Share

2. Gadis Itu Akan Dibunuh

Author: Johan Gara
last update Last Updated: 2022-01-18 09:57:20

Sesuatu yang berembus seperti angin bersusulan membangkitkan suhu yang aneh di sekitar tubuhku ketika aku memasuki lobi Rumah Sakit.

“Apakah itu angin?”

Bukan! Itu bukan angin, karena angin tidak akan begitu leluasa di lorong-lorong Rumah Sakit dengan jendela yang tak bercelah. Suhu malam yang sedikit menyengat kulit membuat gorden di tiap ruangan ditutup rapat oleh petugas Rumah Sakit.

“Sekarang pukul berapa, Sayang?” tanya salah seorang pengunjung wanita yang berpapasan denganku.

Pria yang berjalan berdampingan dengannya menjawab, “Masih pukul 19:20, Sayang.”

Waktu memang masih belum terlalu larut, dan suasana di lobi utama Rumah Sakit masih belum sepi dari pengunjung. Namun semua orang yang berada di ruangan ini tidak menyadari embusan lembut yang aneh dan mengerikan itu.

Ketika aku melangkahkan kakiku memasuki Rumah Sakit lebih dalam lagi dan melewati kursi-kursi panjang yang berisi beberapa pengunjung Rumah Sakit dan makhluk-makhluk yang tak kasat mata, hembusan dari arah berlawanan kembali membangkitkan suhu yang aneh di tubuhku, dan sepintas mataku dapat menangkap dua makhluk berbentuk rumbai-rumbai yang saling mengejar dengan begitu cepat. Itu pasti dua bayangan yang kulihat tadi. Makhluk-makhluk itu tidak disadari oleh siapapun selain aku. Makhluk-makhluk seperti itu memang tak mungkin terlihat oleh manusia biasa. Aku berniat mengejar, namun ponsel di saku celanaku bergetar dan mengalihkan perhatianku.

“Hallo!” aku menjawab panggilan itu. “Ibu berada di ruang apa? Aku hampir sampai di ruang TB Paru.”

“Aku sedang menangani pasyien khusus di UGD, tunggu Ibu di ruang TB sebentar iya, Sayang.

“Iya, Ibu.”

Setelah menutup panggilan dari Ibuku, aku melanjutkan langkahku menuju ke ruang TB. Rumah Sakit yang seluas ini memiliki banyak lorong yang harus kulewati untuk sampai ke ruangan itu.

Ketika aku menelusuri lorong Rumah Sakit yang lumayan panjang, embusan itu kembali menarik perhatianku. Kini bayangan itu nampak lebih jelas, seorang manusia berbentuk bayangan berwarna hitam mengejar makhluk merah yang aku tidak tahu makhluk apa itu, tetapi keduanya hampir tak terjangkau mataku.

Aku menarik napas sedikit lebih panjang sambil menyesuaikan kecepatan yang tidak berbeda dengan kecepatan bayangan-bayangan itu. Loncatan demi loncatan dari kakiku yang begitu terasa ringan membuatku seperti bergerak di tempat yang tidak bergravitasi.

Setelah beberapa detik mengejar dan melewati beberapa gedung, akhirnya aku tida di titik akhir pelarian mereka, tempat yang lapang di atas gedung Rumah Sakit.

Aku yang telah berhasil mengejar mereka berusaha melemahkan hawa keberadaanku agar tak terdeteksi oleh makhluk-makhluk tak kasat mata itu. Dari sebuah celah di sudut tembok sekitar tujuh puluh meter dari tempat bayangan-bayangan itu mendarat, bukan bayangan yang kulihat sekarang, melainkan seorang lelaki berkuku runcing yang berwarna hitam pekat dan kuat seperti baja dan bertaring tajam yang mungkin membuatnya mudah mencabik-cabik setiap lawannya. Mungkin itu sejenis bampir, atau entahlah.

Makhluk apapun itu, itu bukanlah hal yang penting, karena yang jelas makhluk seperti vampir itu semakin mendekati seorang gadis yang terluka parah di depannya. Aku tidak tahu apa yang akan dilakukan makhluk-makhluk seperti bampir itu. Yang jelas kuku-kukunya menukik ke wajah gadis yang terbaring tak berdaya itu. Oh tidak, makhluk itu akan membunuh gadis itu dengan menghunuskan kuku runcingnya.

“Aaakkhh!” pekikan yang nyaring terdengar dari makhluk itu ketika sebuah balok beton yang kulempar membuatnya terpental jauh ke luar sisi Rumah Sakit.

Sebelumnya, aku tak berpikir panjang. Demi menyelamatkan nyawa gadis itu, aku memanfaatkan balok beton yang seukuran tubuhku dan tidak terlalu berat yang kutemukan di sampingku. Kini, makhluk sejenis bampir itu telah lenyap dari tempat ini.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • The Destinable Of Light (Bahasa Indonesia)   76. Disidang Di Alam Langit

    Setelah lama tak bermimpi, kini aku kembali mengalami mimpi yang aneh, tapi entahlah ini benar-benar mimpi atau bukan, rasanya seperti begitu nyata. Tubuhku terantai dengan rantai yang dipenuhi aliran listrik berwarna biru, dan listrik itu bersumber pada mustika Naga Langit yang melayang-layang beberapa meter di depanku."Tempat apa ini?" gumamku.Tak ada apapun dan siapapun di tempat itu, hanya ruangan kosong yang gelap dan dipenuhi kabut merah yang berkemendang. Ketika aku tengah memperhatikan sekelilingku, tiba-tiba mustika Naga Langit mengembang dan mengeluarkan energi listrik yang lebih besar. Dan tubuhku mulai tersengat."Aaakkhh!" aku menjerit menahan energi itu.Sementara mustika Naga Langit semakin besar, dan aliran energi itu juga semakin besar sehingga aku kian tersiksa. Aku meronta-ronta, namun rantai itu begitu kuat untuk bisa kulawan.Mustika itu semakin dekat, dan energi yang dialirkannya semakin deras hingga menyelimuti tubuhku. Mustika itu terus mendekat seperti terta

  • The Destinable Of Light (Bahasa Indonesia)   75. Pasukan Alam Langit

    Tanpa memejamkan mata, aku menyaksikan duri-duri besi raksasa itu pecah berkeping-keping menyentuh tubuhku, aku yang sedikit terperangah dengan kekebalan tubuhku mengalihkan pandanganku ke Mustika berwarna biru yang saat ini kupegang."Jangan-jangan ini adalah Mustika Naga Langit yang sedang kucari," gumamku, lalu memperhatikan ke sekeliling goa dan kembali bergumam, "Dan jangan-jangan, aku sedang berada di dalam perut naga langit."Secara tiba-tiba sebuah gelombang yang sangat kuat menarik tubuhku keluar kembali dari perut Naga Langit. "Aaakh!" Aku terseret kembali menuju ke luar.Benar saja, Naga Langit tengah mengamuk. Sementara aku yang berada beberapa puluh kaki di depannya melihat dengan jelas Matanya yang nampak menyala dan memancarkan warna kebiruan, lalu ia menghisap berbagai halilintar dengan mulutnya, sehingga halilintar-halilintar itu membentuk pusaran besar yang dahsyat dan terpusat di mulutnya.Selang beberapa mili detik kemudian, Naga Langit menyemburkan pusaran halilint

  • The Destinable Of Light (Bahasa Indonesia)   74. Tercebur Dalam Lahar

    Kemilau cahaya perlahan-lahan menipis, dan panorama perlahan-lahan semakin jelas. Begitu semuanya benar-jelas dan kemilau cahaya sudah tidak ada, aku baru menyadari jika kami tengah dikelilingi halilintar dan petir yang menyambar ke segala arah.Sementara Zeon terus mengepakkan sayap dan melaju melewati celah-celah petir, Singa berbulu keemasan itu menghindari amukan halilintar dengan tangkas."Hati-hati, Zeon," ucapku."Jangan khawatir, Pangeran," jawab Zeon.Untuk mengurangi ketegangan, aku mencoba mengobrol dengan Tungganganku itu. "Kenapa kamu jarang sekali berbicara?"Bukannya menjawab pertanyaanku, singa itu malah mengajukan pertanyaan kembali, "Untuk apa sering berbicara, Pangeran?""Kau bodoh atau memang judes?" gumamku, kemudian menjawab, "Tentu saja untuk berkomunikasi agar kita bisa lebih mudah saling mengerti."Sambil terus melaju dengan kecepatan tinggi menerobos halilintar, Zeon berkata, "Aku diciptakan untuk peka terhadap tuanku. Jadi, aku tidak memerlukan obrolan untuk

  • The Destinable Of Light (Bahasa Indonesia)   73. Menuju Gerbang Alam Langit

    "Zeon?" gumamku.Singa itu merunduk bersamaan dengan sayapnya yang menyusut semakin kecil, hingga sayapnya benar-benar hilang dari pandanganku. Sesaat kemudian, Ayahku turun dari Singa itu.Tiba-tiba saja Nero yang menunggangi singa bersayapnya tiba di sampinging Zeon. "Singa ini sungguh cepat, tungganganku yang dikenal sebagai tunggangan tercepat di Alam Tumaya tidak mampu mengimbangi kecepatannya," ucap Nero sambil menuruni tunggangannya yang telah merunduk."Untuk saat ini, tunggangan adikmu adalah tunggangan tercepat di alam Tumaya," ucap Ayahku sambil mengelus bulu Zeon yang berwarna keemasan."Singa ini masih sangat muda untuk menumbuhkan sayap, bagaimana kau bisa berhasil menumbuhkan sayapnya, Ariuz?" tanya Lensana Merah."Aku memandikannya dengan cairan Paksacakra," jawab Ayahku."Bukankah cairan itu hanya bisa digunakan satu kali? Bagaimana kau akan menumbuhkan sayapmu, Ariuz?" tanya Lensana Hijau."Aku memang berniat menumbuhkan sayapku untuk menembus dinding Julaga, tetapi

  • The Destinable Of Light (Bahasa Indonesia)   72. Hari Keberangkatan Dan Kedatangan Singa Bersayapku

    Sejak perbincangan di Amfiteater, Ayahku tidak pernah berbicara denganku. Hingga tiba pada hari ini aku akan berangkat menuju ke Gerbang Alam Langit."Kiyaaakkk!" suara berbagai satwa pun meramaikan acara pengantaran ku.Penghuni Alam Tumaya kecuali Letra berkumpul di gerbang Tumaya, mulai dari Jin penghuni Tumaya dari kalangan bawah hingga Jin penghuni Alam Tumaya dari kalangan atas. Dengan tatapan penuh harapan, semua mata rakyat Tumaya mengiring kepergianku.Berbagai siluman dengan bentuk yang beragam nampak sibuk berbisik-bisik, suara salah satu dari mereka sampai ke telingaku, "Putra Lensana Biru itu adalah satu-satunya harapan kita.""Bukankah itu adalah Jin Hal yang pernah dikalahkan oleh Taro di Arena Bundar, bagaimana bisa dia akan mengembalikan keseimbangan Alam Tumaya?" suara Siluman lain.Mereka terus berbisik-bisik hingga Lensana Hijau mendekatiku. Lensana Hijau mengeluarkan sebuah Permata Putih dari sakunya, kemudian menyerahkannya padaku sambil berkata, "Keponakanku, ini

  • The Destinable Of Light (Bahasa Indonesia)   71. Keputusan Berat Ayahku

    "Tentu saja jika tidak ada yang keberatan," jawabku dengan perasaan yang sangat yakin jika aku akan bisa menembus kembali dinding Julaga."Kami percaya, kamu bisa menembus dinding Julaga. Akan tetapi, kau akan berhadapan dengan seluruh penghuni Alam Qulbis, mengalahkan seluruh penghuni Alam Qulbis adalah satu kemustahilan," ucap Lensana Merah dengan wajah yang kurang bersemangat.Ayahku menambahkan, "Apalagi sekarang, raja Lacodra memiliki Permata Seribu yang membuatnya tidak bisa tersentuh oleh senjata apa pun."Melihat para Lensana begitu pesimis, aku bertanya, "Apakah tidak ada cara untuk mengalahkan raja Lacodra?"Semua Lensana terdiam, Lensana Merah nampak berpikir serius, mungkin dia tengah memikirkan solusi, begitu juga dengan Ayahku. Sementara angin sore yang terasa dingin di Tumaya menyentuh kulitku, dan itu membuat keheningan di antara kami begitu kentara.Setelah semuanya terdiam cukup lama, tiba-tiba Lensana Hijau bersuara, "Sebenarnya ada satu cara untuk menembus permata s

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status