Siapapun yang pernah merasa bahwa mereka bukanlah anak dari orangtuanya, akulah yang paling mengerti alasannya. Wajah, postur tubuh, dan kemampuan fisik yang berbeda dengan orangtuaku membuatku seringkali berpikir, jika aku hanyalah seorang anak angkat, dan memikirkan itu sungguh sangatlah menyebalkan. Tapi ternyata, ada hal lain yang lebih menyebalkan dari memikirkan itu.
“Jadi, Dokter tadi adalah Ibumu,” ucap gadis yang kini terbaring di ranjang rawat sambil mengamati wajahku, gadis itu baru saja kuselamatkan. “Kenapa kalian tidak nampak mirip sama sekali?”
Gadis itu bukan hanya tidak tahu kata ‘terimakasih’, melainkan juga dia telah sangat menyinggungku. Ini memang bukanlah yang pertama kalinya aku mendengar kata-kata semacam itu. Bahkan ketika nenekku masih hidup, kata-kata seperti itu terucap lebih menyakitkan dari kata-kata yang pernah diucapkan oleh orang lain.
“Aku yakin jika ayahmu adalah lelaki yang sangat tampat ketika usianya masih muda,” ujar gadis itu.
Matanya masih menatap setiap inci dari bagian wajahku, dan itu membuatku semakin merasa tidak nyaman berada di dekatnya. Seandainya dia tidak memuji ayahku, maka mungkin saja aku telah sangat marah, karena gadis yang belum kuketahui siapa namanya, darimana asal-usulnya, tetapi dia telah berani mengomentari kehidupanku dengan seenaknya.
Meski keberadaanku di sini untuk menjaga dan memastikan dia baik-baik saja, aku sama sekali tidak berniat menjadi lawan bicaranya. Seandainya ia tidak sedang terluka separah ini, barangkali aku telah meninggalkannya dari semenjak dia tiba di ruangan ini. Tapi keadaanya yang cukup memprihatinkan membuat telingaku harus menjadi kebal untuk bisa mendengarkan bualan-bualannya yang menyebalkan.
“Kenapa kamu diam saja?” Gadis itu kini menatapku dengan serius. “Apa semua yang kukatakan itu benar?”
Tanpa mengalihkan tatapannya, gadis itu terdiam sejenak. Ia tengah menunggu jawaban dariku. Namun sayangnya, aku sama sekali tidak tertarik untuk menanggapi pertanyaannya.
Melihatku tidak bereaksi sama sekali, gadis itu berujar, “Soalnya kamu tampan tapi tidak mirip dengan Ibumu, berarti kamu mirip dengan ayahmu yang sudah pasti juga tampa seperti kamu.” Ia menambahkan seringaian di akhir ucapannya, dan seringaian itu membuatku ingin segera keluar dari ruangan ini.
Aku mencoba menenangkan diri dengan menghirup napas dalam-dalam. “Kenapa kamu bisa hampir dibunuh makhluk itu?” aku memulai introgasiku, karena itu adalah satu-satunya cara agar ia berhenti berbicara tentangku.
“Makhluk-makhluk seperti itu selalu mengincarku.” Gadis itu mengalihkan pandangannya ke luar jendela selama beberapa saaat, lalu kembali menatapku dan bertanya serius, “Apa kamu juga makhluk seperti mereka?”
Aku hanya bisa terdiam. Gadis itu masih menunggu, namun aku sendiri bingung, makhluk seperti apa aku ini sebenarnya? Aku memiliki kemampuan yang aneh, aku berbeda dengan orangtuaku.
Sebelum bibirku kembali berucap, pintu ruang rawat telah dibuka oleh seseorang.
Lalu suara Ibuku terdengar. “Nando!”
Kemudian keheningan langsung meleleh ketika Ibu memasuki ruangan. Dan seperti biasa, senyumannya selalu mampu menghangatkan suasana yang menyelimuti kami. Ada beberapa garis penuaan di wajah Ibu, tetapi wajah itu selalu membuatku percaya, bahwa dia adalah ibuku.
Saat aku berada dalam tatapanya, aku selalu merasa seperti tidak ada perbedaan di antara kami. Matanya yang kini berbinar-binar dalam balutan cahaya, mata itulah yang selalu melihat kesempurnaan dalam diriku. Sekalipun jika seandainya seluruh penghuni planet ini menjauhiku, ibuku akan selalu ada untuk menyayangiku.
“Bagaimana keadaanmu sekarang, Nak?” Ibu selalu bersikap ramah pada siapapun, bahkan pada gadis yang tidak kami kenal sekalipun.
“Saya merasa baik-baik saja, Bibi.”
Ibu mendekati gadis itu, kemudian memeriksa luka-luka di sekujur tubuh gadis yang terbaring di sampigku. Ibu sedikit terkejut melihat sobekan luka di perut gadis itu.
“Kenapa luka ini belum dijahit?”
Setelah lama tak bermimpi, kini aku kembali mengalami mimpi yang aneh, tapi entahlah ini benar-benar mimpi atau bukan, rasanya seperti begitu nyata. Tubuhku terantai dengan rantai yang dipenuhi aliran listrik berwarna biru, dan listrik itu bersumber pada mustika Naga Langit yang melayang-layang beberapa meter di depanku."Tempat apa ini?" gumamku.Tak ada apapun dan siapapun di tempat itu, hanya ruangan kosong yang gelap dan dipenuhi kabut merah yang berkemendang. Ketika aku tengah memperhatikan sekelilingku, tiba-tiba mustika Naga Langit mengembang dan mengeluarkan energi listrik yang lebih besar. Dan tubuhku mulai tersengat."Aaakkhh!" aku menjerit menahan energi itu.Sementara mustika Naga Langit semakin besar, dan aliran energi itu juga semakin besar sehingga aku kian tersiksa. Aku meronta-ronta, namun rantai itu begitu kuat untuk bisa kulawan.Mustika itu semakin dekat, dan energi yang dialirkannya semakin deras hingga menyelimuti tubuhku. Mustika itu terus mendekat seperti terta
Tanpa memejamkan mata, aku menyaksikan duri-duri besi raksasa itu pecah berkeping-keping menyentuh tubuhku, aku yang sedikit terperangah dengan kekebalan tubuhku mengalihkan pandanganku ke Mustika berwarna biru yang saat ini kupegang."Jangan-jangan ini adalah Mustika Naga Langit yang sedang kucari," gumamku, lalu memperhatikan ke sekeliling goa dan kembali bergumam, "Dan jangan-jangan, aku sedang berada di dalam perut naga langit."Secara tiba-tiba sebuah gelombang yang sangat kuat menarik tubuhku keluar kembali dari perut Naga Langit. "Aaakh!" Aku terseret kembali menuju ke luar.Benar saja, Naga Langit tengah mengamuk. Sementara aku yang berada beberapa puluh kaki di depannya melihat dengan jelas Matanya yang nampak menyala dan memancarkan warna kebiruan, lalu ia menghisap berbagai halilintar dengan mulutnya, sehingga halilintar-halilintar itu membentuk pusaran besar yang dahsyat dan terpusat di mulutnya.Selang beberapa mili detik kemudian, Naga Langit menyemburkan pusaran halilint
Kemilau cahaya perlahan-lahan menipis, dan panorama perlahan-lahan semakin jelas. Begitu semuanya benar-jelas dan kemilau cahaya sudah tidak ada, aku baru menyadari jika kami tengah dikelilingi halilintar dan petir yang menyambar ke segala arah.Sementara Zeon terus mengepakkan sayap dan melaju melewati celah-celah petir, Singa berbulu keemasan itu menghindari amukan halilintar dengan tangkas."Hati-hati, Zeon," ucapku."Jangan khawatir, Pangeran," jawab Zeon.Untuk mengurangi ketegangan, aku mencoba mengobrol dengan Tungganganku itu. "Kenapa kamu jarang sekali berbicara?"Bukannya menjawab pertanyaanku, singa itu malah mengajukan pertanyaan kembali, "Untuk apa sering berbicara, Pangeran?""Kau bodoh atau memang judes?" gumamku, kemudian menjawab, "Tentu saja untuk berkomunikasi agar kita bisa lebih mudah saling mengerti."Sambil terus melaju dengan kecepatan tinggi menerobos halilintar, Zeon berkata, "Aku diciptakan untuk peka terhadap tuanku. Jadi, aku tidak memerlukan obrolan untuk
"Zeon?" gumamku.Singa itu merunduk bersamaan dengan sayapnya yang menyusut semakin kecil, hingga sayapnya benar-benar hilang dari pandanganku. Sesaat kemudian, Ayahku turun dari Singa itu.Tiba-tiba saja Nero yang menunggangi singa bersayapnya tiba di sampinging Zeon. "Singa ini sungguh cepat, tungganganku yang dikenal sebagai tunggangan tercepat di Alam Tumaya tidak mampu mengimbangi kecepatannya," ucap Nero sambil menuruni tunggangannya yang telah merunduk."Untuk saat ini, tunggangan adikmu adalah tunggangan tercepat di alam Tumaya," ucap Ayahku sambil mengelus bulu Zeon yang berwarna keemasan."Singa ini masih sangat muda untuk menumbuhkan sayap, bagaimana kau bisa berhasil menumbuhkan sayapnya, Ariuz?" tanya Lensana Merah."Aku memandikannya dengan cairan Paksacakra," jawab Ayahku."Bukankah cairan itu hanya bisa digunakan satu kali? Bagaimana kau akan menumbuhkan sayapmu, Ariuz?" tanya Lensana Hijau."Aku memang berniat menumbuhkan sayapku untuk menembus dinding Julaga, tetapi
Sejak perbincangan di Amfiteater, Ayahku tidak pernah berbicara denganku. Hingga tiba pada hari ini aku akan berangkat menuju ke Gerbang Alam Langit."Kiyaaakkk!" suara berbagai satwa pun meramaikan acara pengantaran ku.Penghuni Alam Tumaya kecuali Letra berkumpul di gerbang Tumaya, mulai dari Jin penghuni Tumaya dari kalangan bawah hingga Jin penghuni Alam Tumaya dari kalangan atas. Dengan tatapan penuh harapan, semua mata rakyat Tumaya mengiring kepergianku.Berbagai siluman dengan bentuk yang beragam nampak sibuk berbisik-bisik, suara salah satu dari mereka sampai ke telingaku, "Putra Lensana Biru itu adalah satu-satunya harapan kita.""Bukankah itu adalah Jin Hal yang pernah dikalahkan oleh Taro di Arena Bundar, bagaimana bisa dia akan mengembalikan keseimbangan Alam Tumaya?" suara Siluman lain.Mereka terus berbisik-bisik hingga Lensana Hijau mendekatiku. Lensana Hijau mengeluarkan sebuah Permata Putih dari sakunya, kemudian menyerahkannya padaku sambil berkata, "Keponakanku, ini
"Tentu saja jika tidak ada yang keberatan," jawabku dengan perasaan yang sangat yakin jika aku akan bisa menembus kembali dinding Julaga."Kami percaya, kamu bisa menembus dinding Julaga. Akan tetapi, kau akan berhadapan dengan seluruh penghuni Alam Qulbis, mengalahkan seluruh penghuni Alam Qulbis adalah satu kemustahilan," ucap Lensana Merah dengan wajah yang kurang bersemangat.Ayahku menambahkan, "Apalagi sekarang, raja Lacodra memiliki Permata Seribu yang membuatnya tidak bisa tersentuh oleh senjata apa pun."Melihat para Lensana begitu pesimis, aku bertanya, "Apakah tidak ada cara untuk mengalahkan raja Lacodra?"Semua Lensana terdiam, Lensana Merah nampak berpikir serius, mungkin dia tengah memikirkan solusi, begitu juga dengan Ayahku. Sementara angin sore yang terasa dingin di Tumaya menyentuh kulitku, dan itu membuat keheningan di antara kami begitu kentara.Setelah semuanya terdiam cukup lama, tiba-tiba Lensana Hijau bersuara, "Sebenarnya ada satu cara untuk menembus permata s