Setelah badai Marcus berhasil mereka atasi, ketenangan kembali menyelimuti rumah mewah itu. Namun, kali ini, ketenangan itu diisi dengan sesuatu yang berbeda, sesuatu yang baru dan tak terduga. Momen-momen romantis mulai bermunculan, tak direncanakan, justru semakin mengaburkan garis antara peran "pasangan kontrak" dan perasaan sesungguhnya.
Suatu sore, saat mereka berjalan di taman belakang, tiba-tiba sebuah dahan pohon tua jatuh menimpa tepat di jalur yang akan dilewati Celine. Tanpa berpikir, Davies secara refleks menarik Celine kuat-kuat ke belakangnya, memeluknya erat, melindunginya dari reruntuhan dahan. Gestur itu begitu spontan, begitu naluriah, dan begitu tak terduga. Celine mendongak, menatap mata Davies yang menunjukkan kekhawatiran yang tulus, bukan sekadar basa-basi. Perlahan, mereka mulai melihat satu sama lain bukan hanya sebagai mitra bisnis, tetapi sebagai manusia. Celine menemukan keberanian dan kesetiaan di balik topeng dingin Davies. Ia melihat bagaimana Davies, meskipun egois dan ambisius, memiliki sisi yang sangat melindungi dan bertanggung jawab. Ia menyaksikan bagaimana Davies selalu memastikan Celine aman, bahkan di tengah kekacauan yang diciptakan Marcus. Sementara itu, Davies menyadari kebaikan hati dan ketenangan Celine dalam menghadapi badai. Ia melihat bagaimana Celine tidak pernah mengeluh, bagaimana ia selalu berpikir jernih bahkan di bawah tekanan, dan bagaimana hatinya yang tulus selalu mencari cara untuk membantu, bahkan ketika itu berarti menempatkan dirinya dalam bahaya. Kehadiran Celine dalam hidupnya, yang awalnya hanya sebuah keharusan, kini terasa seperti kebutuhan. Malam itu, setelah seharian penuh dengan diskusi bisnis yang melelahkan, mereka duduk di sofa ruang tamu, hanya ada suara perapian yang memecah keheningan. Davies mengamati Celine yang sedang memandangi api, wajahnya diterangi cahaya jingga yang lembut. Ada kelelahan di mata Celine, namun juga ada kekuatan. Sebuah tarikan tak terlihat menarik Davies. Tanpa peringatan, Davies mendekat. Ia meraih wajah Celine dengan kedua tangannya, ibu jarinya membelai pipi Celine dengan lembut. Celine terkejut, napasnya tercekat, namun ia tidak menghindar. Matanya bertemu dengan mata Davies, dan dalam tatapan itu, semua keraguan, semua kontrak, semua batasan seolah lenyap. Perlahan, Davies menunduk. Sebuah ciuman dramatis tak terduga mendarat di bibir Celine. Bukan ciuman terpaksa, bukan ciuman formalitas. Ini adalah ciuman yang dalam, penuh dengan emosi yang selama ini terpendam, sebuah percikan yang menyadarkan mereka bahwa perasaan mereka telah berkembang melampaui perjanjian di atas kertas. Dunia di sekitar mereka seolah berhenti. Dalam ciuman itu, mereka menemukan bahwa mereka tidak lagi hanya "pasangan kontrak," tetapi dua jiwa yang entah bagaimana, telah menemukan rumah satu sama lain. Ciuman itu... mengubah segalanya. Setelah bibir mereka terlepas, keheningan menyelimuti ruangan, namun kali ini bukan keheningan yang kaku dan dingin, melainkan keheningan penuh makna. Celine menatap Davies, matanya mencari jawaban. Davies, yang biasanya selalu tenang dan terkontrol, terlihat sedikit goyah. Ia menghela napas panjang, sorot matanya melembut saat menatap Celine. "Celine," suaranya rendah, nyaris bergetar. "Aku tidak tahu kapan ini terjadi, atau bagaimana." Ia mengusap pipi Celine dengan ibu jarinya, gerakannya penuh kehati-hatian. "Tapi aku... tidak ingin kau pergi." Hati Celine mencelos mendengar kata-kata itu. Tidak ingin kau pergi. Sebuah pengakuan yang begitu jujur, begitu rentan, dari seorang Davies yang selama ini ia kenal sebagai benteng es. "Aku tahu kita terikat kontrak," Davies melanjutkan, suaranya kini lebih mantap, namun tatapannya tetap lembut. "Awalnya memang begitu. Hanya transaksi bisnis. Tapi sekarang... aku tidak bisa membayangkan hidupku tanpamu." Ia menarik napas dalam, seolah mengumpulkan seluruh keberaniannya. "Aku mencintaimu, Celine." Pengakuan itu menghantam Celine seperti gelombang hangat. Semua keraguan, semua ketakutan, semua batasan yang selama ini membelenggu mereka, seolah sirna. Air mata haru menggenang di pelupuk matanya. Ia tidak pernah menyangka kata-kata itu akan keluar dari bibir Davies, pria yang dulu ia takuti dan benci. "Aku juga," bisik Celine, suaranya tercekat. "Aku juga mencintaimu, Davies." Davies tersenyum, senyum tulus yang belum pernah Celine lihat. Senyum itu mampu meluluhkan seluruh pertahanannya. Ia mendekat, memeluk Celine erat, seolah tak ingin melepaskannya. Pelukan itu bukan lagi formalitas, melainkan pelukan yang penuh cinta, kelegaan, dan janji. Di rumah mewah yang dulu terasa dingin itu, di tengah kegelapan malam, kecanggungan perlahan menghilang, digantikan oleh kehangatan dan kenyamanan yang mendalam. Davies menangkup wajah Celine, ibu jarinya membelai lembut pipi wanita itu. Matanya, yang tadi memancarkan kerentanan, kini dipenuhi gairah dan kasih sayang yang membara. Davies mendekatkan wajahnya, mencium kening Celine, lalu turun ke kelopak matanya, pipinya, hingga akhirnya kembali menyentuh bibir Celine. Ciuman kali ini lebih dalam, lebih menuntut, dipenuhi hasrat yang selama ini tertahan. Celine membalas ciuman Davies dengan intensitas yang sama. Tangannya melingkar di leher Davies, menariknya lebih dekat, seolah tak ada lagi jarak yang ingin ia pertahankan. Ia membiarkan dirinya larut dalam sentuhan Davies, dalam kehangatan yang mengalir di antara mereka. Setiap sentuhan Davies membakar kulitnya, membangkitkan sensasi yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Davies perlahan mengangkat Celine ke dalam gendongannya. Celine melingkarkan kakinya di pinggang Davies, kepalanya bersandar di bahu pria itu. Davies membawanya menuju kamar tidur, langkahnya mantap namun penuh kelembutan. Suara detak jantung mereka bergemuruh, selaras dengan napas yang memburu. Di kamar tidur yang remang-remang, Davies menurunkan Celine perlahan ke atas tempat tidur. Ia berlutut di samping Celine, menatapnya lekat. Tangannya bergerak lembut, membelai rambut Celine, menyelipkan helainya ke belakang telinga. Matanya menelusuri setiap inci wajah Celine, seolah ingin merekam setiap detailnya. "Kau... sungguh indah, Celine," bisik Davies, suaranya serak karena emosi yang meluap. Celine tersenyum, matanya berkaca-kaca. Ia meraih tangan Davies, menggenggamnya erat. Tanpa kata, ia menarik Davies mendekat, mengundang pria itu untuk bersamanya. Davies mengerti isyarat itu. Ia menyingkirkan selimut dan bantal, lalu merebahkan dirinya di samping Celine. Mereka saling berpandangan, mata mereka berbicara lebih dari seribu kata. Rasa cinta, kepercayaan, dan hasrat yang tak tertahankan memenuhi ruangan. Davies mendekat, memeluk Celine erat, merasakan kehangatan tubuh Celine di sampingnya. Malam itu, di antara desahan napas dan sentuhan lembut, mereka menyerahkan diri sepenuhnya pada ikatan cinta yang telah tumbuh di tengah badai, menjalin keintiman yang sesungguhnya, melampaui segala batas dan kontrak yang pernah ada. Mulai saat itu, dinding yang tak terlihat di antara mereka runtuh sepenuhnya. Mereka tidak lagi segan untuk saling berinteraksi secara intim saat di rumah. Kecanggungan perlahan menghilang, digantikan oleh kehangatan dan kenyamanan. Saat pagi, Davies tidak lagi terburu-buru pergi. Ia akan menarik Celine ke pelukannya, mengecup keningnya dengan lembut sebelum berangkat kerja. Saat makan malam, tangan mereka sering bertaut di bawah meja, berbagi cerita hari itu dengan tawa dan senyum yang tulus. Davies sering kali membiarkan Celine bersandar di bahunya saat mereka menonton televisi, mengusap rambutnya dengan sayang. Mereka berpelukan di sofa, saling berbagi kehangatan, jauh dari pandangan dunia luar yang sibuk. Keintiman yang mereka ciptakan di dalam rumah adalah milik mereka sendiri, sebuah ruang aman di mana mereka bisa menjadi diri sendiri, tanpa sandiwara, tanpa kontrak. Setiap sentuhan, setiap tatapan, setiap bisikan kini dipenuhi dengan perasaan yang mendalam. Pernikahan kontrak mereka telah berubah menjadi sesuatu yang jauh lebih indah dan nyata: sebuah kisah cinta yang tak terduga, lahir dari kekacauan dan ditemukan di tengah badai. Akankah hubungan baru ini bertahan di tengah tekanan dunia luar, ataukah ada tantangan lain yang menunggu Davies dan Celine? ___Dengan beban masa lalu yang perlahan terangkat, Gerald melangkah menjauh dari bayang-bayang Evan dan dunia lamanya. Udara pagi terasa lebih bersih, seolah beban di pundaknya telah terangkat. Ia tahu, jalan di depannya tidak akan mudah. Dunia yang telah ia tinggalkan tidak akan melepaskannya begitu saja. Namun kini, ia punya tujuan yang jelas: menjadi kakak yang pantas bagi Celine. Ia akan menebus kesalahannya, melindungi adiknya, dan membangun kembali apa yang telah hancur. Sementara itu, di kediaman mereka, Davies dan Celine duduk berdekatan di sofa, tangan mereka bertaut erat. Cahaya pagi menyusup masuk melalui jendela, menerangi wajah mereka yang tampak lelah namun tenang. Konflik yang telah memporak-porandakan mereka, badai demi badai yang terus datang, justru telah menempa sebuah ikatan yang tak terduga. Mereka telah melewati cobaan yang menyakitkan, bahaya yang mengancam nyawa, dan rahasia kelam yang nyaris menghancurkan segalanya. Namun, cinta yang tumbuh di tengah semua it
Tawaran gencatan senjata Davies menggantung di udara, dipenuhi harapan dan ketidakpastian. Gerald masih terdiam, wajahnya kaku, namun di dalam dirinya badai emosi tengah mengamuk. Kata-kata Davies tentang ayahnya yang juga tak bersih, menghantamnya dengan telak. Realitas pahit itu, bahwa dendamnya dibangun di atas fondasi yang rapuh, mulai meruntuhkan dinding pertahanannya. Namun, yang paling menghantamnya adalah tatapan Davies pada Celine, dan kata-kata, "Aku yakin kau juga tidak ingin... membawa adikmu ke dalam bahaya." Memori Celine yang pingsan, wajahnya yang pucat, dan peluru yang menembus kakinya, semua itu berkelebat di benak Gerald. Ia telah melukai adiknya sendiri, orang yang ia sayangi, demi sebuah dendam yang kini terasa hampa Gerald menyadari bahwa siklus dendam ini harus diakhiri. Ia tak ingin lagi hidup dalam bayang-bayang kegelapan yang telah merenggut begitu banyak darinya, masa mudanya, kebebasannya, dan kini, nyaris merenggut adiknya. Ia ingin sebuah kehidupa
Di ruang tamu rumah kecil itu, Gerald duduk di sofa, tatapannya kosong ke depan. Davies berdiri tidak jauh dari Celine, matanya tetap waspada, mengawasi setiap gerak-gerik Gerald. Celine duduk di sofa lain, menatap kakaknya dengan campuran luka dan kerinduan. "Aku... aku minta maaf, Celine," Gerald memulai, suaranya terdengar berat, dipenuhi beban masa lalu yang menyesakkan. "Aku tahu aku tidak pantas dimaafkan. Aku sudah meninggalkanmu dan memilih jalan seperti ini." Ia menghela napas panjang, lalu mulai menceritakan semuanya. Gerald melarikan diri dari kekejaman sang ayah, dari rumah yang penuh dengan pukulan dan teriakan. Ia mencari perlindungan di rumah teman, tempat yang tanpa disangka menjadi awal dari jalan gelapnya. Ayah temannya, seorang mafia berpengaruh, melihat potensi dalam dirinya, mungkin juga rasa sakitnya. Lingkungan itu membentuknya, mengajarinya kerasnya hidup, dan perlahan membawanya pada keterlibatan dalam bisnis gelap yang kini menjeratnya. Ia tidak menyembuny
Di markasnya yang gelap, Gerald duduk sendiri di balik meja besarnya dengan segelas wiski di tangan. Telinganya yang terluka masih berdenyut nyeri, namun rasa sakit fisik itu tak seberapa dibandingkan gejolak di hatinya. Pikirannya melayang pada Celine, adiknya, dan ingatan tentang masa lalu yang pahit. Ia teringat masa kecil adiknya, Celine yang polos dan ceria, selalu tersenyum, selalu ingin tahu. Sebuah kontras yang tajam dengan kekejaman ayahnya yang tak terlupakan, seringai kejam, dan cambukan yang dulu biasa mendarat di tubuhnya. Ayahnya, seorang pria yang seharusnya melindungi, justru menjadi sumber teror di rumah mereka. Gerald selalu berusaha melindungi Celine dari amarah ayah mereka, menjadi perisai bagi adiknya yang rapuh. Semua itu memuncak pada satu malam yang dingin, bertahun-tahun silam. Setelah pertengkaran hebat dengan ayahnya, di mana Gerald mencoba membela Celine, ia akhirnya memutuskan pergi. Ia kabur dari rumah, meninggalkan Celine dan ayahnya, sebuah keputusan
Davies menggendong Celine ke kamar, dengan hati-hati membaringkannya di tempat tidur. Ia memeriksa kaki Celine yang terluka, menekan lukanya dengan tangan untuk menghentikan pendarahan, berusaha menenangkan napasnya yang masih memburu. Di ruang tamu, Gerald masih berdiri mematung. Darah terus mengalir dari telinganya yang terluka, menodai kerah kemejanya yang mahal. Matanya kosong, menatap lantai, seolah sedang memproses realitas yang baru saja menamparnya. Adik perempuannya. Adiknya yang ia tinggalkan sejak lama, kini tergeletak tak sadarkan diri, bersama orang yang ia siksa, ia kendalikan, ia manfaatkan. Keheningan mencekam menyelimuti ruangan. Tidak ada pengikut Gerald yang berani bicara. Mereka hanya saling pandang, bingung dengan perubahan sikap pemimpin mereka yang tiba-tiba. Sesaat setelah itu, tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Gerald berbalik. Langkahnya berat, namun tegas. Ia berjalan keluar dari rumah, diikuti oleh para pengikutnya yang masih terkejut. Pintu depan tert
Malam itu, di rumah kecil di kota terpencil, ketegangan terasa begitu pekat. Davies dan Celine duduk dalam keheningan, hanya ditemani suara napas mereka yang berat. Davies berdiri di dekat jendela, matanya menatap tajam ke jalanan yang gelap. Tiba-tiba, lampu sorot mobil menyinari kegelapan. Sebuah iring-iringan mobil hitam melaju perlahan, berhenti di depan rumah. Jantung Davies mencelos. Itu Gerald, pemimpin sindikat paling berbahaya di Sidney. "Sembunyi, Celine! Sekarang!" desis Davies, suaranya penuh urgensi. Ia berbalik, matanya menatap Celine. "Masuk ke loteng. Aku akan mengulur waktu di sini." Celine mengangguk, wajahnya pucat pasi namun tekadnya tak goyah. Ia tahu apa yang harus ia lakukan. Davies melangkah ke lemari, menarik laci, dan mengeluarkan sebuah Glock 17, pistol semi-otomatis mematikan yang diam-diam ia ambil dari gudang sewaktu melarikan diri kala itu. Ia memeriksa magasinnya, memastikan peluru terisi penuh. "Jangan pernah keluar sampai aku memberimu tan