TBE 39Aroma harum yang menguar mencapai hidungku yang sensitif. Aku membuka mata dan memindai sekitar, kemudian menyadari bila saat ini aku tengah menginap di rumah Kakek Munir. Aku bangkit dan duduk, mengumpulkan nyawa yang masih belum kembali sepenuhnya sambil mengerjap-ngerjapkan mata. Setelahnya aku berdiri dan jalan gontai ke kamar mandi yang berada di sudut kiri ruangan ini. Saat aku keluar belasan menit berikutnya, kamar sudah dalam kondisi terang-benderang berkat gorden yang dibuka lebar-lebar hingga sinar sang surya menembus masuk melalui jendela yang juga telah terbuka. Aku melihat Risty tengah merapikan tempat tidur dengan sangat serius. Perlahan aku jalan menghampiri dan memeluk pinggangnya dari belakang. Gadis itu menjerit tertahan sebelum akhirnya diam dan mengusap dada sambil menoleh dan mendelik ke arahku. "Mas nih, ngagetin mulu," protesnya. "Masa kamu nggak lihat aku di depan pintu kamar mandi?" tanyaku tanpa menghiraukan omelannya. "Aku lagi serius, lagian jal
TBE 40Acara kencan yang tertunda dari minggu lalu akhirnya bisa terealisasi. Aku menggandeng tangan kanan Risty dengan rasa bangga yang tidak bisa ditutup-tutupi, terutama karena saat ini pendampingku itu tampil sangat memukau. Gaun panjang berbahan halus ungu muda itu membalut tubuh rampingnya dengan pas. Rambutnya diikat sedikit di bagian tengah sementara sisanya dibiarkan tergerai di punggung. Wajah aslinya yang sudah cantik itu kini didandani make up tipis yang kian memancarkan keelokan parasnya. Tas bahu putih kecil dan sepatu senada menyempurnakan penampilan gadis tersebut. Aku tahu Risty bukan tipe yang senang dengan gaun terbuka bagian atasnya, sehingga bila saat ini kami dipandangi banyak pengunjung restoran tidak membuatku khawatir bila aset keindahannya turut dinikmati banyak pria. Bahkan aku sangat bangga karena sebentar lagi dia akan menjadi milikku seutuhnya. "Dari tadi mandangin mulu, Mas," lirih Risty, beberapa saat setelah kami duduk di kursi yang sudah kupesan da
TBE 41Angin berembus lembut menerpa kulit. Daun-daun bergoyang dan beberapa helai terjatuh serta melayang ke tanah. Kicau burung-burung peliharaan Ayah di samping kanan rumah terdengar hingga ke teras di mana aku dan Risty alias Isti berada. Sejak aku keluar beberapa menit lalu, perempuan bergaun hijau panjang itu belum mengatakan apa-apa. Aku berusaha menahan pandangan agar tetap lurus ke depan meskipun sebenarnya ingin menoleh ke kanan dan memandanginya sampai puas. Aku lupa kapan terakhir kali kami bertemu. Ingatan sebelum berada di Salabintana masih belum kembali sepenuhnya dan itu membuatku gundah karena sangat ingin mengurai semuanya agar dapat menemukan Peter, sebab di masa Haryadi saat inilah ada petunjuk tentang pria tersebut. "Selamat atas pernikahannya, Mas," ucap Isti dengan suara pelan. "Dan ini ada kado dariku," sambungnya sambil mengangkat kotak berukuran cukup besar dari lantai dan meletakkannya di atas meja bulat yang berada di antara kedua kursi yang kami tempati
TBE 42Wajah pucat kesi Viana membuatku iba dan sangat menyesal telah melukai hatinya. Seharusnya semenjak akad, aku harus mengubur dalam-dalam nama Isti. Akan tetapi, semua telah terjadi, dan yang harus dilakukan sekarang adalah membantu Viana memulihkan diri. Perempuan berhidung mancung itu masih marah padaku, karena sejak bangun beberapa belas menit lalu dia sama sekali tidak mau melihatku. Hal itu membuatku merasa kian bersalah, terutama karena mengingat pengorbanannya yang kabur dari rumah hanya karena ingin terus bersamaku. "Vi, mau minum?" tanyaku untuk kesekian kalinya. Namun, dia bergeming. Jangankan untuk menjawab pertanyaan, menoleh pun tidak. "Kamu harus banyak minum, itu kata dokter," sambungku sembari mengangsurkan segelas air.Viana masih bungkam dan aku sudah kehabisan kata-kata untuk memujuknya. Merasa lelah untuk terus bertanya, akhirnya aku berdiri dan meletakkan gelas ke atas lemari kecil di samping kanan ranjang. Aku baru hendak membalikkan badan ketika mendenga
TBE 43Aroma kopi yang harum menguar hingga menyentuh hidung dan membuatku terjaga. Setelah mata membuka, aku memindai sekitar sambil mengumpulkan nyawa yang masih berserakan. Beberapa saat berlalu, pintu kamar terbuka dan Viana melangkah masuk dengan membawa nampan. Perempuan itu meletakkan bawaan di meja rias kemudian membuka bungkusan handuk yang melilit di kepalanya, lalu menggosok-gosok rambut lembap itu dengan gerakan pelan. Sudut bibirku terangkat saat menyaksikan hal itu. Terbayang kembali percintaan kami yang panas sepanjang siang hingga kami kelelahan dan tidur sambil berpelukan dalam satu selimut. Dahaga cintaku belum sepenuhnya terpuaskan dan aku berencana untuk mendapatkannya lagi nanti malam. "Buruan bangun dan mandi, Mas. Ini udah mau magrib," tukas Viana sambil menyisiri rambut. "Memangnya sekarang jam berapa?" tanyaku. "Jam lima lewat. Kalau Mas lama di kamar mandi bisa-bisa waktu Asar lepas. Disatukan dengan Zuhur, tadi kita nggak sempat karena ...." Viana terdia
TBE 44Mobil baru saja memasuki pekarangan rumah besar itu ketika belasan pekerja di bagian depan serentak berdiri dan mendekat. Viana turun sesaat setelah kendaraan berhenti di bawah pohon yang dulu menjadi tempat sandaran motorku dan menyalami orang-orang tersebut. Seorang perempuan dewasa menghambur dari dalam rumah dan lari hingga tiba di hadapan kami dan saling berpelukan dengan Viana. Selama beberapa saat suasana hening itu diisi dengan isak tangis kedua saudara yang sudah berpisah sekian bulan dan aku benar-benar terenyuh menjadi saksi peristiwa itu. Menjadi anak tunggal aku selalu sendirian dan baru merasa memiliki saudara setelah tinggal bersama orang tuanya Lidya. Sekarang aku menyadari bagaimana rindunya kedua perempuan tersebut yang tidak pernah terpisahkan dari Viana baru lahir.Nining tetap menempel pada adiknya seolah-olah tidak mau berpisah lagi dengan Viana. Beberapa menit berlalu barulah Nining mengajak kami memasuki rumah, sedangkan beberapa pekerja membantu menur
TBE 45Aku terus memperhatikan pria yang tengah mengintip ke bagian dalam mobil. Terdorong rasa penasaran akhirnya aku membuka pintu depan dan maju menghampirinya yang sontak berbalik. Selama beberapa detik kami saling beradu pandang dengan sorot mata nyaris sama, yaitu sangat tajam dan seolah-olah hendak menguliti lawan. Deru angin menampar wajah. Gesekan dedaunan terdengar jelas meskipun pandanganku tetap terkunci pada pria tersebut. Dinginnya udara malam seakan-akan tidak terasa di kulit karena hatiku telanjur panas oleh amarah pada makhluk abadi yang menjadi biang keladi dari semua peristiwa buruk di sekitarku. "We ontmoeten elkaar weer, meneer Haryadi," ucap pria bertubuh tinggi besar itu. (Kita bertemu lagi, Tuan Haryadi) "En dit is de laatste keer dat we elkaar ontmoeten," jawabku. (Dan ini terakhir kalinya kita bertemu)"Is dat zo? Het lijkt erop dat je er alle vertrouwen in hebt om mij te verslaan." (Begitukah? Sepertinya Anda sangat percaya diri untuk bisa mengalahkan sa
TBE 46"Jadi, kakek Haryadi dan Viana tidak pernah kembali ke Bogor lagi?" tanya Risty, sesaat setelah aku selesai bercerita."Iya, waktu dijemput keluarganya itu mereka menolak untuk pulang karena kondisi kesehatan Viana yang belum pulih. Mereka tidak menduga kalau tusukan itu mengenai organ tubuh penting yang menyebabkan Viana sulit bergerak selama beberapa bulan. Setelah dinyatakan pulih oleh dokter, Viana masih sering kesakitan hingga banyak beristirahat," terangku. "Dan sejak itu Peter menghilang," timpal Johan. "Betul, bahkan kakek pun tidak bisa menemukannya. Selain itu Yayan juga berubah, dia tidak lagi berani bertindak kasar pada kedua adiknya. Tapi ternyata hal itu tidak berlangsung lama, rupanya dia tengah menyusun rencana untuk menjebak kakek," jawabku. "Menjebak gimana?" desak Farid. "Dikunci di perpustakaan bareng Sari," ungkapku. "Oh, jadi itu rencananya Yayan, kupikir triknya Peter," sela Opick. "Awalnya aku juga mikir gitu, tapi makin ke sini aku makin yakin kal