Siapa dia?Zhura menarik rambutnya lebih kuat lagi saat ia tak juga mendapat jawabannya. Dinginnya air yang menghujaninya dari langit bahkan tak lagi terasa. Apa yang sebenarnya ia lewatkan? Monster itu, benarkah ada di dalam tubuhnya?Sssh...Zhura terkesiap saat mendengar suara desis. Di antara kegelapan, sesuatu yang besar menggeliat di arah jam delapan. Sedikit demi sedikit sosok itu muncul dari balik semak-semak di pinggir rawa dengan senyuman lebar di bibirnya. Sosok besar yang Zhura kira adalah seorang pria itu ternyata adalah siluman. Yah, jika dilihat dari kepala hingga pinggang dia adalah pria. Tapi kakinya berbentuk ular raksasa yang memanjang hingga lima meter. Mengerikan. Berurusan dengannya pasti merepotkan.Mengambil langkah cepat, Zhura segera menjauh. Namun, belum juga ia berlari ekor siluman menjeratnya. "Lepas!" Ia memberontak, berusaha melepaskan kedua kakinya dari cengkeramannya.Pria ular itu tertawa, "Kau terlihat sangat lezat, sayang sekali Sacia memintaku memb
"Jejak kaki dan bekas cakaran pada tanahnya hanya berakhir di sini, kurasa dia mungkin di bawa oleh sesuatu."Mendengar penuturan Pangeran Aryana yang berkata bahwa Zhura mungkin sudah diculik, membuat perasaan bersalah juga turut mendekam pada diri Valea. Gadis itu menjatuhkan kepalan tangannya pada pohon di samping. Dia berusaha mengalihkan pandangan dari jejak kaki itu, tapi gusar tidak juga mau pergi dari hatinya."Jika dilihat dari jejaknya, kurasa ini ada sejak semalam," ujar Ramia yang merendahkan tubuhnya. Pemuda elf itu kemudian menggelengkan kepalanya, cemas. "Apa yang sebenarnya terjadi padamu, Lailla?""Kenapa baru pagi ini kita menyadarinya? Sebenarnya apa yang dilakukannya? Kenapa ia keluar tengah malam?" timpal Pangeran Asyaralia yang sudah kembali pulih kini berdiri di sisi Aryana."Ini semua salahku!" seru Valea lalu bersimpuh. Semua pasang mata sontak saja terarah padanya.Inara lekas berlutut, menyamakan tingginya dengan Valea. "Apa yang terjadi?" tanyanya menyuarak
"Zhura!""Lailla!""Zhura!"Beberapa suara terus saja menariknya keluar dari lelap yang menghanyutkan. Dia terkesiap membuka pandangannya sebelum kemudian mengambil napas panjang mengisi oksigen sebanyak mungkin ke dalam paru-parunya. Saat itu juga, sebuah pelukan erat membawanya pada kehangatan. Di antara peluh dingin yang membasahi tubuhnya, lengan itu terulur mengusapi punggungnya dengan lembut. Zhura melihat rambut merah Valea terlihat lebih menyala jika dilihat dari dekat. Kalimat 'kau masih hidup!' terus gadis itu ucapkan dengan parau."Hei, kau terlalu kuat, Lailla bisa sesak napas!" Ramia duduk bersimpuh di sisi Valea dengan kening bercucuran keringat. Dia sama kacaunya dengan Valea."Aku ...-" Zhura mencoba mengutarakan beberapa kalimat, tapi suaranya lebih dulu tersendat karena tenggorokannya terlalu kering."Minumlah!" ujar Valea melepaskan pelukannya, menyodorkan sebotol air. Zhura menerimanya, dengan sedikit kepayahan diminumnya air itu habis tak bersisa. Setelah itu ia m
"Biar aku ingatkan, ini bukan sekadar tugas gadis-gadis untuk mendapatkan darah suci lagi. Perkara ini sudah berubah menjadi peperangan melawan pihak pemboikot kerajaan."Mereka bertiga berjalan di jalur bebatuan dengan tanaman-tanaman berduri tajam di sisinya. Satu langkah keliru, tamat riwayat hidup."Apa kau lelah?" Zhura bertanya dari balik punggung pemuda di hadapannya. Sebenarnya hanya dua orang yang berjalan karena Ramia memaksa untuk menggendong Zhura.Pemuda tu menggeleng, "Kau tidak begitu berat. Soalnya daripada saat pertama bertemu, tubuhmu yang sekarang lebih kecil. Kuharap kau makan dengan baik setelah ini berakhir.""Ya, pasti," sahut Zhura mengangguk."Aku masih tidak habis pikir, dalam keadaan seperti ini kau masih mau pergi ke sana. Maksudku, Yiwen juga memilih berhenti dari perjalanan.""Dia perlu mendapat perawatan. Lukanya sangat parah. Sementara aku masih bisa bergerak. Setidaknya selain kaki kananku, tubuhku baik-baik saja. Kalau aku berhenti justru terasa aneh.
Kau terlihat kerepotan," ujar Arlia membuat langkah Inara terhenti.Inara menghentikan langkahnya sebelum kemudian memutuskan mendekat pada Arlia. Dua gadis elf itu kini berdiri berhadapan di antara orang-orang yang berlalu lalang. "Ya, kau sendiri terlihat sangat siap. Di antara gadis lain, kau terlihat yang paling siap untuk bertarung. Di matamu, tidak ada ketakutan sama sekali."Arlia mengeratkan genggaman pada bilah pedang yang ia tancapkan pada salju. "Ayahku ada di pihak lawan. Tidak ada hal yang membuatku ketakutan lagi. Aku siap karena tujuanku sudah jelas. Tidak seperti kalian, hidup atau mati pada akhirnya aku tetap kalah. Di dunia ini aku tidak lagi merasa berarti. Tapi jangan sok kasian, aku tidak butuh perasaan itu darimu."Bagi diri Inara, bertahan hidup tentu saja adalah harapan terbesarnya. Tapi melihat bagaimana cara bicara dan tatapan Arlia barusan, mengisyaratkan tidak ada lagi hasrat kehidupan padanya. Dia seperti sebongkah bola salju kosong di padang putih ini. In
Ditempatnya, Inara, Arlia, pun semua orang terpaku melihat gerombolan gadis-gadis pengendara beruang itu. Dari kejauhan terlihat ada tombak hitam panjang yang tergenggam di tangan sosok-sosok tersebut. Warna hitamnya sangat mencolok di antara putihnya salju. Teriakan seorang gadis suci menarik atensi beberapa prajurit di sekitar, tapi pemiliknya sama sekali tidak peduli."Kakak!""Miriela!" Inara menahan seorang gadis bermata topaz yang hendak maju ke depan."Inara, dia kakakku! Dia masih hidup! Aku harus bertemu dengannya!" timpal Miriela mencoba melepaskan diri."Tenanglah. Kita belum tahu apa yang terjadi. Gadis-gadis suci terdahulu terlihat ada di pihak musuh, kita tidak bisa asal bergerak."Arlia mendengar ucapan Inara. Jika firasatnya benar, maka gadis-gadis suci terdahulu menetap di dataran ini sebagai budak atau senjata. Dengan istilah lain, mereka disimpan. Entah siapa pelakunya, yang jelas dia pasti ingin memperoleh kekuatan. Arlia merengut menyadari jumlah mereka adalah hal
Suasana menegangkan pecah setelah seruan Aryana. Anak panah dan tombak dari para prajurit beterbangan melesat di udara. Senjata-senjata itu dikendalikan oleh para elf pengendali untuk menembus tubuh gadis-gadis suci terdahulu. Beberapa di antara mereka tertembak panah atau tombak terjatuh dari atas tumpangannya, tapi tidak ada satu pun yang mati. Gadis-gadis itu terus bangkit, seperti tidak terpengaruh oleh serangan."Mereka bangkit lagi?!" Luther, elf muda yang berdiri siaga di pasukan tengah berseru sambil melotot."Serangan pemanah sudah tepat, ditambah arah panahnya yang dikendalikan oleh para elf pengendali membuat keefektifan serangannya akurat. Bisa bertahan dan bangkit lagi dari serangan itu adalah sebuah kemustahilan." Asyaralia yang berdiri di sampingnya menelan ludah.Teriakan terdengar dari beruang-beruang yang terkena lesatan anak panah maupun tombak prajurit. Laju mereka melambat, tapi getaran pada tanah justru menguat karena mereka berhasil memperpendek jarak dengan pas
Raungan dan rintihan memenuhi pendengaran. Seakan bersekutu memperburuk suasana, udara pun menipis di antara riuh ributnya semua orang. Bergerak menjadi sebuah kebutuhan jika ingin bertahan hidup, karena itu tak peduli apakah senjatanya akan mengenai lawannya, Arlia terus menerjang apapun yang ada di depannya. Namun, kejadian diluar rencana mungkin adalah hal wajib jika melihat realitas kehidupan.Ia melihat Inara yang terdiam. Di matanya, Inara seperti linglung pada saat musuh sedang kalap-kalapnya menyerang."Awas!!" seru Arlia mengembalikan kesiagapan Inara, tapi terlambat. Tidak ada kesempatan. Bahkan seandainya Inara mendengarnya, seratus persen tidak ada waktu untuk menghindar. Dengan kecepatan yang ia latih, Arlia menggapai kipas besi di pinggangnya. Detik yang sama ia bersiap menghempaskan kipasnya, seseorang lebih dulu datang menerjang lawan Inara."Kena kau!" teriak orang itu. Tanpa disangka gadis itu datang. Lega, Arlia melipat kipas besinya dalam satu gerakan. Sebuah senyu