Rasa itu muncul kembali dihatinya. Meski sosok dihadapannya tak lagi sama seperti dulu. Dengan mata penuh cinta dan harapan Druf melepaskan pelukan Dilara dan menyongsong kekasihnya itu. Tak dihiraukannya larangan Frans. Bahkan tanpa sadar pula ia mendorong William menjauh saat panglima vampir itu menghadangnya. Cinta. Ya, cinta dihatinya membutakan kesadarannya akan makhluk buas yang kini menatapnya licik. “Tidak tuan, dia bukan vampir seperti kita. Dia zombie tuan. Seseorang telah menjadikannya monster.” Frans menahan tangan Druf namun di tepisnya. Dilara yang masih shock dengan sosok adiknya yang sudah meninggal itu, tersadar kemudian menghadang Druf. Direntangkan tangannya dan ditatapnya mata Druf lekat-lekat. “Druf, aku tahu ini berat bagimu. Tapi ini juga berat bagiku. Tapi yang kita hadapi saat ini bukanlah Elena kita. Dia hanya monster yang memanfaatkan tubuh Elena untuk menipumu.” Ucap Dilara. Sejenak Druf teralihkan pandangannya. Hatinya mulai bimbang. Sisi yang lain i
Aula kampus terasa sepi saat liburan. Biasanya tempat itu selalu ramai oleh mahasiswa yang sedang istirahat. Ia masih ingat bagaimana para mahasiswi selalu memekik kegirangan apabila bertemu dengannya. Entah apa yang mereka suka darinya. Ketampanannya? Kekayaaannya? Atau fisiknya yang sempurna. Mereka tak pernah tahu ia hanyalah manusia setengah iblis. Siapapun yang dekat dengannya berarti dekat dengan kematiannya. Dirabanya bangku kosong tempat Elena berdiri. Disitulah mereka pertama kali bertemu. Dan ia juga masih ingat di taman itulah Elena jatuh. Dihelanya nafas. Hatinya merasa hampa. Dan tambah perih ketika harus berhadapan dengan tubuh gadis yang dicintainya sudah dikuasai iblis. Ia tidak akan pernah memaafkan siapapun orang yang telah memanfaatkan tubuhnya menjadi zombie seperti itu. “Owh, sepertinya ada yang merindukanku,” ucap suara serak yang membuyarkan lamunannya. Druf waspada. Elena kembali muncul bersama vampir liar. Jumlah mereka cukup banyak. Dalam hati Druf bena
Druf menemukan undangan besar di bawah map yang baru saja dipelajarinya. Besok. Jam 7 pagi di Hotel Central. Acara pertemuan para pengusaha. Shit, Druf membatin. Mendadak sekali. Tempat itu tepat berada di jantung kota london. Ia harus berangkat hari ini agar bisa istirahat sejenak di hotel. Dan paginya ia harus tampil fresh. Walaupun acara ini hanya acara pertemuan rutin yang biasa dihadiri pamannya, tapi acara itu sangatlah penting. Untuk kemajuan perusahaannya di berbagai negara. Dan kemungkinan dapat menjalin hubungan kerjasama baru dengan perusahaan lain. Dulu, pamannya yang selalu mewakilinya. Sekarang ia akan melakukannya sendiri. Satu hal terpenting. Vampir harus kaya. Dengan begitu ia bisa membeli stok darah untuk para vampir yang mengabdi padanya. Ia pula yang akan memberi pekerjaan kepada para vampir. Dipencetnya bel yang terdapat di bawah meja. Tak berapa lama seorang pelayan datang. “Siapkan mobil kesayanganku. Dan suruh pelayan lain mengabari Brian dan Frans aku a
Acara pertemuan diadakan di taman hotel yang luas. Konsep outdor seperti inilah yang paling disukai Druf. Saat ini ia memakai setelan celana hitam dan tuxedo mewah. Ia meraih segelas wine yang diedarkan pelayan. Di sudut ruang bertenda. Dua wanita seksi bisikbisik sambil memandang kearahnya. Wajahnya sangat tak asing. Dua wanita tersebut artist papan atas yang sengaja diundang untuk memeriahkan acara. Yang satu penyanyi dan yang satunya aktris film. Ketua perkumpulan pengusaha Robert Hilton memanggil semua undangan untuk berkumpul di tenda tengah taman. Karena acara akan dimulai. Druf juga segera memenuhi panggilan itu. Sejenak orangorang yang berpapasan dengannya menatapnya heran. Di mimbar sederhana yang dipenuhi lampu pesta. Tampak Robert Hilton bersama putrinya sedang berdiri di depan podium. Druf menatap dingin kearah putrinya. Ternyata gadis yang ia temui di hotel memang benar putri konglomerat. Dia putrinya Robert. Lalu bagaimana bisa ia ditangkap pelayan kemudian disangka pe
Druf baru saja membuka pintunya. Namun di dalam kamarnya ia mendapati Angelica sedang duduk dan tersenyum ke arahnya. Senyum yang begitu menawan. Namun Druf hanya menanggapinya datar. “Kau ini hantu atau apa,” ucap Druf. Mungkin gadis itu mendapatkan akses khusus dari hotel sehingga bisa masuk ke kamarnya.“Terserah.” “Mau apa disini?” Druf memasukkan barang yang mau dibawa pulang. “Kau tadi mengikuti ku ya?” tanya Angelica“Hanya penasaran. Sepertinya David sudah memberitahumu.” Kini Druf sedang meneliti dokumennya dan membubuhkan beberapa tanda tangan di sana. Tak lupa ia menempelkan stempel di sana. Anggelica menatapnya kagum. “Jadi, benar mau menjadi donatur?” ucap Angelica seraya mendekat. “Ya, datanglah ke rumah. Ajak David.” Kini Druf sedang mengupas jeruk yang disediakan hotel di atas meja. Angelica terus mendekat tiba-tiba memeluknya dari belakang. “Lepas, kau gila ya?” Druf mendelik marah sambil berusaha melepaskan pelukan Angelica. “Sudah dua kali kau menolak ku
Samuel menerjang dan terus melancarkan serangan. Inilah hal pertama yang ia takutkan terjadi menimpa Druf. Ia berjuang mati-matian melindungi anak itu bagaimanapun caranya. Ia tak segan melenyapkan siapapun yang membahayakan tuannya. Bahkan ia harus menipu Druf demi kebaikannya. “Apa yang kau dapat dengan menentang ku Samuel!” Victoria berteriak berang. Bagaimanapun juga, bagi bangsa vampir kedudukan Victoria lebih tinggi daripada Samuel.“Aku tidak menentangmu. Aku hanya melindungi tuanku. Dan kau adalah bahaya terbesar yang paling mengancam tuan Druf,” Ucap Samuel. “Sudah berkali-kali ku katakan. Aku tak mungkin menyakitinya.” “Cuih. Sekarang saja kau sudah menyakitinya. Menyakiti mentalnya. Pergi menjauh atau kau ku bunuh.” Balas Samuel tak kalah sengit. Ia sadar salah satu kebusukan Victoria adalah pandai bersilat lidah. Tidak ada gunanya meladeni wanita itu. Lagipula Victoria tidak lagi diakui sebagai ratu. ia telah mengkhianati bangsa vampir dengan membahayakan Druf dan juga
Suara derap kuda mendekat. Samar-samar terdengar suara wanita berteriak. Dicabutnya batang yang menembus dada. Dengan agak terseret-seret tubuh berat ini dibawanya entah kemana. Kemudian.......... GELAP. *** Ia mengelap dahi dan tubuh pemuda seusianya yang kini terbaring lemah di kasurnya. Ia masih mengingat ucapan kakaknya Dior, jika ingin pemuda itu hidup ia harus menjaganya dengan baik. Terutama luka di dadanya agar tidak terinfeksi. Pemuda itu beruntung karena kayu yang merobek dadanya luput dari semua organ dalam tubuhnya. Untung ia menemukannya lebih cepat, jika tidak pemuda itu tidak akan memiliki harapan hidup sama sekali. Tapi ia dan kakaknya sama-sama tak mengerti, kenapa infus tidak bisa memasuki tubuhnya. Bahkan jarum saja sulit untuk menembus kulitnya. Beruntung lagi mereka berdua bisa ilmu pengobatan tradisional di samping kedokteran. Sehingga untuk sementara. Ia hanya di obati secara tradisional. Pemuda itu tampan. Tubuhnya berotot. Ia pasti digilai banyak wanita.
William pulang dengan lesu. Ia kehilangan jejak Druf. Anak buah yang lain juga sama. Tak ada seorang-pun masyarakat melihat pemuda terluka maupun kuda yang mencurigakan. Bahkan jejak kaki kuda hilang karena setelah jalan setapak yang dilewatinya kuda tersebut melewati jalan raya sehingga tak meninggalkan jejak apapun. Meski begitu pencarian tetap di lakukan. Sementara itu di tempat yang lain, Brian memijat kepalanya yang pusing. Ia terlihat tidak bersemangat. “Silahkan,” ucap Dilara. Gadis itu tersenyum sambil menyodorkan teh kehadapan Brian. Entah bagaimana caranya gadis itu jadi terlihat manis bagi Brian. Ia meraih cangkir teh yang disodorkan dan meminumnya selagi hangat. Nikmat. Itu kesan pertama yang didapatnya. “Apa belum ada kabar?” tanyanya. Brian menggeleng. Dilihatnya Dilara mendesah. Bibir mungilnya yang basah terlihat... Astaga. Apa yang dipikirkan Brian. Tapi jujur ia merasa Dilara sangat cantik hari ini. “Hari ini aku ada undangan ke kota London mewakili tuan Druf