"Jatuh cinta itu terjadi secara alami dan spontan. Jadi, saat jatuh cinta waktunya emosi yang maju dan logika yang mundur dulu untuk istirahat." - Ollyjayzee
***
Saat membuka pintu kamarnya, sosok yang pertama kali Tiffany temui adalah wanita paruh baya yang sedang terduduk diam sambil mengamati sebuah kotak musik berwarna pink. Tiffany ingat, itu hadiah dari sang Ayah saat ulang tahunnya yang ke sepuluh.
"Tiffany? Kau sudah pulang?" Anita meletakkan sebuah kotak musik yang ia ambil dari nakas kecil di samping ranjang. Lalu, bangkit dari duduknya.
"Sedang apa kau di kamarku?" tanya Tiffany ketus. Sungguh, sebenarnya ia juga ingin seperti anak yang lain yang nampak akur dengan Ibu mereka.
"Aku sedang bosan. Jadi, aku melihat-lihat kamarmu. Seperti biasa, kau memang selalu rapih menata barang."
Tiffany menyilangkan kedua tangannya di depan dada, bersender di ambang pintu. "Bosan? Memangnya sudah semua negara kau kunjungi? Ah, aku tahu. Kau pasti belum ke Dubai. Kau ingin aku memesankan tiket untukmu? Kau bosan, bukan?"
Tanpa sepengetahuan Tiffany, kedua tangan Anita mengepal kuat di balik rok mininya.
"Jaga bicaramu, Tiffany."
"Atau, kau kehabisan uang? Kau tidak meminta pada kekasihmu?"
"Tutup mulutmu, Tiffany." geram Anita tertahan, menjaga emosinya agar tidak meledak.
"Kenapa? Kenapa aku harus tutup mulut? Apa aku salah mengomentari sikapmu selama ini? Aku bahkan tidak yakin kau masih ingat memiliki anak. Aku bahkan kasihan padamu karena tinggal sendiri di sini, tapi kau sama sekali tidak menyambutku dengan hangat."
Tiffany menatap sang Ibu dari ujung kepala hingga kaki. Pakaian ketat dengan rok mini, sangat bertolak belakang dengan umurnya yang sudah memiliki anak.
"Kau seperti gadis yang berada di klub malam, pantas saja Ayah menyeraikanmu."
Tiffany menyembunyikan wajahnya ke samping saat tangan Anita hampir mendarat ke pipinya. Ia menatap wajah Anita yang nampak memerah dengan pandangan bengis, deru napasnya terdengar tidak beraturan.
"Kenapa? Tampar saja."
Anita mengendus, melemparkan pandangannya pada objek lain. "Aku tidak ingin memperpanjang ini, jadi tutup mulutmu sebelum kau menyesal." Setelahnya, wanita itu melenggang pergi, menyisakan Tiffany yang terdiam di tempatnya.
***
David menatap satu persatu potongan berita yang ia kumpulkan selama delapan tahun dan tertempel di dinding apartemennya. Hembusan napasnya terdengar kasar setiap kali ia dihadapkan dengan sesuatu yang membuatnya kembali teringat dengan tuduhan yang menyangkut keluarganya.
Pria berdarah Bali itu tidak akan pernah melupakan kejadian malam itu, malam yang menjadi akhir dari segala keharmonisan keluarganya. Semua sudah hancur dengan ketukan hakim yang menyatakan keluarganya bersalah.
Rasanya, ingin sekali David membalaskan segala rasa sakit yang ia, Ayah, dan Ibunya derita selama ini. Tak hanya kehilangan keharmonisan tapi juga ia harus menanggung segala cemoohan masyarakat yang selalu mengolok-oloknya dan keluarganya.
David harus rela melepas beasiswa yang selama ini sudah ia perjuangkan karena kasus ini, ia dikeluarkan dari sekolah dan mendekam di sel tahanan selama beberapa bulan dan mendapat keringanan karena masih di bawah umur. Dalam semalam, hidupnya menjadi mimpi buruk yang selama ini tidak pernah ia bayangkan.
***
Kalut, cemas, gelisah seolah menyatu di dalam diri gadis berambut panjang ini. Jari jemarinya saling bertaut sejak tadi. Vina Anastasia, gadis yang sudah dari setengah jam lalu berdiam diri dengan sesekali menggigit bibir bawahnya seraya mondar-mandir di depan bilik kerjanya.
Menghela napas lalu mengeluarkan kata-kata kasar, begitu terus sampai orang lain yang melihatnya juga ikut jengah. Nampak jelas terlihat kekalutan yang sejak tadi menghantuinya. Dari semalam ia sudah memikirkannya, memikirkan bagaimana cara ia menyelesaikan permasalahan yang membuatnya susah tidur.
"Astaga, aku harus bagaimana." gumamnya frustasi.
"Vina, kau kenapa?" tanya Salsha yang membuat Vina terkejut.
Vina berdecak, mulutnya perlahan terbuka ingin berbicara sesuatu pada Salsha. Tapi, ia sendiri juga nampak bingung bagaimana memulainya.
"Ah, tak apa."
"Kau tidak pandai berbohong, Vina. Coba ceritakan padaku, kau ada masalah?"
"Ah, hanya ada sedikit. Tidak perlu khawatir." Vina tertawa kikuk di akhir kalimatnya.
"Apa kau membuat kesalahan atau kau sedang ada masalah dengan Ad-"
"Tidak! Aku baik-baik saja." sela Vina yang nampak gugup. Sejak dulu, ia memang tidak pandai mengekspresikan dirinya. Melihat itu membuat Salsha semakin yakin jika telah terjadi sesuatu.
"Kau tidak pandai berbohong, Vina." ujar Salsha malas.
Vina mengendus napas kasar, "Baiklah, aku akan cerita padamu, tapi kau jangan bilang ke siapa-siapa." bisiknya seolah hal yang ingin ia ceritakan ini termasuk dokumen negara yang dijaga kerahasiaannya.
Salsha terlihat berpikir sejenak, lalu mengangguk, "Jadi, ada apa?"
"Aku tidak tahu menjelaskannya dari mana, tapi yang jelas semalam aku membuat surat cinta untuk Mr. Hottie."
"Kau benar melakukannya?"
Memang, dulu Vina pernah mengatakan ingin membuat surat pernyataan cintanya untuk David, tapi Salsha tidak pernah berpikir bahwa lelucon itu benar-benar dilakukan oleh gadis itu.
"Aku pikir tidak ada salahnya aku menjadi gadis yang pertama mendekatinya, tapi aku malah ketahuan dengan Adit saat ingin memasukkannya ke dalam tas."
"Lalu? Kau dan Adit, kalian putus?" Salsha nampak antusias, rasanya ia ingin memaki Vina sekarang.
"Tidak, kami baik-baik saja."
"Baguslah, kau bersyukur Vina, Adit tidak memutuskanmu." dengus Salsha yang ikut gemas dengan tingkah Vina.
"Tapi, aku-"
"Kenapa? Ada masalah lain?"
"Aku dan Adit memang baik-baik saja, tapi aku justru membuat masalah dengan sepupumu."
"Tiffany? Maksudmu?"
Menunggu sekitar lima belas menit, akhirnya dokter yang menangani Rosa keluar. "Bagaimana keadaannya, Dok?""Rosa baik-baik saja, dia hanya kelelahan saja. Bayinya juga baik-baik saja. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan."Gilang yang mendengar itu, tanpa basa-basi lagi langsung menyerobot masuk ke dalam, ia ingin melihat keadaan Rosa secara langsung. Rupanya, gadis itu sudah sadar, tatapannya nampak kosong, ia hanya menatap datar ke arah Gilang yang kini sedang menatapnya sendu."Aku akan menikahimu, Rosa. Jadi, aku mohon, jangan melakukan hal yang tidak-tidak padanya, dia tidak salah apapun. Bagaimanapun aku ini ayahnya, aku ingin membesarkannya."Samar-samar, Rosa mendengar suara David yang sangat perhatian pada Tiffany, penuh kasih sayang dan sangat lembut. Rosa hanya tersenyum kecil, sedetik kemudian, ia merasa tubuhnya hangat dalam dekapan Gilang.***Satu bulan kemudian...Tiffany sedang menatap hamparan laut biru depannya, sepanjang mata memandang hanya ada keindahan air yang
Gilang yang sedang memainkan ponselnya, menanyakan bagaimana kabar Rosa sekarang. Namun, sudah dari setengah jam yang lalu, gadis itu tak kunjung membalas. Detik berikutnya, David kembali ke dalam mobil. Wajahnya kali ini nampak lebih segar dari sebelumnya, dapat ditebak jika sesuatu yang baik baru saja terjadi."Ey, ada apa, nih? Wajahmu sumringah seperti itu. Bagaimana dengan Tiffany tadi?""Tiffany akhirnya percaya padaku, tapi aku harus membuktikan semuanya.""Ya, kau memang harus melakukannya. Kebenaran yang ditutupi juga tidak akan berkunjung baik.""Jadi, apa rencanamu, David?""Aku akan melakukan tes DNA besok. Gilang, kau tolong sampaikan ini pada Rosa."***Saat ini, mereka semua berada di dalam sebuah ruangan VIP yang memang telah disediakan khusus, menunggu hasil pemeriksaan test DNA keluar. Tiffany, David, Zelo, Andre, Mario, Philip, Gilang, dan Rosa tidak ada yang bersuara. Ruangan itu nampak senyap, hanya terdengar suara jarum jam yang beputar. Dari sudut pandangnya,
"Rosa? Apa ini Rosa?" gumamnya pelan, ia sontak mengeluarkan ponselnya, meyakinkan asumsinya bahwa itu benar Rosa melalui nomor ponsel yang terdaftar di sana, ia ingin mencocokannya.Sedetik kemudian, Tiffany terkejut bukan main bahwa itu benar Rosa, sahabat David yang ia kenal selama ini. Jadi, Rosa hamil? Dengan siapa?Masih terkejut, Tiffany malah mendapati sebuah pesan email masuk dari orang yang tidak ia kenal. Ia mengklik sebuah dokumen di sana. Lagi, napasnya seperti tercekat, pasokan udara terasa menipis di dadanya. Lututnya kembali lemas dan ia terjatuh begitu saja. Ia sungguh terkejut melihat foto David dan Rosa yang berbaring tanpa busana. Jadi, mungkinkah anak yang dikandung Rosa anaknya David?"Tiffany!"Itu, suara Philip. Pria itu berlari mendekat dan mengambil posisi di samping Tiffany. Dari raut wajahnya, jelas memperlihatkan jika gadis itu sudah mengetahuinya."Tiff, kau baik-baik saja?"Tiffany menggeleng, wajahnya pucat pasi. "Philip, apa benar Rosa hamil anaknya Da
David mengkliknya dan sontak ia membulatkan kedua matanya. Ia tidak percaya dengan apa yang ia lihat sekarang, di sana terdapat banyak sekali foto yang menampilkan dirinya dengan Rosa yang sedang berbaring tanpa busana. David jelas tahu dimana tempat itu, di sebuah ruangan kecil yang memang ia sediakam untuk beristirahat. Dalam hati, ia meronta-ronta. Sungguh, ia berani bersumpah bahwa ia tidak yakin pernah berbuat sejauh ini dengan gadis itu. Yang ia ingat, ia hanya tertidur di ruangan itu, tidak lebih. Bahkan, ia juga ingat betul jika dirinya sangat bugar dan segar saat bangun, tidak seperti orang yang baru saja mengeluarkan tenaga banyak. Lagipula, ia tidak mengingat apapun. Sekalipun mabuk, ia yakin seratus persen jika ia tidak meminum jenis alkohol apapun saat ini. "David? Kau sudah melihatnya?""Tidak, aku tidak melakukannya. Sungguh, aku tidak pernah melakukannya. Aku harus meluruskannya langsung dengan Rosa.""Kau jangan gegabah. Aku dan yang lainnya sedang menuju ke tempatm
Baru saja, saat Tiffany ingin membuka ujung antiseptik, Philip dengan cepat menahan lengannya hingga pergerakannya terhenti secara tiba-tiba."Biar aku saja yang obati." ucap pria itu seraya mengambil alih lagi antiseptik itu. Ia meneteskan antiseptik pada kapas yang sudah dibalut kain kasa."Jangan diulangi lagi, aku tidak mau kau terluka."''Tidak perlu cemas, ini hanyalah luka kecil. Tidak seberapa."Philip tidak menggubris. Ia fokus mengobati bibir tipis Tiffany. Ia terdiam mengamati pemandangan dihadapannya. Bibir merah ranum itu lebih menggiurkan ketika dilihat dengan jarak dekat. Ya, seperti buah persik, atau mungkin rasanya juga sama. Pikir Philip. Ia semakingugup sekarang ketika membayangkan bagaimana tekstur dan rasanya. Namun, dengan cepat ia menepis semua pikiran jeleknya."Sudah. Jangan diulangi lagi."Tiffany tersenyum kecil, "Terima kasih."Tidak sengaja, saat ia hendak membereskan kotak P3K, matanya tidak sengaja melirik ke arah benda pipih yang tergeletak begitu saja
Di dalam mobil, Tiffany tentu mendengar teriakan itu. Ia hanya bisa diam dan sesekali melihat ke arah kaca spion yang masih menampilkan David hingga mereka berbelok di perempatan."Kau sebaiknya beristirahat malam ini. Kau tidak usah masuk dulu besok, aku akan memberitahu staff rumah sakit."Tak ada sahutan, Tiffany hanya diam saja seraya menatap lurus ke luar jendela. Ia sudah tidak menangis lagi, tenaganya sudah habis terkuras tadi. Yang tersisa hanya jejak air mata yang mengering di wajahnya. Philip memaklumi, ia tidak akan banyak omong.***Esok paginya, Tiffany terbangun dengan tubuhnya yang masih terasa lemas, juga wajahnya yang membengkak akibat menangis. Ia berada di apartemennya. Sebenarnya, ia sudah bangun sejak dua jam yang lalu, tapi rasanya ia sangat malas beranjak dari atas kasur. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah dua belas siang. Tidak ada yang ingin ia lakukan hari ini, apalagi mengingat kejadian semalam. Rasanya, seperti mimpi. Ia tidak pernah menyangka jika hub