Tubuh jangkung itu menghimpitnya ke dinding. Punggung Kania kini sudah menyentuh dinding yang dingin.
"Bapak mau ngapain? Jangan macam-macam, ya!" serunya panik.
Marlo tak mempedulikan protes dari Kania. Tangannya menapak di dinding belakang tubuh Kania. Kepala Marlo menyuruk di cekungan leher wanita itu.
"Pak, saya ingatkan lagi, Bapak jangan macem-macem, ya!"
Kini kepala Marlo bersandar miring di pundak Kania. Rambut lelaki itu menyapu telinga Kania.
Wanita itu sudah siap mendorongnya, tetapi tangannya seperti tersengat kompor. Badan Marlo terasa begitu panas di telapak Kania.
"Pak?"
Posisi Marlo kini memeluk tubuh Kania, merapat ke dinding, matanya terpejam. Rasanya nyaman sekali berdiri memeluk Kania seperti itu.
Wanita itu kian merasakan sengatan panas tubuh Marlo hampir di sekujur tubuhnya. "Pak! Astaga! Bapak demam ini!" seru Kania semakin panik
"Sst ...! Udah diem aja, saya pinjam tubu
“Divia, gimana Nadin? Masih demam, enggak?” Suara itu kian akrab di telinga Divia. “Damar? Udah, udah kok, udah enggak panas. Kita lagi main ini,” jawab Divia, ia melirik ke arah Nadin yang sedang memainkan boneka Barbie. “Udah makan?” “Udah, Nadin kan harus minum obat. Jadi tadi udah makan sebelum minum obat.” “Mmm. Kalau Piza, Nadin suka nggak?” “Nggak tahu, coba bentar gue tanyain, ya.” Divia berpaling pada Nadin, tangan kanannya yang memegang ha
Lelaki jangkung itu menarik tangan Kania dengan kasar. Langkah-langkahnya yang panjang membuat Kania seperti terseret harus mengikuti supaya tidak tertinggal."Kita ke mana, sih, Pak?"Kania melirik wajah atasannya yang kaku, tanpa ekspresi.Jangan-jangan gue mau dibantai ini, pikiran jelek Kania tiba-tiba muncul."Pak, ngapain kita ke sini? Enggak mau, saya mau kembali ke kamar aja." Protes wanita dengan kaus longgar dan celana yoga itu.Marlo membawa Kania naik ke sebuah bangunan tinggi dengan cor beton. Bagian atas bangunan itu terbuka tanpa ada peneduh. Dari tempat mereka berdiri saat ini mereka bisa melihat hamparan pohon sawit membentang sampai batas cakrawala."Saya, saya belum pernah ke tempat ini. Menakjubkan! " Mata Kania terbuai oleh hamparan gelap di bawahnya.Mendung yang sedari siang menggantung di langit sudah sirna, kini cahaya rembulan muncul menyinari hamparan sawit yang berjajar
"Asyik! Onty Vi, kita main sebelah sana, yuk! Nadin mau ke situ, ayo, Onty!" Gadis kecil itu terus bergerak ke sana ke mari, hatinya sungguh riang bisa berlibur sementara waktu."Nadin, Onty Vi mungkin capek, sama Om Damar aja, ya. Nanti Onty nyusul."Gadis kecil itu mengangguk dengan semangat. Damar mengulurkan tangan, Nadin menyambutnya dengan suka ria. Gadis itu berjalan melompat-lompat di samping Damar. Divia melihat pemandangan di depannya dengan senyum semringah. Orang pasti mengira mereka adalah keluarga kecil bahagia. Sayangnya hal itu jauh dari kenyataan.Divia berjalan memutar playground, ia berencana memesan minuman untuk mereka bertiga sebelum bergabung bersama Nadin dan Damar."Jay? " Divia mengenali sosok lelaki yang sedang merangkul gadis belia di depannya. Jantungnya berdebar kencang. Rasa tak karuan antara amarah dan kecewa.Lelaki itu menoleh dan cukup terkejut mendapati Divia di tempat itu. Ia segera m
Perjalanan berjam-jam lewat darat dan disambung dengan perjalanan udara selama hampir dua jam cukup melelahkan. Kania dan Marlo akhirnya sampai di Ibu Kota. Mereka keluar dari bandara sudah cukup larut malam karena penerbangan yang mereka ambil tadi adalah penerbangan terakhir."Saya antar pulang," kata Marlo kaku. Lelaki itu berjalan di sisinya sambil menggeret travel bag masing-masing."Enggak usah, Pak. Terima kasih. Saya bisa pulang sendiri, kok.""Kania!" Sebuah suara familiar memanggil nama wanita itu. Mereka berdua kompak menoleh.Barry berdiri tegak tak jauh dari mereka dengan kaus turtleneck lengan panjang berwarna cokelat dan celana denim. Rambutnya rapi dipoles styling gel."Ba-Barry?" Kania tampak ragu-ragu. Ia melirik bergantian antara Marlo dan Barry. Wanita itu sempat melihat rahang Marlo yang tiba-tiba mengeras, tapi hanya sekilas. Nyaris tak kentara. Wajah Marlo kembali datar dalam wakt
"Mama enggak ke kantor?" Gadis kecil berseragam sekolah warna kuning itu menggigiti pinggiran roti lapis isi selai yang menjadi sarapannya."Mama libur, Sayang." Wanita muda dengan gaun pendek warna peach itu mengoles sebuah roti tawar lagi dengan selai bluebery."Asiiik, berarti Mama bisa anterin Nadin ke sekolah, yaa!"Kania mengangguk sambil tersenyum melihat Nadin yang berjingkat-jingkat bahagia."Iya, Mama anterin ke sekolah, tapi habiskan dulu sarapannya ya, minum susunya juga!""Iya, Ma. " Gadis itu segera melahap roti lapis kesukaannya, kemudian menghabiskan segelas susu putih yang dibuat oleh Bi Darni.Divia muncul membawa dua tenteng tas penuh di kedua tangannya."Kan, gue berangkat dulu, ya. Lu istirahat, ntar habis anterin Nadin, okay?""Makasih banyak, ya. Vi!" Kania mencium pipi sahabatnya. "Gue banyak berutang sama elu, beneran! Makasih banyak pokoknya udah jagain Nadin selama gu
Kania mematut diri di cermin sebelum berangkat ke kantor. Hari ini adalah hari presentasinya kembali di rapat direksi. Hari ini juga launching project-nya bersama dengan Barry, sebuah buku panduan bisnis yang telah digarap selama beberapa minggu. Kania mematut gaun dalamnya yang berupa gaun resmi tanpa lengan berwarna lavender dengan kerah bundar sepanjang lutut. Sebagai outer ia memakai blazer warna hitam sebatas panggul, dengan lengan sebatas siku. Rambutnya kemarin sudah digunting rapi dengan style bob pendek di atas bahu, membuat wajahnya semakin berkilau. “Mama sudah siap?” Nadin muncul sudah berseragam sekolah lengkap. “Siap, Sayangku. Kita berangkat sekarang?” &nb
Singapura Empat orang lelaki tegap masuk ke sebuah apartemen di lantai sepuluh. Para lelaki itu dengan mudah masuk melalui pintu depan. Sudah beberapa hari ini, mereka diperintahkan untuk mengawasi unit apartemen tersebut. Kini, mereka sudah menerima perintah baru untuk melaksanakan tugas yang telah dibahas sebelumnya.Seorang gadis kecil yang sedang tidur lelap di ranjang diangkat sedemikian rupa, lalu dibawa begitu saja oleh lelaki itu. Sang Ibu histeris, ia meraung-raung meratapi putri kecilnya yang diambil. Badannya lemah menggelosor di lantai, ia terus memanggil-manggil nama putri kesayangannya. Namun, para lelaki berbadan tegap itu tak menghiraukan.Wanita berhidung mancung itu seperti tersadar akan sesuatu, lantas segera berdiri meraih ponselnya.Ia berusaha melakukan panggilan ke salah satu nama di kontaknya. Namun, sambungan tersebut tak
“A-a-ada telepon!” Kania menarik diri dari Barry. Wanita itu segera merapikan baju dan rambutnya yang sedikit berantakan. Mereka masih berada di dalam mobil. Tangan Barry masih menggengam erat tangan Kania, walaupun wanita itu berusaha menjauh. Wajah Kania merona merah, bibirnya membengkak karena habis dilumat oleh Barry.Barry mengambil ponsel di sela-sela duduk mereka berdua. Mengamati sebuah nama inisial muncul di layar ponsel pintarnya. Wajahnya menunjukkan kekhawatiran. Ia tidak mungkin mengangkat telepon tersebut di hadapan Kania, ia memutuskan untuk melanjutkan perjalanan kembali menuju kantor.“Kita jalan lagi, ya,” bisik Barry lembut sambil memandangi sang kekasih.