Di markasnya yang gelap, Gerald duduk sendiri di balik meja besarnya dengan segelas wiski di tangan. Telinganya yang terluka masih berdenyut nyeri, namun rasa sakit fisik itu tak seberapa dibandingkan gejolak di hatinya. Pikirannya melayang pada Celine, adiknya, dan ingatan tentang masa lalu yang pahit. Ia teringat masa kecil adiknya, Celine yang polos dan ceria, selalu tersenyum, selalu ingin tahu. Sebuah kontras yang tajam dengan kekejaman ayahnya yang tak terlupakan, seringai kejam, dan cambukan yang dulu biasa mendarat di tubuhnya. Ayahnya, seorang pria yang seharusnya melindungi, justru menjadi sumber teror di rumah mereka. Gerald selalu berusaha melindungi Celine dari amarah ayah mereka, menjadi perisai bagi adiknya yang rapuh. Semua itu memuncak pada satu malam yang dingin, bertahun-tahun silam. Setelah pertengkaran hebat dengan ayahnya, di mana Gerald mencoba membela Celine, ia akhirnya memutuskan pergi. Ia kabur dari rumah, meninggalkan Celine dan ayahnya, sebuah keputusan
Davies menggendong Celine ke kamar, dengan hati-hati membaringkannya di tempat tidur. Ia memeriksa kaki Celine yang terluka, menekan lukanya dengan tangan untuk menghentikan pendarahan, berusaha menenangkan napasnya yang masih memburu. Di ruang tamu, Gerald masih berdiri mematung. Darah terus mengalir dari telinganya yang terluka, menodai kerah kemejanya yang mahal. Matanya kosong, menatap lantai, seolah sedang memproses realitas yang baru saja menamparnya. Adik perempuannya. Adiknya yang ia tinggalkan sejak lama, kini tergeletak tak sadarkan diri, bersama orang yang ia siksa, ia kendalikan, ia manfaatkan. Keheningan mencekam menyelimuti ruangan. Tidak ada pengikut Gerald yang berani bicara. Mereka hanya saling pandang, bingung dengan perubahan sikap pemimpin mereka yang tiba-tiba. Sesaat setelah itu, tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Gerald berbalik. Langkahnya berat, namun tegas. Ia berjalan keluar dari rumah, diikuti oleh para pengikutnya yang masih terkejut. Pintu depan tert
Malam itu, di rumah kecil di kota terpencil, ketegangan terasa begitu pekat. Davies dan Celine duduk dalam keheningan, hanya ditemani suara napas mereka yang berat. Davies berdiri di dekat jendela, matanya menatap tajam ke jalanan yang gelap. Tiba-tiba, lampu sorot mobil menyinari kegelapan. Sebuah iring-iringan mobil hitam melaju perlahan, berhenti di depan rumah. Jantung Davies mencelos. Itu Gerald, pemimpin sindikat paling berbahaya di Sidney. "Sembunyi, Celine! Sekarang!" desis Davies, suaranya penuh urgensi. Ia berbalik, matanya menatap Celine. "Masuk ke loteng. Aku akan mengulur waktu di sini." Celine mengangguk, wajahnya pucat pasi namun tekadnya tak goyah. Ia tahu apa yang harus ia lakukan. Davies melangkah ke lemari, menarik laci, dan mengeluarkan sebuah Glock 17, pistol semi-otomatis mematikan yang diam-diam ia ambil dari gudang sewaktu melarikan diri kala itu. Ia memeriksa magasinnya, memastikan peluru terisi penuh. "Jangan pernah keluar sampai aku memberimu tan
Taksi melaju kencang, meninggalkan gudang tua itu di belakang mereka, menembus kegelapan dini hari. Napas Celine dan Davies masih terengah, jantung mereka berdebar tak karuan, seolah baru saja lolos dari jurang kematian. Tubuh Davies sakit di mana-mana, namun ia menggenggam tangan Celine erat, memastikan wanita itu ada di sampingnya. Setelah beberapa menit keheningan yang tegang, ketika mereka merasa cukup jauh dari bahaya, Celine meraih ponselnya. Jemarinya gemetar saat mencari kontak polisi. Ia ingin Davies mendapatkan perlindungan, mengakhiri ancaman ini selamanya. "Jangan," kata Davies, suaranya serak namun tegas. Tangannya mencengkeram pergelangan tangan Celine, menghentikan gerakannya. Celine menoleh, menatapnya dengan bingung. "Kenapa, Davies? Kita harus lapor polisi! Mereka bisa menangkap orang-orang itu!" Davies menggelengkan kepalanya perlahan, tatapannya lelah namun penuh ketegasan yang dingin. Sebuah realita pahit terpancar dari matanya. "Polisi tidak bisa melakuka
Kepanikan yang luar biasa mulai menyergap Celine. Rumah Davies yang kosong, keheningan yang mencekam, semuanya seolah meneriakkan sesuatu yang salah. Ia mengeluarkan ponselnya, mencari nama Davies, dan mulai menelepon. Sekali. Dua kali. Berkali-kali. Namun, hanya nada sambung yang terus berulang, tanpa jawaban. Jantungnya berdegup kencang, firasat buruk menyelimuti benaknya, seolah awan gelap baru saja menutupi cahaya. Celine tidak bisa diam. Dorongan kuat untuk menemukan Davies membawanya keluar dari halaman rumah itu. Ia menyetop taksi, pikirannya berpacu. Di mana Davies mungkin berada? Ia mulai memutar otak, mengingat percakapan mereka, kebiasaan Davies, dan setiap detail kecil yang pernah ia tangkap. "Antarkan saya ke Gedung Emerald," perintahnya pada sopir taksi. Setibanya di sana, kantor Davies juga kosong. Satpam memberitahu Celine bahwa Davies tidak terlihat sejak sore kemarin. Celine kembali ke taksi, otaknya berpacu. Ia memikirkan kembali petunjuk dari Kakek Davies: Klub
Waktu tanpa Celine terasa hampa, dingin, dan kosong bagi Davies. Setiap sudut rumah mewah itu, setiap keheningan, mengingatkannya pada kekosongan yang ditinggalkan Celine. Penyesalan atas perbuatannya menggerogoti hatinya, ditambah kerinduan yang mendalam pada wanita itu. Ia tahu ia telah menyakitinya, dan penyesalan itu jauh lebih pedih dari luka fisik mana pun. Davies menghabiskan hari-harinya dalam kesendirian, merenungkan setiap kesalahan. Ia melihat kembali hidupnya, ambisi yang membutakannya, dan rahasia yang telah menghancurkan segalanya. Ia tahu ia harus berubah, tidak hanya untuk Celine, tetapi juga untuk dirinya sendiri, untuk menjadi pria yang pantas dicintai. Dengan tekad bulat, ia mengambil langkah berani: ia berniat mengakhiri bisnis ilegalnya. Sebuah keputusan yang tidak mudah, mengingat betapa dalamnya ia telah terlibat. Ia mulai membuat panggilan telepon rahasia, merencanakan pertemuan-pertemuan tersembunyi, berusaha mencari jalan keluar dari jeratan sindikat itu.