Aku telah mengikuti semua intruksi mereka selama berhari-hari, namun yang kulakukan hanya mengeluarkan tenaga yang cukup dahsyat di tanganku, dan membentuk kepalan yang telah biasa kugunakan menghantam lawan-lawanku. Namun di jemariku, tak ada yag istimewa sama sekali. Kurasa aku tak benar-benar memiliki senjata yang istimewa itu. Nero telah melatihku dengan berbagai cara, bahkan menyerang semampunya untuk memancing cakarku keluar. “Rasakan ini!” Nero mencoba melepaskan beberapa pukulan dahsyatnya ke arahku. Seperti biasa, aku tak memiliki ketangkasan yang cukup untuk menghindari serangannya. Pukulannya membuatku terhempas beberapa puluh meter dan membentur lantai marmer biru yang berlapis kabut. "BRUGH! BUGH!" “Akh!” jeritku. “Kau memang harus terus bertahan untuk bisa hidup!” seru Nero ketika aku mencoba bangkit. Begitu kuda-kudaku telah terpasang, aku kembali diserangnya. "BUGH! BUGH!" Aku terus terpukul, terpelanting, dan bangkit dengan tertatih-tatih, kemudian diserang la
Setelah berhasil meyakinkan ayahku tentang pendapatnya yang akan mampu melatihku, Alora membawaku menuju ke Istananya di sebelah barat Tumaya. Dua puluhan meter sebelum tiba di depan istana yang hampir mengambang di atas udara laut selatan Tumaya itu, Alora berhenti dan mengajakku berdiri di dekat langkan jembatan, menghadapkan wajah ke barat lautan. Gadis itu menghela napas, raut wajahnya menunjukkan ia sedang memusatkan konsentrasi yang begitu dalam. Sambil menjulurkan telapak tangannya lurus ke depan, ia berkata. “Aku sedang memusatkan konsentrasiku pada lautan.” Di hadapan kami, lautan yang mulanya berdebur tenang kini mulai bergelombang semakin besar. Pada detik yang sama, Alora melanjutkan ucapannya, “Aku hanya perlu merasakan kekuatan pikiranku mengalir menuju lautan itu, dan menggerakkan lautan itu seperti menggerakkan bagian dari tubuhku sendiri.” Setelah mengucapkan itu, Alora membanting tangannya seperti menanam sesuatu pada angin. Kemudian gelombang laut menusuk ke dala
Ketika Alora melewati empat makhluk aneh itu, makhluk-makhluk itu berdiri lalu duduk setengah berlutut seraya memberi hormat dengan sebelah tangan dilipat ke dada.Aku masih menaiki undakan, sementara Alora yang telah menduduki singgasananya berkata, “Bisakah kalian turun dulu, aku tidak ingin diganggu.”Bagian pinggang ke bawah makhluk-makhluk aneh di hadapan Alora kemudian dilipati angin, lalu meleleh menjadi setengah manusia berkaki kabut, kemudian melesat melewatiku menuju ke lantai bawah.“Silahkan duduk,” Alora mempersilahkanku duduk di salah satu singgasana yang kosong itu. Beberpa menit kemudian, aku telah duduk di singgasana sebelah kanan yang paling dekat dengannya. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Alora melatihku mengeluarkan cakar di singgasana. “Alirkan semua energi yang terkumpul menuju ke ujung jarimu,” kata Alora.Sementara aku terus memusatkan pikiran. Sambil memperhatikan semua ucapan Alora, aku mencoba mengikuti apa yang diarahkannya.“Rasakan semua energi yang tela
Pendar sinar mentari sore di dalam ruangan sedikit memerihkan mata ketika aku memicing. Terlihat langit-langit dengan sepuh rasi bintang. Aku bangkit dengan memijit pelipisku, menahan sedikit nyeri di kepalaku. Begitu aku melirik ke sekeliling, terdapat tembok bercorak selusin manusia berkepala srigala yang tengah bertarung dengan manusia kelelawar, bukan hanya itu, ada selusin manusia berkepala gajah yang memenuhi dinding itu, semuanya memegang trisula. Kasur yang menopang berat tubuhku terasa empuk. Aku bangkit dari pembaringanku, lalu melangkah menuju pintu emas yang bercorak naga hijau. Aku membukanya lalu keluar dari kamar itu. Sepertinya aku masih berada di dalam istana milik Alora, dapat kulihat dari lantai lautan yang kulewati. Ketika melangkah menelusuri istana bernuansa hijau itu, aku berpapasan dengan puluhan prajurit aneh yang memandangiku dengan tatapan aneh, tatapan yang sekan-akan menusuk jantungku. Itu dapat kusebut sebagai tatapan penuh kebencian. Aku baru merasa be
“Oh Nando! Selamat datang kembali di istana pamanmu!” Lelaki yang usianya lebih tua dari ayahku itu terlihat ramah, meski kutahu ia hanya mencoba bersikap baik padaku. Sebenarnya ia bisa saja mengusirku, dan akupun tidak akan membencinya jika ia bersikap seperti itu. Tapi syukurlah lelaki itu bisa bersikap lebih bijaksana ke padaku. “Hormat saya paman,” kataku seraya membungkut dengan melipat sebelah tangan ke dada untuk memberi hormat. "Silahkan duduk nak,” katanya seraya menunjukkan salah satu singgasana kosong yang posisinya lebih rendah dari singgasananya. Penataan singgasana itu persis seperti penataan singgasana di Istana Alora, jadi aku duduk menyudut dengannya. Sementara prajuritnya telah turun ketika aku datang, mereka berdiri berderet di lantai bawah seperti ajudan kepresidenan Rusia yang pernah kulihat di televisi. Setelah aku mendaratkan tubuhku di salah satu singgasana yang paling dekat dengannya, Lensana Merah berkata, “Aku senang kau mau berkunjung kembali ke istan
Ketika burung pelatuk berekor naga itu telah benar-benar dekat, aku menyadari Alora tengah duduk dengan anggun di punggung burung itu. Aku turun dari langkan, dan seekor burung raksasa mendarat di hadapanku. Menyapu kabut tipis yang mengitariku, dan mengibas angin yang meniup kencang rambut dan jubahku.Burung itu merendah hingga sayapnya yang lebar menempel di marmer jembatan. Namun Alora tidak turun dari punggung burungnya, ia tersenyum memandangku yang masih setengah terpukau dengan suasana di hadapanku.“Mau terbang bersamaku?” Alora berhasil mengusir kekosongan di otakku.“Kemana?” tanyaku.“Mengitari Tumaya,” jawabnya dengan anggun. “Menikmati keindahan malam di atas punggung burung ini.”Sepertinya itu ide yang bagus. Aku melangkah mendekat, lalu merangkak naik ke punggung burung itu. Beberapa detik setelah aku duduk dengan mantap di punggungnya, burung itu bangkit dengan gagahnya, lalu melejit dari jembatan. Sayapnya terkepak indah di udara, dan ekor naganya melambai di tiap-t
Langit terlihat damai, memayungi tumaya dengan tulus, seperti sinar mentari yang menghangatkan di pagi ini. Kabut-kabut menyisir dinding bangunan-bangunan megah, dengan tenang menjalar di tepi jembatan yang sedang kutapaki.“Tidak terasa, waktu bersamamu ternyata begitu singkat,” Nero mencoba mengikhlaskan.“Iya,” kataku sambil terus melangkah beriringan dengannya. “Namun sebenarnya ini bukan sebuah perpisahan. Kita pasti akan berjumpa lagi.”“Kuharap begitu,” ucap Nero dengan wajahnya nampak murung. “Lihatlah mereka, terlihat gembira, tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi.”Kulihat Arena bundar telah di sesaki berbagai makhluk aneh. Mulai dari yang terlihat seperti manusia normal, hingga makhluk yang berbadan setengah manusia. Mereka seperti semut yang tengah berpesta gula, memadati jembatan yang terhubung ke arena bundar dari segala arah. Menyesaki Arena bundar seakan takkan dapat tempat. Berbagai margasatwa raksasa yang sejak tadi kulihat terbang mengitari langit Tumaya, kini satu
Ayah dan Lensana Hijau masing-masing berdiri di kedua sisi amfiteater, dan Lensana Merah berada di antara mereka. Ketiganya menjulurkan Mustika Dewa, lalu mestika Dewa memancarkan sinar yang mencorot seperti Laser raksasa, dan pertemuan ketiganya membentuk sudut cahaya yang menyilaukan. Mustika Dewa telah memutuskan cahaya, para Lensana juga telah berhenti menjulurkan Mustika Dewa. Namun sinar menyilaukan itu masih berkemilauan semakin terang dan mulai membentuk sebuah gelombang, gelombang yang awalnya kecil sekarang semakin besar membentuk pusaran bumi dari angin-angin. Energi dahsyat yang timbul dari gelombang itu menciptakan tekanan yang cukup tinggi, sehingga kami semua yang menyaksikan harus memperkuat pijakan agar tidak terpental ke belakang.Alora menyabet bahuku menyebabkanku berbalik menghadapnya, gadis itu kemudian memelukku ketika tubuhku telah sejajar dengan tubuhnya. Air matanya berhamburan di pipinya yang putih berseri dan berkemilauan karena balutan cahaya dari gelomban