Marcus tidak menyia-nyiakan waktu. Begitu ada kesempatan, di sebuah acara makan malam bisnis yang dihadiri banyak kolega dan media, ia melancarkan serangannya.
"Pernikahan Davies dan Celine, ya?" Marcus memulai, suaranya lantang, diselingi tawa sinis. "Aku dengar ini hanyalah pernikahan kontrak, demi warisan Kakek Davies. Kalian tidak benar-benar saling mencintai, kan?" Bisikan-bisikan mulai terdengar, namun Davies dan Celine telah membangun sandiwara mereka dengan begitu meyakinkan. Davies merangkul pinggang Celine, menatapnya dengan pandangan penuh kasih, sebuah ekspresi yang kini terasa lebih alami dari yang ia bayangkan. Celine tersenyum tipis, menggelengkan kepalanya dengan lembut. "Marcus, jangan bicara yang tidak-tidak. Davies adalah pria terbaik yang pernah kutemui," jawab Celine, suaranya tenang dan penuh keyakinan. Kata-katanya keluar dengan begitu natural, membuat Davies sendiri sedikit terkejut. Sandiwara yang telah mereka bangun begitu kokoh, detail-detail yang mereka susun dengan cermat, kini terbayar. Publik dan sebagian besar kolega bisnis Davies tidak percaya pada tuduhan Marcus. Mereka justru melihat Marcus sebagai pria yang iri dan putus asa. Meskipun demikian, Marcus tak menyerah. Ia adalah pria yang pantang menyerah dalam mencapai tujuannya. Kegagalannya di depan umum hanya memicu amarah dan kecerdikannya. Ia mulai mengganggu pekerjaan Davies dengan berbagai cara licik. Kontrak-kontrak penting tiba-tiba bermasalah, investor-investor potensial tiba-tiba mundur, dan gosip-gosip tak sedap menyebar di kalangan bisnis, semuanya mengarah pada ulah Marcus. Davies harus bekerja ekstra keras untuk mengatasi kekacauan yang diciptakan Marcus. Di sisi lain, Marcus juga secara intens mendekati Celine. Ia mulai sering mengirim bunga ke rumah, mengirim pesan singkat yang bernada "perhatian", dan bahkan mencoba "secara kebetulan" bertemu Celine di luar. "Kau tidak pantas disia-siakan oleh Davies, Celine," katanya suatu kali, saat ia berhasil mencegat Celine di lobi gedung kantor. "Aku bisa menyelamatkanmu dari pernikahan palsu ini. Aku tahu kau tidak bahagia." Celine merasa muak dengan tingkah Marcus. Ia selalu menolaknya dengan sopan namun tegas, namun Marcus tak gentar. Ia bahkan mulai berani mengutarakan ancaman terselubung jika Celine tidak mau "bekerja sama." Kini, setiap hari adalah medan pertempuran. Marcus menciptakan kekacauan dan konflik terbuka yang sengit, bertekad untuk menghancurkan Davies secara profesional dan merebut Celine untuk kepuasan pribadinya. Ketegangan di antara mereka bertiga mencapai puncaknya, mengancam untuk meruntuhkan tidak hanya pernikahan kontrak, tetapi juga segala hal yang telah Davies dan Celine bangun. *** Badai yang diciptakan Marcus semakin mengganas, memaksa Davies dan Celine untuk bersatu dan berkoordinasi lebih erat dari sebelumnya. Rumah mewah itu, yang tadinya dipenuhi aturan tak kasat mata, kini menjadi markas strategi mereka. Mereka berdiskusi hingga larut malam di ruang kerja Davies, bukan lagi tentang detail kontrak, melainkan tentang cara menghadapi ancaman yang kini bersifat sangat pribadi dan profesional. "Marcus mencabut tawaran investasinya di proyek 'Titan'," kata Davies, rahangnya mengeras. "Dia juga menyebarkan rumor tentang kelemahan keuangan perusahaanku." Ia memijat pelipisnya, tampak lelah. Celine, yang duduk di seberangnya, menggeser beberapa berkas. "Dia juga mencoba menghubungiku lagi hari ini," katanya, nadanya datar namun ada kekesalan. "Mengatakan hal-hal konyol tentang 'menyelamatkanku'." Mereka harus menyusun strategi, berbagi informasi, dan benar-benar bertindak sebagai satu tim. Interaksi mereka kini jauh melampaui formalitas. Davies mulai mendengarkan ide-ide Celine dengan lebih serius, bahkan mengakui beberapa di antaranya brilian. Celine, di sisi lain, belajar lebih banyak tentang dunia bisnis yang kejam dari Davies, dan bagaimana pria itu mampu tetap tenang di tengah badai. Di tengah kekacauan dan tekanan yang hebat itu, sebuah hal tak terduga mulai tumbuh. Mereka mulai merasakan kedekatan yang tak terduga, sebuah ikatan yang melampaui kontrak. Mereka tertawa bersama saat menemukan celah lucu dalam rencana Marcus, berbagi pandangan kesal saat Marcus berhasil menciptakan masalah baru, dan saling menopang ketika salah satu dari mereka merasa putus asa. Suatu sore, Davies dan Celine sedang menghadiri sebuah acara amal. Marcus mendekati Celine, tangannya dengan lancang meraih tangan Celine untuk dicium. "Kau terlihat memukau malam ini, Nyonya Davies. Davies harusnya lebih sering mengajakmu ke acara-acara seperti ini," ucap Marcus, tatapannya penuh maksud. Celine mencoba menarik tangannya, namun Marcus menahannya. Saat itulah, Davies yang sedang berbicara dengan klien di dekatnya, melihat kejadian itu. Matanya seketika menajam. Ekspresi dingin yang selalu ia kenakan kini terpecah oleh emosi yang jelas. Davies melangkah cepat, menarik tangan Celine dari genggaman Marcus dengan gerakan halus namun tegas. "Marcus, aku pikir kau ada urusan lain," desis Davies, suaranya rendah namun penuh peringatan. Ada nada cemburu yang jelas, sebuah emosi yang belum pernah ia duga akan muncul dalam dirinya. Davies, yang selama ini dingin dan rasional, kini merasakan gejolak aneh di dadanya. Perasaan possessive, sebuah keinginan untuk melindungi Celine dari pria lain. Itu adalah realisasi yang mengejutkan. Marcus tersenyum sinis, namun ia mundur. Davies merangkul pinggang Celine erat, tatapannya kini tak lagi pura-pura. Dalam pelukan itu, Celine merasakan detak jantung Davies yang bergemuruh, sama seperti detak jantungnya sendiri. Badai Marcus mungkin ingin menghancurkan mereka, tetapi tanpa sadar, ia justru menempa sebuah ikatan baru yang lebih kuat. *** Intrik dan bahaya yang diciptakan Marcus masih terus berlanjut, semakin mengintensifkan suasana di antara Davies dan Celine. Malam-malam mereka kini dihabiskan untuk diskusi strategi, bukan lagi sebagai aktor dalam sebuah sandiwara, melainkan sebagai sekutu dalam perang. "Dia baru saja mencoba memanipulasi dewan direksi," Davies melaporkan suatu malam, peta jaringan perusahaannya terhampar di meja. "Kita harus mematahkan rantainya, satu per satu, sampai dia tidak bisa bergerak lagi." Celine mengangguk. "Bagaimana kalau kita menggunakan kelemahannya?" Ia menunjuk sebuah nama di peta. "Dia selalu haus publisitas, kan? Dan dia benci kekalahan." Mereka mulai merencanakan setiap langkah dengan hati-hati. Davies menjelaskan seluk-beluk dunia korporat yang kejam, sementara Celine, dengan kecerdasan analitisnya, menemukan celah-celah yang tak terpikirkan oleh Davies. Mereka bertukar pikiran, membedah setiap kemungkinan, dan membangun skenario balasan yang mematikan. "Kita akan menjebaknya dalam kesepakatan yang dia pikir akan menguntungkannya," Davies menjelaskan, seringai tipis muncul di wajahnya. "Tapi sebenarnya itu akan mengikat tangannya." Hubungan yang tadinya kaku dan formal kini mulai mencair di bawah tekanan. Setiap pertemuan rahasia di ruang kerja Davies, setiap bisikan strategi yang dibagikan di tengah malam, membawa mereka lebih dekat dari yang pernah mereka bayangkan. Ada tawa kecil saat rencana mereka terdengar terlalu gila, ada tatapan penuh pengertian ketika salah satu dari mereka merasa frustrasi, dan ada sentuhan singkat yang kini terasa alami. Mereka saling melindungi dari serangan Marcus yang tak terduga, menjadi perisai bagi satu sama lain. Beberapa minggu kemudian, rencana mereka dieksekusi. Davies mengumumkan sebuah kesepakatan besar yang melibatkan Marcus, sebuah proyek ambisius yang akan menjanjikan keuntungan fantastis. Marcus, yang terbutakan oleh ambisi dan keinginan untuk mempermalukan Davies, langsung menyambar umpan itu tanpa berpikir panjang. Ia menandatangani kontrak-kontrak yang telah dirancang Davies dengan sangat licik, tanpa menyadari klausul-klausul tersembunyi yang akan menjeratnya. Beberapa hari setelah pengumuman itu, dunia Marcus runtuh. Detail-detail dari kontrak yang mengikatnya mulai terkuak ke publik. Ia bukan hanya kehilangan proyek-proyek penting, tetapi juga menghadapi gugatan hukum besar-besaran karena klausul yang tidak ia perhatikan. Reputasinya hancur. Aset-asetnya dibekukan. Pukulan itu begitu fatal sehingga Marcus terpaksa menyatakan bangkrut, dan namanya menjadi aib di kalangan bisnis. Konsekuensi buruk yang sangat berat itu adalah hasil dari kerja sama tak terduga antara Davies dan Celine. Davies menatap berita utama di koran, sebuah senyum kemenangan samar terukir di bibirnya. Ia melirik Celine yang duduk di sampingnya, ada rasa hormat dan sesuatu yang lebih dalam di matanya. Mereka telah memenangkan pertempuran ini bersama. Setelah ancaman Marcus tak lagi ada, akankah Davies dan Celine kembali ke perjanjian kontrak mereka, ataukah kemenangan ini akan membuka jalan bagi hubungan yang lebih tulus? ___Dengan beban masa lalu yang perlahan terangkat, Gerald melangkah menjauh dari bayang-bayang Evan dan dunia lamanya. Udara pagi terasa lebih bersih, seolah beban di pundaknya telah terangkat. Ia tahu, jalan di depannya tidak akan mudah. Dunia yang telah ia tinggalkan tidak akan melepaskannya begitu saja. Namun kini, ia punya tujuan yang jelas: menjadi kakak yang pantas bagi Celine. Ia akan menebus kesalahannya, melindungi adiknya, dan membangun kembali apa yang telah hancur. Sementara itu, di kediaman mereka, Davies dan Celine duduk berdekatan di sofa, tangan mereka bertaut erat. Cahaya pagi menyusup masuk melalui jendela, menerangi wajah mereka yang tampak lelah namun tenang. Konflik yang telah memporak-porandakan mereka, badai demi badai yang terus datang, justru telah menempa sebuah ikatan yang tak terduga. Mereka telah melewati cobaan yang menyakitkan, bahaya yang mengancam nyawa, dan rahasia kelam yang nyaris menghancurkan segalanya. Namun, cinta yang tumbuh di tengah semua it
Tawaran gencatan senjata Davies menggantung di udara, dipenuhi harapan dan ketidakpastian. Gerald masih terdiam, wajahnya kaku, namun di dalam dirinya badai emosi tengah mengamuk. Kata-kata Davies tentang ayahnya yang juga tak bersih, menghantamnya dengan telak. Realitas pahit itu, bahwa dendamnya dibangun di atas fondasi yang rapuh, mulai meruntuhkan dinding pertahanannya. Namun, yang paling menghantamnya adalah tatapan Davies pada Celine, dan kata-kata, "Aku yakin kau juga tidak ingin... membawa adikmu ke dalam bahaya." Memori Celine yang pingsan, wajahnya yang pucat, dan peluru yang menembus kakinya, semua itu berkelebat di benak Gerald. Ia telah melukai adiknya sendiri, orang yang ia sayangi, demi sebuah dendam yang kini terasa hampa Gerald menyadari bahwa siklus dendam ini harus diakhiri. Ia tak ingin lagi hidup dalam bayang-bayang kegelapan yang telah merenggut begitu banyak darinya, masa mudanya, kebebasannya, dan kini, nyaris merenggut adiknya. Ia ingin sebuah kehidupa
Di ruang tamu rumah kecil itu, Gerald duduk di sofa, tatapannya kosong ke depan. Davies berdiri tidak jauh dari Celine, matanya tetap waspada, mengawasi setiap gerak-gerik Gerald. Celine duduk di sofa lain, menatap kakaknya dengan campuran luka dan kerinduan. "Aku... aku minta maaf, Celine," Gerald memulai, suaranya terdengar berat, dipenuhi beban masa lalu yang menyesakkan. "Aku tahu aku tidak pantas dimaafkan. Aku sudah meninggalkanmu dan memilih jalan seperti ini." Ia menghela napas panjang, lalu mulai menceritakan semuanya. Gerald melarikan diri dari kekejaman sang ayah, dari rumah yang penuh dengan pukulan dan teriakan. Ia mencari perlindungan di rumah teman, tempat yang tanpa disangka menjadi awal dari jalan gelapnya. Ayah temannya, seorang mafia berpengaruh, melihat potensi dalam dirinya, mungkin juga rasa sakitnya. Lingkungan itu membentuknya, mengajarinya kerasnya hidup, dan perlahan membawanya pada keterlibatan dalam bisnis gelap yang kini menjeratnya. Ia tidak menyembuny
Di markasnya yang gelap, Gerald duduk sendiri di balik meja besarnya dengan segelas wiski di tangan. Telinganya yang terluka masih berdenyut nyeri, namun rasa sakit fisik itu tak seberapa dibandingkan gejolak di hatinya. Pikirannya melayang pada Celine, adiknya, dan ingatan tentang masa lalu yang pahit. Ia teringat masa kecil adiknya, Celine yang polos dan ceria, selalu tersenyum, selalu ingin tahu. Sebuah kontras yang tajam dengan kekejaman ayahnya yang tak terlupakan, seringai kejam, dan cambukan yang dulu biasa mendarat di tubuhnya. Ayahnya, seorang pria yang seharusnya melindungi, justru menjadi sumber teror di rumah mereka. Gerald selalu berusaha melindungi Celine dari amarah ayah mereka, menjadi perisai bagi adiknya yang rapuh. Semua itu memuncak pada satu malam yang dingin, bertahun-tahun silam. Setelah pertengkaran hebat dengan ayahnya, di mana Gerald mencoba membela Celine, ia akhirnya memutuskan pergi. Ia kabur dari rumah, meninggalkan Celine dan ayahnya, sebuah keputusan
Davies menggendong Celine ke kamar, dengan hati-hati membaringkannya di tempat tidur. Ia memeriksa kaki Celine yang terluka, menekan lukanya dengan tangan untuk menghentikan pendarahan, berusaha menenangkan napasnya yang masih memburu. Di ruang tamu, Gerald masih berdiri mematung. Darah terus mengalir dari telinganya yang terluka, menodai kerah kemejanya yang mahal. Matanya kosong, menatap lantai, seolah sedang memproses realitas yang baru saja menamparnya. Adik perempuannya. Adiknya yang ia tinggalkan sejak lama, kini tergeletak tak sadarkan diri, bersama orang yang ia siksa, ia kendalikan, ia manfaatkan. Keheningan mencekam menyelimuti ruangan. Tidak ada pengikut Gerald yang berani bicara. Mereka hanya saling pandang, bingung dengan perubahan sikap pemimpin mereka yang tiba-tiba. Sesaat setelah itu, tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Gerald berbalik. Langkahnya berat, namun tegas. Ia berjalan keluar dari rumah, diikuti oleh para pengikutnya yang masih terkejut. Pintu depan tert
Malam itu, di rumah kecil di kota terpencil, ketegangan terasa begitu pekat. Davies dan Celine duduk dalam keheningan, hanya ditemani suara napas mereka yang berat. Davies berdiri di dekat jendela, matanya menatap tajam ke jalanan yang gelap. Tiba-tiba, lampu sorot mobil menyinari kegelapan. Sebuah iring-iringan mobil hitam melaju perlahan, berhenti di depan rumah. Jantung Davies mencelos. Itu Gerald, pemimpin sindikat paling berbahaya di Sidney. "Sembunyi, Celine! Sekarang!" desis Davies, suaranya penuh urgensi. Ia berbalik, matanya menatap Celine. "Masuk ke loteng. Aku akan mengulur waktu di sini." Celine mengangguk, wajahnya pucat pasi namun tekadnya tak goyah. Ia tahu apa yang harus ia lakukan. Davies melangkah ke lemari, menarik laci, dan mengeluarkan sebuah Glock 17, pistol semi-otomatis mematikan yang diam-diam ia ambil dari gudang sewaktu melarikan diri kala itu. Ia memeriksa magasinnya, memastikan peluru terisi penuh. "Jangan pernah keluar sampai aku memberimu tan