Suasana menegangkan pecah setelah seruan Aryana. Anak panah dan tombak dari para prajurit beterbangan melesat di udara. Senjata-senjata itu dikendalikan oleh para elf pengendali untuk menembus tubuh gadis-gadis suci terdahulu. Beberapa di antara mereka tertembak panah atau tombak terjatuh dari atas tumpangannya, tapi tidak ada satu pun yang mati. Gadis-gadis itu terus bangkit, seperti tidak terpengaruh oleh serangan."Mereka bangkit lagi?!" Luther, elf muda yang berdiri siaga di pasukan tengah berseru sambil melotot."Serangan pemanah sudah tepat, ditambah arah panahnya yang dikendalikan oleh para elf pengendali membuat keefektifan serangannya akurat. Bisa bertahan dan bangkit lagi dari serangan itu adalah sebuah kemustahilan." Asyaralia yang berdiri di sampingnya menelan ludah.Teriakan terdengar dari beruang-beruang yang terkena lesatan anak panah maupun tombak prajurit. Laju mereka melambat, tapi getaran pada tanah justru menguat karena mereka berhasil memperpendek jarak dengan pas
Raungan dan rintihan memenuhi pendengaran. Seakan bersekutu memperburuk suasana, udara pun menipis di antara riuh ributnya semua orang. Bergerak menjadi sebuah kebutuhan jika ingin bertahan hidup, karena itu tak peduli apakah senjatanya akan mengenai lawannya, Arlia terus menerjang apapun yang ada di depannya. Namun, kejadian diluar rencana mungkin adalah hal wajib jika melihat realitas kehidupan.Ia melihat Inara yang terdiam. Di matanya, Inara seperti linglung pada saat musuh sedang kalap-kalapnya menyerang."Awas!!" seru Arlia mengembalikan kesiagapan Inara, tapi terlambat. Tidak ada kesempatan. Bahkan seandainya Inara mendengarnya, seratus persen tidak ada waktu untuk menghindar. Dengan kecepatan yang ia latih, Arlia menggapai kipas besi di pinggangnya. Detik yang sama ia bersiap menghempaskan kipasnya, seseorang lebih dulu datang menerjang lawan Inara."Kena kau!" teriak orang itu. Tanpa disangka gadis itu datang. Lega, Arlia melipat kipas besinya dalam satu gerakan. Sebuah senyu
Sebuah tombak hitam melesat ke arah Aryana. Untuk kali ini, ia harus berterima kasih pada daya refleksnya yang masih tersisa. "Kau baik-baik saja?" tanyanya pada seorang prajurit muda yang tersungkur juga di sisinya. Prajurit itu memegangi kaki kanannya yang berdarah akibat gigitan beruang besar.Dengan cakap, Aryana merobek kain pada bagian lengannya, untuk diikatkan pada kaki si prajurit muda. "Pergilah ke unit perawatan! Mundur seraya merunduk, pastikan musuh tidak menyadarimu!""Baik!" jawab prajurit muda itu melangkah dengan pincang.Aryana menggulirkan pandangan. Darah telah mengubah medan pertempuran menjadi panas bak lautan mendidih. Sungguh, memuakkan. Keningnya lalu mengerucut saat menyadari tidak ada lagi gadis-gadis suci terdahulu yang menyerangnya. Gadis-gadis itu justru melewatinya begitu saja seperti dia adalah bayangan. Betapa terkejutnya ia saat mendapati gadis-gadis berzirah maju ke medan pertempuran. Inara, Zhura, Valea, Arlia dan belasan gadis lain merangsak ke de
Valea melongok ke bawah dengan gusar. "Apa yang terjadi?! Kenapa tanahnya tiba-tiba longsor?!""Saya tidak tahu, semuanya terjadi secara tiba-tiba." Elf tampan seumuran Ramia menjawabnya. Dia Vilois, sosok yang kebetulan ditugaskan Asyaralia untuk menemani Valea. Sebelum dataran itu runtuh ke bawah, mereka berdua sedang sibuk memeriksa portal di bagian belakang bersama para prajurit muda.Valea mendengkus kala tak menemukan Inara dan Zhura di atas dataran bersamanya. Mereka berdua pasti jatuh bersama longsoran salju itu. Ditatapnya ke atas. Langit semakin petang, malam hampir tiba, bulan purnama merah juga tidak akan lama lagi. Ini akan buruk jika keadaan tidak segera berubah. Apapun yang terjadi, Valea berdoa semoga teman-temannya baik-baik saja.Detik berlalu, suasana berubah drastis saat suara dentuman keras terdengar dari arah jam sembilan. Valea bangkit dari berlututnya. Suara dentuman itu diikuti langkah-langkah kaki besar. Menelan ludahnya gugup, gadis merah itu menoleh pada pa
Roseleaf, dataran di sebelah tenggara Firmest yang terkenal dengan lembah warna-warni. Daerah sejuk, tapi hangat. Tempat di mana Valea lahir dan tumbuh sebagai seorang putri dari penempa besi. Menjadi satu-satunya anak di keluarga membuatnya menjadi pribadi yang bisa dikatakan pekerja keras. Istilahnya, apapun pekerjaannya, asalkan ia bisa, Valea akan lakukan.Keluarga besarnya tidak bisa dibilang kaya, tapi ia juga tidak melakukan semua pekerjaannya karena terdesak keuangan. Katakan saja mereka berkecukupan. Ayahnya seorang manusia biasa, bisa dibilang ia seorang kakek-kakek sekarang. Dua dekade lagi umurnya akan menjadi satu abad. Meskipun begitu, dengan fisik yang ditempa sejak kecil, ayahnya masih terlihat gagah.Lalu ibunya, adalah Shawarya. Elf berambut merah yang memutuskan keluar dari klan penyihir Dulcis dan memilih menikahi ayahnya. Kehidupan mereka sangatlah harmonis. Ibunya yang kelewat penyayang itu bahkan tidak cukup membesarkan satu orang anak. Dengan keadaan secukupnya
Aliran darah melambat karena oksigen menipis, sementara langit menggelap menandakan malam menetap. Kabut tebal yang sebelumnya hanya di permukaan, sekarang turun memenuhi tempat kami berdiri. Selain mengandalkan kemampuan penglihatan jarak jauh milik elf penglihat seperti Inara, tidak ada lagi yang bisa diusahakan. Jarak pandang hanya tersisa tiga meter, sisanya memudar seperti halnya aura semangat di wajah orang-orang."Banyak cara sudah dicoba. Dibuka paksa atau bahkan mantra pembuka segel terkuat, semua cara tidak bisa menembusnya," ujar Asyaralia menatap lambang di hadapan mereka. Seolah mengiyakan, semua orang terdiam, bergelut dengan satu pikiran yang sama."Mungkin ini hanya tulisan biasa, kita tidak bisa mengusahakan apapun. Para prajurit di atas tidak akan bertahan lebih lama tanpa kita. Jumlah mereka yang gugur mungkin saja sudah berkali-kali lipat, sementara kita duduk di sini. Orang-orang yang terluka juga harus segera merapat ke divisi kesehatan di permukaan. Bagaimana pu
Zhura mundur selangkah. Jadi dia adalah sosok yang menjadi legenda bagi para gadis. Keterkejutan menciptakan satu perasaan gelap di sudut hatinya, ketakutan. Wanita bergaun merah yang baru saja datang itu tak terlihat seperti teman, tapi ada bagian dari Zhura yang merasa sudah lama mengenalnya. Kepalanya terus menerus menyebutkan satu nama yang entah bagaimana bisa terus tengiang.Sacia."Selamat datang aku ucapkan bagi kalian para tamu. Maaf atas ketidaksopananku yang tidak mampu menyambut kalian dengan memuaskan," ujar Sacia membuka suara dengan anggun untuk pertama kalinya. Tubuhnya ramping dengan rambut hitam yang memanjang hingga ke mata kaki. Dibalut gaun yang bisa dibilang indah ia seperti bunga mawar merah yang segar, tak terpengaruh dengan suasana membekukan di sekitarnya."Jadi kau yang ada di balik semua ini?!" Pangeran Asyaralia menggeram marah.Sacia tertawa terlihat geli, "Jadi begitu cara seorang pangeran kerajaan terbesar di Firmest berbicara pada seorang wanita? Tidak
Zhura mengulurkan tangan menggapai ajakan sosok bergaun merah itu. Ia dihela berjalan melewati kegelapan. Mata lembut dan genggaman Sacia yang hangat terasa sangat nyaman. Tidak bisa dipungkiri, Zhura merasa tenang. Diam-diam ia perhatikan punggung wanita itu dari belakang. Sesuatu yang menyakitkan tiba-tiba menyeruak, perasaannya terasa sama seperti ia baru saja menemukan sesuatu yang hilang.Ia menatap langkah kaki Sacia yang ringan tapi cepat seakan-akan mereka sedang dikejar sesuatu. Dia adalah sosok yang teman-temannya sebut sebagai orang jahat, tapi Zhura bahkan tidak melihat sorot tajamnya seolah-olah dia adalah orang lain.Berhenti.Langkah kaki mereka habis di sana. Sacia melepaskan genggaman tangannya, menatap Zhura lurus. "Di sini, semuanya akan di mulai. Kehidupan baru akan datang di tempat di mana kau tidak akan pergi lagi. Sebelum itu, kau harus melihat ini. Yang dipertanyakan akan terkuak, tentang kita begitu pun dunia ini," tukas Sacia menguarkan cahaya merah dari tela