan silih berganti. Aku sangat berharap bisa melupakan wajah mereka nanti bila tiba waktunya aku menjemput hak sebagai seorang suami pada Risty. Aku berpindah ke ujung kanan ruangan dan menghamparkan dua sajadah. Sambil menunggu Risty, aku berzikir sambil memejamkan mata. Kemudian berdoa setulus hati agar pernikahan ini menjadi yang terakhir untukku, dan tidak ada lagi masalah berat yang akan menghadang di depan sana. Risty keluar dan mengenakan mukena. Dia menempati sajadah di belakang. Aku berdiri dan memulai salat berjemaah pertama kami sebagai pasangan suami istri. Rasa haru yang menyeruak membuat suaraku sedikit bergetar pada awalnya, sebelum kemudian lancar hingga salat usai. "Mas mau dibuatin minuman apa? Aku mau ke dapur,
TBE 50Aku menyusuri lorong remang-remang dengan banyak pintu di kanan dan kiri. Sekali-sekali tangan ditempelkan ke dinding untuk menahan tubuh yang letih. Pandangan kian mengabut dan menjadikanku kesulitan melihat jelas. Hawa dingin kian terasa di tengkuk dan membuatku yakin bila sudah hampir sampai ke ujung. Beberapa langkah dari sebuah lengkungan putih, aku berhenti dan mengatur napas. Kala hati sudah mantap aku meneruskan langkah memasuki suatu area terang dan berhenti sesaat untuk memindai sekitar. Sayup-sayup terdengar suara lembut memanggil. Aku menguatkan diri terus melangkah meskipun sedikit terseok. Lantai berguncang, kian lama kian kencang. Aku tidak mau menoleh ke belakang karena takut melihat siapa yang mengikuti. "Kamu tidak akan bisa lari dariku, Haryadi!" seru seseorang dengan suara berat dan bergaung di belakang. Aku tidak memedulikan seruan itu dan sekuat tenaga mempercepat langkah sambil berpegangan ke beberapa benda yang berada di sepanjang lorong terang. Soso
TBE 51"Kata Bibi, di rumah itu memang ada orangnya. Tapi jarang keluar," ujar Risty, sesaat setelah aku menceritakan tentang kejadian beberapa puluh menit lalu. "Ada berapa orang?" tanyaku."Nggak tahu. Coba Mas tanya ke Bibi." "Besok deh. Aku mau tidur awal." "Hmm." "Sini." "Ehm?""Sini, peluk sampai aku tidur.""Males. Ujung-ujungnya minta jatah." "Nggak, aku capek hari ini. Beneran cuma pengen dipeluk." Risty memandangiku sesaat, kemudian menggeser tubuhnya mendekat dan merangkul pundakku yang spontan menempelkan badan ke dadanya serta memeluknya erat. Aku memejamkan mata sambil menghidu aroma tubuhnya yang selalu membuatku tenang. Aku mengatur napas sambil membaca doa sebelum tidur. Tidak lupa menyerap energi yang Risty alirkan lewat usapan di punggungku karena itulah salah satu caranya melindungi.Perlahan sukma melayang tak tentu arah sebelum akhirnya aku tidak dapat mengingat apa pun. Aku terbangun saat merasa dingin di area kaki. Saat memaksakan membuka mata, aku terk
TBE 52Pemandangan langit terbenam di pantai ini benar-benar indah. Aku terpesona dan nyaris tidak beranjak dari tempat, sebelum akhirnya Risty menarik tanganku dan menyeret menuju kamar kami yang berada di kawasan hotel dengan pantai pribadi.Risty sudah sejak lama menginginkan bisa menginap di tempat ini karena tertarik dengan promosi pihak hotel di berbagai media sosial. Demi memenuhi impiannya, aku rela menggelontorkan dana berjumlah besar agar bisa menginap selama beberapa hari, sebelum nantinya kami akan berpindah ke kawasan wisata lain di Pulau Bali. Seusai mandi dan berganti pakaian, kami menunaikan salat Magrib berjemaah. Setelahnya, kami keluar dan jalan menuju restoran. Melewati koridor panjang dan area luas di tempat ini membuatku terkagum-kagum, demikian pula dengan Risty. Berulang kali kami berhenti untuk mengambil swa foto dengan berbagai gaya. Namun, Risty lebih banyak menjadi modelnya dibandingkan aku yang lebih senang memotretnya. Sekali-sekali aku akan memvideokan
TBE 53Pembicaraan dengan Viana beberapa hari lalu masih terngiang di telinga. Aku kembali merunut peristiwa sebelum dan sesudah kecelakaan yang dialami Dewi. Kesulitan mendapatkan bukti-bukti kuat dan saksi mata menjadikan kasus itu masih jalan di tempat, padahal sudah hampir dua tahun berlalu.Pihak kepolisian dan tim pengacaraku sudah berusaha keras untuk menuntaskan penyelidikan, tetapi sampai sekarang belum membuahkan hasil. Otak yang penuh membuatku pusing dan akhirnya mendatangi ruang kerja Farid siang ini. Pria bertubuh montok itu melirik saat aku melenggang memasuki ruangan dan duduk di sofa hitam di ujung kanan ruangan. Selama beberapa saat kami saling memandang, sebelum sahabatku yang mengaku tampan dan gagah tersebut berdiri serta jalan mendekat."Tumben ke sini, To," ucap Farid. "Jangan bilang karena kamu kangen denganku," selorohnya yang membuatku spontan tersenyum. "Aku mau cerita, tapi jangan disela," tuturku. "Tentang apa?""Misteri kecelakaan Dewi." Farid mengeru
TBE 54Ruangan luas ini terasa sunyi. Hanya detak jam dinding besar model zaman dulu yang berada di dekat tangga menjadi satu-satunya hal yang terdengar. Aku dan Risty berulang kali beradu pandang. Kami sudah sepakat akan menunggu sang pemilik rumah berbicara terlebih dahulu. "Anak kami, Danu dan Heru didatangi seseorang beberapa hari sebelum istri Anda datang, Nak Anto. Danu nggak cerita ke kami karena dia nggak tinggal dengan kami, karena sudah menikah dan punya satu anak," ujar Pak Usman beberapa puluh menit kemudian. "Heru juga baru cerita setelah didatangi polisi yang memintanya datang ke kantor buat ditanyai. Saya dan teman pengacara yang menemani mereka dipanggil sampai tiga kali hingga terbukti tidak terlibat dalam peristiwa tersebut," lanjutnya. "Ya, saya baca laporan itu. Tapi tetap jadi tanda tanya bagaimana bisa mobil yang baru beberapa hari diservis remnya bermasalah," ungkapku. "Saya tidak menyalahkan anak-anak Bapak dan Ibu, karena saya punya keyakinan bila pelaku pen